Syut. . .
Juni menghentikan sepedanya dengan pelan. Sedangkan Risa sudah terlihat melepas sepatu rodanya.
"Syukurlah tidak terlambat!" celetuk Juni pelan sembari mengelus bagian dadanya.
Risa berdiri menatap gedung sekolah barunya, dan sama sekali tidak merespon keluhan sahabatnya. Dia tersenyum, memikirkan sesuatu di dalam benaknya. Juni yang menyaksikan berpura-pura tidak melihat, karena dia sudah sangat mengenal sahabat dekatnya itu. Juni tahu betul bagaimana emosionalnya Risa, meskipun gayanya terlihat tomboy.
"Juni!" pekik Irfan dari belakang, lalu berlari mendekat dan langsung merangkul Juni. Alhasil Risa pun menoleh ke pemilik sumber suara itu.
"Siapa?" Irfan melirik Risa yang sedang berada di samping Juni.
"Nanti juga kamu tahu! duluan saja gih ke kelas!" balas Juni sembari melepas rangkulan temannya yang berambut kribo itu. Irfan pun memasang wajah cemberut seraya menatap tajam Juni dan Risa. Kemudian dia segera beranjak pergi menuju kelas.
"Ayo!" ajak Juni yang memimpin jalan ke arah kantor guru.
"Ris kok jadi pendiam gitu, jadi aneh lihatnya! gugup ya?" tegur Juni, pada Risa yang saat itu tengah meremas-remas jarinya karena gugup.
Risa berdecak kesal dan segera mencubit lengan Juni yang penuh akan lemak. Dia berusaha memberikan sinyal pada sang sahabat agar segera menutup mulut. Juni pun terdiam, dan memasang wajah merengut. Membuat Risa sedikit terkekeh kala melihatnya.
Teng! Teng! Teng!
Suara bel tanda masuk kelas berbunyi.
“Kamu bisa sendiri kan bicara ke guru? apa perlu aku temani terus?" sindir Juni.
Risa memasang wajah percaya dirinya dan mendorong Juni dengan pelan, “Sana gih! aku bisa kok!” ujar Risa yakin.
“Oke, aku duluan ya!” Juni melambaikan tangannya dan segera berlari menuju kelas.
Seorang guru keluar dari kantor dan menegur Risa yang saat itu bersiap masuk ke kantor guru, "Hei! kamu kenapa nggak masuk kelas?"
"Anu Pak, mmm . . . saya murid pindahan," balas Risa gugup.
"Oh pantesan, rasanya Bapak belum pernah lihat kamu di sini," jawab guru yang sering di sapa Pak Diwan itu.
"Ya sudah ayo masuk dulu!" perintah Pak Diwan.
"Ada apa Pak?" seorang wanita menyapa Pak Diwan yang membawa Risa masuk ke kantor guru.
"Ini kita punya murid pindahan!" balas Pak Diwan pada wanita tersebut.
"Oh iya ya? kamu duduk di sini ya!" suruh wanita itu ramah.
"Oh iya Bapak lupa nanya nama kamu?" Pak Diwan menunjukkan tangannya ke arah Risa.
"Marisa Indriyani Pak," Jawab Risa dengan ukiran senyumnya.
"Oh Marisa. Kamu konsul sama Bu Tiwi dulu ya biar dipilihkan kelasnya!" kata Pak Diwan, Risa pun langsung mengangguk untuk mengiyakan. Setelah itu Pak Diwan tampak beranjak pergi membawa beberapa buku ditangannya.
***
Bu Tiwi menyuruh Risa mengeluarkan berkas-berkas untuk mengisi biodata keanggotaan sekolah. Dia juga menanyakan beberapa pertanyaan penting untuk Risa.
"Kenapa kamu pindah sekolah ke sini? padahal sekolah kamu yang dulu itu adalah sekolah ternama loh, dan pastinya lebih bagus dari sekolah ini," Bu Tiwi penasaran.
Risa terdiam mendengar pertanyaan tersebut, otaknya mencoba mencari-cari jawaban yang cocok untuk pertanyaan itu. “Karena . . . lebih dekat?” jawab Risa enggan.
Bu Tiwi mengangguk pelan, ketika mendengar alasan yang menurutnya tidak masuk akal itu. Sesekali dia memperbaiki kacamata yang hampir terjatuh, karena dirinya memiliki hidung yang tidak cukup mancung untuk menyangganya.
Hening terjadi beberapa saat. Risa hanya bisa menonton Bu Tiwi yang membolak-balikkan kertas-kertasnya.
Kala itu Bu Tiwi dibuat kaget dengan nilai sempurna yang tertulis di rapor milik Risa. Padahal tadinya dia ingin menanyakan alasan yang lebih tepat pada Risa tentang kepindahannya ke sekolah ini, tapi segera dia urungkan. Bahkan nilai kesopanannya sebagai murid juga tertulis sangat bagus. 'Guru di sekolah mana mau menolak seorang murid yang pintar seperti Risa!' pikir Bu Tiwi.
"Bu bukankah sudah telat, saya nggak mau telat di hari pertama," bujuk Risa sembari memberikan senyumannya yang manis, merunyamkan pikiran Bu Tiwi seketika.
"Ya sudah ayo ikut Ibu!" Risa langsung berdiri mengikuti Bu Tiwi untuk segera memasuki kelas barunya.
***
"Selamat pagi, Pak Diwan?" sapa Bu Tiwi seraya memanjangkan leher untuk menengok ke dalam kelas. Setelah itu Bu Tiwi langsung memberikan sinyal pada Risa agar segera masuk ke dalam kelas.
"Sini Marisa!" suruh Pak Diwan yang saat itu kebetulan mengajar di kelas yang Risa masuki.
Juni tertegun kala melihat Risa, dia menatap tajam sahabatnya. Berharap Risa menyadari keberadaan dirinya di kelas tersebut. Namun sepertinya Risa masih tidak sadar akan keberadaan Juni, karena posisi lelaki bertubuh berisi itu berada di bangku yang paling belakang.
"Nggak usah perkenalan ya, kalian tanyakan langsung ke orangnya saja kalau penasaran!" ucap Pak Diwan malas.
"Yah Bapak, perkenalan dong!" imbuh Agus sang ketua kelas dengan suara yang lantang. Alhasil semua murid pun ikut-ikutan memohon agar Risa segera memperkenalkan dirinya. Pak Diwan segera menatap Risa, untuk memberi sinyal pada gadis berambut pendek sebahu itu.
"Perkenalkan namaku Marisa Indriyani, bisa dipanggil Risa!" kata Risa singkat sembari memberikan sedikit senyuman.
"Sudah punya pacar?"
"Ini Deni Katanya suka kamu Hihihi"
"Nomor hp nya dong!"
Berbagai respon dari siswa-siswi di kelas itu, hanya membuat Risa sedikit menyeringai. Sedangkan Juni hanya bisa tertawa kecil kala melihat teman-teman sekelasnya itu ribut seperti biasa.
Akhirnya mata Juni dan Risa tidak sengaja bertemu, mereka pun saling tersenyum bangga. Menandakan keduanya merasa bahagia saat saling bertemu.
"Sudah, sudah! nanti kalian tanyakan sendiri. Kamu duduk di bangku kosong itu ya Ris!" Pak Diwan mencoba menenangkan kelas yang dipimpinnya. Hal itu sontak menghentikan interaksi antara Juni dan Risa.
Risa duduk di bangku kosong yang diberikan Pak Diwan untuknya. Sekali-kali dia tersenyum menyapa siswa-siswi yang memang berniat menyapanya. Gadis itu duduk satu baris di depan dari Juni, dan terhelat dua baris yang memisah keduanya. Dia menengok ke belakang untuk melihat sang sahabat.
Saat berbalik, Juni sudah menatapnya dengan senyuman lebar. Risa langsung menyeringai ketika menyaksikan senyuman yang menurutnya begitu menjengkelkan. Alhasil dia pun kembali memalingkan wajah dari Juni.
Plak!
Irfan menepuk pundak Juni. "Gila ya!" bisik Irfan dengan kekeh menjengkelkannya. Dia menegur Juni yang sedari tadi senyum-senyum sendiri. Hal itu sontak membuat Juni langsung berhenti tersenyum.
"Eh anak baru itu pacarnya Juni." Irfan menyebarkan gosip pada temannya yang lain dengan berbisik.
Plak!
Juni memukul bahu kiri Irfan dan memelototinya. Setidaknya dia berusaha menghentikan kabar burung yang disebarkan oleh temannya tersebut.
"Bener?" Agus yang tidak sengaja mendengar bisikan Irfan pun penasaran. Juni langsung menggeleng dengan kerutan di dahinya, yang sontak membuat Irfan tertawa geli. Lelaki berambut kribo itu seakan sangat puas dengan kejahilannya.
"Ah terlalu cantik dia buatmu!" sambung Agus lagi dengan seringainya. Irfan tiba-tiba merengut, Juni yang melihat ekspresi itu, berharap temannya tersebut mau membelanya.
"Memang orang cantik nggak bisa pacaran sama orang jelek?" bukannya membela, Irfan malah membuat Juni semakin geram.
Brak!
Juni pun melemparkan buku catatannya ke meja Irfan. Hingga menimbulkan suara yang lumayan keras, dan berhasil menarik atensi Pak Diwan yang saat itu sedang menulis di depan kelas.
"Siapa itu?!!" Pak Diwan memasang wajah masamnya.
Juni dan kawan-kawan hanya terdiam, dan tidak mengatakan sepatah kata pun. Kala itu Irfan mengamati Agus dan Juni yang terdiam dan menundukkan kepala.
"Itu tadi saya Pak, ada lalat di meja saya!" celetuk Irfan mencoba memecah kesunyian.
"Haahaaha!" semua orang di kelas tertawa mendengar alasan yang tidak masuk akal itu.
"Sudah! sudah! kalau mau nangkap lalat di situ di tempat sampah! jangan di kelas!" Pak Diwan mencoba menahan tawanya dengan bersikap tegas. Semua siswa di kelas pun terdiam dan melanjutkan belajarnya.
Dalam waktu yang singkat Risa sudah bisa menyesuaikan diri dengan baik. Kepintarannya membuat sebagian murid semakin tertarik padanya. Meskipun begitu Risa masih merasa keinginan orang-orang yang ingin berteman dengannya adalah ilusi belaka. Sebab gadis itu tidak ingin mempercayai orang lain dengan mudah.
***
Teng! Teng! Teng!
Suara bel tanda istirahat berbunyi, Pak Diwan bergegas beranjak pergi dari kelas.
Risa berlari dan langsung duduk di samping Juni, yang saat itu sedang duduk di kursi panjang depan kelasnya. Juni dan kedua temannya pun berhasil dibuat kaget dengan kedatangan Risa.
"Ris, kamu nggak jadi ke kantin?" tanya Juni.
"Iya kok nggak jadi?" Irfan ikut bertanya.
"Nanti saja!" ungkap Risa.
"Cewek-cewek itu, sepertinya nggak seru!" bisik Risa ke telinga Juni, membicarakan teman-teman sekelasnya.
"Hah?" Juni langsung menyenggol Risa dengan sikunya, takut kalau Irfan dan Agus juga mendengar.
"Apanya yang 'HAH'?" Agus bertanya dengan wajah polosnya.
"Nggak kenapa-kenapa kok!" sahut Risa tersenyum.
“Kalau ketua kelas denger bisa kacau balau!” bisik Juni pada Risa. Namun gadis itu hanya bisa tersenyum kecut ketika mendengar bisikan sahabatnya.
Irfan yang sudah tahu cerita persahabatan Juni dan Risa tiba-tiba tersenyum jahat dan berkata, "Ris, kamu mau tahu Juni duduk di sini dan nggak jadi ke kantin?" Irfan mengangkat kedua alisnya. Hal itu pun sontak membuat Risa penasaran dan segera membulatkan matanya.
"Ameliaaaa. . . ooohh! Amell. . ." Juni segera menutup mulut Irfan yang bersenandung untuk mengejeknya. Agus yang paham dengan ejekan itu langsung tertawa geli.
"Apaan sih? Amelia?" Risa masih bingung, dia mengernyitkan dahi.
"Itu Amelia!" Agus menunjuk seorang perempuan berambut keriting yang tengah bermain voli.
Risa pun menilik lapangan voli untuk mencari gadis yang disebutkan oleh Agus. Hingga atensinya berhenti pada gadis cantik yang memakai kaos olahraga berwarna abu-abu. Risa menyeringai namun masih belum mengerti.
"Eh kalian apaan sih!" Juni mencoba mengelak dengan pipi mulai memerah.
Risa yang masih kebingungan, terus berusaha mencari jawaban di kepalanya. Raut wajahnya menampakkan dirinya sedang berpikir.
"Aduh Risa masa nggak paham sih!" keluh Irfan seraya menghentakkan sebelah kakinya. Perlahan Risa pun membelalakkan matanya. Dia menatap Irfan dan Agus sambil menganggukkan kepala dengan pelan.
"Eh jangan berpikiran yang macam-macam ya!" Juni menunjukkan jari telunjuknya ke arah Risa.
Risa, Irfan, dan Agus saling tertawa. Sedangkan Juni hanya bisa tersenyum kecut. Kepalanya tertunduk dengan pipi yang merah merona.
"Oh jadi seperti itu ya tipe cewekmu!" Risa menyenggol Juni dengan sikunya.
"Udah ah!" Juni yang sedikit jengkel, langsung berdiri dan pergi ke arah kantin.
***
Risa menggesekkan sepatu rodanya pelan sembari berpegangan erat di sepeda Juni. Hari itu panasnya sinar matahari begitu menusuk. Membuat Juni maupun Risa mengeluarkan keringat yang berlebih di tubuh mereka.
"Ris, jangan dekat-dekat Juni, dia bauu!" pekik Irfan yang lewat, dengan diboncengi oleh ayahnya menggunakan motor.
"HAIISS!!" Juni tampak geram.
"Hahahahahaaa!" Risa tertawa geli dengan memegangi perutnya.
"Wualah! kaya nggak pernah bau aja, semua manusia itu bau tahu!" gerutu Juni dengan nada yang tinggi.
"Aaaaaaa!" Risa memekik karena Juni tiba-tiba mencubit tangannya. Namun sepertinya usaha Juni gagal untuk membuat Risa menjauh.
"Seru ya!" celetuk Risa, dia berbicara dengan menatap ke depan.
"Bicara sama siapa?" tegur Juni, yang membuat Risa langsung menatapnya tajam.
"Sekolahnya yang seru, ah!" balas Risa dengan kerutan dahinya.
"Lebih seru dari sekolahmu dulu?" tebak Juni, yang segera dijawab Risa dengan satu anggukan.
"Kita ke minimarket yuk! aku mau beli camilan," ajak Juni, yang membuat Risa seketika membulatkan matanya.
"Jun, kalau nyokapmu tahu sudah berapa banyak uang yang kamu habisin hanya untuk makan, dia pasti. . ." ungkap Risa yang dilanjutkan dengan menggeleng tak percaya.
"Biarin, paling dia ngomel!" balas Juni santai.
"Idih! dasar pembangkang!" Risa menggertakkan giginya.
"Jadi bagaimana? ikut nggak ke minimarket?" Juni memastikan.
"Ikutlah!" sahut Risa tanpa berpikir lama.
Juni mendorong pintu kaca minimarket dengan pelan, yang di ikuti Risa dari belakang. Keduanya melihat-lihat beberapa camilan untuk di beli. Risa mengambil salah satu camilan rasa balado kesukaan Juni.
"Inikan?" tanya Risa yakin.
"Bosan ah!" respon Juni tak acuh. Hal itu sontak membuat Risa memasang kembali pelototannya pada sang sahabat. Juni yang melihatnya menyeringai, dia lagi-lagi kena cubitan dari Risa.
"Ris, kamu bisa kan nggak gitu lagi!" Juni memegangi lengan bekas cubitan Risa.
"Nggak!" bentak Risa yang membuat kasir minimarket seketika memusatkan perhatiannya kepada mereka. Juni dan Risa pun langsung tersenyum kecut dan sedikit menunduk untuk menyapa. Kasir berkumis tipis tersebut membalas senyuman dua sahabat itu sembari menggelengkan kepalanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Peach 🍑
Hahahahahah aku suka 😍😍😍 cubit aja perut buncitnya Juni sampai bergetar kak 🤣
2021-03-20
2
Dinda Natalisa
Hai author aku mampir nih kasih like jangan lupa mampir di novel ku "menyimpan perasaan" mari saling mendukung.
2021-03-12
0
penahitam (HIATUS)
aku suka cerita anak sekolah bgini kak, jadi kangen masa skolahhh
2021-01-22
1