IASD-2

SheShie Bakery.

Adalah nama toko kue milik Sherina. Ia sengaja menyatukan namanya dan juga nama putranya, karena baginya ini semua adalah milik mereka berdua.

Bukan pengalaman baru bagi Sherina dalam hal berbisnis kue. Pasalnya keluarganya dulu juga pedagang kue sekaligus pemilik toko kue 'Dalletra Bakery & Cake'.

Ayahnya, Simon Dalletra adalah seorang pastry chef handal tapi ia memilih tetap sederhana padahal bila ia mau, ia mampu bekerja di tempat elite dengan gaji yang fantastis. Tapi, tidak. Simon adalah sosok yang cinta keluarga, baginya keluarga no.1. Ia lebih suka memiliki banyak waktu bersama keluarga kecilnya dari pada di sibukkan oleh pekerjaan.

Ibunya pun demikian. Meski hanya lulusan sekolah kejuruan, Melany Wenda juga tak kalah jago membuat kue seperti suaminya. Bakat keduanya kini di turunkan ke sang putri semata wayang. Sherina Dalletra.

Pada awalnya, itulah cita-citanya. Mengikuti jejak sang ayah dengan melanjutkan pendidikan tingginya di salah satu universitas ternama di luar negeri yang di kenal dengan pusatnya para pattisier, tempat dimana sang ayah pernah menimba ilmu disana. Tapi, sangat di sayangkan semuanya kandas bahkan sebelum ia memulai.

Membayangkan semua itu membuatnya sedih. Ekspresinya muram. Ia hanya bisa menghela nafas untuk menenangkan dirinya. Sungguh, mengingat kembali bagaimana ia berusaha dengan terus belajar meski ia sudah pintar dan meninggalkan bahkan menjauhi segala sesuatu yang hanya dapat mengganggu serta membuang-buang waktunya kini terasa sia-sia. Siapa sangka kehancuran menantinya sebelum semua rencana yang sudah tersusun rapi di laksanakan.

Ia menoleh ke arah putranya yang tengah sibuk belajar dengan segala macam jenis buku yang ingin ia pelajari di meja khusus untuknya, saat sang putra menemaninya menjaga toko kuenya. Persis sepertinya dulu.

Sherina tersenyum sendu melihat Shienoll yang tampak serius belajar, sebelum akhirnya salah seorang pelanggan datang mengalihkan perhatiannya karena ingin membayar kue yang dibeli.

"Totalnya 205.000,- , bu."

"Oh, ya. Ini." menyerahkan uang pas pada Sherina.

"Terima kasih. Silahkan datang lagi." katanya sembari tersenyum ramah.

"Tentu. Kue di sini sangat enak. Keluarga saya sangat suka." ungkap ibu pembeli itu antusias.

"Benarkah?! Saya senang mendengarnya. Sekali lagi terima kasih, bu." ucap Sherina syukur.

"Iya, sama-sama." ia pun mulai beranjak pergi, namun detik berikutnya ia kembali lagi. "Oh ya. Saya lupa ingin bertanya."

"Iya tanya apa, bu?" tanya Sherina ramah.

"Katanya disini menerima pesanan kue tart, ya? Juga kue ulang tahun atau semacamnya?" tanya ibu itu dengan binar dikedua matanya.

Dengan tetap tersenyum, Sherina menjawab. "Iya, bu. Saya memang menerima pesanan untuk itu. Sengaja tidak membuatnya untuk di jual eceran seperti kue-kue yang ada disini. Kue semacam itu tentu harus segera di makan dan lagi pembuatannya sedikit berbeda. Butuh hiasan juga untuk tampilannya. Karena itu saya hanya bisa menerima pesanan untuk kue seperti itu." Jelas Sherina.

"Begitu rupanya. Baiklah. Nak, bisa berikan ibu no. Telponmu. Agar saya bisa menghubungimu bila ingin memesannya." pinta ibu itu.

"Tentu, dengan senang hati. Ini." menyerahkan sebuah kartu namanya yang lengkap dengan no. Telponnya.

"Baiklah kalau begitu. Terima kasih. Saya pamit dulu."

"Iya, bu. Hati-hati di jalan." balasnya sambil pandangannya mengikuti hingga pelanggan itu menghilang di balik pintu toko.

Terus seperti itu hingga hari menjelang siang. Putranya bahkan tidak beranjak dari tempatnya saking menikmati dunia belajarnya. Sesekali ia juga bertanya pada Sherina bila mendapati sesuatu yang tidak ia mengerti. Sherina hanya bisa menanggapinya sembari tetap melayani para pelanggan yang datang silih berganti.

Tanpa ia sadari, Shienoll sudah menganggapnya lebih dari kata luar biasa. Tidak hanya berperan sebagai ibu, ia juga mampu berperan sebagai ayah dan itu terlihat dari bagaimana gigihnya ia bekerja demi menghidupi putranya. Juga, Sherina yang memang pintar mengingat betapa giatnya ia belajar dahulu mampu menjadikannya guru favorit Shienoll. Apapun yang ia tanyai, ibunya itu selalu mampu untuk menjawab.

Pernah terlintas di benak Shienoll kalau ibunya sehebat dan sepintar ini, ia tak perlu lagi bersekolah. Semua itu terbukti dari hasil sementara Shienoll berkat ajaran ibunya. Di usianya yang seharusnya duduk di taman kanak-kanak dan belajar disana, ia justru sudah di gembleng Sherina dengan ilmu pengetahuan yang diketahuinya sejak Shienoll berumur 1 tahun. Mulai dari membaca, menulis, menghitung, menghafal, dan masih banyak lagi. Meski begitu Sherina tetap tidak melarang putranya bila ingin bermain hanya saja permainan putranya itu juga belajar. Ia sendiri bingung bagaimana belajar bisa di sebut bermain.

"Noll, makan dulu nak. Dari tadi belajar terus. Tidak lelah apa?" Sherina datang dengan membawa segelas teh manis dan sepiring kookies untuk putranya, di letakkan dua benda itu di meja tempat Shienoll belajar tepat di hadapan putranya.

Saat ini toko sedang kosong. Belum ada lagi pelanggan yang datang.

Shienoll mendongak menatap sang ibu yang memberikannya teh dan kookies kesukaannya.

"Terimakasih, ma." ucapnya seraya meraih sepotong kookies lalu di masukkan kedalam mulut kecilnya dengan nikmat. Matanya kembali menatap Sherina yang tengah tersenyum melihat kelakuan menggemaskannya.

"Tidak. Noll tidak lelah. Noll 'kan ingin pintar. Jadi, Noll harus belajar." meraih gelas teh miliknya lalu meminumnya.

"Iya, tapi apa Noll tidak ingin coba bermain seperti yang lain? Mama cuma tidak ingin Noll tertekan dan tidak bisa menikmati masa kecil Noll dengan baik. Mama tidak akan mengekangmu, sayang." jelas Sherina penuh perhatian sambil mengusap lembut kepala putranya. Bocah itu tersenyum mendengarnya kemudian menggeleng imut.

"Tidak, ma. Mama tenang saja. Noll tahu apa yang Noll mau." jedanya. "Lagipula, bermain atau tidak akan tetap sama saja. Noll tidak punya teman, ma." senyumnya santai seolah itu bukanlah masalah, mendengar itu Sherina menjadi sedih. Sungguh, inilah yang paling ia takuti. Hal yang sama terjadi padanya akan terjadi juga pada putra tercintanya.

"Maafkan mama, sayang. Maaf." air mata Sherina mengalir begitu saja. Rasa sakit, sedih, kesal, marah pada dirinya sendiri bangkit. Ia berlutut di samping Shienoll yang masih duduk di kursinya menghadap meja dan menggenggam sebelah tangan putranya, ia menciumnya berkali-kali sambil mengucap kata maaf.

Melihat itu hati Shienoll ikut sakit lagi. Padahal ia sudah berjanji tak akan membuat ibunya sedih. Tapi, ini?!

"Maa... Mama tidak salah. Jangan menangis." lirihnya serak. Dadanya nyeri karena merasa bersalah. Ia merutuki mulutnya yang tak bisa di jaga.

"Bagaimana mama tidak salah. Kau seperti ini karena wanita bodoh ini. Sungguh maaf. Maaf, nak..." sedih bukan main rasanya saat ini. Putranya harus menanggung kesalahan orang tuanya.

"Maa..." kata-kata yang hendak di ucapkan tertahan, ia bingung sekarang. Untuk kesekian kali ibunya meminta maaf membuat amarah di hatinya semakin membesar, ia jadi semakin ingin tahu siapa yang membuat ibu tercintanya menderita seperti ini.

Hingga sebuah nama terlintas di benaknya.

Papa!

Bagaimana Shienoll tidak menduga-duga bahwa yang menyakiti ibunya adalah ayahnya. Secara, ia sejak dapat membuka mata di dunia ini hanya Sherina yang terlihat. Sosok ayah yang biasa melengkapi sebuah keluarga tidak ada di sana.

Saat pertama kali Shienoll merasakan kerinduan akan sosok ayah yang bukan hadir setelah ia melihat keharmonisan keluarga terutama ayah dan anak dari keluarga lain, melainkan karena cibiran dan hinaan orang-orang yang mengatai ibunya murahan, jal*ng, karena hamil diluar nikah. Mengatai dengan lantang bahwa Shienoll tidak punya ayah alias anak haram, sukses menjadi pukulan berat untuk Sherina. Sedang Shienoll hanya bingung dengan tatapan yang meminta untuk siapapun jelaskan sesuatu padanya.

Bukannya ia tak tahu arti dari setiap kata yang terucap. Hanya saja ia menginginkan penjelasan tentang mengapa ia di sebut begitu?!

Sejak saat itu, tiap kali ada yang membahas perihal itu Sherina akan menangis dan meminta maaf. Tapi, saat Shienoll bertanya meminta penjelasan, ibunya selalu meminta waktu agar ia siap bercerita. Sebenarnya itu karena bagi Sherina putranya masih terlalu kecil untuk menerima penjelasan yang sifatnya cukup dewasa.

Alhasil, dugaan sementara atas luka yang ibunya derita adalah berasal dari pria yang tak lain ayah kandungnya. Jika benar, Shienoll bersumpah akan membalasnya.

"Sudah, ma... Mama buat Noll juga sedih. Karena, Noll sudah membuat mama menangis... Hiks..." bocah tampan itu pun ikut menangis. Sherina langsung tak tega melihatnya.

"Maaf, nak. Maafkan mama, sayang." lihat itu lagi yang terlontar dari bibir manisnya. Membuat Noll harus berpikir apa yang dapat mengalihkan suasana tak mengenakkan ini.

Aha!!

"Bukankah mama bilang sebentar lagi Noll akan masuk sekolah?!" Sherina mendongak menatap putranya yang sudah berbinar antusias saat mengatakan sekolah. Ia tak tahu saja, binar itu bukan karena sekolah melainkan karena berhasil mengalihkan kesedihan ibunya.

"Iya... Noll akan sekolah, dan itu setelah ulang tahun. Oh ya, Noll mau hadiah apa dari mama?" tanya Sherina dengan binar bahagia membahas ulang tahun putranya. Karena ia bersyukur masih di beri umur untuk dapat terus melihat tumbuh kembang sang anak.

"Noll tidak ingin hadiah, ma. Tapi, kalau mama mau beri Noll hadiah. Berikan sesuatu yang berguna untuk Noll." jelasnya bijak.

"Begitu, ya..." seraya berpikir.

"Eum.." Noll hanya mengangguk.

"Huft.. Baiklah. Akan mama carikan nanti." Sherina tersenyum manis pada putranya. Senyum yang selalu ingin Shienoll lihat setiap waktu.

Hari sudah menjelang sore. Terlihat langit mulai berwarna jingga, udara pun mulai terasa dingin. Tapi, hal tersebut tak membuat bocah tampan -Shienoll- itu beranjak dari duduk santainya yang sudah menjadi kegiatan sehari-hari di depan rukonya tiap kali hari berganti sore.

Sebuah kursi kayu panjang yang sengaja di sediakan untuk siapa saja yang sekiranya ingin melepas lelah atau hanya sekadar duduk sambil menikmati hari. Kini tengah di duduki Shienoll seorang.

Ia duduk dengan tenang sambil mengayunkan kedua kakinya melepas sepi, tak lupa sebuah susu kotak rasa coklat yang di letakkan di sisinya dan setoples nastar di pangkuannya. Kedua benda itu selalu menemaninya tiap sore, sementara ibunya masih sibuk melayani pelanggan yang datang atau terkadang sedang berberes untuk segera menutup tokonya.

Dia sengaja tidak membantu atau menemani karena baginya sore adalah waktu santai yang tak bisa di ganggu gugat. Lagipula Sherina tidak mempermasalahkannya justru ia senang setidaknya putranya bisa sedikit relaks dari kegiatan belajarnya yang hampir dihabiskan selama 24 jam bila tidak di hentikan. Bocah itu benar-benar gila belajar.

Saat sedang asik-asiknya menikmati suasana sore dengan di temani kue dan susu sambil melihat orang yang lalu-lalang. Sebuah kejadian tak terduga terjadi.

Bruk.

Prak.

Sebuah bola tiba-tiba saja melayang ke arahnya hingga toples nastarnya jatuh dan pecah serta seluruh isinya keluar berserakan. Shienoll terpaku dibuatnya sembari menatap kue-kuenya yang terbuang sia-sia. Kue nastar buatan ibunya khusus untuknya jatuh dan kotor, benar-benar tindakan yang tak bisa di terima.

Ia mendongak menatap tajam segerombolan bocah laki-laki sebayanya dan ada juga yang sedikit lebih tua darinya. Salah satu dari rombongan bocah tersebut memungut kembali bolanya dengan angkuh. Seperti yang di duga, dialah biang keladinya. Melempar dengan sengaja.

Mereka mengabaikan tatapan tajam Shienoll.

"Lihat itu." menggerakkan dagunya untuk menunjuk Shienoll dengan keangkuhan. Shienoll diam saja tanpa ingin membalas meski tak dapat ia pungkiri hatinya marah, namun masih mampu bertahan. Tangannya mengepal dan sorot matanya menajam.

"Bukankah dia itu anak yang tidak punya ayah?!" celetuk anak lainnya.

"Iya, itu dia. Kata mommy ku dia itu anak haram." balas bocah yang melempar bolanya tadi.

"Oooh... Apa yang dia lakukan sendirian. Tidak punya temankah?" sambung anak lainnya lagi dengan kalimat polosnya yang mengundang tawa teman-temannya.

"Tentu saja sendiri. Siapa juga yang mau berteman dengan anak sepertinya." sahut bocah pemilik bola itu angkuh. "Dan lagi, coba lihat... Saat yang lainnya sudah masuk sekolah, dia malah masih sembunyi di rumahnya. Kurasa selain anak haram, dia juga anak idiot." lanjutnya dengan ejekan yang tidak tanggung-tanggung. Dia dan teman-temannya kembali tertawa penuh penghinaan.

"Dasar bodoh! Kalian terlalu meremehkanku. Jika aku mau. Sudah kupastikan, aku akan membungkam mulut kotor kalian itu dengan pukulanku... Lagipula aku cukup waras untuk tidak meladeni bayi tikus seperti kalian" -batinnya berujar santai tapi tetap dengan rencana balas dendam yang mulai tersusun di otak kecilnya.

"Hei, kenapa kau diam?! Apa sekarang kau juga mendadak bisu?! Malang sekali." kalimat ejekan kembali di layangkan, sedang Shienoll memilih diam dan memutuskan untuk memungut kue-kuenya yang sudah tumpah serta toples plastiknya yang sudah pecah. Hatinya menggumam kata maaf pada sang kue.

"Hei, kau tuli, ya?! Aku sedang bicara denganmu!" bentak bocah pemilik bola itu dengan geram lantaran di abaikan oleh Shienoll.

Tak tahu saja dia, Shienoll diam bukan karena tuli apalagi takut, ia hanya tak ingin lepas kendali sampai melakukan kekerasan. Karena ia tak ingin membuat ibunya sedih bila dia tahu putranya berkelahi. Lagi pula, ini bukan kali pertama ia di hina. Jadi, Shienoll sudah terbiasa menghadapinya meski tak dapat di pungkiri, amarah sering kali muncul.

"Kau!" marah bocah itu hingga bola yang ada di tangannya kembali di layangkan dan kali ini dengan kekuatan penuh.

Bugh.

Lemparannya mendarat tepat di kepala Shienoll cukup keras hingga ia mengalami pusing.

Bocah itu masih dalam mode marahnya sedang teman-temannya malah menertawakan Shienoll yang tampak terhuyung hampir jatuh, toples beserta kue yang di pungutnya kembali jatuh berhamburan.

Ia berpegangan pada kursi dan berusaha menenangkan diri agar pusingnya hilang, dia tak ingin kesadarannya menghilang. Saat pusing kepalanya perlahan teratasi, matanya tak sengaja memandang ke arah bola yang terletak tiga langkah darinya.

"Rasakan itu! Harusnya anak haram sepertimu itu tau diri. Kau itu sama seperti kotoran. Kau tahu?!" katanya lagi angkuh seolah-olah yang ia katakan itu adalah kebenaran.

Emosi Shienoll mencuat seketika ke ujung tanduk di tambah lagi dengan kalimat hinaan yang di lontarkan bocah sombong itu semakin meledakkan emosinya.

Dengan gerakan cepat dan tak terduga di raihnya bola tersebut dan di lempar dengan kekuatan penuh.

Bugh.

Tepat sasaran. Bola itu mengenai hidung pemiliknya hingga berdarah. Bocah itu langsung saja menjerit histeris lantaran kesakitan yang teramat sangat untuk ukuran bocah sepertinya. Sedang teman-temannya yang terkejut bingung akan situasi yang terjadi sangat cepat hanya bisa terdiam dan beberapa lainnya mencoba menolong bocah sombong itu.

"Pergi dari sini. Kalian cuma bisa mengganggu saja." tegasnya dengan nada rendah pada segerombolan anak sebayanya. "Dan kau..." menunjuk kearah bocah yang terluka akibat lemparan bolanya. "Aku tidak akan meminta maaf. Karena itu bukan salahku. Kau yang lebih dulu memulainya, maka tanggung sendiri akibatnya." jelasnya tanpa rasa bersalah dan iba sedikitpun. Ia sudah terlanjur sakit hati karena lidah tajam bocah itu yang tak pernah bisa melihatnya hidup tenang.

"Kau keterlaluan!" tukas yang lain.

Shienoll mengangkat sebelah alisnya di susul senyum sinisnya. "Keterlaluan?! Hahaha... Lucu sekali! Kalau yang ku lakukan keterlaluan lantas bagaimana dengan yang dia katakan padaku?" tanyanya tak habis pikir. Bagaimana bisa ia di anggap keterlaluan?! Bahkan sakit hatinya belum benar-benar terobati meski ia sudah melukai bocah itu.

Anak-anak itu terdiam.

"Kalian bukan aku! Kalian tidak tahu rasanya jadi aku! Tidak akan pernah tahu!" nafas Shienoll menggebu. "Kalaupun memang benar. Kalian tidak punya hak untuk menghinaku!" ungkapnya masih dengan sisa emosi yang di tahan. "Kenapa tidak kalian tanyakan kepada orang tua kalian?! Apakah kalian itu anak haram?!" tantang Shienoll geram. "Kalian atau siapapun itu tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jadi, jangan bersikap seperti kalian tahu segalanya!" lanjutnya.

Hatinya sakit bahkan mungkin kini terluka. Tak habis pikir, bocah-bocah yang seharusnya sibuk dengan bermain harus mengurusi yang bukan haknya. Shienoll yang sudah mampu memahaminya saja masih tahu batasan. Bagaimana mereka bisa bersikap tidak tahu diri?! Begitulah pikir putra Sherina tersebut.

Mereka adu mulut tanpa menyadari kalau mereka sudah menjadi tontonan banyak orang. Sedang Sherina baru saja menampakkan diri dengan hati yang gelisah ketika mendengar suara putranya dari dalam ruko.

"Nak, ada apa ini?" tanyanya begitu sudah berada di luar, matanya menyapu halaman ruko miliknya yang sudah ramai hingga pandangannya berhenti di kerumunan bocah yang salah satunya tengah menggeliat kesakitan karena terluka. Bisa ia lihat ada banyak darah di sana terutama area wajahnya.

Sherina shock dan segera menghampiri bocah itu, ia ingin membantu mengikuti naluri seorang ibu. Tapi siapa sangka, tangan bocah yang terluka itu menepis bantuannya dan dilanjutkan dengan kata-kata yang tak pantas dilontarkan seorang anak kecil kepada orang yang lebih tua. Sherina terhenyak kaku dan Shienoll membelalakkan matanya marah.

"Jangan menyentuhku, wanita kotor!" bocah itu berusaha berdiri dengan bantuan teman-temannya mengabaikan Sherina yang terkejut karena ulahnya.

Tangan Shienoll terkepal kuat, ia tak terima ibunya di hina terlebih oleh bocah ingusan seperti bocah terluka itu. Tahu apa bocah itu!

"DARREL THOMSON!!!"

Teriakkan menggelegar mengejutkan siapapun yang ada di sana, termasuk Sherina. Mereka terkejut, karena untuk pertama kalinya mendengar suara Shienoll yang cukup besar dan lantang bahkan tak terdengar seperti teriakan bocah manja.

Memang benar. Shienoll anak yang tenang pada dasarnya, seperti ibunya. Akan tetapi, bila amarahnya di pancing ia juga tergolong anak yang memiliki temperamen yang buruk, sangat sulit menenangkannya sebelum amarahnya terpuaskan. Namun, bukan hal mudah memancing temperamennya bila hal itu tidak cukup mampu membuat seorang Shienoll marah.

Ini adalah salah satu yang mampu membuat Shienoll menampakkan wujud aslinya ketika marah yang benar-benar marah. Ibunya, Sherina. Pusat jiwa sensitifnya berada.

Tidak masalah baginya bila dia yang di hina. Tapi, bila ada yang membawa-bawa nama ibunya maka tiada ampun bagi siapapun itu. Bersiaplah melayani sisi gelap Shienoll.

Shienoll melangkahkan kaki kecilnya cepat. Putra Sherina itu telah mengeluarkan aura mengerikannya membuat teman-teman bocah terluka yang ternyata bernama Darrel Thomson itu menyingkir dengan sendirinya. Sherina bahkan tak tahu apa yang hendak putranya lakukan.

"Noll...!" gumam Sherina tanpa suara.

Gerakan cepat itu membuat siapapun tak dapat memprediksinya. Shienoll mendorong Darrel hingga terjengkang kebelakang dalam posisi menyedihkan. Sherina dan banyak pasang mata yang melihatnya terkejut bukan main.

"Noll, jangan!" seru Sherina memperingati. Namun, Shienoll seolah menulikan pendengaraannya.

Shienoll langsung saja melanjutkan tujuannya untuk menuntaskan amarahnya tanpa ingin memberi Darrel kesempatan dengan mendudukkan dirinya di atas perut Darrel. Sherina tersadar dan ingin segera menghentikan putranya itu.

Seolah memiliki insting yang kuat dengan spontan Shienoll bersuara.

"Jangan mendekat!" serunya lantang. Entah sihir atau hipnotis, tak ada siapapun dari orang-orang yang ada disana begitu juga ibunya bergerak dari tempatnya. Tapi, tetap saja. Ketakutan Sherina semakin meningkat. Untuk pertama kalinya ia melihat sisi gelap putranya.

"Jangan lakukan apapun, nak..." lirih Sherina tak kuasa. Air matanya mengalir begitu saja sambil menahan isak tangisnya yang terhalang bekapan tangannya.

Semua yang menyaksikan itu bergidik ngeri.

"Ssh... Minggir!" akhirnya Darrel pun bersuara meski terdengar meringis. Ia sudah kelelahan karena tenaganya terkuras habis atas rasa sakit di hidungnya.

Shienoll mendengarnya tapi ia justru mengabaikannya dengan mencengkram erat kerah baju Darrel. Sorot matanya menusuk. Darrel hanya bisa menatap balik mata tajam itu dengan lemah.

"Kau tahu apa salahmu?" tanya Shienoll berdesis marah.

"A..pa?! A..ku ti..dak sal..ah a..pa pun!" jawab Darrel terbata-bata. Masih merasa benar rupanya.

"Heh! Kau pikir aku idiot seperti katamu?! Aku justru berpikir kau yang idiot." Shienoll terkekeh sinis penuh amarah. "Semua orang yang ada disini tahu apa salahmu. Tapi, kau..." katanya tak dilanjutkan.

Mereka saling adu tatapan.

"Aku tidak peduli kalau yang kau hina adalah aku. Tapi... Bila mamaku... Aku tidak segan-segan menghajarmu! Untung-untung sampai kau mati!" desisnya lagi dengan suara yang hanya di dengar keduanya. Darrel yang mendengarnya terkejut. Ia tak pernah menyangka akan melihat sosok lain dari seorang Shienoll yang terkesan seperti anak mama yang manja, apalagi umur mereka sama-sama masih 5-6 tahunan.

Bagaimana anak kecil seperti Shienoll bisa bertindak sejauh itu?!

"Kenapa?! Terkejut?!" bisa di lihatnya dari ekspresi wajah Darrel kalau dia terkejut. Di dekatkan wajahnya ke wajah Darrel hingga menyisakan sedikit jarak antara hidung keduanya.

"Kalau kau ingin melihat yang jauh lebih dari ini, silahkan hina mamaku sepuasmu. Kalau perlu, ajak ayah dan ibumu untuk ikut bergabung. Setelah itu, percayalah. Kau dan keluargamu hanya tinggal nama!" bisiknya membangkitkan bulu halus di seluruh tubuh Darrel. Ia menelan salivanya sulit. Tak menyangka akan takluk oleh ancaman bocah sebayanya.

Tidak! Mungkin lebih tepatnya adalah psikopat kecil Shienoll.

Karena tak ingin merasa kalah Darrel bersuara melawan dan menepis pemikiran itu. "Kau pikir aku takut?! Kau itu masih kecil sama sepertiku. Jangankan membunuhku, membunuh semut pun kau takkan mampu!" desisnya lemah.

"Benarkah?!" Shienoll menyeringai tipis tersirat sesuatu. "Kau ingin mencobanya?" tantangnya mengertak. Sejujurnya, Hanya ingin menakut-nakuti bocah yang ia duduki. Tapi, bila lawannya mau kenapa tidak?! Pikirnya.

Masih tak mengaku kalah. "Coba saja!" balasnya sombong. Tanpa menunggu lagi, Shienoll pun beraksi.

Bugh!

Bugh!

Bugh!

Di pukulnya Darrel dengan membabi buta. Sherina menjerit seketika sedang yang lainnya kelimpungan tak tahu harus apa.

"SHIENOLL...!!!" berlari ke arah putranya yang sedang memukuli bocah yang ia tahu tengah terluka. Dengan sigap di angkat Shienoll yang sudah hilang kendali kemudian berteriak pada kerumunan yang ada.

"BAWA DIA KE RUMAH SAKIT! SELAMATKAN DIA! ASTAGAAA....!!!" jeritnya frustasi. "Beritahu saya bila sesuatu terjadi padanya!" katanya pada siapapun itu dan di tanggapi dengan anggukan.

Orang-orang itu segera bergerak cepat untuk menyelamatkan Darrel yang sudah dalam kondisi yang memprihatinkan. Keadaan di depan rukonya menjadi sibuk sedang Sherina memilih membawa putranya masuk ke rumah.

Untuk pertama kalinya ia melihat putranya semengerikan itu.

Terpopuler

Comments

Ilan Irliana

Ilan Irliana

OMG...suka bngt si m Shenoll....tegas....jan kek bapak mu y boy..

2022-10-04

0

Cahaya Cita

Cahaya Cita

jangan brhenti d tngah jln y kak..ceritanya

2021-07-05

2

Susi Ananda

Susi Ananda

lanjut Thor ceritanya menarik bngt...

2020-01-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!