Pagi-pagi sekali tempat mading pun sudah di penuhi oleh siswa, ada secarik kertas pengumuman disana.
Vano yang melihat itu pun menyingkirkan kerumunan itu agar memberikan akses jalan untuknya.
"Minggir! Gue juga mau liat!" sentaknya sengak setajam dan sepetnya salak.
"Biasa aja dong. Gak usah marah-marah juga!"
"Ganteng-ganteng galak juga. Gak kayak Alan yang kalem,"
"Gak usah banyak bacot lo!" Vano melayangkan tatapan setajam silet kepada si nyinyirus itu.
...SMA Andromeda...
...Pada hari Rabu besok lusa tanding basket dengan SMA Nusa Bangsa....
...Untuk tim basket putra di harapkan berlatih dengan skill masing-masing....
...Pertandingan ini harus sportif, tidak ada unsur kecurangan atau pun balas dendam....
...Demikian pengumuman dari pihak kepala sekolah SMA Andromeda....
...Tertanda...
...Pak Mushollin...
Vano manggut-manggut. 'Hm, pasti Alan sama Andri latihan nih,'
Kurang dari beberapa meter saja motor Andri mogok. Cowok itu berdecak sebal.
"Ngapain mogok segala sih! Bensin udah full. Mesin udah mantul. Apanya yang kurang betul-betul?" masih keadaan genting pula Andri ngelawak Upin-Ipin.
Alan yang melihat Andri mengomeli motornya tak berdosa itu pun berhenti.
"Kenapa ndri?" Alan memperhatikan motor Andri sehat wal afiat.
"Mogok nih! Tau deh. Apa kurang belaian cewek cantik ya? Secara kan gak pernah nih ada tumpangan," Andri manggut-manggut. Saat itu juga Alan kesal ingin ku teriak bak sebuah petikan lagu saja.
"Yaudah bareng gue aja," se-enteng remahan biskuit saja Alan mengucapkan itu.
"Masa motor gue di tinggalin disini?" dengan hati ketidakrelaannya Andri tak tega motornya sendirian, cukup statusnya saja.
"Gue telepon bengkel langganan gue dulu. Mungkin motor lo perlu di servis ndri,"
Andri mengangguk. "Ya deh,"
"Halo Bay, motor warna hitam di SMA Andromeda pinggir jalan bermasalah nih,"
"Iya cepetean Bay. Jangan tidur lagi!" peringat Alan pada Bayu, temannya yang bekerja di bengkel daripada bersekolah.
"Yaudah, ayo ndri,"
Andri menaiki motor Alan. Keduanya memasuki gerbang utama SMA Andromeda.
"Ada apaan tuh di mading? Rame banget," Andri melangkah pergi, jiwa keponya meronta ingin tau.
"Tanding basket lagi," Alan menghela nafasnya lelah. Sudah lama geng Prisma itu tidak berurusan lagi dengannya.
Alan lebih memilih ke kelas saja. Percuma melihat mading yang akan menyulut emosinya saja. Geng Prisma perlu di waspadalah waspadalah.
Sesampainya dikelas, Andri sudah tertidur pulas. Namun si jahil Vano itu memainkan rambut Andri yang berdiri di tengah unyeng-unyeng itu.
"Van! Gue ngantuk nih! Jangan ganggu ah! Ntar sore latihan, makanya gue tidur," setengah sadar dengan wajah bantalnya, Andri mengomeli Vano yang duduk sebangku dengannya.
"Rambut lo lucu sih ndri. Jadi gemay gue,"
Andri berpindah tempat duduk, untung dirinya berada di ujung dan bukan pojok. Terjebak dengan Vano? Lebih baik terjebak di kepung ayam.
Andri singgah di tempat Tirta, untung saja cowok itu belum datang.
Vano yang melihat Alan memasuki kelas dengan ekspresi berbeda. Seperti memikirkan sesuatu yang ada di hatiku bak lagu pop saja.
"Kenapa lan? Wajah lo kayak keset welcome aja," celetuk Vano. Alan berusaha tersenyum.
"Gak kok," Alan meletakkan tasnya. Sepulang sekolah nanti latihan basket, tentu dirinya pulang lebih sore. 'Dan waktu latihan itu, gue manfaatin buat mengisi kekosongan hati gue. Percuma pulang, di rumah gak ada siapa-siapa,' Alan menunduk. Setiap berganti hari dan waktu berjalan, hatinya sedih.
Tirta yang baru saja datang dengan tangan yang menenteng sebungkus makanan.
Merasa singgahsananya di tempati tanpa se-izin publiknya, Tirta mengusir Andri yang tengah tidur nyenyak nyaman-nyamannya.
"Bangun lo! Minggir! Ini tempat gue! Enak aja, duduk gak bilang-bilang," ketus Tirta galak nan sengak.
Andri bangkit dan berdiri dengan gontai, nyawa setengah terkumpul sehingga jalannya sempoyongan dan hampir jatuh silaturahmi dengan lantai jika Algi tak memegang tangannya.
"Tirta, kamu jangan kejam kepada saudara Andri. Hampir saja dia terjatuh dan tak bisa bangkit lagi, aku tenggelam dalam laut-" belum usai Algi bersenandung ria, Alan yang terusik pun membungkam mouth Algi.
"Biarin. Gue mau duduk dan sarapan!" Tirta menyingkirkan Andri dari wilayah teritorialnya. Ia membuka kantung plastik berisi se-bungkus makanan yang masih hangat dengan aromanya yang harum semerbak membuat kelima temannya itu menatapnya ngiler.
"Bagi dong, enak tuh nasi pecel," pinta Vano tergiur.
"Gak! Gue mau makan! Jangan ganggu! Apalagi tangannya jahil!" Tirta melirik Algi sadis.
"Ih serem banget kamu. Aku jadi takut," ujar Algi dramatis.
Baru sesuap nasi seteguk air bak semboyan kata-kata, seorang guru masuk seusai pelajaran jam pertama. Dan Tirta pun mengurungkan niat makannya.
...❄❄❄...
Sesuai jadwal latihan basket, Alan dan Andri sudah siap dengan kaos basket berwarna biru khas SMA Andromeda.
Selama menuju ke lapangan basket, Alan melihat Freya meringis kesakitan memegangi kakinya.
Dengan tergesa, Alan menghampiri Freya yang tengah duduk di sebelah lapangan basket.
"Kaki kamu kenapa?" tanya Alan khawatir. Ia tak tega melihat Freya meringis serta mata yang berkaca-kaca menahan rasa sakit itu.
"Gue gak tau. Tapi sakitt," keluh Freya lemah.
"Coba buka dulu sepatunya," saran Andri. "Siapa tau kakinya luka,"
Saat Alan membukanya, kaos kaki Freya yang tadinya berwarna putih menjadi merah putih. Ada noda darah disana.
"Maaf ya, aku lepas kaos kakimu," ucap Alan merasa tak enak.
Freya mengangguk lemah. "Iya,"
Benar saja, ada serpihan kaca disana.
"Kamu gak cek dulu kalau mau pakai sepatunya?" tanya Alan memastikan. Peraturan di kelas harus melepas sepatu, sepatu itu di letakkan di rak. Agar kebersihan kelas tetap terjaga.
"Gue gak tau lan kalau ada serpihan kaca disitu. Aw, sakit banget,"
Alan menjauhkan tangannya. "Ke UKS aja ya?" pintanya, ia sangat khawatir dengan keadaan Freya saat ini.
"Nama lo siapa?" Andri yang sok kenal sok dekat pun masih sempat bertanya nama.
"Freya," jawab Freya sesingkat-singkatnya.
Freya baru tau kalau Alan adalah tim basket.
"Tapi kan lo mau latihan. Udah, gak usah peduliin gue. Gue bisa kok sendiri," tolak Freya dingin. Ia tak ingin berhutang budi dengan Alan.
"Frey, aku khawatir sama kamu. Ke UKS ya?" pinta Alan lembut. Hati Freya luluh begitu saja, sepertinya Alan peduli padanya.
Freya mengangguk.
"Naik," Alan berjongkok. "Aku gendong kamu,"
Freya mendengus kesal. "Lo gak usah modus ya? Oh, jadi ini? Biar bisa gendong gue kayak di film romantis itu?" Freya mulai emosi. Baginya semua cowok itu sama saja. Modus selalu menjadi yang pertama di hatiku tapi bak petikan sebuah lagu saja.
"Frey. Alan kan baik mau bantuin lo. Terima aja," tukas Andri kalem.
Freya menghela nafasnya. "Oke,"
Freya pun naik di punggung Alan.
Dengan hati yang masih ikan tongkol, Freya mengomeli Alan habis-habisan.
"Biar bisa pegang-pegang kaki gue kan? Ngaku lo!" Freya berteriak nyaring bak toa masjid saja.
Alan hanya terkekeh. "Frey, aku gak modus. Aku tulus mau bantuin kamu," jelas Alan serius.
Perasaan bersalah karena dirinya sudah membentak Alan.
"Maaf ya. Gue kira lo modus," ia masih trauma dengan peristiwa itu. Dimana Leo berusaha melakukan itu padanya. 'Tapi lo beda lan. Entah kenapa, gue mulai nyaman sama lo,'
"Lan," panggil Freya ragu. Biasanya ia marah-marah dengan cowok ini.
"Kenapa?"
"Makasih," setelahnya ia tak tau harus berkata apa.
Sesampainya di UKS, Alan mendudukkan Freya di kursi. Ia mengambil betadine dan kapas.
Sedangkan seseorang yang membuntuti keduanya diam-diam itu memggeram kesal.
"Sial. Kenapa Alan nolongin dia sih," erangnya lirih. Ia berusaha menendap-endap ingin mendengarkan pembicaraan Alan dan cewek itu.
Setelah selesai mengobati kaki Freya, Alan ingin mengantarkannya pulang. Tapi Freya menolaknya.
"Lan, lo seharusnya latihan. Bukan ngurusin gue kayak gini. Biar pertandingan basket antar sekolah itu dimenangkan tim lo,"
Alan hanya menggeleng. "Frey, kalau aku ninggalin kamu disini. Emangnya bisa jalan?"
Perhatian kecil itu membuat hati Freya tersentuh sekaligus baper.
'Andai aja Leo itu sama kayak lo lan. Tapi sayangnya kalian itu seperti langit dan bumi,' entah mengapa dirinya suka membandingkan Alan dengan Leo, mantannya.
Mendapati Freya melamun, Alan mencubit hidung bangir itu.
"Jangan ngelamun. Nanti jadi ultraman gimana?" ah Alan jadi ingat dengan mimpi khayalannya itu beberapa hari yang lalu.
Freya tertawa. "Gak mungkin lah. Gue kan manusia biasa,"
"Mungkin. Tapi di mimpi,"
"Hm, pernah ya? Hayo," goda Freya yang seolah-olah tau Alan sudah memimpikan itu.
"Gak. Mau pulang apa ngobrol terus nih? Udah mau sore Frey," Alan menceritakannya? Yang benar saja, malu lah.
"Tapi kapan-kapan ceritain dong. Gue juga pingin tau, lo ngapain aja jadi ultraman,"
"Iya, janji. Sekarang pulang ya,"
"Lo gak latihan basket? Lan, jangan menyia-nyiakan waktu. Karena waktu gak bisa di balikin lagi," ia terlalu sedih memikirkan Leo terus.
"Gak. Meskipun gak latihan, di rumah juga ada ring bakset sendiri," dan itu pun ia lakukan sendirian tanpa di temani sang papah.
Freya mencoba mencari ide. Bagaimanapun Alan harus latihan, ia adalah kapten basket.
"Gue ikut aja. Jadi gue cuman duduk sambil nungguin lo selesai latihan. Gimana?"
"Boleh. Gak bosen tuh? Kan sekitar 2 jam,"
"Pinjem hp dong. Gue gak bawa nih, takut kena razia dadakan lagi," Freya cemberut mengingat peristiwa razia itu. Parfumnya lah sebagai korbannya.
Alan menyerahkan ponsel bermata tiga dengan apel di gigit setengah itu.
"Yeay, akhirnya gue bisa pegang hp Iphone 11 pro max lagi. Jadi gini ya?" Freya membolak-balikkan ponsel mahal itu. "Berarti lo kaya ya?" ia pikir yang mempunyai ponsel ini adalah kalangan atas saja.
"Iya Freya. Emang kamu gak pernah pegang Iphone?" Alan ingin tertawa saat itu juga. Tapi demi Freya jinak, ia menahannya saja dengan senyuman saja.
"Hp kentang mah. Terus gitu sering rusak. Tau ah, sebel gue. Pingin beli tapi belum cukup tabungan," gerutu Freya kesal.
"Aku beliin,"
Freya melotot terkejut. "Gak usah. Maaf lan, gue bukan cewek matre," dan ia tidak mau di cap sebagai cewek penggila harta cowok.
"Oh. Yaudah, aku gak akan beliin kok. Kalau emang gak mau," tapi ia punya rencana lain dan akan membuat kejutan itu di hari spesial Freya.
"Lan. Ayo ah ke lapangan basket. Jangan ngobrol terus," nasehat Freya, tentu membuat Alan senang di perhatikan seperti ini.
"Gendong," rengek Freya manja. Dan Alan terkejut, kemana lampir galak itu? Hilang bak sekejap mata layaknya sulap lap saja.
"Iya, ayo," Alan berjongkok.
Seseorang yang menguping tadi bersembunyi di balik tembok koridor.
"Enak banget mau di beliin hp Iphone. Sedangkan gue? Udah ngasih coklat dan bunga sama caper, gak di lirik Alan sekali pun," ujar cewek itu kesal.
"Dan gue lebih cantik daripada Frey itu," ia akui dirinya bak bintang hollywood dengan kulit putih susunya. Rambut pirang kecoklatan, lensa coklat madu dan wajah kebarat-baratan memikat hati para cowok-cowok dalam beberapa detik saja.
Sesampainya di lapangan basket, Alan mendudukkan Freya di tribun penonton.
"Kalau ada cowok yang nyamperin kamu, jangan di ladenin," aku gak suka Frey, lanjut Alan dalam hati.
"Iya ya. Males ah, gak penting. Sana-sana latihan," usir Freya mengibaskan tangannya.
"Ngusir nih?"
"Gak. Lebih tepatnya menyuruh pergi dengan kasar," jawabnya datar.
"Jangan nakal ya," Alan mengusap surai Freya. Semerbak aroma stroberi itu menenangkan pikirannya.
"Hm," dan Freya sudah asik dengan ponsel Alan. Memainkan game.
Dan kejadian langka itu tak luput dari tim basket SMA Andromeda. Di kapten basket tengah dekat dengan seorang cewek baru-baru ini.
Saat Alan bergabung, Andri dan teman tim-nya itu menyorakinya 'cie'.
"Kapan nih jadiannya?"
"Cantik juga lan. Buat gue ya? Haduh, udah jomblo dari lahir nih,"
"Itu bukan jomblo markonah! Belum di pertemukan aja sama jodoh lo,"
"Lan, kaki Freya udah mendingan gak?" tanya Andri mengalihkan perdebatan kejombloan ini.
"Belum. Mungkin dua atau tiga hari,"
"Kenapa bro? Kakinya luka?"
"Udah di obatin gak?"
"Kok bisa?"
"Freya gak tau kalau sepatunya ada serpihan kaca,"
"Pasti kerjaan orang jahil nih,"
"Kayaknya gak suka sama Freya deh,"
Tak mau membicarakan Freya terus, Alan menyuruh tim-nya latihan sebelum semakin sore yang nantinya akan pulang saat maghrib akan tiba.
...❄❄❄...
Setelah selesai latihan, Alan menghampiri Freya. Namun siapa sangka, tim basketnya juga ikut-ikutan dengannya.
Dan Freya di kelilingi cogan SMA Andromeda.
"Frey. Kaki kamu udah mendingan kan?"
"Masih sakit gak?"
"Sini aku lihat," dan untuk ini, Alan menyahutnya dengan sadis.
"Gak boleh!"
Freya hanya tersenyum melihat Alan possesif itu. Ia bukan siapa-siapanya. Tapi perhatian yang Alan berikan itu seperti sepasang kekasih pada umumnya.
"Hm, mencium bau aroma kecemburuan nih,"
"Frey. Pulang yuk,"
"Nih, hp lo,"
"Di pinjemin dong hp-nya,"
"Awas Frey, banyak nomer cewek disana,"
"Gak kok. Cuman 20 kontak aja. Dan itu cowok semua," ucap Freya jujur. Meskipun ada chat dari cewek-cewek, tak ada satu pun yang Alan tanggapi.
"Puas lo? Ngomporin gue?!"
"Jangan emosi lan. Biasa wae,"
"Lan. Ayo pulang, nanti abang gue nyariin," rengek Freya manja. Biarlah tim basket Alan tau, tak ada yang nyinyir kan?
"Yaudah. Ayo," Alan berjongkok.
"Di gendong dong!"
"Romantis euy!"
"Gak usah di dengerin Frey. Anggep aja angin lewat tadi," kesal Alan. Teman tim-nya itu selalu menggodanya.
"Daah cogan-cogan," Freya menoleh ke belakang. Tentu membuat tim basket itu bersorak senang dan bersiul-siul sepanjang hari dengan tak jemu-jemu. Ah jadi ingat lagu burung kutilang.
"Ehem!" Alan berdehem. Kode keras!
"Kenapa?"
"Gak. Cuman batuk biasa aja,"
"Bilang aja cemburu!"
"Iya cemburu. Gak boleh?"
"Dih, emang lo siapa gue?"
"Calon suami,"
Freya terdiam. 'Andai aja tadi gue bawa plester. Biar diem tuh mulut gombal. Untung gak baper,'
'Baper dia. Aminin aja deh,' batin Alan. Tersenyum-senyum, akhirnya Freya baper juga.
...❄❄❄...
...Dpt challenge dong 2K kata 😣...
...Jgn lupa like-nya 👍...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments