Usai berganti pakaian, Limarsih dan Kusuma Dewi pergi meninggalkan gubuknya yang berada di sudut desa.
Keduanya sudah tidak punya ayah, hanya seorang ibu yang kerjanya jadi penjual ikan asin. Namun sayangnya, kedua gadis ini lebih suka bermain bersama teman-temannya yang identik sebagai kelompok anak gelandangan. Mereka dipimpin oleh Parsuto. Hampir setiap hari mereka berkumpul dan bermain-main.
“Mereka pasti ada di kebun utara,” terka Limarsih saat mendapati tempat biasa mereka kumpul tidak ada orang.
Keduanya berjalan menelusuri perkebunan penduduk.
“Aku ingin sekali bertemu lagi dengan si Joko itu,” kata Limarsih kepada adiknya.
“Dasar genit!” maki Kusuma Dewi.
“Kenapa sih? Kau cemburu?” tanya Limarsih sambil berjalan memandangi wajah adiknya.
“Aku benci dengan si Joko itu. Dia mempermainkanku dan menyakiti dadaku!”
Limarsih jadi tertawa, lalu katanya, “Lalu kau mencintai Jajang? Hihihi! Jika kau benci Joko, biar aku yang suka. Rupanya pergulatanmu dengan Joko sangat berkesan, ya? Yaaa, memang sangat berkesan, aku rasakan sendiri. Sejak usai perkelahian hingga sekarang, aku selalu memikirkannya. Bayang wajah tampannya tak mau hilang sekejap pun.”
“Cuih! Cuih!” Kusuma meludah dua kali ke tanah tanda begitu kesalnya dengan ungkapan kakaknya. “Awas saja jika sampai Kakak jatuh hati dengan pemuda asing itu!”
“Aaah, cemburu. Kau tak bisa mungkir dariku, kau cemburu. Iya, kan?” tuding Limarsih. “Aku lebih mengenal watak adikku dari pada diriku sendiri.”
“Kalau kau bukan kakakku, pasti sudah aku jambak rambutmu dan aku lemparkan diseruduk kambing!” kecam Kusuma lalu memilih berlari meninggalkan sang kakak.
Limarsih hanya tertawa nyaring dan membiarkan adiknya lebih dulu.
Kusuma tiba di sebuah kebun kelapa. Ada dua gubuk reot berdiri berhadapan. Namun masih layak untuk dipakai beristirahat. Di gubuk itu ada Parsuto, Jajang, Bira dan Kulajang. Mereka hanya duduk dan tiduran, istirahat.
“Kalian benar-benar menyedihkan,” kata Kusuma setibanya di tempat itu.
“Jangan mengejek!” sergah Kulajang.
“Iya,” sahut Bira pula. “Kau tidak babak belur karena kau perempuan.”
“Joko itu takut kepada kalian berdua,” timpal Jajang pula.
“Limarsih mana?” tanya Parsuto seraya bangun duduk bersender.
“Di belakang,” jawab Kusuma.
“Dia jatuh cinta kepada si Joko itu?” tanya Parsuto menyelidik.
“Tidak akan aku biarkan Limarsih jatuh cinta dengan anak kecil seperti itu!” tandas Kusuma.
“Lalu, kau?” tanya Jajang ikut curiga.
“Cuih!” Kusuma meludah tanpa air ludah. “Aku malah ingin menghajarnya!”
“Menghayal,” ucap Parsuto. “Kita semua, berandalan desa ini, tidak ada apa-apanya. Meski pun ia sendiri, tetap saja kita dengan mudah babak belur.”
Semuanya diam ketika Limarsih datang dengan wajah berseri-seri. Semuanya memandangi Limarsih. Sang gadis pun jadi angkat dahi dipandangi seperti itu.
“Ada apa? Ada yang aneh?” tanya Limarsih.
“Jelas aneh!” tukas Kusuma. “Yang lain kesakitan dan marah, kau malah senang!”
Limarsih hanya tertawa.
“Kalian mau ikut, tidak?” tanya Limarsih mengajak.
“Kemana?” Parsuto curiga.
“Ke pasar, mencari Joko.”
“Ternyata benar, kau jatuh cinta kepada Joko!” kata Parsuto.
“Memangnya kenapa? Aku wanita, Joko lelaki. Ada yang salah?” tanya Limarsih begitu terbuka.
Semuanya jadi memandang Parsuto, seolah ingin melihat reaksi pimpinan mereka itu. Merasa semua melihat kepadanya, Parsuto jadi salah tingkah.
“Hei! Kenapa pada menatapku?!” sentak Parsuto.
Beredar desas-desus di antara kelompok mereka bahwa Limarsih adalah kekasih Parsuto, meski secara fakta mereka tidak pernah melihat Limarsih dan Parsuto berduaan khusus layaknya sepasang sejoli. Maka wajar ketika semuanya memandang reaksi Parsuto saat Limarsih berkata seperti itu.
“Aku mau ke pasar!” kata Limarsih.
“Aku ikut!” kata Kusuma lalu segera beralasan, “Aku khawatir kau diperlakukan buruk oleh anak asing itu!”
Namun sebelum Limarsih dan Kusuma pergi, mereka melihat Kumisan datang dengan berlari kencang.
“Par! Par!” panggil Kumisan seraya tersengal-sengal berkeringat.
“Ada yang tertangkap?!” tanya Parsuto jadi ikut tegang.
Yang lain ikut tegang.
“Anak buah Ki Lurah!” ucap Kumisan sambil menunjuk ke belakang.
“Anak buah Ki Lurah datang ke mari?!” tanya Jajang memotong, panik.
Membuat yang lain ikut panik.
“Tidak!” bantah Kumisan. “Anak buah Ki Lurah bertengkar dengan anak asing di pasar!”
“Haaah!” desah Bira hembuskan napas kesal. “Urusan apa dengan anak asing? Biar pun anak buah Ki Lurah mati, apa hubungannya dengan kita?”
“Iya, asal jangan salah seorang dari kita,” timpal Kulajang pula.
“Anak asing itu berdua dengan pemuda dewasa?” tanya Parsuto.
“Tidak, hanya sendiri,” jawab Kumisan.
“Berarti itu bukan Joko,” kata Limarsih lega.
“Ciri-cirinya seperti apa?” tanya Parsuto lagi.
“Muda, tampan, bibirnya merah, berbaju biru,” jawab Joko.
“Itu Joko!” pekik Limarsih lalu langsung berlari.
Kusuma Dewi ikut berlari pergi. Buru-buru Parsuto turun dari gubuk dan berlari kecil, meski kakinya masih terasa sakit.
“Hei, ayo!” ajak Kumisan kepada tiga teman lainnya yang tidak ikut bergerak.
“Tidak, kami sedang kesakitan, tidak bisa berlari jika dikejar anak buah Ki Lurah,” kata Jajang. Bira dan Kulajang hanya ikut mengangguk.
“Yang membuat kalian babak belur siapa?” tanya Kumisan penasaran.
“Pemuda asing di pasar itu,” jawab Bira.
“Oh, yah sudah!” ucap Kumisan lalu berlari kencang menyusul kembali ke pasar.
Mereka berempat menembus kebun-kebun untuk menuju pasar desa. Mereka menempuh jalan pintas yang cukup beraral rintang.
Sementara itu di salah satu sudut pasar desa yang mulai tidak terlalu ramai, tampak Joko Tenang sedang bersitegang dengan dua orang dewasa yang berperawakan jagoan. Kedua orang itu berbekal senjata golok yang terselip di pinggangnya dengan lilitan sabuk sarung.
Mereka berada di dekat penjual monyet. Joko baru saja membeli seekor monyet yang pinggangnya masih dibelenggu oleh rantai. Masih ada beberapa ekor monyet yang belum laku dan terikat di batang pohon tempat lelaki penjual monyet berpangkal.
Dua lelaki yang kini berhadapan dengan Joko bernama Jambur dan Kuduga. Mereka adalah dua dari sekian banyak tukang pukul Ki Lurah. Jambur bertampang garang dengan kumis malang melintang. Sementara Kuduga bertubuh lebih besar dan berperut lebih gendut.
Sebenarnya, sejak tadi kedua keamanan pasar desa itu bermasalah dengan Joko, tapi Joko tidak mengindahkan.
Ketika Goceng mendapat panggilan pulang melalui telepati oleh gurunya, Joko memutuskan pergi ke pasar seorang diri. Setibanya di pasar, Joko langsung mencari penjual ikan, tapi sayang, hari siang adalah waktu dagangan habis. Joko pun memutuskan berkeliling pasar mencari apa yang bisa ia beli.
Joko sejak awal sudah tahu bahwa kehadirannya di pasar jadi perhatian dua orang keamanan pasar. Ketika Joko sedang menawar burung pungguk di tukang burung, Jambur dan Kuduga mulai mencoba memeras Joko dengan alasan pajak bagi orang asing yang belanja di pasar tersebut. Joko sempat cekcok mulut dengan keduanya hingga Joko memilih pergi.
Akhirnya Joko batal beli burung. Namun, ketika melihat monyet didagangkan, Joko sangat tertarik dan ingin memiliki satu. Maka Joko pun membeli seekor monyet. Ketika monyet di tangan, Jambur dan Kuduga menghampiri Joko kembali.
Saat yang sama, Parsuto, Limarsih, Kusuma dan Kumisan tiba di pasar. Mereka berhenti ketika mendapati Joko sedang berselisih dengan dua anak buah Ki Lurah yang mengamankan pasar.
“Tidak bisa!” sentak Joko lalu menunjuk wajah bapak si penjual monyet dan berkata, “Bapak ini saja yang punya banyak ekor monyet tidak membayar!”
Bapak pedagang monyet jadi mendelik ciut, khawatir jadi ikut diminta bayaran.
“Tapi kau orang dari luar desa ini. Kau harusnya bayar atau kami tangkap dan bawa kepada Ki Lurah. Mau bayar atau tidak?!” ancam Jambur.
“Aku tidak akan bayar. Jikalau aturannya memang demikian, tetap aku tidak berhak bayar. Aku dari luar desa, tidak tahu ada aturan seperti itu. Seandainya aku tahu, maka tidak sudi aku berbeli di sini!” Joko berargumen.
“Kau tetap harus bayar!” bentak Jambur.
“Jangan mau, Joko!” seru seseorang tiba-tiba menengahi pertengkaran itu.
Orang itu adalah Parsuto. Ia datang menghampiri Joko, tanda bahwa ia dipihak Joko. Sementara Limarsih, Kusuma dan Kumisan memilih diam di tempat.
Kemunculan Parsuto membuat Jambur dan Kuduga kian gusar. Mereka berdua mengenal Parsuto sebagai pemimpin para berandalan desa yang suka membuat onar, menurut versi seluruh anak buah Ki Lurah.
“Tidak pernah ada aturan yang menyebutkan orang asing yang membeli monyet harus membayar pajak. Itu hanya akal-akalan mereka karena Ki Lurah kurang besar memberi upah untuk anak buahnya, jadi mereka menipu orang asing!” ungkap Parsuto.
“Kurang ajar!” maki Jambur murka karena merasa ditelanjangi. “Kuduga, tangkap anak itu!”
Kuduga segera bergerak hendak memukul Parsuto, tapi Joko menghadang gerak tubuh berperut gendut itu. Tampak perbandingan besar tubuh yang begitu jauh antara Joko dan Kuduga.
“Jadi kau mau membelanya?” geram Kuduga.
“Dia temanku!” tandas Joko menantang.
“Sok jadi pahlawan, hah?!” bentak Kuduga sambil ayunkan tangan kanannya hendak memukul wajah Joko.
Nguk!
Joko cepat melempar monyet yang digendongnya ke wajah Kuduga, membuat si monyet menjerit dan Kuduga terkejut.
“Akh!” jerit tertahan Kuduga saat wajahnya dicakar oleh si monyet. Kian memuncak amarah Kuduga. “Ku bunuh, kau!”
Jambur pun kian marah. Ia langsung memburu Parsuto.
“Hup!”
Joko cepat melompat dengan kaki mengibas menghajar dada Jambur yang membuat larinya tertahan dan tubuhnya terdorong jatuh.
“Heaaa!” teriak Kuduga sambil ayunkan tangan kanan ke arah kepala Joko.
Dak!
Kuduga mendelik karena pukulannya ditangkis dengan mudahnya oleh si bocah. Tangan kiri Kuduga langsung meluruk menyusul. Dapat ditangkis juga.
Buk!
“Ughk!” keluh Kuduga tertahan saat perutnya mendapat tendangan keras dari kaki kanan Joko.
“Yeeee!” sorak Limarsih, Kusuma Dewi dan Kumisan di tempatnya menonton.
Bukan hanya ketiga pemuda itu yang menonton. Pedagang dan pengunjung pasar jadi ramai berkumpul menonton.
Mereka melihat Jambur menyerang dari belakang Joko.
“Rasakan ini!” seru Parsuto yang berlari menendang betis Jambur.
“Anak setan!” teriak Jambur lalu berbalik hendak menyerang Parsuto.
Parsuto cepat berlari kabur. Namun naas, saking buru-burunya, Parsuto tersandung kakinya sendiri dan jatuh tersungkur.
Buk!
“Hukh!”
Satu tendangan keras mendarat di lambung kiri Parsuto. Jambur mencengkeram leher baju Parsuto yang masih kesakitan. Parsuto dipaksa berdiri dan perutnya ditinju beberapa kali.
Tak!
“Aduh!” keluh Jambur sakit saat kepalanya dihantam batu yang dilempar oleh Kumisan hingga berdarah.
Parsuto dihempaskan ke tanah. Jambur mengelaki beberapa timpukan batu yang dilempar oleh Limarsih dan Kusuma Dewi, lalu berlari kepada mereka. Jambur telah mencabut goloknya.
Limarsih, Kusuma dan Kumisan seketika panik dan bubar berlari tidak karuan menjauhi Jambur.
Bak bak!
Joko melompat menerjang dada Kuduga dengan tendangan kaki bergantian. Kuduga terjengkang. Pandangan Joko beralih ke teman-temannya.
“Lepaskan!” pekik Kusuma Dewi yang berhasil tertangkap rambutnya oleh tangan kiri Jambur. Tangan kanan Jambur siap menebas golok.
Seram. Beberapa orang memilih menutup mata.
“Kusuma...!” pekik Limarsih dan Parsuto berbarengan.
Mati. Itulah yang terlintas di benak Kusuma dan mereka yang melihat ayunan golok Jambur. Joko yang berjarak beberapa tombak hanya bisa bergerak cepat di tempatnya.
Set! Tak!
“Akh!” jerit Jambur saat sebuah benda melesat cepat menembus genggaman tangan kanannya sehingga golok di tangannya lepas. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
•§͜¢•❤️⃟Wᵃf로스미아✰͜͡v᭄ℜ𝔬𝔰ˢ⍣⃟ₛ
wah joko yg menyelamatkan kusuma ya. keren
2023-11-20
1
•§͜¢•❤️⃟Wᵃf로스미아✰͜͡v᭄ℜ𝔬𝔰ˢ⍣⃟ₛ
waduh kusuma dewi beraksi. ngga bahaya ta buat dia
2023-11-20
1
•§͜¢•❤️⃟Wᵃf로스미아✰͜͡v᭄ℜ𝔬𝔰ˢ⍣⃟ₛ
wkwkwk kebayang adegannya kaya apa😂😂
2023-11-20
1