Bab 4

Indira tergeletak tak berdaya di sofa. Sedari tadi kerjanya hanya memandang layar ponsel. Sementara televisi dia biarkan menyala tanpa di tonton.

Dengan terpaksa Indira harus mengambil cuti beberapa hari. Kakinya masih terasa sakit saat berjalan.

Haus menyerang. Siang ini panas menyengat. Indira sengaja tidak menghidupkan Ac karena sedang membuka jendela untuk menghirup udara segar. Tangan Indira berusaha menggapai segelas air putih di meja. Menggeser tubuhnya agar lebih dekat tapi tetap sama. Sudah merasa nyaman diposisi tidur membuatnya malas untuk bangkit.

“Panggil saja aku bila kamu perlu sesuatu,” Malvin mengambilkan gelas air dan memberikan pada Indira.

“Kamu!” ucap Indira kaget. Bagaimana Malvin bisa masuk, padahal tadi malam dia sudah mengunci pintu.

“Aku bawa makanan, pasti kamu belum makan!”

Terpelongo menatap Malvin. Indira masih terheran memikirkan bagaimana Malvin bisa masuk. Indira yakin betul sudah mengunci pintu apartemennya. Pelan Indira memukul kepalanya. Pusing memikirkannya.

“Ayo makan!” ucap Malvin menyodorkan bubur ayam.

“Bagaimana kamu bisa masuk?” tanya Indira penasaran.

“Tentu saja aku bisa masuk, kamu sangat teledor tidak mengunci pintu. Andai saja kamu juga tidak mengunci hatimu aku pasti bisa masuk.”

“Konyol!” sahut Indira mencipratkan air ke wajah Malvin.

Bukannya marah, Malvin justru tertawa senang.

“Aku yakin sudah mengunci pintu tadi malam.”

“Mungkin kamu menghayal atau mengunci pintunya dalam alam mimpi.”

“Yang sakit itu kakiku bukan kepala, jadi mana mungkin aku bisa lupa.”

“Bukannya sudah terjadi, lupakanlah yang penting jangan di ulang lagi bagaimana kalau yang masuk orang yang berniat jahat.”

“Seperti kamu,” sindir Indira.

“Niatku baik! Mau memberi makan orang sakit,” Malvin menyendok bubur ayam dan menyuapi Indira.

“Aku bisa makan sendiri,” ucap Indira merebut sendok di genggaman Malvin. “Pergilah! Makanannya sudah diberikan bukan,” Indira mengusir Malvin.

“Aku memang mau pergi, ada kuliah pagi ini,” ucap Malvin meletakkan buburnya dipangkuan Indira dan segera beranjak pergi. “Kali ini jangan lupa dikunci atau aku akan masuk lagi nanti,” bisik Malvin lalu berlari pergi.

Indira melempar Malvin dengan bantal. Tidak kena. Larinya terlalu cepat. Justru membuat bubur yang ada di pangkuannya tumpa. Jadi tambah kerjaan saja.

💐💐💐

Persidangan Santi hari ini berjalan dengan lancar. Secara resmi Santi bercerai dengan Bram dan mendapatkan hak asuh anaknya.

Santi memeluk Indira erat penuh emosi. Tangisnya pecah. Bulir air mata jatuh bercucuran mambasahi pipi hingga mengenai baju Indira. Mencoba memenangkan, Indira menyelus punggung santi. Matanya berkaca-cara terbawa suasana. Penuh haru.

“Terima kasih! Terima kasih Indira,” ucap Santi lirih.

Indira mengangguk. Tangannya menggenggam pinggang Santi. Sahabatnya sejak di bangku SMA. Teman bermain, berbagi suka dan duka. Tempat berkelu kesah. Sejak awal Indira bertekad memenangkan hak asuh anak untuk Santi.

Indira melepaskan pelukannya dari Santi. Kedua tangannya memegang pundak Santi.

“Dengarkan aku! Kamu wanita hebat dan kamu pasti bisa bangkit dari keterpurakan ini. Mulailah membuka usaha baru sesuai kegemaranmu yang hobi memasak. Aku percaya kamu pasti bisa.” Indira penyeka air mata Santi.

“Aku gak tahu apa jadinya bila gak ada kamu Indira. Terima kasih atas dukunganmu.” ucap Santi sesegukan.

“Semua ini juga berkat beliau,” mata Indira menatap seorang ibu yang sedang berdiri di seberang mereka. Yang sedari tadi memperhatikan mereka. Perlahan dia berjalan menghampiri Indira dan Santi.

“Ibu!” sapa Santi.

Ibu itu mengelus pipi Santi lalu membelai rambutnya lembut. Sorot matanya tampak senduh. Bibirnya bergetar hendak mengeluarkan kata-kata yang tertahan.

“Maaf! Selama ini ibu salah menilaimu. Maaf! Telah membuatmu menderita. Maaf! Ibu telah memperlakukan menantu ibu dengan tidak baik.”

Santi menggeleng. Air mata kembali jatuh mengalir. Dan memeluk Ibu mertuanya.

Indira menatap menantu dan ibu mertua itu dengan haru. Dia tahu betul selama ini Santi selalu mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari ibu mertuanya walau Santi tidak pernah mengatakannya. Setiap kali Indira bertanya hubungan Santi dan mertuanya, dia menjawab dengan gagap seolah menutupi sesuatu.

“Maaf Santi aku telah menaruh rekaman di rumah kamu diam-diam. Aku harus melakukan itu agar ibu mertuamu tahu apa yang sebenarnya terjadi dan membuka matanya lebar-lebar. Putranya telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga bahkan pada anaknya. Aku tidak suka melihatmu diam saja dan selalu dianggap bersalah.”

Ibu mertua santi tertunduk lesuh mendengar ucapan Indira. Dia merasa bersalah terhadap Santi yang selama ini dia anggap tidak becus mengurus keluarganya. Ternyata anaknya sendiri yang telah berkata bohong.

“Bila kamu tidak melakukannya mungkin aku akan terus diam dalam keterpurukan, aku tidak memiliki keberanian.”

“Berjanjilah padaku mulai detik ini jadilah wanita yang pemberani demi dirimu dan anakmu,” ucap Indira membelai pipi Santi.

Santi mengangguk pelan menahan tangis.

“Ibu tidak tahu apa yang terjadi pada cucuku bila Bram yang menjaganya. Jadi ibu mohon jagalah cucu ibu dengan baik, ibu akan memastikan dia akan mendapatkan haknya dan ibu bersyukur kamu tidak akan lagi mendapat perlakuan buruk dari Bram.”

“Itu sudah jadi kewajiban Bram. Dia sudah sangat beruntung Santi tidak melaporkannya ke polisi. Bila iya dia akan masuk penjara,” ucap Indira kesal.

Ibu mertua Santi diam tanpa kata. Santi yang tak tega memeluknya dengan sayang sambil mengelus lembut pundaknya.

💐💐💐

Terpopuler

Comments

Caramelatte

Caramelatte

eyoo kakak aim kambekk yuhuuuu mangattzzz

2020-11-30

0

Cicia Hwang

Cicia Hwang

Ceritany keren 🥰

2020-11-23

1

Hendi Wen

Hendi Wen

Malvin bohong pasti congkel pintu indira

2020-11-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!