Trauma Psikologis

Raut wajah tegang dan khawatir tampak pada beberapa orang yang sedang menunggu di depan IGD sebuah rumah sakit swasta. Mereka adalah Pak Hendra, Ibu Marissa, Hendri, serta Pak Rahmat dan istrinya.

Sementara Ardian berada di dalam IGD untuk menemani Nissa yang hingga kini masih belum sadar. Dokter mendiagnosa Nissa kelelahan dan mungkin jatuh pingsan saat berada di kamar mandi. Guyuran air yang tidak berhenti itulah yang mungkin membuat suhu tubuhnya menurun.

Matahari mulai tinggi, namun Nissa masih setia memejamkan matanya. Ibu Marissa masuk membawakan pakaian ganti untuk Ardian mengingat pria itu hanya mengenakan celana pendek dan kaus polos berwarna putih.

"Nih, ganti dulu bajumu. Setelah itu ikut ayahmu makan di kantin," ujarnya ketus. Ibu Marissa masih geram dengan ulah Ardian yang membuat tanda kepemilikan begitu banyak di leher, dada, serta punggung sang menantu. Bahkan ada beberapa bekas gigitan pada lengan Nissa.

"Ardi ganti baju saja, bu. Kalau makan biar Ardi menunggu Nissa saja," sahut Ardian lemah.

Ibu mendengus kesal. "Gak usah pura-pura perhatian di depan ibu. Gara-gara kamu Nissa jadi seperti ini. Lihat tubuh Nissa sampai penuh dengan lebam akibat ulahmu," sengitnya.

"Ibu terlalu lebay, itu namanya kiss mark nyonya Marissa sayang, masa tidak tahu? Dulu waktu Ardi kecil sering kok lihat yang seperti itu di leher ibu, ayah juga ada," ucap Ardian tanpa dosa.

Ibu Marissa mendelik mendengar ucapan sang anak. Ingin rasanya ia mencekik leher putra keduanya ini.

"Dasar anak tidak tahu sopan santun. Ibu juga pernah muda. Tapi tidak sampai pingsan seperti yang dialami istrimu ini. Lagipula kamu juga keterlaluan, masa istri sendiri kamu gigit sampai seperti itu."

Ardian hanya bisa diam kali ini. Ibu memang benar, ia sungguh tak sadar jika sudah menggigit lengan bagian atas Nissa. Apa aku sebrutal itu? Pikirnya.

"Sudah sana. Cepat ganti baju lalu ikut ayahmu ke kantin. Biar Ibu yang jaga Nissa," ucap Ibu Marissa memaksa.

Ardian menghela nafas dengan kasar. Sebenarnya ia enggan beranjak dari sisi istrinya, namun ia tetap harus makan jika ingin kuat menjaga Nissa.

Ardian meraih paper bag dari tangan ibunya, kemudian berjalan gontai keluar dari IGD. Ia pergi mendatangi toilet umum yang disediakan tepat di belakang IGD dan berganti pakaian di dalamnya. Tak lupa ia pun mencuci wajahnya agar merasa lebih segar.

"Ayo, Di. Kita sarapan di kantin," ucap Pak Hendra yang menunggunya di luar toilet.

Ardian mengangguk, mereka berdua pun berjalan beriringan menuju kantin rumah sakit. Sejenak Ardian memindai ruang tunggu khusus keluarga pasien di samping IGD. Alisnya pun bertaut.

"Kenapa, Di?" tanya Pak Hendra.

"Tidak, yah. Hanya penasaran kenapa tidak ada mertuaku disini."

"Mertuamu sedang sarapan di kantin," sahut Pak Hendra.

"Lalu dimana kak Hendri?"

"Baru saja pulang. Adik iparnya dikhitan besok pagi. Jadi mereka akan langsung pergi kota P," jawab Pak Hendra.

Mereka berdua masuk ke dalam kantin. Kantin di rumah sakit ini luas, tempatnya bersih, kursi untuk pengunjung makan disini tersusun rapi, pilihan menunya banyak, harganya pun cukup murah. Di salah satu sudut kantin tampak Pak Rahmat dan istrinya sedang duduk berdua sambil menikmati menu sarapan mereka.

Ardian dan Pak Hendra segera memilih menu sarapan mereka pagi ini. Pak Hendra memesan kopi hitam dan nasi uduk. Sementara Ardian hanya memesan teh hangat dan roti bakar.

"Makan dengan benar, Di. Kalau kamu sakit lalu bagaimana kamu mau menjaga Nissa?" ujar Pak Hendra sambil menepuk pundak Ardian.

Ardian hanya bisa tersenyum kecil, itupun sepertinya karena terpaksa. Bagaimana ia bisa makan jika sang istri masih terbaring lemah dan belum sadarkan diri sampai sekarang.

"Setelah ini jangan buat istrimu kelelahan lagi, jika kamu ingin melakukannya, maka lakukan dengan lembut. Jangan terlalu brutal agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi."

Petuah 'frontal' yang keluar dari bibir sang ayah membuat telinga Ardian menjadi panas. Ia malu sekali dengan kedua mertuanya yang duduk tepat di hadapan mereka. Pak Rahmat tampak menahan tawanya sedangkan istrinya malah menatap Ardian dengan tatapan marah. Hal itu membuat pria tampan berusia 30 tahun itu menjadi salah tingkah dan merasa bersalah.

"Yah, ibu mau ke IGD dulu. Kali ini biarkan ibu menjaga Nissa, ibu Marissa akan ibu minta menyusul kalian disini," ujar ibu Ijah, istri Pak Rahmat.

"Tapi makanan ibu masih banyak, kenapa tidak dihabiskan dulu?" tanya Pak Rahmat.

"Ibu sudah kenyang, yah. Tiba-tiba nafsu makan ibu hilang," sahut Bu Ijah sambil melirik menantunya yang hanya tertunduk dalam diamnya.

"Baiklah kalau begitu," ucap Pak Rahmat. "Kalau Nissa sadar segera hubungi kami, bu," imbuhnya.

Bu Ijah mengangguk, setelah berpamitan pada suami dan besannya ia segera meninggalkan kantin. Bu Ijah sengaja tidak berpamitan pada sang menantu karena merasa geram atas ulah Ardian yang melakukan 'itu' pada putrinya hingga Nissa pingsan. Ia pikir Ardian melakukannya dengan kasar jika melihat dari kiss mark yang bertebaran begitu banyak juga bekas gigitan di tubuh Nissa.

"Bu Marissa, sekarang biar saya yang menjaga Nissa. Anda bisa sarapan dulu di kantin. Disana juga ada nak Ardian, Pak Hendra, dan suami saya," ucap Bu Ijah saat sampai di dalam ruang rawat IGD.

"Baiklah, bu Ijah. Saya permisi," ucap Bu Marissa.

Setelah besannya pergi, Bu Ijah duduk di samping brankar. Ia menatap wajah putrinya yang mulai bersemu merah jambu. Tubuhnya pun sudah mulai hangat.

Bu Ijah hanya berharap Nissa segera sadar dan menceritakan segala hal yang menyebabkannya pingsan di kamar mandi. Jika Ardian terbukti melakukan kekerasan pada putrinya maka ia tidak akan tinggal diam, begitulah yang ada di benaknya saat ini.

***

Nissa membuka matanya secara perlahan, ia menyipitkan mata karena merasa silau. Setelah ia bisa menyesuaikan matanya mulai mengerjab beberapa kali.

Nissa menoleh ke kanan dan menangkap sosok sang ibu sedang menatapnya dengan tatapan sendu. Apa yang terjadi pada ibu, pikirnya.

"Ibu." Nissa berusaha untuk duduk namun ibu segera melarangnya.

"Jangan duduk dulu, Nis. Kamu baru saja sadar," ucap Bu Ijah.

"Kenapa Nissa ada disini, bu?" tanya Nissa pada sang ibu, karena hal terakhir yang ia ingat adalah ia sedang berada di kamar mandi.

"Kamu tadi pingsan, Ardian yang menemukanmu tergeletak di kamar mandi," jawab Bu Ijah dengan nada tak enak didengar saat menyebutkan nama menantunya.

"Sebenarnya kamu kenapa sampai pingsan? Apa Ardian menyakitimu?" imbuhnya.

Nissa tercenung untuk beberapa saat, hingga kemudian ia menangis histeris. Bu Ijah dibuat panik melihat putrinya tiba-tiba menjadi histeris seperti itu.

Seorang dokter jaga yang sedang bertugas segera masuk ke bilik dimana Nissa dirawat. Seorang perawat datang bersamanya.

"Ada apa, Bu?" tanya sang dokter.

Bu Ijah menggeleng. "Saya tidak tahu dokter, tadi dia baik-baik saja," jawab Bu Ijah, nada suaranya bergetar.

"Sekarang tolong ibu keluar sebentar, biar kami menangani pasien lebih dulu."

Seorang perawat lain datang dan memandu Bu Ijah untuk keluar. Sementara itu Ardian baru saja tiba bersama pak Rahmat, sedangkan kedua orang tuanya masih berada di kantin.

"Ada apa, Bu? Mengapa ibu terlihat panik?" Pak Rahmat langsung menanyai istrinya saat melihat wajah panik Bu Ijah.

"Nissa, Yah," ujar Bu Ijah.

"Nissa kenapa, Bu?" tanya Ardian khawatir, ia takut terjadi hal yang tak diinginkan pada istrinya.

Bu Ijah menatap Ardian dengan tatapan marah, ia bahkan membelalakkan matanya pada sang menantu. Ia yakin jika apa yang terjadi pada Nissa saat ini adalah ulah menantunya.

"Ini semua gara-gara kamu! Semuanya gara-gara kamu!" teriak Bu Ijah berulang kali.

Beberapa keluarga pasien lain yang juga berada di luar IGD memandang mereka. Ada yang menatap penuh tanya, ada juga yang menatap sinis.

"Bu, sudah. Jangan menuduh Ardian tanpa ada bukti," ucap Pak Rahmat menenangkan istrinya.

"Ibu yakin, yah. Ardian pasti alasan Nissa jadi seperti itu. Ibu yakin!" teriak Bu Ijah lagi.

"Kita tidak bisa mengetahui secara pasti, bu. Biar dokter memeriksa Nissa, nanti kita akan meminta penjelasan pada dokter langsung," ucap Pak Rahmat membujuk sang istri.

Bu Ijah menuruti ucapan sang suami, namun ia masih memberi tatapan tajam pada sang menantu yang kini hanya bisa berdiri terpaku. Ia mulai merasa jika apa yang dialami Nissa adalah karena ulahnya.

Seorang perawat keluar dan meneriakkan nama Ardian. Merasa namanya disebutkan Ardian segera mendekati perawat tersebut.

"Dengan Pak Ardian Sanjaya?" tanya si perawat.

"Iya, suster. Saya Ardian Sanjaya. Suami dari Annissa Nur Hafizah," jawabnya menjelaskan.

"Mari ikut saya, pak. Dokter sudah menunggu anda di dalam, ada yang ingin beliau tanyakan pada anda selaku suami dari Bu Nissa," ucap perawat itu.

"Saya juga ikut, suster. Saya harus tahu apa yang terjadi pada putri saya," ucap Bu Ijah.

"Maaf, Bu. Untuk saat ini dokter hanya ingin bertemu dengan Pak Ardian selaku suami Bu Nissa," sahut perawat itu menolak permintaan Bu Ijah.

"Mari, pak."

Perawat tersebut meminta Ardian untuk mengikutinya masuk ke dalam ruangan dokter. Tampak seorang dokter paruh baya sedang duduk, di depannya sebuah map berisi data tentang pasien. Ia membacanya dengan serius.

"Selamat pagi, dokter. Ini Pak Ardian, suami pasien yang bernama Annissa Nur Hafizah."

Dokter bernama Bima itu menatap Ardian dengan seksama, kemudian ia meminta perawat tadi keluar.

"Silahkan duduk, Pak Ardian," ucapnya sopan.

"Panggil Ardi saja, Dok," ujar Ardian.

"Baiklah, saya memanggil anda kemari karena ada yang ingin saya tanyakan pada anda," ucap Dokter Bima.

"Silahkan, dok."

"Apa yang sebelumnya kalian lakukan, eeemm, maksud saya, apa yang anda lakukan pada pasien Nissa tadi malam?" tanya Dokter Bima.

Ardian mengerutkan keningnya heran. "Saya hanya melakukan hal yang dilakukan pasangan suami istri yang sah, lagipula tadi malam adalah malam pertama kami berdua," jawab Ardian.

"Apa anda menyakitinya, atau memaksanya?" tanya dokter Bima lagi.

Ardian mendengus kesal, pertanyaan yang dilontarkan dokter Bima ia anggap penghinaan baginya. Mana mungkin ia menyakiti wanita yang sangat ia cintai itu.

"Tidak mungkin saya menyakiti istri saya, dok."

"Lalu mengapa istri anda bisa mengalami trauma psikologis seperti saat ini?" tanya dokter Bima.

Ardian melongo, seketika jantungnya seakan berhenti berdetak.

"Trauma?" tanyanya.

Dokter Bima mengangguk. Ardian tersentak. Ini tidak mungkin!

***

Maaf ya gengss, mbak tika baru bisa up hari ini. Kemarin mbak tika lagi gak enak body, jadi mau gak mau harus libur dulu.

Insya Alloh hari ini bakal up dua bab, tapi waktunya yang gak pasti.

Terima kasih untuk yang masih setia menunggu upnya. Dan tetap bersabar ya 🙏

Luv u all😘😘

Terpopuler

Comments

Secret Alhanan

Secret Alhanan

kamu ketahui.....
malu deh, Ardian

2020-11-22

2

IntanhayadiPutri

IntanhayadiPutri

Aku mampir nih kak, udah 5 like dan 5 rate juga.. jangan lupa mampir ya ke ceritaku

TERJEBAK PERNIKAHAN SMA

makasih 🙏🙏

2020-11-13

0

Mardian

Mardian

aduuuuh supan ortu tau ke adaan tubuh nissa

2020-11-12

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!