Kaku Mayat
Bangunan rumah sakit megah -di tengah-tengah jalanan kota yang sepi- malam itu, dibisingkan dengan suara tembakkan. Suara ledakan yang ditimbulkan dari pelatuk pistol yang memukul peluru, terdengar bersahutan. Sumbernya berasal dari sebuah ruangan di belakang rumah sakit yang bertuliskan Kamar mayat.
Terlihat beberapa polisi menembakkan pistolnya kedalam ruangan yang pintunya terbuka lebar itu. Mereka terus menembakkan pelurunya, -dengan kejam- kearah seorang laki-laki tua yang merangkak dari atas bed besi. Padahal laki-laki paruh baya itu, sudah bersimbah darah, tetapi ia terus berusaha merangkak turun dari bed besi itu. Ia mengerang kesakitan, untuk setiap timah panas yang menghujam tubuhnya. Tetapi polisi-polisi itu tidak perduli. Mereka bergantian menembak, sambil terus bersembunyi ditembok luar ruangan itu. Ketakutan yang mencekam tergambar jelas di wajah mereka.
Gerakan laki-laki itu kaku sekali, seperti boneka rusak yang dipaksa bergerak. Kepalanya mengeleng-geleng liar kesana-kemari. Wajahnya yang bersimbah darah menatap kosong polisi-polisi yang terus menambakinya. Tangannya, yang penuh luka itu, kini sudah berhasil meraih lantai keramik berwarna putih khas kamar mayat. Mereka semakin panik. Tentu saja mereka panik, tidak seharusnya orang yang nyawanya sudah dicabut dari raga, sudah dinyatakan mati oleh dokter dua jam yang lalu, bisa merangkak kembali.
Suasana semakin mencekam dan histeris, tidak ada satupun dari mereka -polisi gagah dan berbadan besar- yang berani mendekat. Beberapa ada yang berteriak seperti perempuan, beberapa ada yang melarikan diri. Tapi tetap ada polisi yang dengan berani menutup pintu kamar mayat yang sedang mencoba diraih oleh mayat itu. Beberapa yang lain tetap menembak, dan ada yang menelepon bantuan. Mereka bahu membahu agar mayat laki-laki tua itu tidak merangkak keluar ruangan. Dan suara-suara tembakan itu terus bergaung, menggema di seluruh bangunan rumah sakit.
Beberapa menit kemudian, terlihat sebuah mobil Rover hitam melesat cepat dan berhenti mendadak di depan kamar mayat. Seorang laki-laki berumur sekitar 30tahun, dengan rambut model undercut rapi, dan mengenakan jas dokter keluar dari mobil. Sorot matanya yang tajam –dengan alis tebal – menatap polisi-polisi yang kini menoleh kearahnya. Polisi-polisi itu sumringah, melihat dokter spesialis forensiknya berjalan tanpa ragu menuju kamar mayat. Beberapa mengisyaratkan untuk menghentikan tembakan mereka, agar dokter itu bisa dengan aman masuk kedalam.
Namun baru saja sepatu pantofel hitamnya menyentuh lantai yang penuh darah, kehadirannya sudah disambut oleh mayat hidup yang kini berdiri tegak itu. Badanya yang penuh luka membusung dihadapan dokter itu, seolah tidak mau direndahkan oleh tatapan tajamnya. Mereka berdua saling bertatap beberapa detik, seolah saling mengancam. Polisi-polisi itu menelan ludah, tegang, dan mensiagakan pistolnya.
Dokter itu sungguh percaya diri, dengan tangan kosong –yang daritadi ia sembunyikan didalam saku jas nya- ia berani berhadapan dengan fenomena aneh itu. Ia terus mengarahkan sorot mata tajamnya ke wajah hancur mayat itu. Beberapa peluru pasti sudah berhasil mengenai wajah, menghancurkan bola mata kiri, dan pelipisnya. Kini wajahnya bersimbah darah dan daging caruk-maruk menjadi satu, sangat mengerikan untuk dilihat. Mulutnya terbuka lebar, dan mayat itu mulai menggeram keras.
Sejurus kemudian tangan kanan dokter itu menyambar mata kanan mayat itu. Tangan yang daritadi ia sembunyikan di balik saku jas itu, menggenggam sebuak suntik. Ternyata ia sudah menyiapkan dari awal, jarum suntik itu menusuk mata terakhir mayat itu. Darah memuncrat ke jas putih dokter itu. Cairan bening yang ada di dalam suntikan itu mulai masuk, menjalar ke pembuluh darahnya. Mayat laki-laki itu mengerang kesakitan, teriakannya menggaung memenuhi ruangan dengan tembok putih tersebut. Tanganya berayun-ayun, berusaha mencakar sekitar. Namun percuma ia tidak bisa melihat lagi, ia hanya mencakar-cakar udara disekitarnya tanpa arah.
Memanfaatkan hal itu, dokter itu kemudian menyepak dengan keras salah satu kaki kurusnya, dan membuat mayat itu tersungkur ke lantai. Kemudian ia melipat tangan mayat itu ke punggung dan menguncinya. Dengan sigap beberapa polisi langsung membantu, mengamankan mayat itu. Beberapa polisi membawa tali serabut coklat kemudian mulai mengikat kedua tanganya, menahannya seperti layaknya tahanan penjara.
Dokter itu mendengkus pelan, menghembuskan nafas nafas lega dari hidung yang mancungnya. Seorang polisi muda –yang tidak ikut membantu mengamankan mayat itu- kemudian mendekati dengan membawa beberapa kertas laporan.
"Datang jam berapa?" ucap dokter itu seraya mengambil laporan dari tangan polisi muda itu.
"Emm jam tujuh malam tadi dok.." polisi muda itu terlihat bingung.
"Wah.. Matinya jam berapa?" Dokter itu membalik-balik laporan.
"Jam enam kata dokter Teddy..."
"Jam berapa??" Dokter itu mengarahkan telinga kirinya mendekat ke polisi itu, mencoba mendengarkan ucapannya. Sepertinya telinga kanan dokter ini tuli.
"Jam... E-enam dok..." ulang polisi itu dengan ragu.
"Jam enam.??" Dokter itu kemudian melihat jam tanganya. Ia mendengkus kesal, kam tangan itu ternoda darah. Tentu saja, begitu juga dengan jas dokter dan kebed biru yang ia kenakan tak luput dari percikan darah saat bergulat tadi.
"Teddy salah hitung.. mungkin jam empat atau jam tiga.."
"Kok bisa begitu dok?.." polisi muda itu mengernyit.
Dokter itu tidak menghiraukan. Ia hanya menatap mayat itu –yang kini dikerumuni banyak sekali polisi- dengan tatapan sedih.
"Trus mayat ini dikemanakan dok?" Wajah sedih dokter itu seketika berubah menjadi takut.
"Di kembalikan saja..." ucapnya ragu sambil menyodorkan kembali kertas laporan itu.
Polisi itu kemudian membolak-baliknya, ia mencari sesuatu "Jalan andalas nomor 2... kesini dokter?"
"Bukan..." ucapnya pelan. Sejurus kemudian Dokter itu memegangi telinga kanannya seolah merasakan nyeri.
Polisi itu semakin bingung, ia kemudian membolak-balik kertas laporan itu dengan teliti. Mengedarkan pandangan matanya menjelajah data mayat itu. "Kabupaten Malang, kecamatan Bukitbesar, desa leng..."
"Pendosa..." potong dokter itu dengan suara lirih. Ia kemudian melepas jas dokter dan menggantungya di lengan kiri.
Polisi muda itu makin bingung mendengar kata-kata lirih itu. Hampir-hampir ia ingin bertanya lagi untuk memastikan kata-kata apa yang didengarnya barusan. Tetapi dokter itu sudah berjalan pergi dari hadapannya, keluar dari kamar mayat sambil terus memegangi telingannya yang nyeri.
Polisi muda itu mengejarnya dengan wajah bingung. Dokter itu menoleh, ia hampir membuka pintu mobil Rovernya. Melihat wajah bingung campur ketakutan itu, Dokter itu akhirnya menghampirinya dan berbisik pelan.
"Ketempat yang seharusnya..."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
⍣⃝ꉣꉣAndini Andana
mampiiiir thor, pinisirin selalu 😁
2023-09-03
1
Adinda
ada apa gerangan? menyimpan teka-teki
2022-06-18
0
fifi
waaaah horor
2022-04-03
1