Sebuah bus transportasi umum berhenti tepat di halte yang terlihat kumuh. Cat berwarna biru dari halte tersebut telah hampir semuanya terkelupas, menyisakan karat besi sebagai identitas umur halte. Seorang perempuan berjaket hitam kebesaran dengan celana jeans lebar turun dengan memapah tas punggung yang di taruh didepan dadanya. Setelah keluar dari himpitan kerumunan orang di halte, ia segera berjalan cepat menuju jembatan penyebrangan dan segera memasuki sebuah pintu dari gedung tinggi. Ia lalu menghilang masuk ke dalam toilet wanita.
Dua menit kemudian, seorang perempuan dengan sepatu hitam berhak sedang memasuki ruangan toilet yang sama. Ia mengeluarkan sebuah pouch make-up dan mulai memoles ulang bibirnya dengan lipstik. Perempuan itu lalu tampak seolah menunduk melihat rongga dibawah pintu-pintu toilet dibelakangnya. Ia lalu tersenyum puas.
"Kana! Hahaha, luar biasa emang lo ya. Ga habis-habisnya bikin gue kagum," ucap si perempuan berlipstik merah dengan badge nama yang tertera tulisan Nadia Siregar: Marketing Lead.
Setelah bunyi grasak-grusuk dari salah satu bilik kamar mandi tidak terdengar lagi, keluarlah Kana, dengan sebuah rok hitam span selutut dan dibalut dengan kemeja putih satin. Penampilannya kali ini amat sangat jauh berbeda dengan saat ia masuk ke dalam toilet selepas turun dari jembatan penyebrangan tadi.
"Hah, mau gimana lagi, mbak! I will have to do this every single day, sampai bisa beli mobil sendiri, kan?" kata Kana sambil mengeluarkan make-up pouch miliknya dan mulai memoles wajahnya yang pucat.
Nadia membalik badannya membelakangi cermin dan justru memperhatikan Kana yang sibuk mendandani wajahnya.
"Masih lama nabung buat cicilan rumah?" tanya Nadia sambil melipat tangan di dadanya.
Kana mendengus sambil tersenyum, "cicilan rumah? Cicilan DP rumah, mbak Nad! Rumahnya belum kebeli, baru nabung buat nyicil DP nya."
"Masa sih tabungan lo segitu seretnya? Udah kerja 2 tahun juga!" Nadia sebenarnya hendak mengomel lebih jauh tapi ia tahu, keuangan adalah salah satu hal privasi setiap orang.
Mendengar keluhan Nadia, Kana hanya mengangkat bahunya. Andai saja Nadia tahu, biaya konsultasi dan obat-obatan dari psikiater Kana setiap bulannya bukanlah hal yang murah. Tetapi hal itu tetap harus Kana lakukan dan jalani, demi kewarasannya seperti saat ini.
Tap!
Kana menutup compact powdernya, tanda ia telah cukup puas dengan dandanan di wajahnya.
Ikut tersenyum puas, Nadia lalu berdehem. "Seharusnya yang gugup sih elo ya, tapi gue juga geregetan nih sama presentasi project hari ini. Nilai projectnya paling besar selama karir kita disini, dan sekarang itu semua bergantung pada presentasi yang dibawakan oleh lo, pagi ini."
Menggembungkan pipinya untuk melemaskan otot wajah, Kana lalu menarik nafas dalam-dalam. "Doain aja ya mbak!"
"Gue tahu lo pasti berhasil. Everything looks easy when it's done by you!" ucap Nadia sambil menepuk pundak Kana, kemudian ia berlalu meninggalkan Kana sendirian. Ia tahu Kana butuh waktu untuk menenangkan diri sebelum naik lift dan memasuki lantai 65, areal perkantoran mereka.
Baru saja Kana hendak membereskan semua peralatannya, Nadia menghentikan langkahnya sebab seolah teringat sesuatu.
"Oh iya, Kana, gue ingat lo pernah kasih tau alasan lo selalu memakai pakaian gedombrang jelek begitu setiap berangkat dan pulang kantor. Tapi gue lupa apa alasan itu, ingetin gue sekali lagi?"
Kana mengangkat alisnya dan berpikir sejenak. Ia lalu sedikit tertawa dan menjawab enteng, "hanya untuk proteksi diri di kendaraan umum kok, mbak Nad! Soalnya kalau agak cling dikit kan rentan jadi sasaran. Jadi emang sengaja jadi gak menarik aja, sih!"
"Ah, begitu," ucap Nadia sambil mengangguk. Ia sebenarnya terlihat tidak begitu puas dengan jawaban Kana. Tetapi ia akhirnya menyerah dan melanjutkan langkah pergi meninggalkan Kana.
Setelah akhirnya sendiri, Kana merasa lebih rileks. Ia perlahan membereskan semua barang-barangnya kedalam tas hitam besar. Saat menutup resleting tas, Kana memejamkan matanya.
Alasan kenapa ia harus bersusah payah repot mengganti baju serta penampilannya setiap kali ia keluar rumah menuju kantor adalah karena... ya, karena ia selalu mengingat pesan mantan suaminya dahulu.
Kala itu...
Di suatu sore sebuah kosan pasutri, Aruna yang sedang memijit pundak Kana tiba-tiba menghentikan gerakan jemarinya di leher istrinya itu. Ia lalu mencium lembut tengkuk jenjang leher Kana, membuat perempuan itu bergidik geli.
"Ih, apaan sih, Yang! Geli!" gelak Kana sambil membalik badannya. Kini ia menghadapi suaminya yang sedang tertawa juga.
"Yang, kamu jangan sering-sering ya ngikat rambut tinggi begini lalu pakai kerah baju yang rendah. Leher dan pundak yang kelihatan seperti ini bisa membuat kaum adam nelan ludah berkali-kali loh," ucap Aruna saat seringai tawanya mereda.
Sontak, Kana memegangi leher dan pundaknya. "Masa sih? Kayak gini doang? Bukannya bagian seksi itu semacam dada dan paha ya?"
Aruna menggeleng, "bahkan, kadang, hanya tercium parfum si perempuan aja, si joni-nya para lelaki bisa bangun, Yang!"
Alis Kana semakin berkerut, " dih, kamu juga gitu dong, Yang! Nyium parfum cewek bisa tegang?"
"Yah, kalau aku sih gak gitu! Kan aku cuma nginfo aja," bela Aruna.
"Hm, kalau gitu aku tiap hari pakai parfum aja dong ya. Tiap hari, tiap saat?"
Menggeleng keras, Aruna menjawab, "jangan! Kalau kamu, aku justru suka banget sama aroma tubuh kamu. Cukup dengan hanya mandi doang, bagiku, aroma tubuhmu sangat menggoda. Terkadang, aroma tubuh kecut saat kamu selesai olahraga jogging pagi justru membuat aku semakin gemes!"
Jawaban Aruna membuat Kana semakin tertawa. Ia sampai harus harus memegangi pipinya sendiri agar tidak terbuka terlalu lebar.
Begitu tawa Kana mereda, Aruna menggenggam erat tangan istrinya. Ia menatap dalam wajah perempuan pujaan hatinya itu dan berkata dengan suara yang berat. "Kana, kamu adalah milikku seorang, disaat aku tidak disampingmu, aku bergantung pada dirimu. Kamu harus bisa menjaga dirimu dengan baik. Karena jika kamu terluka saat aku jauh dari sisi kamu, aku akan sangat tersiksa."
Setetes air mata jatuh di pipi Kana, membuatnya tersadar dari lamunan kenangan yang entah menyakitkan atau entah menyedihkan buatnya. Kana meremas parfum yang kini ada di tangannya, buku-buku jari dan uratnya sampai muncul di permukaan kulit. Kenapa, kenapa ia masih terus mengingat permintaan mantan suaminya itu. Sudah hampir 3 tahun berlalu, mengapa pula ia masih bisa ingat sedetail itu tentang apa-apa yang Aruna,mantan suaminya itu, ucapkan. Bahkan, gelak tawa dan senyum pria itu, bisa-bisanya masih tergambar dan seolah terdengar jelas ditelinganya.
Menutup mata dan menghela nafas, Kana menenangkan dirinya. Membawa kesadarannya kembali berdiri tegak menjauhi lamunan kenangan. Setelah beberapa detik, Kana membuka kembali matanya, menatap lurus pantulan dirinya di cermin. Meski tangannya sedikit bergetar, ia memaksa jemarinya memencet tombol penyemprot parfum di lehernya.
Lega dan puas, Kana tersenyum. Dengan langkah yakin, ia lalu berjalan menuju lift dan menekan tombol 'up'.
***
Aruna berdiri memeluk tubuhnya, ia seperti telah jatuh dari langit dan dikelilingi oleh udara sejuk dari kipas angin besar. Sejauh mata memandang ia hanya diliputi cahaya putih. Dan kakinya, seperti tak menapak. Mungkin sudah 5 menit ia dan Chas berdiri seperti ini. Awalnya keadaan ini sedikit membuat Aruna panik, tetapi karena tak kunjung merasa akan jatuh juga, akhirnya ia hanya diam menunggu sesuatu terjadi.
Dan benar saja, selain cahaya putih yang sedari tadi menyilaukan mata, ada warna cahaya lain berpendar-pendar muncul.
"Siap untuk mendarat?" tanya Chas kemudian sambil menatap Aruna.
Aruna melengos, "ya, gue juga gak mungkin mati saat ini, kan? Toh gue juga tidak akan merasa sakit?"
Chas terkikik, "siapa bilang? Mulai saat ini lo akan seperti hidup, hanya saja wujud lo gak terlihat! Jadi sudah pasti lo akan merasakan sakit. Seperti rasa sesak yang lo rasakan saat mengingat mantan istri lo itu, loh."
Tepat saat Chas selesai berbicara, kaki Aruna mengantam benda berbahan metal keras. Membuatnya jatuh ambruk menabrak dinding metal lain dan meringkuk kesakitan. Meringis menahan sakit di seluruh badannya, Aruna mencari sosok Chas. Ia hampir saja berharap Chas juga kesakitan sampai ia melihat Chas tampak bersiul turun dengan santai menjejakkan kaki di lantai metal tempat ia terduduk.
"Sial, kok lo gak nolongin gue sih?" maki Aruna sambil berusaha berdiri tegak dan membersihkan celananya. Entah kenapa saat ini ia dan Chas berpakaian serasi layaknya dua orang pekerja kantoran.
"Nanti juga lo akan terbiasa dan bisa begini juga kayak yang gue lakuin. Ini namanya teknik pengendalian diri," ucap Chas tenang.
"Pengendalian diri? Pengendalian diri dari apaan?"
"Dari hempasan jatuh berkeping-keping," jawab Chas cepat.
"Gila," sahut Aruna. Detik itu juga Aruna menyadari bahwa meski ia tiba-tiba sudah berganti pakaian, bayangan mereka tidak muncul di cermin yang ada di dalam ruangan kubus metal itu. Ternyata, mereka saat ini berada di sebuah lift.
"Hey Chas, kita ada dimana dan mau kemana ini?"
"Tenang saja, coba belajar kendalikan diri lo dari nanya-nanya melulu. Amati, gitu loh. Katanya, lo adalah pria yang tampan, cerdas dan pinter. Behave like you are, dong," protes Chas.
Aruna memutar bola matanya. Namun ia menurut dengan perkataan Chas. Ia bahkan mencoba berdiri dengan sikap sama seperti Chas. Menunggu, ya, menunggu pintu lift terbuka.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
ₕₒₜ cₕₒcₒₗₐₜₑ
kenapa hati rasanya seperti diaduk aduk ya baca cerita ini??😢
2023-03-10
0
pentingyakin
kok nyeseknya berasa x sih 😩
2021-07-11
0
💕GALUH_CHAN_MinG💕
kan,bneran ikutan mewek kek Kana😢
2021-02-12
0