NovelToon NovelToon

Kaku Mayat

Fenomena Aneh

Bangunan rumah sakit megah -di tengah-tengah jalanan kota yang sepi- malam itu, dibisingkan dengan suara tembakkan. Suara ledakan yang ditimbulkan dari pelatuk pistol yang memukul peluru, terdengar bersahutan. Sumbernya berasal dari sebuah ruangan di belakang rumah sakit yang bertuliskan Kamar mayat.

Terlihat beberapa polisi menembakkan pistolnya kedalam ruangan yang pintunya terbuka lebar itu. Mereka terus menembakkan pelurunya, -dengan kejam- kearah seorang laki-laki tua yang merangkak dari atas bed besi. Padahal laki-laki paruh baya itu, sudah bersimbah darah, tetapi ia terus berusaha merangkak turun dari bed besi itu. Ia mengerang kesakitan, untuk setiap timah panas yang menghujam tubuhnya. Tetapi polisi-polisi itu tidak perduli. Mereka bergantian menembak, sambil terus bersembunyi ditembok luar ruangan itu. Ketakutan yang mencekam tergambar jelas di wajah mereka.

Gerakan laki-laki itu kaku sekali, seperti boneka rusak yang dipaksa bergerak. Kepalanya mengeleng-geleng liar kesana-kemari. Wajahnya yang bersimbah darah menatap kosong polisi-polisi yang terus menambakinya. Tangannya, yang penuh luka itu, kini sudah berhasil meraih lantai keramik berwarna putih khas kamar mayat. Mereka semakin panik. Tentu saja mereka panik, tidak seharusnya orang yang nyawanya sudah dicabut dari raga, sudah dinyatakan mati oleh dokter dua jam yang lalu, bisa merangkak kembali.

Suasana semakin mencekam dan histeris, tidak ada satupun dari mereka -polisi gagah dan berbadan besar- yang berani mendekat. Beberapa ada yang berteriak seperti perempuan, beberapa ada yang melarikan diri. Tapi tetap ada polisi yang dengan berani menutup pintu kamar mayat yang sedang mencoba diraih oleh mayat itu. Beberapa yang lain tetap menembak, dan ada yang menelepon bantuan. Mereka bahu membahu agar mayat laki-laki tua itu tidak merangkak keluar ruangan. Dan suara-suara tembakan itu terus bergaung, menggema di seluruh bangunan rumah sakit.

Beberapa menit kemudian, terlihat sebuah mobil Rover hitam melesat cepat dan berhenti mendadak di depan kamar mayat. Seorang laki-laki berumur sekitar 30tahun, dengan rambut model undercut rapi, dan mengenakan jas dokter keluar dari mobil. Sorot matanya yang tajam –dengan alis tebal – menatap polisi-polisi yang kini menoleh kearahnya. Polisi-polisi itu sumringah, melihat dokter spesialis forensiknya berjalan tanpa ragu menuju kamar mayat. Beberapa mengisyaratkan untuk menghentikan tembakan mereka, agar dokter itu bisa dengan aman masuk kedalam.

Namun baru saja sepatu pantofel hitamnya menyentuh lantai yang penuh darah, kehadirannya sudah disambut oleh mayat hidup yang kini berdiri tegak itu. Badanya yang penuh luka membusung dihadapan dokter itu, seolah tidak mau direndahkan oleh tatapan tajamnya. Mereka berdua saling bertatap beberapa detik, seolah saling mengancam. Polisi-polisi itu menelan ludah, tegang, dan mensiagakan pistolnya.

Dokter itu sungguh percaya diri, dengan tangan kosong –yang daritadi ia sembunyikan didalam saku jas nya- ia berani berhadapan dengan fenomena aneh itu. Ia terus mengarahkan sorot mata tajamnya ke wajah hancur mayat itu. Beberapa peluru pasti sudah berhasil mengenai wajah, menghancurkan bola mata kiri, dan pelipisnya. Kini wajahnya bersimbah darah dan daging caruk-maruk menjadi satu, sangat mengerikan untuk dilihat. Mulutnya terbuka lebar, dan mayat itu mulai menggeram keras.

Sejurus kemudian tangan kanan dokter itu menyambar mata kanan mayat itu. Tangan yang daritadi ia sembunyikan di balik saku jas itu, menggenggam sebuak suntik. Ternyata ia sudah menyiapkan dari awal, jarum suntik itu menusuk mata terakhir mayat itu. Darah memuncrat ke jas putih dokter itu. Cairan bening yang ada di dalam suntikan itu mulai masuk, menjalar ke pembuluh darahnya. Mayat laki-laki itu mengerang kesakitan, teriakannya menggaung memenuhi ruangan dengan tembok putih tersebut. Tanganya berayun-ayun, berusaha mencakar sekitar. Namun percuma ia tidak bisa melihat lagi, ia hanya mencakar-cakar udara disekitarnya tanpa arah.

Memanfaatkan hal itu, dokter itu kemudian menyepak dengan keras salah satu kaki kurusnya, dan membuat mayat itu tersungkur ke lantai. Kemudian ia melipat tangan mayat itu ke punggung dan menguncinya. Dengan sigap beberapa polisi langsung membantu, mengamankan mayat itu. Beberapa polisi membawa tali serabut coklat kemudian mulai mengikat kedua tanganya, menahannya seperti layaknya tahanan penjara.

Dokter itu mendengkus pelan, menghembuskan nafas nafas lega dari hidung yang mancungnya. Seorang polisi muda –yang tidak ikut membantu mengamankan mayat itu- kemudian mendekati dengan membawa beberapa kertas laporan.

"Datang jam berapa?" ucap dokter itu seraya mengambil laporan dari tangan polisi muda itu.

"Emm jam tujuh malam tadi dok.." polisi muda itu terlihat bingung.

"Wah.. Matinya jam berapa?" Dokter itu membalik-balik laporan.

"Jam enam kata dokter Teddy..."

"Jam berapa??" Dokter itu mengarahkan telinga kirinya mendekat ke polisi itu, mencoba mendengarkan ucapannya. Sepertinya telinga kanan dokter ini tuli.

"Jam... E-enam dok..." ulang polisi itu dengan ragu.

"Jam enam.??" Dokter itu kemudian melihat jam tanganya. Ia mendengkus kesal, kam tangan itu ternoda darah. Tentu saja, begitu juga dengan jas dokter dan kebed biru yang ia kenakan tak luput dari percikan darah saat bergulat tadi.

"Teddy salah hitung.. mungkin jam empat atau jam tiga.."

"Kok bisa begitu dok?.." polisi muda itu mengernyit.

Dokter itu tidak menghiraukan. Ia hanya menatap mayat itu –yang kini dikerumuni banyak sekali polisi- dengan tatapan sedih.

"Trus mayat ini dikemanakan dok?" Wajah sedih dokter itu seketika berubah menjadi takut.

"Di kembalikan saja..." ucapnya ragu sambil menyodorkan kembali kertas laporan itu.

Polisi itu kemudian membolak-baliknya, ia mencari sesuatu "Jalan andalas nomor 2... kesini dokter?"

"Bukan..." ucapnya pelan. Sejurus kemudian Dokter itu memegangi telinga kanannya seolah merasakan nyeri.

Polisi itu semakin bingung, ia kemudian membolak-balik kertas laporan itu dengan teliti. Mengedarkan pandangan matanya menjelajah data mayat itu. "Kabupaten Malang, kecamatan Bukitbesar, desa leng..."

"Pendosa..." potong dokter itu dengan suara lirih. Ia kemudian melepas jas dokter dan menggantungya di lengan kiri.

Polisi muda itu makin bingung mendengar kata-kata lirih itu. Hampir-hampir ia ingin bertanya lagi untuk memastikan kata-kata apa yang didengarnya barusan. Tetapi dokter itu sudah berjalan pergi dari hadapannya, keluar dari kamar mayat sambil terus memegangi telingannya yang nyeri.

Polisi muda itu mengejarnya dengan wajah bingung. Dokter itu menoleh, ia hampir membuka pintu mobil Rovernya. Melihat wajah bingung campur ketakutan itu, Dokter itu akhirnya menghampirinya dan berbisik pelan.

"Ketempat yang seharusnya..."

 

 

Forensik

Bunyi memekik pintu itu sungguh memekakkan telinga. Suara besi engsel -yang sudah tua dan karatan- saling beradu, mengawali pagiku di stase baru Dokter Muda ini. Aku memutuskan untuk membuka lebar pintu tua ruang kuliah forensik itu, agar tidak berbunyi lagi bila ada orang masuk.

Ngiiiik. Seorang temanku yang bertubuh gendut masuk dan menyenggol pintu itu. Pintu itu memekik lagi. Aku menutup telingaku rapat-rapat. Oh aku benci forensik.

Bila ada yang tidak aku sukai di dunia kedokteran ini, itu adalah mayat. Memang, aku selalu menjadi yang pertama ketika ada pasien gawat yang butuh pertolongan, tetapi aku juga menjadi orang yang pertama kabur ketika pasien itu meninggal. Entah mengapa, aku begitu benci, takut, terhadap mayat. Namun agaknya, aku tidak bisa terus menghindar. Dalam dua tahun pendidikan profesi Dokter Muda, kami harus melewati 14 stase atau mata kuliah. Salah satunya adalah stase yang bakalan aku benci ini, Forensik.

Tetapi semangatku membara pagi itu -meski sambil menutup telinga setiap ada teman yang masuk menyenggol pintu- ini adalah stase terakhirku sebelum aku lulus dan jadi dokter sungguhan. Duduk di kursi terdepan, aku membolik-balik halaman buku ajar forensik yang kemarin aku pinjam dari perpustakaan. Bau kertasnya bisa aku cium dengan harum, oh aku suka buku. Tetapi kemudian mataku terbelalak melihat foto-foto mayat yang ditampilkan disana. Masih tidak menyangka aku akan berinteraksi dengan mayat di stase ini. Yah di stase lain pun sebenarnya, aku juga berinteraksi dengan mayat. Namun awalnya mereka hidup, dan meninggal karena penyakit, sedangkan disini dari awal mereka sudah nggak hidup. Tuhan kuatkan aku.

Ngiiik

Tuhan aku sudah nggak kuat. Geramku dalam hati, lantas kemudian pindah ke kursi paling belakang.

Forensik adalah Stase yang berkutat terhadap mayat, kriminalitas, dan kematian. Disini kami bertugas menjaga kamar mayat rumah sakit. Setiap ada mayat yang dikirim dari kepolisian atau warga setempat, kami mengidentifikasinya, melakukan apa yang disebut sebagai Visum jenazah. Kami berjaga 24 jam di ruangan kuliah ini yang letaknya persis di sebelah kamar mayat. Jangan kaget, karena di ruangan ini juga tempat kami tidur, mandi dan makan dan juga sebagai kelas untuk belajar.

Ruangan ini bagus sekali, -kecuali pintu reyot tua berisik itu- luas, dindingnya berwarna biru muda terang. Ada kamar mandi dalam, yang bersih, terawatt, dan tidak bau layaknya kamar mandi pada umumnya. Namun tetap saja, sepertinya aku tidak akan betah tidur disini.

Bau busuk dari kamar mayat sebelah mulai tercium. Baunya seperti telur busuk dicampur dengan bau bangkai tikus, semilir menusuk indra penciumanku. Meski ruangan ini ber AC –aku juga sudah duduk di kursi paling belakang- namun tidak dapat membendung tajam bau busuknya. Mungkin karena aku membuka lebar-lebar pintu reyot itu, Sial! Aku bangkit, sambil menahan mual, kemudian aku menutup pintu itu, dan bergegas menuju ke kamar mandi.

Betapa menjijikkannya, Aku bahkan muntah, dihari pertamaku berjaga ini. Soto ayam Bu Asih yang paling enak se-rumah sakit ini, habis sudah termuntahkan ke kloset WC. Padahal aku sudah rela berangkat lebih pagi demi merasakan makanan wajib dokter muda itu.

Walaupun aku benci mayat, aku tetap tidak mau terlihat malas didepan dosenku, terlebih dokter spesialis forensik itu baik-baik. Namun pada akhirnya aku terlambat masuk kelas karena terlalu lama di kamar mandi. Dan kelas pagi itu pun dimulai.

 

 

Visum Jenazah

Pelajaran hari pertama cukup membosankan, hanya perkenalan departemen forensik saja. Tetapi aku tidak bisa fokus, aku belum terbiasa dengan bau mayat. Beberapa temanku melihatku khawatir, wajahku pucat pasi sambil terus menutupi hidungku. Aku melambaikan tangan padanya dan tersenyum kecil, mengisyaraktan bahwa aku tidak apa-apa.

"Iya dokter Sultan ada yang mau ditanyakan?"

Aku kaget setengah mati, dosenku didepan tiba-tiba memanggilku.

"Emm... tidak ada dok..."

"Trus kenapa tadi angkat tangan?"

Seluruh kelas tertawa. Sial, teman-temanku itu tidak mengkhawatirkanku. Mereka hanya mencari bahan ejekan saja, untuk mengisi kelas yang membosankan ini. Aku kemudian tertunduk malu. Dan jam pelajaran pun berlanjut hingga siang hari.

Pukul dua siang, sebagian teman kelasku pulang, dan sebagian lagi berjaga, termasuk aku. Sambil melepas jas dokter muda yang menutupi kemejaku sepanjang hari ini -Menaruhnya di meja yang akan aku buat tempat tidur nanti malam- aku menghampiri keempat temanku, tim dokter muda yang akan berjaga malam ini. Jangan kaget, karena kami berjaga hingga esok pagi. Dan, ya, tentu saja, besok pagi masih ada kelas hingga jam dua siang sama seperti hari ini. Sehingga bisa dikatakan aku tidak pulang dari pukul tujuh pagi hari ini hingga besok siang jam dua. Begitulah kira-kira jam kerja seorang Dokter Muda, melelahkan bukan? Tapi ini masih siang, kelelahan sesungguhnya terjadi malam nanti.

Sekitar pukul tujuh malam ruangan kami diketok oleh petugas kamar mayat, mengisyaratkan bahwa ada mayat yang harus di Visum. Segera kami menyiapkan alat-alat yang diperlukan, yaitu Kamera, penggaris, hanscoen, masker, buku catatan dan alat tulis. Kami berlima kemudian masuk kedalam kamar mayat. Begitu kami membuka pintu kamar mayat, bau tidak enak langsung menyeruak menusuk hidung. Tetapi bau ini berbeda, ini bukan bau mayat. Ini bau darah!

Diatas bed besi, terbaring mayat seorang laki-laki tua. Ia mengenakan jaket motor tebal yang robek disana-sini penuh darah. Kecelakaan! Hal pertama yang terlintas di pikiranku. Dengan penuh semangat aku langsung mendekati mayat itu, lebih dahulu daripada teman-teman yang lain.

"HOEEEEEKKKK..."

Aku langsung mual, badanku terhuyung lemas. Kakiku gemetaran, aku jatuh terduduk dengan tangan menapak lantai, menahan punggungku agar tidak jatuh. Seorang teman kemudian menangkapku yang hampir jatuh pingsan itu.

"Tan? Sultan! Santai tan... keluar dulu aja kalau gakuat..."

"I-ii... I-iya bro, haduh, maaf ya..." ucapku lirih sambil terus menutup mulutku.

Dua temanku kemudian membopongku keluar, mendudukukanku di kursi tunggu dekat ruang mayat. Mereka kemudian masuk kembali.

SIAL! Aku tidak kuat melihat kengerian itu. Kepala mayat itu remuk sebagian, wajahnya berlumur darah, dan bola matanya menggantung keluar. Isi didalam kepalanya keluar. Terlihat begitu jelas untaian-untaian otak yang bersemburat sepanjang dahinya. Jenazah itu hampir tidak bisa dikenali. Bau darah menusuk tajam kehidungku, bau seperti besi berkarat –memang darah kita mengandung senyawa besi- membuatku mual seketika.

Meski sebenarnya bau itu tidak sebusuk bau mayat yang membusuk, namun kenapa aku tetap saja mual saat mendekat. Mungkin karena penglihatan, aku masih belum terbiasa melihat mayat. Kemudian terlintas lagi wajah mayat itu di pikiranku. Bulu kudukku berdiri, tulang-tulangku menggigil, jantungku berdetak kencang, aku tidak bisa mengendalikan ketakutanku.

"Takut ya dok?"

Tiba-tiba seorang bapak-bapak menyapaku hangat dari belakang. Aku menatapnya bingung. Wajahnya begitu ramah dan hangat, rambutnya tebal dan terisisir rapi, dengan sorot mata yang sayu. Meskipun bapak-bapak tapi dia terlihat cukup muda, tanpa kumis dan jenggot yang ia cukur rapi. Aku tidak mengenalinya, yang pasti dia bukan petugas kamar mayat.

"Iii... iya... pak..." ucapku sambil gemetaran.

"Hahaha... yasudah tunggu sini aja.."

Senyumnya begitu hangat, bapak ini ramah sekali. Tawa kecilnya menenangkan ketakutanku, seketika gemetarku menghilang. Mungkin karena aku diijinkan untuk tetap diluar sementara teman-temanku mengerjakan visum didalam. Hahaha, jiwa nakalku tertawa, aku tidak harus melihat mayat lagi.

Setelah menenangkanku, bapak dengan senyum hangat itu masuk kedalam kamar mayat, diikuti oleh dua polisi, Eh? Karena terlalu sibuk dengan ketakutanku aku tidak memperhatikan ada dua orang polisi yang mengikutinya dari belakang. Jangan-jangan bapak itu Polisi yang menangani kasus kecelakan. Aduh sial! Aku segera bangkit dan memberanikan diri kembali masuk ke kamar mayat. Aku tidak mau terlihat sebagai dokter muda yang penakut.

Prosedur Visum jenazah gampangnya adalah prosedur untuk mengidentifikasi mayat. Kami mencatat dan memfoto kondisi dan semua atribut yang dikenakan mayat. Semua luka yang ada di badan, juga kami ukur dan catat tanpa terkecuali, disemua regio di badannya. Kami identifikasi setiap jenis luka yang ada di mayat itu, entah itu luka iris, luka robek, luka memar, semua harus kami catat. Visum jenazah ini sangat dibutuhkan polisi, untuk kemudian dibuatkan laporan kepolisian resmi. Visum jenazah tidak dilakukan untuk mencari penyebab kematian, dan tidak digunakan untuk menentukan penyebab kematian. Meski kami semua tau mayat ini mati karena kecelakaan.

Bapak bersenyum hangat itu nampaknya tahu betul cara melakukan visum, ia terlihat mengkomando teman-temanku. Polisi-polisi yang mengikutinya hanya mengamati, sesekali mereka membuka barang bawaan mayat dan mengamatinya. Aku hanya bisa melihat dari jauh sambil ketakutan. Aku malu sekali, aku sama sekali tidak membantu mereka. bahkan teman perempuanku saja tidak takut. Dengan berani ia menelanjangi mayat itu dan mulai memfoto dan mengukur lukanya. Bahkan tanpa ragu ia menyingkapkan mata dan otak yang terbaur itu, agar dapat mengukur luka remuk dikepala. Bulu kudukku merinding melihatnya. Teman-temanku begitu sibuk sehingga mengacuhkanku yang hanya mematung di pojok ruangan.

Biasanya Visum jenazah berlangsung sebentar, namun karena banyaknya jumlah luka pada mayat ini dan aku yang tidak berguna, kami baru menyelesaikannya tepat tengah malam.

Setelelah selesai, aku segera merebut catatan visum dari salah satu temanku yang bertugas mencatat. Aku segera berlari kedalam Ruang Jaga (Ruang Kuliah) kami dan mulai mengetik laporan Visum resmi. Hanya itu yang bisa aku lakukan dalam tim ini, Setidaknya agar teman-temanku tidak marah karena aku tidak membantu. Aku menyisir pelan rambut tipisku yang berkeringat, Jari-jemariku beradu dengan tombol keyboard laptop, dan aku mulai mengetik.

Lukanya begitu banyak, aku sampai habis tiga halaman sendiri untuk deskripsi lukamya. Setelah selesai mengerjakan, aku segera print laporan visum rumah sakit itu, dan kuserahkan pada salah satu polisi tersebut.

Berakhirlah kegiatan visum malam itu. Teman-temanku begitu kelelahan, masih untung hanyasatu visum saja malam itu, biasanya-menurut kakak kelas- kami bisa melakukan dua hingga lima visum jenazah setiap malam. Namun satu itu saja sudah sangat berat.Teman-temanku juga belum terbiasa. Benar-benar jaga malam pertama yang melelahkan.

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!