Dan benar saja.
Ketika Bintang tiba tepat di gerbang, sekolah sudah tampak sepi. Sudah tak ada lagi kegaduhan murid-murid terdengar sana sini yang biasanya memenuhi seluruh area gedung besar tersebut. Pagarnya pun sudah tertutup rapat. Dari sini, ada satu hal yang dapat kita simpulkan bahwa Bintang benar-benar sudah terlambat. Mampus!
“Tuh, kannn!!! Gue bilang juga apaaa?!!!” Bintang berucap geram. Desisan kecil keluar dari mulutnya bersamaan dengan tangannya yang terangkat ke atas menggaruk tengkuk belakang yang tak gatal. Matanya berlarian sana-sini memastikan sekali lagi bahwa ia tidak salah lihat. Dan benar, suasana area sekolah sudah benar-benar sepi.
“Duh, gimana donggg!!!” decak Bintang risau plus frustasi. Garukan pada tengkuk belakangnya berubah menjadi usapan kasar. Lalu kedua tangannya terangkat ke atas mengacak-acak rambut hitam nan tebalnya yang mulai memanjang.
“ARGGHHH... !!!”
Bintang melangkah mendekat ke arah gerbang sekolah yang sudah tertutup. Cowok itu menyandarkan tubuhnya ke pagar tertutup. Tampak kedua tangannya yang terus mengacak-acak rambutnya.
Hening sejenak. Bintang merenung. Memikirkan hal apa saja yang bisa ia lakukan agar bebas dari masalah ini. Hingga, Bintang menyeletuk “Ahha!” pertanda sebuah ide muncul dalam pikirannya.
“Bagaimana kalau gue manjat pagar?!” tanya Bintang pada dirinya sendiri.
Seketika matanya berbinar. Senyum merekah di bibir. Hm, kalau dipikir-pikir gak ada salahnya juga!
“Okelah, gue manjat,” putus Bintang akhirnya. Tanpa basa-basi lagi, Bintang pun segera memanjat pagar yang cukup tinggi tersebut.
Hap!
Ia mendarat di dalam lingkungan sekolah dengan aman. Kepalanya mendongak lalu menengok sana-sini memastikan situasi. Setelah dianggap aman, kakinya dilangkahkan perlahan-lahan ke koridor sekolah. Jadi posisinya sekarang, mengendap-ngendap layaknya seorang pencuri yang sedang menjalankan aksi.
Sialnya, ketika jaraknya dengan pintu ruangan kelas tinggal beberapa senti, suara seseorang dari belakang bersamaan dengan sebuah tangan yang bertengger di pundaknya berhasil membuatnya mematung dan bungkam.
“Bin-tang... ?!” Orang itu memanggil dengan nada seperti orang bertanya. Nama Bintang seolah sengaja diejanya.
Suara itu ... suara yang cukup familiar di telinganya. Susah payah, Bintang menelan ludahnya. Dengan mulut berkomat-kamit merapalkan doa dalam hati semoga setelah ini ia masih baik-baik saja, Bintang membalikkan badannya ke belakang. Mampus dah gue!
Dan ...
Dugaannya benar.
Dia, Pak Andre. Guru matematika di SMA Mahardika, sekaligus Om-nya Bintang. Ya, Andre adalah adik kandung mamanya Bintang.
Bintang meringis yang berakhir menjadi cengiran lebar. Gigi-gigi putihnya tampak begitu saja.
“Eh, Om Andre! Kirain siapa, hehe...,” celetuk Bintang asal.
Pak Andre memelototinya tajam yang lagi-lagi membuat Bintang meneguk ludah. “Terlambat lagi kan, kamu!” tebak Pak Andre menuding.
Tepat sasaran.
Bintang tersentak. Tampak sekali raut terkejut di wajahnya. Namun dengan pintarnya, cowok itu langsung mengubah ekspresinya kembali ke wajah tengil.
“Ng-nggak dong, Om!” seru Bintang heboh. Lalu, tertawa garing. “Masa saya terlambat lagi, sih! Hahaha...”
Pak Andre menaikkan satu alisnya ke atas. Tampak tidak percaya dengan jawaban yang barusan Bintang berikan. Hingga ketika matanya menangkap sekilas benda yang bisa saja membuat Bintang, murid nakal satunya itu diam tak berkutik, guru itu menaikkan salah satu sudut bibirnya membentuk seringai kecil. Hm, sepertinya benda itu bisa dijadikannya sebagai senjata andalan.
“Terus, kenapa masih di sini?” tanya Andre penuh intimidasi.
Awalnya, Bintang terlihat biasa-biasa saja. Bahkan, cowok itu masih ketawa-ketawi tidak jelas. Rupanya tidak terpengaruh sama sekali dengan pertanyaan dari gurunya tersebut. Namun, ketika Pak Andre melanjutkan perkataannya, cowok itu langsung bungkam dengan air wajah masam.
“Tasnya juga ... kenapa masih dipake?” tanya Andre lagi.
Mulut Bintang sebentar terbuka sebentar tertutup. Rupanya ingin mengatakan sesuatu, namun tidak tahu mau bilang apa.
“A-anu, Om. I-itu loh ... emm... emm...” Bintang berucap gelagapan. Merasa dirinya gugup, cowok itu menggaruk tengkuk belakangnya yang tak gatal sama sekali.
Tampak, Pak Andre yang menahan tawa. Senyum penuh ledekan terukir indah di bibirnya. “Anu? Anu kenapa, hm?!” tanya Pak Andre beruntun, menyela ucapan Bintang.
“Masa sama keponakan aja galak, sih Om!!!” Bintang merajuk. Bibirnya monyong beberapa senti ke depan. Raut wajahnya berubah masam.
“Keponakan, keponakan .... Di sini tidak ada yang namanya keponakan, yang ada hanya anak murid saya!” Pak Andre menyahut sewot. Lalu, pria paruh baya itu mengangkat salah satu tangannya ke atas menyuruh Bintang masuk kelas.
“Ya udah, cepatan masuk!” titahnya tak terbantahkan.
Bintang terkekeh pelan. Lalu, cowok itu mengambil kedua tangan Pak Andre dan menciumnya layaknya seorang yang sedang pamit mau sekolah kepada orang tuanya. Padahal aslinya, ia sedang cari perhatian.
“Makasih, om kyuuu!!!” seru Bintang.
“Cepatan masuk!” bentak Pak Andre.
“Eh, i-iya Om!”
Dalam detik itu juga, Bintang langsung ngacir masuk kelas.
***
Di pagi hari cerah nan sejuk itu, kelas 11 IPA 2 kedatangan murid baru.
“Selamat pagi, anak-anak!” sapa Pak Andre yang baru saja memasuki ruang kelas. Kelas yang tadinya ribut, menjadi hening dalam sekejap mata. Dasar murid-murid munafik!
“SELAMAT PAGI, PAK!!!” seru murid-murid serempak.
Keantusian yang ditunjukkan murid-murid membuat Pak Andre mengulum senyum. Guru itu sedang berdiri di depan kelas dengan pandangan mengarah ke seluruh penjuru ruangan.
“Sebelum kita memulai kegiatan belajar mengajar, Bapak ingin menyampaikan sebuah informasi kepada kalian semua ...” ujar Pak Andre panjang lebar. Ia sengaja menggantung ucapannya.
“Pasti Pak Andre mau bahas soal kemarin.”
“Yang mana? Oh, soal si Dina yang ngelabrak pelakor itu?”
“Wah, kita pasti diceramahi lagi nih!”
“Parah sih!”
Kelas kembali ramai. Murid-murid mulai bisik-bisik, saling tanya-menanya mengenai informasi apa yang akan diberikan Pak Andre. Dengar-dengar, kemarin ada anak beberapa anak murid cewek di sekolah mereka yang melakukan pelabrakan ke sekolah lain dan berakhir berkelahi. Motifnya, anak murid itu ingin melabrak cewek yang sudah merebut pacarnya tersebut.
Mereka yakin, Pak Andre pasti akan membahas masalah kemarin dan berakhir berceramah.
“Hari ini, kelas kita kedatangan murid baru,” ucap Pak Andre melanjutkan ucapannya. Senyum yang sedari tadi tersungging di bibir semakin mengembang. Guru itu menoleh ke arah pintu kelas seolah sedang menatap seseorang di sana.
“Bulan, silahkan masuk!” pintahnya pada siswi baru tersebut yang masih setia berdiri di ambang pintu.
Murid pindahan yang bernama Bulan itu pun segera masuk ke dalam kelas. Ia melangkah ragu dengan kepala yang terus menunduk. Malu? Tentu saja! Apalagi, kini dirinya telah menjadi pusat perhatian.
Awalnya, Bintang bersikap cuek dan tak peduli. Namun ketika melihat wajah gadis itu, ia kaget bukan main.
“I-itu ...” celetuk Bintang terbata sembari menunjuk gadis yang berdiri di depan kelas itu. “... Itu kan, cewek yang hampir gue tabrak tadi!” lanjutnya menggumam.
“Hah, apa?! Lo nabrak orang?!” Surya yang duduk di bangku belakangnya berjengit kaget mendengar celetukan Bintang barusan.
Bintang melebarkan matanya. Jadi anak dajjal itu dengar?
Sialan!
Langsung saja cowok itu berbalik dan membekap mulut Surya. “Sttt, diam njirrr!” geramnya sembari menatap sekitar berharap tidak ada yang mendengar seruan Surya barusan.
Bernapas lega karena tampaknya murid-murid lain masih fokus dengan murid baru yang sedang perkenalan itu.
“Eh, i-iya! Hehe... sorry!” cengir Surya tanpa dosa. Ia mengangkat kedua jari tangannya ke atas membuat peace. “Tapi, kok bisa?!” tanyanya lagi dengan kedua alis saling menekuk.
“Ya bisalah, sat!” ujar Bintang sewot. “Udah, ah! Nanti aja ceritanya. Panjang!” tutur Bintang mengakhiri pembicaraan.
Cowok itu membalikkan badannya kembali ke posisi semula. Syukurnya, Surya pun tak melontarkan berbagai macam pertanyaan lagi.
“Bulan, ayo perkenalan!” ucap Pak Andre membuyarkan lamunan murid baru itu.
Tampak, gadis itu yang tersentak. Ia langsung menatap Pak Andre lalu tersenyum canggung. “E-eh, i-iya Pak!” ujarnya kikuk.
Lalu, gadis itu melayangkan pandangannya ke depan. Ia menyunggingkan senyuman tipis. “Hai, perkenalkan nama saya Bulan Purnamasari. Kalian bisa panggil saya Bulan. Terima kasih!” ucapnya lagi memperkenalkan diri.
“Hai, Bulan!”
“Halo, cantik!”
Murid-murid kelas 11 IPA 2 merespon baik, membuat senyum Bulan mengulum senyum malu-malu.
“Baik! Bulan, kamu duduk di bangku kosong sampingnya Bintang, ya!” titah Pak Andre pada Bulan dengan tangan terjulur menunjuk sebuah bangku kosong.
Bulan mengikuti arah telunjuk guru itu. Bola matanya membulat melihat sebuah objek di sana. Meneguk salivanya susah payah. Meski ragu, gadis itu menganggukkan kepalanya patuh. “I-iya, Pak!”
Lalu dengan ragu, Bulan melangkah ke sana. Ia mendudukkan bokongnya di bangku samping cowok itu.
Bintang diam-diam menyunggingkan senyum. Bukankah dengan begini, ia bisa lebih akrab dengan gadis itu?
“Hai Bulan! Kenalin, gue Bintang Prawijaya. Panggil Bintang aja.” Bintang tersenyum sembari menjulurkan tangannya ke arah gadis itu berniat untuk mengajaknya berkenalan.
Namun, Bulan hanya menyunggingkan senyum manis tanpa membalas uluran tangannya.
Bintang meringis malu. Lalu secepat kilat menarik tangannya kembali. Berakhir menggaruk tengkuk belakangnya merasa salting. Tanpa Bintang sadari, cewek yang duduk di sampingnya itu diam-diam memperhatikan gerak-geriknya dan tertawa pelan.
“Oke, anak-anak! Saatnya kita belajar...” Ucapan Pak Andre mengintrupsi keduanya. Kegiatan belajar mengajar pun dimulai. Pak Andre mulai menjelaskan satu-persatu angka yang ada di papan tulis. Ya, hari ini kelas 11 IPA 2 ada pelajaran matematika. Pelajaran yang sebagian murid benci.
“Jadi, begitulah langkah-langkah dalam mengerjakan soal semacam itu. Sampai di sini, ada yang mau ditanyakan soal matriks?” ucap Pak Andre mengakhiri pelajaran.
Tak ada sahutan, membuat Pak Andre mengangguk paham. “Oke, karena tidak ada yang menyahut, berarti Bapak anggap semuanya sudah paham. Baiklah, kalau begitu Bapak yang akan bertanya!”
Guru itu tersenyum penuh arti membuat murid-murid serempak meneguk salivanya susah payah. Mampus!
Tangan Pak Andre menari-nari di atas papan tulis. Tampaknya, ia sedang menulis soal yang akan diajukannya nanti.
“Anak-anak, siapa yang bisa jawab soal yang Bapak tulis ini?” tanya Pak Andre setelah menulis sebuah soal di papan tulis. Pandangannya mengarah ke murid-murid.
Di papan tulis itu, tertulis sebagai berikut.
Tentukan nilai a dan b dari kesamaan matriks berikut.
[ a + b ] \= [ 4a - 5 ]
[ 2a - 15 ] [ 6a + 7b ]
Lagi-lagi, tak ada yang menyahut. Murid-murid serempak jadi patung dadakan.
“Tidak ada yang bisa?” tebak Pak Andre terdengar kesal.
“Saya, pak!” celetuk seorang murid di bangku kedua dari depan barisan kiri paling ujung. Tangannya mengacung ke udara.
Semua pasang mata langsung menoleh ke arahnya. Ada yang menatapnya sinis, berbinar, dan juga ragu.
“Bulan... ?” Pak Andre memanggil ragu. Kedua alisnya saling menekuk. “Kamu mau jawab?” tanyanya memastikan dan langsung mendapat anggukkan kepala mantap dari murid itu.
“Ya sudah, ke depan!” titah Pak Andre.
Bulan bangkit dari duduknya dan maju ke depan. Sesampainya di depan, Pak Andre langsung memberinya sebuah spidol berwarna hitam. Bulan mengambilnya dan mulai mengerjakan sederet angka-angka yang ada di papan tulis itu.
Jawab :
a + b \= 4a - 5
-3 + b \= -5
2a - 15 \= 6a + 7b
-4a - 7b \= 15
\=>Metode Eleminasi :
-3a + b \= -5 | x (-7) | 21a + (-7)b \= 35
-4a - 7b \= 15 | x 1 | -4a - 7b \= 15
————————— -
25a \= 20
a \= 20/25
a \= 4/5
a \= 0,8
\=>Metode Subtitusi :
-3a + b \= -5
-3(0,8) + b \= -5
-2,4 + b \= -5
b \= -5 + 2,4
b \= -2,6
Jadi, nilai a \= 0,8 dan b \= -2,6
“Sudah, Pak!” ucap Bulan sembari menutup spidol yang baru saja selesai digunakannya itu dan menyodorkannya kembali ke Pak Andre.
Pak Andre tampak mengamati dengan baik jawaban yang ditulis Bulan di papan tulis. Lalu tak lama, pria itu manggut-manggut bersamaan dengan senyum lebar tercetak di bibirnya.
“Bagus.” celetuk Pak Andre. Lalu tatapannya beralih pada gadis yang berdiri di sampingnya itu. “Jawaban kamu benar!” katanya lagi dengan nada pujian.
Suara tepuk tangan dari murid-murid langsung menggema di ruangan tersebut.
“Makasih, Pak!”
Bulan berbalik lalu melangkah kembali ke tempat duduknya. Ia menggigit bibirnya malu karena kini dirinya menjadi pusat perhatian. Banyak tatapan memuja tertuju padanya.
Bulan melirik ke samping kala merasa orang yang duduk di sana sedang menatapnya. Dan benar, cowok itu sedang tersenyum ke arahnya lengkap dengan tatapan kagumnya yang tak bisa tersembuyi di kedua bola matanya.
Bulan tersentak. Tangannya langsung memegangi dada kirinya kala merasakan degupan cepat di sana.
Ada apa ini?
Perasaan apa ini?
Jujur, Bulan tidak tahu. Karena ini kali pertamanya Bulan merasakan hal aneh yang tak wajar ini.
Perlahan tapi pasti, sudut bibir Bulan melengkung ke atas hingga membentuk senyuman.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
abdan syakura
Good Job, kak!
suka matematika ya?👍
2023-01-18
1