Joko dengan gerak kecepatan yang tinggi memungut sebutir batu dan melesatkannya seperti peluru menembak tangan kanan Jambur yang memegang golok. Jambur menjerit dengan tangan gemetar berdarah, bolong.
Selanjutnya, tubuh Joko sudah berkelebat di udara, berputar deras ke arah Jambur. Dan....
Pakk!
“Hukrr!”
Hantaman telapak kanan Joko ke dada Jambur membuat lelaki itu menyemburkan darah kental. Pukulan itu sangat keras, seolah mustahil bisa dilakukan oleh seorang remaja semuda Joko.
“Akh!” jerit Kuduga pula di sisi lain, lalu roboh tidak sadarkan diri dengan kepala mengucurkan darah deras.
Ternyata Parsuto menghantam kepala Kuduga dari belakang dengan batu besar.
Dengan susah payah Jambur berusaha bangun. Namun, Joko telah bersalto di udara dan kakinya mendarat kembali ke dada Jambur. Jambur terjengkang kembali dan hanya bisa menggeliat terluka parah.
“Waah! Hebat kau, Joko!” teriak Limarsih girang memuji sambil berlari menghampiri Joko.
Refleks Joko bergerak menjauh beberapa langkah sambil memberi isyarat kepada Limarsih agar jangan mendekatinya.
“Hebat!” puji Parsuto yang menghampiri Joko dengan terpincang. “Ayo kita pergi sebelum anak buah Ki Lurah yang lain berdatangan!”
“Tunggu, aku mau menangkap monyetku dulu!” kata Joko.
“Tidak usah, nanti kami memberimu monyet. Lebih baik kita segera pergi sebelum telat!” kata Kumisan.
“Kalian saja pergi dahulu, aku sangat suka dengan monyetku!” kata Joko lalu berlari pergi ke barat, karena sempat ia melihat monyetnya kabur ke sisi barat.
“Ayo, tidak usah khawatirkan Joko!” kata Parsuto sambil bergerak pergi. “San, kau pergi beritahukan kepada yang lainnya agar selalu bersembunyi. Anak buah Ki Lurah pasti mencari kita semua. Nanti malam kita berkumpul di sarang!”
“Iya!” sahut Kumisan lalu berlari berpisah dari Parsuto dan kedua gadis kakak beradik itu.
Mereka berlari di dalam perkebunan penduduk desa.
“Syukurlah Joko menyelamatkanmu, Dewi!” ucap Limarsih sambil tertawa-tawa kecil. “Pikiranku sempat gelap saat melihatmu tadi!”
Kusuma Dewi hanya diam, tidak menanggapi perkataan kakaknya.
“Jelas Joko adalah anak pendekar. Ia bisa membantu mewujudkan cita-cita kita. Tapi ia pergi lagi. Kau jangan lagi membencinya, Dewi!”
Kusuma Dewi masih diam dengan wajah dingin.
“Kalian berdua langsung saja pergi ke sarang. Anak buah Ki Lurah pasti langsung mendatangi tempat tinggal kita!” seru Parsuto.
“Baik!” Limarsih setuju.
Parsuto memisahkan diri dari Limarsih dan Kusuma.
“Joko memang luar biasa. Aku tidak mengerti, bagaimana mungkin lemparan batunya bisa melubangi tangan anak buah Ki Lurah?” kata Limarsih.
Kembali Kusuma hanya berlari tanpa komentar.
“Kau kenapa? Sejak peristiwa tadi tidak bicara!” tanya Limarsih sambil meraih tangan adiknya dan mengajaknya berhenti.
Kusuma Dewi hanya menatap kakaknya. Diam. Hanya sepasang mata indahnya yang berubah bergenang air bening. Dan akhirnya Kusuma Dewi menangis memeluk kakaknya. Giliran Limarsih yang terdiam. Ia tidak mengerti yang dialami Kusuma. Sementara terkaannya adalah bahwa Kusuma sangat terguncang jiwanya karena nyaris tewas.
“Sudah. Tak pantas kau menangis. Kita harus cepat, kita berlomba dengan anak buah Ki Lurah. Telat sedikit, repot urusannya!” kata Limarsih berbisik.
Keduanya melanjutkan larinya. Tak ada percakapan sementara di antara mereka. Jalan yang mereka lalui terkadang tidak bisa disebut jalan. Seperti itulah yang mereka lakukan jika mereka sedang bermasalah dengan anak buah Ki Lurah.
Cukup jauh mereka berlari. Semak belukar mereka terabas. Bahkan mereka berada di luar batas desa. Limarsih dan Kusuma masuk wilayah berhutan. Di daerah itu mereka berhenti berlari. Cukup menguras napas. Mereka cukup berjalan menuju asal aliran air kecil.
Akhirnya keduanya sampai di sebuah lubang tebing yang tidak dalam tapi cukup lebar, cukup untuk berkumpul sepuluh lebih orang di dalamnya. Ternyata di gua dangkal itu telah ada dua remaja yang Limarsih dan Kusuma kenal, yaitu Dudut dan Gunjar. Keduanya sedang asik merebahkan diri di atas tumpukan jerami yang mereka kumpulkan dan tata hingga menjadi kasur lebar.
“Beruntung kalian perempuan, jika laki-laki, pasti sudah senasib dengan kami,” kata Dudut setibanya Limarsih dan Kusuma. Dudut memang yang paling parah mengalami luka dalam pengeroyokan di pinggir kali.
“Situasi sangat bahaya, kami baru saja menghajar dua anak buah Ki Lurah!” kata Limarsih cukup terengah-engah.
Dudut dan Gunjar malah tertawa.
“Rasa-rasanya belum ada ceritanya kalian menghajar anak buah Ki Lurah. Justru kita yang jadi buruan seperti tikus-tikus dikejar anjing!” timpal Gunjar.
“Kali ini kami dibantu Joko....”
“Joko yang menghajar kita?” tanya Dudut memotong.
“Iya. Anak itu begitu hebat. Dengan hebatnya ia menghajar kedua anak buah Ki Lurah di pasar, padahal ia seperti semut lawan gajah. Dipukul dada anak buah Ki Lurah sampai muntah darah...” Limarsih bercerita dengan berapi-api.
Dudut dan Gunjar jadi duduk serius mendengarkan dengan antusias.
“Sampai seperti itu?” tanya Dudut seolah tidak percaya.
“Gerakannya sangat cepat, lebih cepat dari monyet. Dan lebih hebatnya lagi, ia menyelamatkan nyawa Dewi saat anak buah Ki Lurah tinggal menebas tubuh Dewi dengan golok. Batu kerikil ia lesatkan dari jauh dan menembus tangan anak buah Ki Lurah sehingga Dewi selamat dari kematian. Walaupun keduanya tidak mati, tapi saya yakin luka itu bisa membuat anak buah Ki Lurah mati!”
“Benar, Dewi?” tanya Gunjar masih belum percaya sepenuhnya.
Kusuma Dewi hanya mengangguk tanpa senyum.
“Waaah! Seperti cerita legenda seorang pangeran menyelamatkan nyawa sang gadis!” seru Dudut gembira sendiri.
“Dan berakhir dengan pernikahan lalu keduanya berciuman!” timpal Gunjar pula lalu kedua lelaki itu tertawa menggoda Kusuma.
Kusuma hanya merengut lalu berbalik kesal dan melangkah ke sudut gua yang memiliki tempat duduk nyaman.
“Kenapa?” Dudut jadi heran.
“Bayangkan, Dewi baru saja hampir mati dan kami yang melihat pun berpikiran ia pasti mati saat itu. Wajar saja jika perasaannya begitu terguncang,” kata Limarsih.
“Berarti kita semua dalam bahaya?!” tanya Gunjar seolah baru terkejut.
“Benar! Kumisan sedang mencari yang lain agar berkumpul di sini!” jawab Limarsih. “Tapi sayang....”
“Kenapa?” tanya keduanya berbarengan.
“Joko pergi lagi,” kata Limarsih kecewa.
“Kau jatuh hati dengan anak itu, ya?” tanya Dudut curiga.
“Jika iya kenapa? Dan jika tidak kenapa?” Limarsih balik bertanya sambil senyum-senyum kecil agak malu.
“Yaaa, tidak pantas. Kau kan lebih tua darinya. Kau itu pantasnya dengan Parsuto. Bukankah kau sudah menjadi kekasihnya Parsuto?” kata Dudut.
“Eh! Aturan dari alam mana wanita yang lebih tua tidak boleh menyukai lelaki muda? Lalu siapa yang menyebarkan berita angin aku kekasih Parsuto?” tanya Limarsih sedikit sewot.
Dudut jadi garuk-garuk leher yang memang agak gatal, ia tidak bisa menjawab.
“Parsuto pasti akan menangis jika mendengar kau jatuh hati dengan si Joko itu!” kata Gunjar.
“Dia sudah tahu!” tandas Limarsih lalu bergerak menghampiri adiknya.
Limarsih duduk rapat di samping adiknya. Tangan kanannya memeluk bahu adiknya.
“Kau memikirkan Joko?” tanya Limarsih lembut.
Tanpa memandang kakaknya, Kusuma Dewi mengangguk samar. Limarsih terdiam sejenak, seolah mencoba menerawang di dalam pikiran adik satu-satunya itu.
“Kau ingin bertemu dengannya?” tanya Limarsih lagi.
Kusuma Dewi geleng-geleng.
“Lalu hal apa yang kau pikirkan tentang Joko?”
Kusuma Dewi geleng-geleng lagi. Limarsih yakin bahwa gelengan itu tidak jujur.
“Aku sangat mengenal adikku. Aku tahu di saat ia jujur dan di saat ia berdusta. Tapi percayalah, aku sangat sayang kepadamu, Dewi,” kata Limarsih lalu mencium kepala adiknya itu.
Tampak Parsuto datang bersama Jajang, Kulajang dan Bira. Limarsih segera mendatangi mereka.
“Mana Kumisan dan Widarya?” tanya Limarsih.
“Kumisan sedang mencari Widarya,” jawab Parsuto.
“Seharusnya kalian tidak ikut berkelahi dengan anak buah Ki Lurah, biarkan saja si Joko itu berkelahi sendirian!” kritik Kulajang.
“Tidak, Joko adalah teman kita, meskipun tadi kita berkelahi dengannya,” kata Parsuto.
“Benar. Kita akan tetap berurusan dengan anak buah Ki Lurah. Mereka adalah musuh kita. Dan ingat, kematian Sanara dan Balung harus mereka bayar!” tandas Limarsih.
Kulajang diam. Semuanya pun diam sejenak, mereka seketika teringat akan kematian dua sahabat mereka di tangan beberapa anak buah Ki Lurah.
Kelompok anak muda ini awalnya tidak memiliki masalah di desa itu. Mereka yang hampir semuanya sudah tidak berorangtua, menjadi anak-anak pasar. Di pasar desa mereka bekerja sebagai kuli atau pembersih sampah pasar, semata-mata untuk hidup.
Namun, setelah Ki Lurah berkuasa, anak buah ki Lurah melarang mereka bekerja dan berkeliaran di pasar, sehingga kelompok Parsuto sering kucing-kucingan dengan anak buah Ki Lurah.
Puncak perselisihan terjadi di saat kedua teman mereka, Sanara dan Balung, tertangkap basah mencuri persediaan barang dagangan seorang pedagang di pasar, saat tengah malam. Keduanya pun dihakimi oleh beberapa anak buah Ki Lurah hingga meninggal.
Namun sayang, Ki Lurah tidak mau bertanggung jawab dengan alasan keduanya mencuri dan anak buahnya tidak bermaksud membuat keduanya tewas. Peristiwa tersebut telah berlalu hampir setengah tahun yang lalu.
Dapat dikatakan, kelompok Parsuto bergerilya di desa dalam berhadapan dengan pihak Ki Lurah. Namun, mereka tidak mau terlalu ambil risiko dengan melakukan serangan fisik. Mereka lebih memilih kucing-kucingan.
”Kita jangan ke desa dulu hingga besok, terlalu bahaya. Anak buah Ki Lurah pasti melakukan penggeledahan. Kita kumpul di sini dan bermalam di sini. Dan kita harus mempersiapkan senjata, khawatir anak buah Ki Lurah menemukan tempat kita,” ujar Parsuto.
“Kita bagi tugas, aku dan Dewi akan mengusahakan makanan dan minuman!” kata Limarsih.
“Iya, Dudut dan Gunjar berjaga di atas batu depan sana sampai tengah malam, lalu digilir Kulajang dan Jajang!” atur Parsuto pula sebagai tetua kelompok.
Di saat itu, muncul Kumisan dan Widarya yang datang berlari. Keduanya terengah-engah, terutama Kumisan.
“Anak buah Ki Lurah mulai ramai di pasar saat kami lewat!” lapor Kumisan.
“San, besok pagi kau ke desa memantau situasi, sebab kakimu yang paling sehat!” kata Parsuto.
“Baik, Ketua!” sahut Kumisan.
“Aku dan yang lain membereskan tempat ini dan menyiapkan apa yang kita perlukan,” kata Parsuto lagi.
“Lalu bagaimana dengan Joko?” tanya Kumisan.
“Berdoalah kalian semua agar Joko tahu-tahu muncul di sini!” jawab Parsuto. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Otiswan Maromon
mantap Thor
keren kisahnya
2022-05-23
1
rajes salam lubis
lanjut
2022-02-23
1
Atika Mustika
Kreen thor karya mu luar biasa
Feedback ya. Butuh dukungan dengan author sehebat diri mu.
Salam sukses berjamaah.
2021-01-04
1