Semangkuk sup labu kuning kesukaan Shienoll telah siap di masak. Saat ini ibu dan anak itu tengah berada di ruang makan hendak menyantap makan malam mereka.
Sejak tadi hanya keheningan yang menyalimuti keduanya.
"Makanlah." menyodorkan semangkuk sup labu kuning yang di masaknya tadi. Sherina menatap dalam putranya yang sejak tadi menunduk diam dan hanya menurut saja.
Ia sedih melihat putranya menjadi seperti tadi. Tak pernah terpikirkan olehnya akan menyaksikan sisi lain dari seorang Shienoll. Bahkan terlintas pun tidak. Sherina malah selalu berusaha mendidik anaknya sebaik mungkin.
Ting...
Ting...
Alat makan yang di gunakan Shienoll beradu memecah keheningan, sementara Sherina memilih menemani putranya makan. Ia sedang tak berselera. Ada begitu banyak yang mengganjal di hatinya, membuatnya resah.
Air mata Sherina mengalir begitu saja tanpa melepas pandangannya dari sang anak yang tengah makan dalam diam.
Shienoll tahu, perubahannya akan membuat ibunya sedih dan kecewa. Tapi, apa mau di kata. Seperti inilah dia. Sebagai anak yang teramat mencintai ibunya, jelas ia tak akan terima ibunya di olok-olok.
Sreek...
Mendorong mangkuk kosong yang isinya telah habis dimakan. "Sudah!" katanya lirih tanpa ingin menatap balik ibunya yang ia tahu sejak tadi memandangnya.
Sherina menerima mangkuk kosong itu, tapi tidak langsung di bawa ke wastafel untuk di cuci. Ada yang harus di utamakan lebih dulu. Karena itu, ia hanya menyingkirkan mangkuk tersebut dari hadapannya.
"Mereka mengganggumu lagi?" suaranya parau karena menangis mulai bertanya membuka percakapan yang mengiris hati keduanya. Tatapannya yang basah sendu.
"Iya." jawab Shienoll pelan dan singkat masih dengan menunduk. Jari jemarinya bermain di bawah meja. Bocah tampan itu tak ada niat untuk berbohong, apalagi ibunya selalu mengutamakan kejujuran walau terdengar tak mengenakkan pada akhirnya.
"Kau tak apa, nak?" Sherina tak bisa marah. Tapi, justru mengutuk dirinya yang gagal mendidik.
"Iya."
"Apa mereka menyakitimu?" nafasnya berhembus berat.
"Iya."
"Yang mana yang sakit?" ia ingin menjerit rasanya.
"Hati dan fisik."
Suasana di dapur benar-benar tak mengenakkan. Kesedihan dan kekecewaan lebih mendominasi.
Mata Sherina tak hentinya mengeluarkan air seolah sudah tak ada lagi yang dapat menghalangi. Sedang Shienoll selalu menjadi tak berdaya bila melihat ibu tercintanya bersedih, apapun itu alasannya. Terutama bila itu karena dia.
"Kau pernah melakukan ini sebelumnya?" tanya Sherina merujuk pada kejadian sore hari tadi.
Shienoll menggeleng. "Ini yang pertama." jawabnya lesu. "Tapi, pernah beberapa kali marah. Hanya saja tidak sampai seperti ini." -lanjutnya dalam hati.
"Pasti kali ini lebih berat untukmu, sampai kau berbuat begitu." seru Sherina berasumsi.
"Dia pantas mendapatkannya." desisnya lirih tapi masih dapat di dengar oleh Sherina. Kalimat itu mengandung emosi yang mendalam.
"Noll!" panggilnya penuh penekanan. Ia tak ingin putranya menjadi pendendam.
"Aku tahu itu salah. Tapi, aku tidak menyesal melakukannya." jelas Shienoll dengan kilatan marah di matanya yang masih memandang kebawah.
Sherina mengerti, lagi pula sifat mengerikan yang ada pada putranya adalah milik pria itu. Ayah biologis Shienoll. Ia bisa apa bila sudah begini.
Sherina menghela nafas berat. "Tapi, nak. Mama tidak pernah mengajarimu seperti itu. Tidak bisakah kau lebih bersabar lagi?!" katanya menasihati dengan penuh perhatian. Ia masih berharap paling tidak kesabaran dapat menekan sifat tersebut.
Shienoll menyadari kesalahannya, dengan sedikit keberanian ia mendongak untuk menatap balik wajah ibunya yang kacau karena memikirkan sisi lain dirinya.
"Ma... Aku sudah berusaha bersabar. Aku bahkan mengabaikan mereka. Tapi, mereka yang tidak berhenti menggangguku." ungkap Shienoll perlahan. "Jika saja mereka tidak menyakiti fisik dan tidak mengataimu... Semua akan baik-baik saja." lanjutnya.
Sherina bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati putranya yang sedang duduk. Ia berlutut di sampingnya. Shienoll yang melihat itu hanya bisa menahan amarahnya dalam hati, karena ia tahu apa yang akan ibunya lakukan setelah ini.
Tangan lembut Sherina terulur mengelus rambut hitam putranya. "Maafkan mama... Maaf, nak! Hiks... Hhuh!" ucapnya sambil sesegukan.
"Maa..." protesnya yang terdengar sia-sia. Ia menggeram.
"Andai mama bisa mengajarimu dengan benar. Hal ini tak akan terjadi... hiks..." kata Sherina sendu. "Mama tak ingin kau menjadi kejam, nak! Kau putraku!" serunya perih yang memusat pad kata 'kejam'.
kata itu khusus di tujukan untuk pria jahat yang tak punya hati. penghancur hidupnya.
"Mama..." kata Shienoll tertahan.
"Darrel sudah di rumah sakit sekarang. Jadi, kemungkinan besok keluarga Thomson akan datang untuk meminta pertanggung jawaban." jeda Sherina menatap lembut putranya sambil mengelus rambutnya. "Ingat! Jangan lakukan apapun! Karena mama yang akan mengatasinya untukmu. mengerti?" lanjutnya lugas. Shienoll hanya mengangguk.
Mereka kemudian saling diam menciptakan keheningan.
Shienoll memilih membuka suara lebih dulu. "Ma.. Kau percaya padaku kan?" Sherina mengangguk sebagai jawaban.
Bocah tampan itu menarik nafas dalam seraya meyakinkan diri untuk sebuah pertanyaan yang akan ia lontarkan.
"Kalau begitu, jawab satu saja pertanyaanku. Hanya satu. Dengan jujur."
"Apa itu, sayang?"
Sherina tak tahu pertanyaan kali ini akan menjebaknya untuk mengatakan yang sebenarnya.
"Apa aku benar anak di luar nikah?"
Deg!
Tatapan Sherina mendadak kosong. Tak terbayangkan olehnya akan mendengar pertanyaan itu. Meski ia sudah wanti-wanti kalau suatu hari nanti putranya akan mempertanyakan itu.
"Aku yakin, mama tidak akan berbohong, iya 'kan?!" kata sang anak memelas penuh pengharapan sekaligus mengingatkan ibunya kalau dirinya selalu di ajarkan untuk mengutamakan kejujuran, meski itu sebuah kebenaran yang buruk.
Hening.
Wanita muda itu bingung harus apa. Tapi, ia juga tak bisa berkata bohong. Karena ia sendiri selalu mengajarkan putranya untuk selalu jujur, meskipun itu pahit kedengarannya.
Hening sejenak sebelum akhirnya Sherina mengambil keputusan.
"Mama tahu, Noll anak yang pintar. karena itu dengarkan mama baik-baik. Mama tak ingin Noll salah paham. Mengerti?" Ujar Sherina hati-hati. Shienoll mengangguk paham.
Hari belum benar-benar malam. Jadi, disinilah Sherina sekarang. Di sebuah supermarket yang terletak tak jauh dari rukonya. Ia hanya butuh sedikit berjalan kaki maka sampailah ke tempat tujuan.
Setelah tadi dengan berat hati harus menghadapi situasi yang menegangkan bagi sepasang ibu dan anak itu, dan berakhir dengan saling bersikap seolah semua itu tak pernah terjadi. Meski nyatanya, hati keduanya dilanda kekacauan yang tak dapat terelakkan.
Wajah Shienoll mungkin bisa di tafsirkan seolah berkata 'aku mengerti dan aku baik-baik saja!' tapi tidak dengan insting Sherina sebagai seseorang melahirkannya yang justru mengartikan sebaliknya, seperti 'aku tidak menduga akan seperti ini!'.
Berjalan menuju rak minuman kemasan. Tanpa banyak memilih Sherina mengambil beberapa minuman kotak, mulai dari susu, yougart, juga jus. Tak lupa ia membeli beberapa bahan kue yang telah habis. Karena sudah sering berbelanja di supermarket itu membuatnya sudah hafal seluk beluk dan tata letak segala yang tersedia di sana.
Sejenak ia lupa akan masalah yang terjadi hari ini.
Klotak!
Suara benda jatuh mengusik perhatiannya, dapat di lihat sebuah kaleng minuman jatuh dan menggelinding ke arahnya. Ia juga dapat melihat sepasang kaki berlapiskan sepatu bermerek dan tentunya berharga mahal itu berdiri tegak di sampingnya tepat menghadap kearahnya.
Tanpa pikir panjang di pungutnya kaleng minuman yang masih tersegel itu untuk di serahkan pada orang yang entah kenapa hanya berdiam diri seraya memperhatikannya. Ia tahu, karena dapat dirasanya tatapan itu kearahnya.
"Ini milikmu, kan?" menyodorkan kaleng tersebut sembari mendongak menatap balik orang yang hanya mematung di tempatnya.
Deg!
Tubuh Sherina membeku seketika. Lidahnya kelu untuk berkata. Perlahan matanya berkaca-kaca. Perasaan rindu yang telah lama terpendam, bangkit seketika. Sungguh, ia merindukan seorang gadis yang tengah berdiri di depannya dengan perasaan yang sama dengannya, bahkan keterkejutannya membuatnya merasa ini semua hanya mimpi atau sekadar ilusi.
Senyum manis yang gadis itu rindukan terbit tepat di hadapannya. Otaknya mendadak kosong, ia bingung namun suara hati terus saja berseru menyadarkannya bahwa ini semua nyata. Hingga suara yang tak asing lagi baginya mengembalikan dia ke alam sadar.
"Hai! Lama tak bertemu!" Sherina bersuara lirih penuh rindu. Sedang gadis di depannya langsung berhambur memeluknya sambil meraung menangis tanpa peduli kalau saat ini mereka ada di tempat umum. Sherina meringis dibuatnya. Tapi, tak dapat di pungkiri ia juga bahagia atas pertemuan mereka. Dia dan sahabat baiknya, Namika Jou.
Raungan tangisnya tak ada ampun. Menangis sejadi-jadinya melepas segala rasa yang Namika pendam selama ini. Rindu, sedih, lelah, dan kini bahagia tertuang ke dalam tangisnya membuat beberapa pasang mata yang tengah memandang mereka ikut merasa haru hingga enggan mengganggu. Meski beberapa dari mereka juga merasa aneh dan terusik akan adegan yang dilihatnya.
Tangan lembut yang dulu selalu Namika genggam kini tengah mengusap penuh kasih punggungnya. Dapat dirasa olehnya, semua yang ada pada sahabatnya -Sherina- masih sama.
"Aku merindukanmu, Na...! Hiks... Sangat rindu...!" gumamnya lirih dengan suaranya yang sudah serak lantaran menangis histeris sebelumnya bahkan sesegukannya masih tersisa, tangis perdana yang sampai sebegitunya. Ia sendiri tidak menyangka akan melakukannya, padahal dulu ia hanya bisa mengejek orang-orang yang menangis seperti itu.
Sherina tersenyum mendengarnya. "Aku juga...!" balasnya sama lirih. Air matanya pun ikut mengalir hanya saja tidak sampai membuatnya meraung seperti halnya yang Namika lakukan.
Pelukan yang ternyata memakan waktu lama itu akhirnya terlepas juga. Sherina masih tersenyum meski harus di hiasi air mata, tangannya terulur untuk menghapus air mata yang telah membasahi pipi sahabatnya.
Dalam hati ia terkekeh tak percaya, seorang gadis tomboy seperti Namika bisa menangis seperti itu hanya karena dirinya. Padahal sebelumnya ia berpikir dengan seiring berjalannya waktu semua akan berubah dan terlupakan, tapi sepertinya tidak.
Tatapan Namika yang semula sendu kini berganti tajam dan mengintimidasi. "Kau berutang banyak padaku, Nana!" tukasnya sambil menekan kata 'Nana' yang tak lain adalah nama panggilan sayang Sherina darinya.
Sherina yang mendengarnya hanya dapat menghela nafas pasrah. Ia masih ingat sosok seperti apa Namika itu.
Duduk berdua dalam keheningan di dalam mobil yang tak lain adalah mobil sewaan Namika. Bukannya tak mampu beli, tapi Namika tak ingin buang-buang uang untuk sesuatu yang sia-sia. Begitulah yang di ajarkan Sherina padanya dulu, saat ia masih mengutamakan kemewahan sebagai kebahagiaan.
Lagi pula mobil miliknya yang jauh lebih mahal dari ini ada banyak di kediaman keluarga Jou. Jadi, untuk apa beli lagi?!
Namika menarik nafas panjang dan di hembuskannya perlahan. Di palingkan wajahnya ke arah Sherina dan menatapnya.
"Apa kau tak ingin bicara?" Sherina menoleh sebentar dan yang di dapat adalah tatapan serius dari Namika. Ia masih bungkam.
"Haruskah aku perperan sebagai penyidik untuk menginterogasimu?" ledek Namika. Sherina terkekeh kecil dibuatnya dan mengalihkan pandangannya kedepan.
Namika menghembuskan nafas kasar dan memilih memalingkan wajahnya ke depan juga.
Suasana hening seketika.
"Dia sudah menikah!" ujarnya langsung memecah keheningan itu sampai dapat membuat Sherina terhenyak kaget. Tapi, ekspresi wajahnya tetap sama. Tenang.
Namika melirik sahabatnya mencoba memastikan sesuatu. Ternyata tidak ada yang terjadi, membuatnya menghela nafas pelan. Bersyukur sahabatnya tidak terguncang akan kabar yang ia katakan.
Dengan tersenyum tipis nan tulus ia berkata. "Itu bagus."
Amarah Namika muncul begitu saja setelah apa yang di dengarnya keluar dari mulut sahabatnya.
"Bagus katamu?! Kau gila, ya?! Harusnya yang kau lakukan adalah menyumpahinya agar menderita dalam pernikahannya dan..." belum selesai Namika bicara Sherina sudah memotongnya.
"Apa yang ku dapat dengan melakukan itu?" tanyanya. Hal itu membuat Namika terdiam membenarkan. "Aku tidak akan mendadak bahagia, apalagi mendadak mendapatkan kembali apa yang sudah ku perjuangkan di masa lalu. Tidak akan!" jelasnya tegas namun masih tetap tenang.
Namika yang kesal bercampur aduk tanpa sadar memukul stir didepannya kuat mengabaikan sakit yang menjalar di tangannya.
"Aku tahu... Itu tidak berguna untuk di lakukan! Tapi, tetap saja. Aku tidak bisa menerimanya." Namika memutar tubuhnya menghadap Sherina, sedang Sherina hanya menoleh. "Andai saja waktu itu aku bisa menjagamu... Hiks...!" Namika kembali menangis mengingat masa lalu kelam itu, rasa bersalah menyeruak di rongga hatinya.
Di ambil tangan mulus Namika dan di selimuti oleh genggaman kedua tangan hangat Sherina.
"Ini sudah takdirku, Mika." mencoba menenangkan meski hatinya kembali teriris saat harus mengenang masa menyakitkan itu. "Apapun yang kita lakukan tidak akan mengubah apapun." menarik nafas dalam demi menghalau sesak yang tiba-tiba dirasa.
Namika malah menangis sejadi-jadinya. Segala perasaan berkumpul menjadi satu membuatnya tidak tahu harus berkata dan berbuat apa.
Sherina pun turut menitikkan air mata melalui sudut matanya ketika melihat sahabatnya menangis untuknya. Ada rasa bahagia dan syukur karena masih dapat merasakan kasih sayang dari orang lain.
"Ini tetap tidak adil untukmu, Nana... Tidak adil!" Namika bersuara serak namun tegas, masih pada pendiriannya. "Bagaimana bisa seperti ini?! Kau di buat menderita olehnya, tapi ia malah berbahagia dengan pernikahannya?! Orang gila juga tahu ini tidak adil!!" tukasnya geram menggebu. Emosinya tak tertahan.
Menghela nafas lelah karena paham betul sifat sahabatnya. Tak ada cara lain selain menariknya dalam pelukan Sherina. Dengan sabar ia menenangkan sahabatnya -Namika- yang masih saja tak bisa mengendalikan dirinya.
"Hei... sudahlah... Kenapa kau ini...?!" ia menepuk dan mengusap punggung Namika agar tenang. "Yang bilang aku tidak bahagia siapa?! Mungkin memang benar ini tidak adil. Tapi, apa kau lupa sesuatu?" jelas Sherina dengan pertanyaan yang jelas jawabannya. Namika menarik diri dari pelukan hangat itu. Dahinya mengernyit bingung atas pertanyaan terakhir Sherina.
Sherina hanya tersenyum melihat raut bingung di wajah cantik sahabatnya.
"Apa yang ku lupa?!" tanya Namika sambil otaknya bekerja mencari jawaban.
Matannya terbelalak lebar begitu ia menemukan jawabannya.
"ANAKMU!" teriaknya lantang hingga memenuhi ruang mobil. Sherina bahkan sampai menutup telinganya spontan dan meringis akibat dengung yang di rasanya pada gendang telinganya.
"Kecilkan suaramu, Mika. Kau ini!" tegur Sherina.
Mengabaikan teguran itu. "Dimana dia sekarang?! Laki-laki atau perempuan?! Dia sehat 'kan?! Berapa umurnya?!" tanya Namika beruntun tanpa henti dengan akhiran pertanyaan yang membuatnya reflek menghitung jari akan umur keponakannya itu.
Sherina tertawa ringan sampai membuat matanya menyipit layaknya bulan sabit. Dia tetap terlihat cantik dengan daya tariknya sendiri.
"Jadi, sekarang kau bahagia bersama anakmu?" tanya Namika haru, hatinya terenyuh melihat ketegaran sahabatnya.
"Eumm... Sangat bahagia." tersenyum cerah ia menjawab, menunjukkan bahwa ia benar-benar bahagia. "Dan aku tidak akan takut tersakiti lagi. Pria-ku ini sudah sangat sempurna." lanjutnya sambil membayangkan wajah Shienoll.
Namika menikuk alisnya tajam ketika mendengar kata 'priaku' keluar dari mulut sahabatnya.
"Pria-mu?! Nana, apa maksudmu dengan priamu? Bukankah tadi kau bilang, kau bahagia bersama anakmu?" tanya Namika bingung.
Sherina mengangguk. "Benar!"
Namika pun mulai kembali berpikir keras sampai pada akhirnya ia paham.
"Nana, kau melahirkan seorang putra?" tanya Namika memastikan.
"Apa kau perlu jawaban untuk itu?" balas Sherina jail.
Kedua bola mata Namika membesar seketika mendapati fakta itu, hatinya bergumam.
"Nana melahirkan seorang putra?! Seorang penerus?!" menatap dalam Sherina yang masih tenang di depannya. "Hah?! Ini gawat! Kepar*t itu juga sudah memiliki anak, meski anak perempuan. Bahkan sekarang istrinya sedang mengandung lagi." lanjutnya membatin dengan cemas. "Kuharap istri baj*ngan itu melahirkan seorang putra. Akan sangat berbahaya kalau suatu hari nanti baj*ngan itu tahu Nana melahirkan penerus untuknya. Apalagi kalau sampai ayahnya mengetahui hal ini! Nana dan keponakanku tidak akan bisa hidup tenang!" batinnya memprotes keras. "Keluarga itu gila!" lanjut batinnya mengumpat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Ilan Irliana
tnng Mika..Shiennoll akn psycopat kcil ko..hihi....
2022-10-04
0
Misdarlina
Nice thor kerennnnn ditunggu ya 🥳🥳🌹🌹
2022-02-25
1