Suara ketukan terdengar beberapa kali membangunkan Liana dari lamunannya yang panjang.
Liana menoleh ke arah pintu bertanya-tanya siapa gerangan yang datang berkunjung di malam seperti ini. “Masuklah!”
Setelah pintu terbuka, Liana dapat melihat seorang pria paruh baya bersama dengan Ling di belakangnya yang membawa nampan berisi makanan.
“Ayah?” panggil Liana sedikit tidak yakin apakah dia harus memanggilnya seperti itu. Sebab selama waktu yang bisa dia ingat di kehidupannya, tak pernah ada sosok ayah yang menemani. Hal itu membuatnya merasa sedikit canggung dengan beberapa perubahan baru.
Zhu Moran tersenyum dikala melihat putrinya memanggil. Dia merasa sangat lega mengetahui bahwa Liana dalam keadaan baik-baik saja.
“Bagaimana kabarmu?”
“Mn, jauh lebih baik.”
Zhu Moran mendekati Liana yang duduk di atas tempat tidur. Dia mengusap lembut kepala Liana. Liana yang merasakan kehangatan tangan Zhu Moran merasa begitu nyaman, tapi entah kenapa di dalam rasa nyaman itu juga ada rasa takut yang menjalar.
Liana tak tahu kenapa? Tapi dia juga memiliki firasat yang buruk. Liana menatap serius wajah Zhu Moran. Masih tetap bugar dan tampan dengan usianya yang tak lagi muda.
“Ayah, dimana ibu?” tanya Liana tiba-tiba. Dia juga bingung, tak ada sedikitpun ingatan yang dia terima tentang ibu dari gadis Zhu itu.
Liana hanya mengingat penyiksaan dan perlakuan tak adil yang dia dapat dari selir dan saudara tirinya. Dia memang kemarin melihat ada beberapa wanita yang sekiranya memiliki umur yang cocok untuk menjadi ibunya. Hanya saja Liana yakin bahwa tidak ada dari mereka yang menjadi ibu kandungnya. Karena wajah-wajah itu adalah orang-orang yang sering berbuat tak adil pada Zhu Liana. Karena itulah dia bertanya? Sekedar memastikan bahwa pemikirannya semoga saja meleset.
Liana terus memperhatikan riak wajah Zhu Moran, hanya saja yang ia lihat disana adalah ekspresi kesulitan, merasa bersalah dan menyesal.
Apa artinya ekspresi itu? Apa terjadi sesuatu dengan ibu gadis Zhu? Liana tak bisa untuk mengabaikan hal penting seperti ini. Dia sangat berharap bahwa pikiran buruk dalam otaknya tentang ini bukanlah yang menjadi kebenarannya. Namun melihat ekspresi Zhu Moran, Liana sudah mendapat kesimpulan. Dia akhirnya menghela napas dalam hatinya yang entah kenapa terasa sakit.
“Ah, itu. Li’er, ibumu ....” Zhu Moran masih kesulitan untuk memilih kata-kata. Dia merasa hal ini terlalu sulit untuk dijelaskan pada putrinya itu. Dia tak menyangka jika yang pertama kali dia tanyakan setelah baikan adalah keberadaan ibunya. Membuat Zhu Moran merasa bersalah.
Setelah semua itu, Zhu Moran tak jadi memberitahu Liana tentang keberadaan sang ibu. Sepertinya dia belum siap lagi untuk hal ini.
Keesokan harinya dengan kebiasaan lama, Liana sudah bangun pagi-pagi sekali menyaingi ayam yang hendak berkokok. Karena belum ada orang yang berkeliaran pada waktu itu, Liana memutuskan untuk lari pagi sebagai pemanasan dan peregangan.
Dia merasa ada yang salah dengan tubuh yang dia tempati ini. Saat dia memeriksa sekali lagi, lebam di tubuhnya itu seperti bertambah. Liana curiga bahwa itu di sebabkan oleh racun.
Jadi dia harus segera mengobatinya. Berhubung tempat ini memiliki sesuatu yang Liana butuhkan, maka ia tak akan segan untuk memanfaatkannya. Bukannya Liana tidak mempercayai para dokter yang disebut sebagai tabib di tempat ini, hanya saja jika dia bisa melakukannya sendiri, mengapa tidak? Lagipula tabib kemarin juga tidak menyadarinya.
Liana tak tahu saja, hubungan antara perempuan dan laki-laki di dunia tempatnya berada ini penuh dengan pantangan dan hal-hal tabu. Tidak seperti dunia modern yang bebas.
Disini, perempuan tidak diperbolehkan terlalu dekat dengan lelaki selain pasangan dan keluarganya. Bahkan bersentuhan sedikit saja tidak diperkenankan, kecuali dalam keadaan darurat, seperti misalnya tabib yang memeriksa pasien. Itu pun masih sangat dibatasi. Apalagi dia adalah seorang bangsawan.
Lain dengan laki-laki yang memiliki lebih banyak kebebasan mendekati perempuan lain selain pasangan dan keluarganya. Karena mereka dapat menjadikannya sebagai selir untuk meneruskan keturunan. Karena itulah tempat prostitusi seperti rumah bordil masihlah dilegalkan.
Sayangnya Liana tidak mengetahui itu.
Setelah lari pagi beberapa kali mengelilingi halaman paviliun. Liana melakukan beberapa peregangan yang biasa dilakukan anggota militer. Dia juga menerapkan beberapa gerakan bela diri setelah itu.
Liana menghentikan kegiatannya setelah satu jam berlalu. Dia kembali ke dalam kediamannya untuk membersihkan diri.
Namun, ia menjadi waspada saat melihat bahwa pintu kamarnya terbuka. Berjalan dengan mengendap-endap berusaha mengeluarkan suara sekecil mungkin.
Dengan perlahan pintu itu ia buka semakin lebar. Liana melepas sebelah sepatunya untuk digunakan sebagai senjata harap-harap dapat melawan sesuatu yang ada di dalam sana.
Dengan langkah cepat dia segera masuk. Namun saat dirinya bersiap melemparkan sepatunya, betapa terkejutnya Liana saat mendapat orang di dalam tak lain adalah Ling, pelayannya sendiri yang tengah membawa seember air hangat.
“Nona, anda kembali.” Ling berucap seraya tersenyum lembut. Pose Liana yang canggung sama sekali tak ia hiaraukan.
Liana menghela napasnya lega seraya mengurut dadanya yang tadi sudah terdengar detakan cepat. “Kau, bagaimana kau bisa ....” Ucapan Liana bahkan tak bisa dia lanjutkan.
“Nona, saya sudah biasa menunggu anda pulang dari kegiatan pagi hari.” Ling masih mempertahankan senyumnya. Dia berjalan menuju kamar mandi yang terdapat sebuah bak besar terbuat dari kayu, hampir menyerupai kolam kecil.
Ling menumpahkan air hangat di sana lalu menaburinya dengan kelopak bunga persik menambah harum air.
Liana terdiam mendengar penjelasan Ling. Jadi kita juga memiliki kebiasaan yang sama? Betapa banyaknya kebetulan ini. Begitulah pikirnya dalam lamunan.
Dia terdiam dan hanya mengekori Ling, melihat apa saja yang dikerjakan pelayan itu.
“Nona, silahkan anda membersihkan diri terlebih dahulu. Pagi ini akan diadakan perjamuan rasa syukur di kediaman Perdana Mentri atas kesembuhan anda, juga hari ini adalah hari ulang tahun anda yang ke lima belas tahun.” Ling menjelaskan, setelah itu dia beralih menuju lemari tempat dimana pakaian Liana disimpan, memilihkan yang sederhana namun tampak baik dan sopan dipakai saat perjamuan para bangsawan.
Kemudian, Ling kembali ke kamar mandi melihat Liana masih terbengong sendiri melihat bak dengan isian bunga-bunga mengambang di atas air.
Ling tersenyum tipis, meletakan pakaian di tempat kering lalu meraih lengan Liana membantunya membuka pakaian.
“Apa yang kau lakukan?!” pekik Liana terkejut karena seseorang mencoba untuk melepaskan pakaiannya.
“Nona, saya akan membantu anda membersihkan diri,” jawab Ling tetap dengan senyuman ramahnya.
“Hah, itu ... itu tidak perlu. Aku akan melakukannya sendiri.” Liana buru-buru menjauhkan dirinya dari Ling.
Dia ingin membuka pakaiannya namun gerakannya terhenti karena menyadari Ling masih berada di sana melihatnya.
“Kenapa kau masih disini?” tanya Liana heran.
“Tugas saya membantu anda, Nona,” jawab Ling dengan ringan seperti tak ada yang salah dengan ucapannya.
Namun bagi Liana yang sedari kecil telah diajari sebagai pribadi yang mandiri, tentu ucapan itu membuatnya risih dan harga dirinya sedikit tersenggol.
Dia berucap dengan nada kesal. “Ling, aku sekarang sudah lima belas tahun, sudah melewati upacara kedewasaan satu tahun lalu. Aku masih memiliki kedua tangan dan kedua kakiku, lalu perlukah aku menggunakan tanganmu yang jauh untuk membantuku dengan hal kecil seperti ini?” Alis Liana terangkat sebelah memperlihatkan ekpresi tak senang.
Ling terdiam memikirkan kata-kata yang tepat agar tak menyinggung sang nona. Namun dia tetap diam karena tak menemukan kata yang bagus, nonanya itu masih saja keras kepala, tak pernah ingin dilayani. Terkadang Ling merasa bahwa pekerjaannya sebagai pelayan nona muda kedua itu tidaklah berarti.
Akhirnya Ling menghela napasnya, membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan pada golongan yang lebih atas. “Baiklah, Nona. Saya akan menunggu anda di luar.” Dia melenggang keluar dari kamar mandi meninggalkan Liana sendiri yang seketika mengubah ekspresinya, melepas lelah.
“Merepotkan!”
-o0o-
“Haaah, ini terasa sangat nyaman seperti di onsen,” ucap Liana menikmati pemandian air panas yang ada di dalam bak. “Dan sangat harum.” Dia mengirup aroma dari kelopak bunga persik yang ditebar di dalam bak mandinya.
Tanpa sengaja saat dirinya mengusap tubuhnya untuk meratakan air di seluruh tubuhnya, ia menyentuh bagian leher. “Hmm?!” Liana mengangkat sebelah alisnya bingung.
Dia merasa ada sesuatu disana, namun saat dia melihat bagian lehernya, tak ada apapun. Liana kembali meraba dan tetap merasakan hal yang sama. “Aneh.”
Liana segera keluar dari bak mandi kemudian mengambil kain yang berguna sebagai handuk untuk mengeringkan dirinya.
Lalu mengambil helai demi helai pakaian model Hanfu lalu memakainya tanpa kesalahan urutan.
Yak, sebagai seorang anggota militer dunia, Liana sering berkunjung ke berbagai negara termasuk di bagian Asia Tenggara. Jadi dia sudah tak asing lagi dengan model Hanfu yang terkesan jadul seperti itu.
Setelah selesai berpakaian, Liana segera membuang napasnya. Dia kembali meraba sesuatu yang ada di lehernya, namun kali ini sesuatu itu tak terasa sama sekali. Dia menjadi bingung.
“Mungkin hanya perasaanku saja,” ucapnya seraya mengangkat bahunya acuh kemudian keluar dari ruangan itu menemui Ling yang menunggunya.
~o0o~
KRITIK dan SARAN selalu diterima...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
🌺BaiFumei🌼
apa yang terjadi
2022-01-18
1
🌹°/❀°Elzatta Levion°❀/°🌹
China ada di Benua Asia Tenggara yak, lupa aku😁
2021-12-22
1
azka aldric Pratama
gw tahu ap yg di leher🤔🤔🤔pasti kumpulan para daki 🤣😂😂😂😂😂
2021-12-20
2