5

Seperti biasa setiap pagi Dita pasti menyempatkan sarapan dan mengobrol dengan Adi, kakaknya. Ya, karena kakaknya sering lembur dan pulang larut malam jadi waktu mereka leluasa untuk berbincang adalah saat sarapan.

“Mas, gimana kalau kita memberi kue ke tetangga sebagai buah tangan dan perkenalan kita? Mas juga belum kenalan dengan mereka kan?” Dita memulai pembicaraan pagi itu.

“Bagus juga usulanmu Dek, Mas setuju. Memang kita seharusnya berkenalan dengan para tetangga. Karena mas sering pulang malam jadi belum sempat berkenalan dengan mereka. Kapan Dek rencananya?”

“Rencanaku hari Minggu ini Mas, kan hari libur jadi kemungkinan mereka semua di rumah jadi kita bisa bertemu mereka.”

“Boleh-boleh, nanti tinggal kamu putuskan saja Dek mau kue apa, terus sekalian kamu pesen, nanti mas transfer uangnya.”

“Aku sebenarnya ingin masak sendiri Mas, tapi di sini tidak ada alat-alatnnya. Dan lagi kuliahku padat jadi tidak ada waktu juga. Nanti coba aku tanya ke teman-teman di mana bisa pesan kue yang enak.”

“Enggak usah bikin sendiri Dek, nanti kamu capek. Pesan saja nanti tinggal kita ambil atau kalau bisa diantar ke rumah.”

“Siap, Mas-ku Sayang.”

“Oh ya, bagaimana kalau kita sekalian mengadakan pengajian Dek? Karena Mas juga belum syukuran rumah ini.”

“Wah, malah bagus itu Mas. Berarti ayah dan bunda harus kita beri tahu, begitu juga saudara dekat kita yang lain.”

“Kalau begitu nanti mas usahakan tidak lembur, nanti kita ke rumah Pak RT ya sekalian tanya bagaimana biasanya acara syukuran rumah kalau di sini.”

“Siap Bos, nanti aku beli buah tangan sekalian ya untuk Pak RT sepulang kuliah.”

“Adeknya mas ini memang selalu bisa diandalkan. Mas jadi makin sayang deh.” Tutur Adi sambil mencubit gemas pipi Dita.

“Apa-apaan sih Mas, enggak usah lebai gitu.”

“Mas enggak lebai, mas ngomong apa adanya. Mas malah merasa kamu lebih tahu bagaimana membangun hubungan dengan tetangga dan lingkungan sekitar. Apa ini tanda kamu sudah siap menjadi istri orang, Dek? Mas kok rasanya belum rela ya melepasmu menjadi milik suamimu.”

“Ih Mas ngomong apa sih? Pagi-pagi jangan ngelantur omongannya, Mas. Kan ya sudah biasa Mas di kampung kalau ada tetangga baru pasti juga saling berkenalan.”

“Iya, tapi kan seharusnya malah mas yang memikirkan hal itu bukan kamu.”

“Mas kan sibuk bekerja, jadi mungkin tidak terpikirkan soal ini. Ini juga karena kebetulan aku ingat pesan bunda untuk silaturahim sama tetangga. Kata bunda meski kita jarang bertemu tetangga tetapi merekalah orang terdekat kita selain keluarga. Kita pasti suatu saat akan saling menolong dan membutuhkan.”

“Mas jadi merasa lagi ngobrol sama bunda nih, Dek.” Adi tersenyum jahil pada Dita. Sementara Dita hanya mengerucutkan bibirnya pura-pura kesal.

“Mmhhhh ... kamu jangan cepat nikah ya Dek, biar mas bisa lebih lama manjain kamu.” Adi memandang Dita penuh sayang.

“Enggak salah omong nih, Mas? Yang seharusnya menikah duluan kan Mas Adi. Aku juga baru masuk kuliah, nikah masih belum ada dalam pikiranku. Mmmhhh ...kenapa Mas Adi tiba-tiba ngomongin nikah, udah kebelet ya? Siapa Mas calon kakak iparku?” Dita menatap curiga pada kakaknya.

“Mas belum terpikir untuk menikah Dek, yang ada di pikiran mas sekarang bagaimana membahagiakan ayah, bunda dan juga kamu. Sementara kamu itu wanita, biasanya setelah kuliah langsung ada yang melamar. Ya siapa tahu sebentar lagi ada yang ngajak kamu menikah, Dek.” Adi mengungkapkan isi hatinya.

“Ya Allah, Mas. Jangan berpikir yang aneh-aneh begitu, aku jadi merinding sendiri.” Dita mengelus lengannya yang tiba-tiba meremang. Adi tersenyum geli melihat tingkah adiknya itu.

“Oya, gimana kuliah dan teman-temanmu, Dek?” Adi mulai mengalihkan pembicaraan.

“Baik Mas, lancar dan aman.”

“Ada yang gangguin kamu enggak? Atau cowok yang deketin kamu?” Adi mulai bersikap posesif.

“Enggak ada, semua aman terkendali Mas. Tapi ....” Dita tiba-tiba diam menggantungkan omongannya.

“Tapi apa, Dek?” Desak Adi.

“Ada satu kakak tingkat yang menyebalkan, Mas. Dia enggak bisa menghargai wanita dan enggak tahu sopan santun.”

“Kamu diapain sama dia, Dek? Apa perlu mas ke kampus buat ngasih pelajaran sama dia?”

“Mas tenang saja, aku enggak diapa-apain kok sama dia, tapi temanku yang mengalaminya. Sebagai temannya kan aku jadi kesel lihat perlakuan dia sama temanku, Mas.”

“Syukurlah bukan kamu, Mas jadi lega.”

“Kalau aku ya pasti melawan kalau diperlakukan seperti itu. Mas kaya enggak tahu aku saja.” Dita mengerucutkan bibirnya.

“Mas percaya kok sama kamu, Dek. Mas masih ingat dulu kamu waktu SD berkelahi sama teman sekelasmu yang cowok karena selalu ngusilin kamu.” Adi mengembangkan senyum mengenang kelakuan Dita saat masih kecil.

“Issshhh ... sudah Mas enggak usah dibahas lagi. Aku berangkat kuliah dulu ya, Mas.” Dita berdiri menuju wastafel untuk mencuci piringnya.

“Bareng sama mas ya, hari ini mas ke kantor kok jadi kita searah.” Adi juga sudah menyelesaikan sarapannya.

“Siap Bos.” Setelah mencuci piring Dita segera membereskan meja makan lalu bersiap berangkat kuliah.

...---oOo---...

“Kak, berangkat kuliah jam berapa?” Tanya Nisa pada Rendra, kakaknya, yang sedang sarapan.

“Jam setengah 7, kenapa?” Balas Rendra.

“Nisa bareng ya Kak. Nisa enggak bawa motor, soalnya mau diajak jalan sama Nita pakai mobilnya nanti sepulang sekolah, mau survei tempat untuk baksos.”

“Oke, kamu sudah sarapan?”

“Sudah Kak, ini tinggal ambil tas sama pakai sepatu.”

“Sippp, kakak selesaikan sarapan dulu habis itu kita berangkat.”

“Ashiapppp.”

“Mau survei lokasi di mana Nis?” Tanya Mama Dewi setelah mendengar percakapan dua buah hatinya.

“Nisa juga belum tahu Ma, mungkin ke panti asuhan yang belum banyak tersentuh bantuan yang lokasinya agak jauh dari kota.” Terang Nisa pada mamanya.

“Ya sudah kalau begitu, yang penting jangan lupa kasih kabar sama mama ya kalau nanti sampai malam.”

“Pasti nanti Nisa kabari, Mama jangan khawatir ya.” Nisa mendekati mamanya lalu memeluk dan mencium pipinya.

“Anak mama sekarang sudah besar semua, sudah sibuk sama kegiatannya masing-masing. Mama hanya bisa berpesan pada kalian untuk menjaga diri, jangan lupakan ibadah meski kalian sedang sibuk, dan mama selalu mendoakan kebaikan untuk anak-anak mama.”

“Iya, Ma.” Sahut Rendra dan Nisa serempak.

“Ayo Nis berangkat,” ajak Rendra setelah menyelesaikan sarapannya.

“Ma, Nisa berangkat dulu ya.” Pamit Nisa, lalu dia mencium punggung tangan dan pipi mamanya.

“Iya, hati-hati ya kalian.”

“Iya, Ma. Rendra kuliah dulu, Mama jangan sampai kecapekan ya di butik.” Rendra menghampiri mama lalu mencium punggung tangan dan pipi mamanya.

“Iya.”

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Rendra segera menuju garasi, Nisa menyusul di belakangnya. Setelah memakai helm full face dan jaket kulit kesayangannya, Rendra mengeluarkan motor dari garasi, memanaskan motornya sambil menunggu Nisa yang sedang memakai helm.

Saat mereka sudah siap berangkat dan Nisa sudah membonceng di belakang, lewatlah sebuah SUV hitam di depan rumah mereka. Seperti biasa pengemudi SUV itu membunyikan klakson pelan sebagai tanda sopan santun yang kemudian dibalas Rendra dengan membunyikan klakson motornya.

“Siapa Kak?” Tanya Nisa penasaran.

“Tetangga sebelah.” Jawab Rendra.

“Kakak kenal?” Tanya Nisa lagi.

“Enggak.”

“Oh, Nisa kira sudah kenal kok kaya sudah kenal saling menyapa gitu.”

“Itu namanya sopan santun, tidak harus saling kenal untuk menyapa.” Terang Rendra sambil mulai melajukan motornya.

Terpopuler

Comments

halo Thor, baru baca ini :)

2025-01-24

1

Musfa Ningsih Karyadi

Musfa Ningsih Karyadi

kirain Rendra Darmastawa ternyata Rendra kk nya Nisa...😊

2022-07-13

1

Lenykoe

Lenykoe

saling sayang antar saudara

2022-06-07

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!