Joko yang berlari laksana seekor kuda jantan akhirnya sampai di gubuknya pada senja hari. Di dalam usianya yang lima belas tahun, Joko sudah dibekali ilmu olah kanuragan dan beberapa ilmu kesaktian. Ilmu tenaga dalamnya mengalami peningkatan.
“Goceng!” panggil Joko sambil masuk ke dalam gubuk bersama monyet beliannya yang berhasil ia tangkap kembali.
“Goceng pergi.”
Yang menjawab bukan Goceng, melainkan seorang lelaki tua yang asik tidur-tiduran di dipan kayu. Ia bertubuh sedang, bermata cekung dengan jenggot sedada. Kepalanya yang berambut putih diikat dengan pita hitam yang lebar. Kakek itu tidak asing lagi bagi Joko, karena ia adalah orang yang mengajarinya segala macam ilmu sejak bayi.
Nama besar yang disandang oleh si kakek adalah Ki Ageng Kunsa Pari. Ia adalah seorang tokoh sakti yang sulit dicari tandingannya di dunia persilatan. Tetapi selama ini ia tidak sering turun bukit, kecuali bila ada urusan penting.
Kunsa Pari menerima Joko dari ayahnya di hari kelahirannya. Joko dititipkan ayahnya karena suatu masalah besar yang menimpa keluarganya.
“Goceng pergi ke mana, Guru?” tanya Joko.
“Goceng aku suruh pergi ke kediaman Ki Sombajolo,” jawab Kunsa Pari.
“Ada hal apa?”
“Sekarang ini sedang ditakut-takutinya segerombolan perampok oleh banyak penduduk desa!”
“Lalu apa hubungannya?”
“Aku menyuruh Goceng ke sana agar Ki Sombajolo bersedia turun tangan untuk menumpas gerombolan itu.”
“Kenapa bukan Guru saja?” tanya Joko lagi.
“Aku sedang tidak mau berurusan dengan yang namanya kejahatan. Apa lagi aku ini sudah tua. Masih banyak yang muda-muda berkesaktian tinggi, semisal Pangeran Mata Suci, tapi orang itu sangat sulit dicari di mana tempatnya!”
“Aku bisa tidak menumpas gerombolan itu, Guru?”
“Tentu saja bisa, tapi usia dan kemampuanmu masih perlu pematangan. Karena itu, kau harus lebih tekun berlatih dan bekerja keras untuk meningkatkan kehebatanmu sebagai orang persilatan. Orang-orang yang lebih sakti saja berguguran satu demi satu di tangan kelompok rampok itu, apa lagi kau yang ilmunya masih setinggi mata kaki, kecuali jika kau memiliki ilmu pamungkas atau senjata pusaka. Tapi keduanya juga tidak menjamin. Kalau memiliki satu hewan Alam Kahyangan, mungkin...” kata Kunsa Pari lalu memotong kata-katanya sendiri. “Dari mana kau mendapatkannya?”
”Apa, Guru?” tanya Joko.
“Monyet itu!”
“Monyet ini aku beli di desa tadi siang. Di sana aku juga mendapat banyak teman baru. Aku ada rencana mengajak mereka ke mari,” jelas Joko. “Hewan Alam Kahyangan, hewan apa itu, Guru?”
“Hewan Alam Kahyangan tidak ada di alam ini, tapi di Alam Kahyangan. Hewan-hewan Alam Kahyangan sama seperti hewan-hewan di alam ini, tapi hewan di sana adalah hewan raksasa....”
“Sebesar apa?” tanya Joko cepat memotong, ia begitu tertarik dengan gambaran awal gurunya.
“Kalau anak burung sebesar gubuk ini.”
“Kita bisa tidak ke Alam Kahyangan?” Joko semakin antusias.
“Hanya orang-orang yang tahu jalan masuknya, seperti aku dan beberapa orang sakti lainnya.”
“Kita ke sana, Guru!” ajak Joko.
“Kau itu masih kecil, tenaga dalammu masih perlu ditambah. Untuk masuk, perlu tenaga dalam tinggi....”
“Kita ke sana, Guru!” Joko mulai merengek dan meraih tangan tua gurunya.
“Tidak bisa!” tegas Kunsa Pari.
“Sekali saja kok!” Joko kian mendesak dan mulai menarik tangan gurunya.
“Tetap tidak bisa!” sentak Kunsa Pari tanpa mau bangun.
“Jika begitu, aku berhenti belajar, aku mau cari guru lain!” ancam Joko sambil melepaskan tangan gurunya. Joko berbalik hendak keluar.
“Baiklah....” kata Kunsa Pari mengalah, sedikit kesal. Ia bangkit dari rebahannya, lalu agak membentak, “Tapi kau jangan suka mengancam seperti itu!”
Joko hanya cengengesan senang.
“Jangan dikira aku mau mengajakmu karena ancamanmu itu. Setelah aku pikir, tidak ada salahnya mengajakmu mengenal Alam Kahyangan, apa lagi kau sudah bisa mengenal mana yang baik dan mana yang buruk,” kata Kunsa Pari.
Sebenarnya Kunsa Pari menuruti kemauan Joko karena ia tahu bagaimana akibatnya bila anak itu sudah mengancam seperti itu. Pernah Joko pergi mencari guru lain karena kemauannya tidak dituruti, akibatnya Joko nyaris tewas jatuh ke jurang. Apa lagi Kunsa Pari bertanggung jawab penuh atas hidup, keselamatan dan masa depan Joko. Ia wajib mendidik Joko hingga tumbuh menjadi seorang pemuda yang tangguh kesaktiannya. Joko sendiri memiliki karakter berkemauan keras dalam menuntut ilmu, sehingga pada usia semuda itu ia sudah berhasil menguasai beberapa ilmu kesaktian yang juga dimiliki oleh gurunya, meski kekuatan tenaga dalamnya masih di tingkat menengah.
“Jokeng boleh ikut, Guru?” tanya Joko.
“Anak siapa itu?” tanya Kunsa Pari.
“Monyet ini.”
“Terserah.”
Kunsa Pari lalu duduk bersila di dipan.
“Ayo duduk bersila di depanku!”
Joko segera naik ke dipan dan duduk bersila di hadapan gurunya. Sementara monyet yang diberi nama Jokeng itu asik duduk di kepala tuannya.
“Pejamkan matamu!” perintah Kunsa Pari yang sudah memejamkan matanya lebih dulu.
Joko pun pejamkan mata.
Tiba-tiba tubuh Kunsa Pari diselimuti sinar putih yang kemudian menjalar menyelimuti tubuh Joko pula, termasuk monyetnya.
Clap!
Tiba-tiba keduanya lenyap begitu saja. Joko merasakan tubuhnya menembus sebuah lapisan, entah lapisan apa. Ia tidak berani membuka mata sebelum ada perintah.
“Bukalah matamu!”
Mendengar perintah gurunya, Joko cepat belalakkan matanya. Sejenak pandangannya tertumpu pada sosok gurunya, kemudian beredar ke sekitar.
Alam yang dilihat Joko adalah alam pegunungan batu. Sedikit pun tidak ada tanaman hijau atau pohon kayu. Semuanya gunung-gunung batu. Tidak ada awan di langit, bintang, bulan maupun matahari. Langitnya berwarna kuning keputih-putihan.
Tiba-tiba mereka berdua merasakan getaran kecil pada bumi yang mereka pijak. Dan tiba-tiba, dari balik bukit di depan mereka muncul sebuah kepala macan, berwarna hitam dan sangat besar.
“Wah!” pekik Joko benar-benar terkejut dan segera berlari berlindung di belakang punggung gurunya.
Grauumr!
Suara aumannya serasa menggetarkan udara, memekakkan gendang telinga dan cukup menggetarkan jantung.
Joko benar-benar tidak menyangka akan langsung bertemu dengan hewan sebesar itu. Itu baru kepalanya yang terlihat, pikir Joko, bagaimana dengan besar badannya. Ukuran tubuh Joko jelas seukuran gigi-gigi hewan itu. Entah berapa puluh kali lipat dibandingkan dengan macan biasa?
Sungguh menciutkan nyali, apa lagi jika mendengar aumannya. Gigi runcingnya yang besar-besar tampak gagah perkasa siap mengoyak daging sekeras apa pun.
“Melihatnya saja kau sudah takut, bagaimana kau berani mendekatinya?” kata Kunsa Pari.
Macan hitam raksasa itu memandang buas kepada mereka. Matanya yang tajam menyorot menakutkan seperti mata setan di tengah kegelapan malam. Jika saja hewan itu melompat menerkam ke arah mereka, bisa diterka apa yang akan terjadi, sebab hanya sekali lompat harimau itu dapat menjangkau posisi mereka berdiri.
Grauumr!
Harimau kembali mengaum, menunjukkan sikap tidak bersahabat terhadap makhluk asing.
“Apa dia akan menerkam kita, Guru?” tanya Joko was-was.
“Kalau kau datang sendiri ke alam ini, pasti kau sudah ditelan bulat-bulat oleh hewan-hewan di sini!” kata Kunsa Pari.
Kunsa Pari lalu menatap tajam sorot mata macan hitam itu, seolah melakukan komunikasi. Sebentar kemudian, kucing raksasa itu berbalik dan berjalan pergi. Langkahnya menimbulkan getaran-getaran pada bumi sekitar.
“Dahsyat!” ucap Joko terpukau. “Guru memang guruku!”
“Apa baru sekarang kau mengakui aku sebagai gurumu?” tanya Kunsa Pari.
“Hehehe!” Joko hanya terkekeh.
“Sekarang, apa kau mau pulang?” tanya Kunsa Pari.
“Aku ingin melihat hewan lainnya!” jawab Joko semangat, ia begitu tertarik dengan hewan-hewan semacam macan hitam tadi, meskipun cukup membuat nyali jatuh.
“Ayo!”
Ki Ageng Kunsa Pari lalu menyambar tubuh Joko dan dibawanya melesat menaiki bukit batu yang menjulang. Kunsa Pari berhenti di puncak bukit. Melalui tempat itu mereka bisa melihat hamparan gunung-gunung batu yang menjulang tinggi-tinggi.
“Lihat di sana!” tunjuk Kunsa Pari ke arah sebuah tiang batu yang menjulang sangat tinggi.
Di ujung tiang batu itu bertengger seekor kupu-kupu raksasa yang sayapnya berwarna hijau dengan tepiannya berwarna merah.
“Waw! Indah sekali kupu-kupu itu!” seru Joko takjub.
“Sudah, tidak baik jika kita berada di alam ini jika tidak berizin kepada pemiliknya,” kata Kunsa Pari.
“Jadi alam ini ada pemiliknya, Guru?”
“Memangnya alam tercipta begitu saja? Seperti alam dunia, alam dunia dimiliki oleh Pencipta seluruh alam dan makhluk. Alam Kahyangan ini diciptakan oleh seorang resi yang sangat sakti, sehingga ia mampu menciptakan sebuah alam yang tidak nyata yang mampu diberi kehidupan seperti alam nyata. Tapi bila hewan alam ini masuk ke alam dunia, hewan itu dapat berwujud nyata, karena asalnya memang dari alam dunia yang diambil lalu dirubah bentuknya menjadi hewan raksasa dengan ilmunya....”
“Wah, hebat sekali!” Joko kian terkagum.
Kunsa Pari lalu melesat laksana menghilang dari tempatnya dengan membawa tubuh anak didiknya. Joko serasa melesat secepat angin di kala badai. Sebentar saja mereka sudah sampai dengan selamat di depan mulut sebuah gua besar. Mulut gua batu itu berbentuk mulut macan yang menganga lebar.
“Apa ini lubang ular raksasa, Guru?”
Belum lagi Kunsa Pari menjawab, tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki tua yang tak terlihat wujudnya.
“Masuklah, Kunsa Pari!” panggil suara yang sangat jelas keluar dari dalam gua, suaranya menggema bijak.
Kunsa Pari kembali membawa tubuh Joko melesat masuk ke dalam gua yang besar dan panjang itu. Gua itu memiliki penerangan yang berupa sinar-sinar putih yang menempel pada dinding-dinding gua. Pada akhirnya mereka berhenti di satu ruang gua yang cukup lebar.
Seorang lelaki tua berjubah putih duduk bersila di atas sebongkah batu yang merah membara panas. Lelaki tua itu terlihat jauh lebih muda dari usia sebenarnya yang lebih dari satu abad. Seluruh rambutnya memang sudah putih semua, tapi kondisi tubuhnya masih sangat sehat. Matanya yang terpejam bergerak terbuka, maka tampaklah sorot mata yang tajam penuh kewibawaan. Joko merasa tidak tahan untuk terus menatap mata orang tua yang asing baginya.
“Apa kau tidak bosan terus duduk seperti ayam mengeram seperti itu, Resi Putih Jiwa?” tanya Kunsa Pari dengan menyebut nama lengkap orang tua itu.
Resi Putih Jiwa adalah nama yang diberikan oleh orang-orang yang mengenalnya. Nama itu diberikan karena Resi Putih Jiwa memiliki jiwa yang sangat mulia. Di saat ia masih berkelana, ia dikenal sebagai orang yang selalu menolong kebenaran. Kesaktiannya tidak ada yang pernah menandinginya.
Tapi itu sudah sangat lama. Setelah ia memutuskan menghilang dari dunia persilatan, perlahan-lahan namanya dilupakan dan tinggal legenda saja. Orang yang masih mengenalnya tinggal beberapa orang saja yang semuanya memilih menyepi mengasingkan diri. Orang yang diberikan cara untuk bisa masuk ke Alam Kahyangan hanya tiga orang, salah satunya adalah Kunsa Pari.
“Ada perlu apa kau datang mengunjungiku?” tanya Resi Putih Jiwa.
“Selain main-main dan mengunjungimu, aku membawa muridku yang ingin tahu bagaimana bentuk-bentuk hewan Alam Kahyangan.”
“Hehehe!” Resi Putih Jiwa terkekeh kecil.
“Apa yang kau tertawakan, Resi?” tanya Kunsa Pari heran.
“Nanti saja aku beri tahu,” kata Resi lalu beralih kepada Joko, “Apa yang ingin dilihat oleh matamu, Nak?”
Mendapat pertanyaan dari Resi Putih Jiwa, Joko jadi tergeragap.
“E... e... hewan di sini, Kek.”
“Siapa namamu, Nak?”
“Joko Tenang, Kek.”
“Coba kau pergi ikuti lorong ini, Joko. Kau nanti akan bertemu dengan Simba!” perintah Resi.
“Tapi... bagaimana jika ada ular raksasa, Kek?”
“Sudah sana! Jika kau mau jadi seorang pendekar, kau harus berani menghadapi hal yang belum diketahui olehmu!” kata Kunsa Pari.
“Iya, Guru!”
Joko lalu pergi memasuki lorong itu. Dengan dada berdebar-debar, Joko melangkah pasti tapi penuh kewaspadaan. Hal yang tergambar di benaknya adalah munculnya ular raksasa sebesar batang pohon kelapa dari ujung lorong. Setelah lorong itu membelok, sampailah Joko di sebuah tempat yang besar dan berdinding tinggi tanpa langit-langit. Jika melihat ke atas, maka tampaklah langit Alam Kahyangan yang berwarna kuning keputih-putihan. Joko terperangah ketika melihat hewan apa yang ada di tempat itu.
Di atas sebuah batu tinggi, bertengger seekor burung rajawali raksasa. Bulunya berwarna keemasan. Sungguh indah warnanya berpadu dengan bulu-bulu berwarna kecoklatan.
Di sebelah bawah duduk pula seekor lagi yang lebih kecil, itu adalah anaknya. Warna bulunya sama seperti induknya. Gelagat kedua burung ketika melihat kedatangan Joko tidak menunjukkan kegarangan sebagaimana sikap macan hitam di luar tadi.
Sementara itu, Resi Putih Jiwa dan Kunsa Pari terlibat perbincangan serius.
“Aku melihat sinar putih di wajah bocah itu seperti yang pernah aku lihat di wajah Dewa Kematian. Apakah bocah itu memiliki hubungan darah dengan Dewa Kematian?” tanya Resi.
“Joko memang keturunan Dewa Kematian. Cucu Dewa Kematian menitipkan Joko kepadaku untuk aku ajari agar menjadi pendekar berkesaktian tinggi. Aku ingin anak itu menjadi pendekar muda sakti yang merupakan pendekar pembela kebenaran.”
“Aku juga mengharapkan ada pendekar muda berkesaktian tinggi yang baru. Aku ketahui kejahatan kian merajalela. Anak itu memperlihatkan tanda keberhasilan di dunia persilatan. Kelak dia akan seperti Dewa Kematian. Kau jangan lama-lama menyimpannya, dunia luas memerlukan uluran tangannya....”
“Tapi itu tergantung dari ayahnya!” kata Kunsa Pari memotong. “Jika ayahnya mengizinkan dia untuk berjuang di jalan kebenaran, mungkin dia bisa banyak berjasa di dunia. Namun, jika dia harus menjadi pewaris tahta kerajaan?”
“Aku kira keturunan Dewa Kematian tidak berakal dangkal,” kata Resi. "Ayo kita lihat anak itu!”
Ki Ageng Kunsa Pari lalu berdiri dari duduknya. Batu membara yang diduduki Resi bergerak naik ke udara dan terbang perlahan ke arah lorong batu yang tadi dilalui Joko.
“Sekarang dunia persilatan sedang dikotori oleh ulah segerombolan perampok yang sangat meresahkan penduduk-penduduk desa. Orang-orang persilatan cukup dibuat kesulitan untuk menumpasnya....”
“Kenapa kau tidak turun tangan?” tanya Resi memotong. “Bukankah banyak tokoh tua yang masih berkesaktian tinggi? Ki Sombajolo misalnya, Ki Kunda Poyo atau Nyi Mentara Senyata, atau lagi Malaikat Serba Tahu!”
“Aku sudah menyuruh muridku untuk meminta Ki Sombajolo agar mau turun tangan. Kunda Poyo sedang menekuni suatu ilmu baru. Nyi Mentara menyepi hilang entah ke mana. Serba Tahu pun sangat sulit dicari keberadaannya.”
“Tampaknya muridmu menyukai Gimba,” kata Resi saat mereka melihat Joko turun ke bawah mendekati anak burung rajawali raksasa.
Anak burung yang sebesar gajah itu bernama Gimba, anak dari induk rajawali yang bernama Simba.
Joko mendekati Gimba perlahan-lahan. Sesekali Joko berhenti untuk memperhatikan gelagat atau reaksi si burung saat didekati. Bila dilihatnya Gimba tampak tidak marah didekati, Joko kembali mendekat dan lebih dekat. Simba sendiri tampak tidak menunjukkan kemarahan melihat anaknya didekati Joko. Sementara si monyet bertengger di tengkuk Joko dengan mata melotot menatap Gimba.
Joko tidak menyadari jika saat itu ia sedang diperhatikan oleh gurunya dan pemilik burung.
“Kurrr.... Kurrr!”
Joko bersuara seperti memanggil seekor ayam.
“Itu bukan ayam ternak, Joko!” seru Kunsa Pari.
Joko agak terkejut mendengar teguran itu dan langsung mendongak memandang ke sumber suara. Dia akhirnya hanya tertawa cengengesan melihat keberadaan sang guru dan Resi Putih Jiwa.
“Gimba dan ibunya tidak galak!” kata Resi memberi tahu.
Joko jadi kian berani, bahkan berdiri tepat di depannya mendongak ke kepala Gimba. Gimba sedikit menurunkan kepalanya ke depan Joko. Joko merespon mundur selangkah, cukup waspada.
“Gimba minta dibelai kepalanya,” kata Resi.
Joko pun memberanikan diri mengulurkan tangannya dan menyentuh bulu kepala Gimba. Joko tetap siaga tinggi. Lalu diusap-usaplah kepala besar Gimba. Kepala Gimba kian merunduk terbawa oleh elusan tangan Joko. Dengan berani, akhirnya Joko memeluk leher burung itu. Joko tertawa sendiri, membuat kedua orang tua di atas sana ikut terkekeh. Joko tampak kian suka dengan Gimba. Ketika monyet Joko melompat naik ke leher besar Gimba, burung raksasa itu pun tidak masalah.
“Apa kau suka dengan Gimba?” tanya Resi.
“Suka sekali, Kek!” teriak Joko.
“Jika kau mau, kau boleh memilikinya!”
“Yang benar, Kek?!” tanya Joko mendelik dengan wajah ceria siap bersorak.
“Benar, tapi dengan syarat. Selesaikan dulu pelajaranmu sebagai murid gurumu. Mungkin empat atau lima tahun lagi. Saat ini kau belum bisa terbang bersamanya, sebab di alam ini banyak binatang buas dan burung itu tidak bisa dibawa ke alam dunia,” tutur Resi.
“Hahaha...!” Joko tertawa senang sambil memeluk terus leher Gimba. Dan si anak burung pun tampak kian manja. “Aku kerasan dengan burung ini.”
“Joko, sudah waktunya kita kembali!” kata Kunsa Pari.
“Aku betah di sini, Guru!” sahut Joko yang kini duduk di atas leher Gimba.
“Kau memilih berhenti jadi muridku dan tidak bisa memiliki Gimba atau menurut dan kelak kau mendapatkan Gimba?” tanya Kunsa Pari yang kini merasa punya senjata untuk mengendalikan Joko.
Joko hanya bisa bermasam ria. Ia meraih monyetnya lalu melompat turun dari atas Gimba. Setelah memeluk leher Gimba dan menciumnya, Joko segera naik ke atas tebing.
“Kau tidak boleh memberi tahu orang lain tentang alam ini, juga tentang binatang-binatangnya!” pesan Resi Putih Jiwa.
“Iya, Kek!” patuh Joko.
Kaakk!
Gimba berkoak saat mereka hendak pergi. Joko melambaikan tangannya.
“Sampai bertemu lagi, Gimba!” teriak Joko.
Kaakk!
Gimba hanya berkoak membalas.
“Gimba menyukaimu, Nak. Giatlah kau berguru dengan gurumu. Kau punya tugas penting. Dunia membutuhkanmu sebagai penolong kebenaran,” kata Resi.
“Aku akan jadi pendekar sakti ya, Kek?”
“Jka kau tidak membantah ajaran gurumu!” tegas Resi.
“Apakah Kakek Tuhan Alam Kahyangan ini?”
“Hahaha!” tawa Resi Putih Jiwa agak keras yang diiringi tawa Ki Ageng Kunsa Pari juga. “Tuhan itu cuma satu, yaitu Tuhan yang menciptakan seluruh apa yang ada di dunia ini, yang juga mengatur hidup seluruh makhluk, termasuk manusia. Aku seperti seorang raja yang menguasai suatu daerah, apa lagi ini bukan alam sungguhan. Manusia yang Tuhan ciptakan tidak akan mampu membuat sebuah alam yang benar-benar nyata. Jika jagat ini memiliki dua Tuhan, mungkin akan bertarung memperebutkan siapa Tuhan yang terkuat. Dan itu tidak masuk di akal. Hahaha!”
“Lalu bagaimana dengan dewa-dewa, Kek?” tanya Joko cukup kritis.
“Itu adalah kepercayaan seseorang atau suatu kaum. Seseorang bebas untuk meyakini Tuhan itu ada berapa dan mengakui apa atau siapa Tuhan mereka.”
“Lebih baik kau percaya bahwa Tuhan itu hanya satu, yaitu Tuhan Pencipta seluruh alam!” sambung Kunsa Pari.
“Pejamkan mata kalian!” perintah Resi sambil terus bergerak dengan batu membaranya.
Sambil berjalan, Kunsa Pari dan muridnya memejamkan mata. Monyet yang selalu bertengger di kepala Joko ikut pejamkan mata, seakan mengerti apa yang diperintahkan oleh Sang Resi.
Clap!
Tiba-tiba mereka hilang begitu saja setelah seberkas sinar putih ditaburkan oleh Resi Putih Jiwa ke tubuh mereka. Yang mereka lihat hanya kegelapan semata. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
ʝ⃟⃝5ℓ 𝐋α 𝐒єησяιтα 🇵🇸🇮🇩
si jokeng kurang ajar betul omm duduk di kepala tuan nya 🤣
2023-06-12
1
ʝ⃟⃝5ℓ 𝐋α 𝐒єησяιтα 🇵🇸🇮🇩
duhhh namina unik euyyy, jokeng😁
2023-06-12
1
Otiswan Maromon
woouw
2022-05-23
1