Pukul 08.15 saat ini, dan aku belum juga terlelap. Itu adalah hal wajar ketika kau mengalami jetlag.
Menurut pengalamanku setiap kali aku kembali ke Indonesia, biasanya aku akan terlelap sekitar pukul 13.00, dan itu akan terjadi selama beberapa hari ke depan, sampai akhirnya semua kembali normal.
Selain jetlag, banyak hal yang membuatku tidak dapat memejamkan mataku, salah satunya adalah, aku merasa sedikit lapar saat ini.
Aku memutuskan untuk pergi ke dapur, berharap mbok Minah sudah menyiapkan sesuatu untuk ku makan.
Dan ketika aku membuka pintu kamarku, samar ku dengar percakapan papa dan om Sam dari arah ruang makan.
Aku melanjutkan langkahku, dan benar saja, papa dan om Sam sedang menikmati sarapan mereka, serta mama dan juga tante Vera yang terlihat sibuk di dapur yang berada tepat di belakang ruang makan.
"Jen, kamu udah bangun, sini sarapan dulu." Sapa om Sam
"Iya om, aku mau minum dulu." Ujarku kemudian berlalu ke arah dapur, dan menghampiri tante dan juga mamaku.
Tante Vera yang menyadari kehadiranku, segera memelukku erat.
"Jenny... Ya ampun sayang... Keponakan tante yang cantik udah bangun..." Tante kemudian menguraikan pelukannya. "Gimana kabar kamu, sayang?" Kini kedua tangan tante Vera menyentuh kedua pipiku.
"Aku baik-baik aja ko' tan... Tante sendiri gimana? Makin cantik aja deh kaya'nya." Candaku kepada tante Vera
"Iisssshhhh... Bisssaaa aja kamu, ya!" Tante Vera mencubit lembut pipiku, kemudian menyadari akan sesuatu. "Sebentar, tante angkat gorengan dulu." Tante Vera berlalu, kemudian aku membuka pintu kulkas untuk mengambil botol berisi air minum, lalu menuangkan isinya ke dalam gelas, dan meneguknya sampai habis.
"Clara dimana, tante?" Tanyaku
"Clara lagi di apartemen, katanya mau cari surat-surat apalah itu, tante kurang paham, deh." Ujar tante seraya meletakkan masakan di atas piring
"Nenek sama siapa, ma?" Tanyaku kepada mama yang sedang menyiapkan makanan.
"Nenek sama mbok Minah, makanya kita sarapan dulu, habis itu kita siap-siap ke rumah sakit."
...****************...
"Nenek..." Aku memeluk erat tubuh lemah nenek. "Jenny kangen banget sama nenek..." Ujarku kemudian menguraikan pelukanku.
"Nenek juga kangen banget sama Jenny..." Nenek tersenyum manis sekali, meskipun wajahnya pucat
"Nenek makannya susah tuh, Jen!" Ketus tante Vera, aku memicingkan mata ke arah nenek yang kini terlihat sedikit kesal. Papa menghampiri kami
"Mommy gimana mau sembuh kalo nggak mau makan, mi..." Keluh papa
"Kamu tuh ya, Ver! Lemes banget!" Ketus nenek
"Aku tuh ngomongin kenyataan, mi! Tanya aja sama mbok Minah atau Clara!" Sinis tante Vera.
"Tau gitu aku nggak pulang deh, kalo nenek kaya' gini." Rengekku.
Nenek tidak langsung menjawab, beliau tersenyum
"Kamu bakalan nyesel kalo nggak pulang." Ujar nenek kemudian memoles hidungku dengan ujung jarinya. Aku miris mendengar kata-kata nenek tadi, begitupun orang-orang yang berada di dalam ruangan ini
"Nenek tuh ngomong apa sih..." Ucapku pilu
"Mommy tuh kalo ngomong suka asal, deh!" Suara tante Vera terdengar bergetar
"Mommy jangan ngomong yang nggak-nggak donk, mi... " Sahut papa, dengan tatapan sedih.
"Heheheee... Mommy kan cuma bercanda... Mommy bakalan tetap sehat! Kan mommy mau lihat Jen sama Young Joon nikah, dulu..."
Seketika ruangan menjadi senyap, setelah nenek berkata seperti itu.
"Jen, kemarin Young Joon kesini, dia jagain nenek, lho! Dia makin mirip sama oppa-oppa yang film nya kita tonton waktu itu..." Nenek tampak bersemangat sekali.
Aku menatap wajah nenek nanar.
"Jen, kalau bisa, bulan ini Jenny ucap ikrar di depan altar ya, sayang... Biar nenek tenang..." Ucapan nenek kali ini, sungguh menusuk ke relung hatiku.
"Mi... Kita bisa bicarain ini nanti..." Sahut papa lembut.
Nenek tersenyum menatap ke arahku, seolah tidak menghiraukan ucapan papa.
"Jen, Young Joon itu, laki-laki yang baik..."
"Nek, aku mau keluar dulu sebentar, ya..." Aku menyela ucapan nenek, dan nenek sedikit kecewa
"Jen janji, sebentar doank. Jen mau hubungin dosen Jen, ya..." Ujarku memastikan. Kemudian nenek mengangguk pasrah. Akupun berlalu meninggalkan ruangan nenek.
...****************...
Aku duduk di bangku sebuah taman kecil yang berada tidak terlalu jauh dari ruangan tempat nenek di rawat.
Aku sibuk mengotak-atik ponselku, berusaha menghubungi seseorang.
Aku menghubungi Clara, yup! Tersambung!
"Ra, lu dimana? Gw dah di rumah sakit, nih!" Sapaku di seberang sini
"Oooiii, Jen! Lu udah di rumah sakit? Sorry gw belum sempat nemuin lu! Gw lagi nyari surat-surat mobil gw, pajaknya mati! Ya ampun! Nanti sore gw nemuin lu deh, ya! Nanti sore lu masih di rumah sakit, kan?" Clara terdengar mengeluh di seberang sana.
"Ya mau kemana lagi, gw!" Sahutku sedikit sebal
"Ah, oke-oke... Gw langsung cuss kesana, kalo dah beres, yes!"
"Yaudah, gw tunggu!" Aku langsung menutup panggilan, dan kembali mengotak-atik ponselku.
Perhatianku teralih, ketika aku menyadari, seseorang sedang memperhatikanku.
Aku menoleh ke arahnya sekilas, dan sosok tersebut terlihat sedikit salah tingkah,m.
Kemudian aku kembali mengotak-atik ponselku, hingga akhirnya, sosok tadi menyapaku.
"Um... A-apa kau sedang menjenguk seseorang?" Sapanya ramah. Aku menoleh ke arahnya, dan dia terlihat semakin salah tingkah
"Maaf?" Sinisku
"Um... Um... Itu..." Dia terlihat semakin serba salah
"Apa kita sudah saling mengenal, sebelumnya?" Ucapku, masih dengan nada sinis kepadanya.
Entahlah! Apakah ini karena suasana hatiku yang kurang baik, atau apakah aku memang tidak menyukai sikap laki-laki asing yang berusaha so' akrab ini, hingga membuatku bersikap begitu dingin, terhadap laki-laki yang sebenarnya sangat tampan ini?
"Aah... Itu... Aku sedang mengunjungi nenekku disini, dan melihatmu..."
"Apa urusannya denganku?" Aku menyela ucapannya, kemudian kembali mengotak-atik ponselku
Aku menyadari, laki-laki itu masih menatapku
"Apa ada yang salah denganku, hingga kau menatapku seperti itu?" Aku menatap tajam ke arahnya, membuat laki-laki itu semakin salah tingkah
"Oh... Itu... Itu..." Aku segera bangkit, dan meninggalkan laki-laki itu.
Ada apa dengan laki-laki so' akrab tadi! Beraninya dia menyapaku, seolah kami adalah teman baik! Bahkan kami baru pertama kali bertemu! Dia pikir dia begitu tampan, hingga dapat seenaknya menyapa gadis yang tidak dia kenal sama sekali! Tapi... Bukankah itu bukan hal yang salah? Entahlah! Mungkin suasana hatiku memang sedang tidak bagus.
Aku membuka pintu ruangan nenek, ada mama disana sedang berbincang hangat dengan nenek.
"Yang lain pada kemana, ma?" Tanyaku yang kini berjalan ke arah mereka, kemudian duduk di tepat di sebelah nenek.
"Papa lagi ke ruangan dokter, tante Vera sama om Sam ke apartemennya Clara, trus mbok Minah, pulang." Mama menjelaskan, dan aku mengangguk samar.
"Inne, mommy bisa minta tolong nggak sama kamu?" Ucap nenek kepada mama
"Mommy mau apa?" Jawab mama lembut
"Mommy pengin banget makan buah, deh. Kaya'nya seger gitu, siang-siang gini makan buah..."
"Nenek mau makan buah apa, biar aku jalan." Aku menyela, kemudian bangkit dari duduk, namun nenek menahanku
"Nenek mau ditemenin Jenny..." Suara nenek terdengar lirih, sambil menatapku lembut.
Mama segera mengambil inisiatif
"Yaudah, saya samperin Joseph dulu ya, mi... Mommy mau makan buah apa?" Tatapan mama begitu lembut kepada nenek.
"Apa aja, yang penting seger, tapi jangan asem." Pinta nenek.
"Yaudah, saya jalan sekarang ya, mi..." Ucap mama, kemudian mengambil tas kecilnya yang dia letakkan di meja yang terletak tidak jauh dari bangkar nenek.
"Jen, titip nenek, ya..." Ujar mama sebelum berlalu, aku dan nenek menoleh ke arah mama.
"Mommy yakin, Jen bisa jaga mommy." Ucap nenek, kemudian mama berlalu.
Sedikit cerita tentang nenek dan mamaku. Boleh dibilang, mama adalah menantu paling beruntung di dunia. Nenek sangat menyayangi mama, beliau tidak membeda-bedakan sikapnya terhadap mama dan juga tante Vera. Mama pernah berkata kepadaku,
"Mama dapat sosok pengganti ibu kandung, ya dari nenekmu itulah."
Seperti yang ku ceritakan di awal kisahku, nenek dari pihak ibuku, sudah meninggal jauh sebelum aku dilahirkan, tepatnya ketika usia mamaku belum genap 15 tahun.
Selama kami menetap di Indonesia, nenek tidak pernah mengizinkan kami untuk pisah rumah darinya.
"Ini kan rumah kalian, mommy tuh cuma numpang disini! Daripada kalian yang pindah, mending mommy yang keluar dari rumah ini!"
Dapat ku ingat dengan jelas, nenek menangis di ruang keluarga rumah, ketika papa menyampaikan niatnya untuk membeli sebuah rumah yang akan kami tempati. Usiaku baru 13 tahun, saat itu.
"Inne, apa sikap mommy keterlaluan sama kamu, sampai kamu mau pergi dari sini?" Nenek menggenggam erat tangan mama, hingga mama tak kuasa menahan tangisnya, dan langsung memeluk nenek.
"Nggak, mi... Nggak sama sekali... Mommy tuh terlalu baik sama Inne... Baik banget, mi..."
Mama menangis pilu, kemudian menguraikan pelukannya
"Mi, nggak ada mertua sebaik mommy di dunia ini... Nggak ada mertua yang memperlakukan menantu layaknya anak kandung sendiri, seperti yang mommy lakuin ke Inne..."
Yaa... Aku menyaksikan sendiri, betapa nenek sangat menyayangi mama. Nenek tidak pernah membiarkan mama memegang pekerjaan rumah.
"Inne! Ngapain kamu pegang kemoceng gitu!" Nenek menegur mama yang saat itu sedang membersihkan debu di lemari penyimpanan barang antik milik nenek.
"Ya ampun mi... Cuma begini doank..." Sahut mama
"Kan udah ada mbok Minah!" Umpat nenek, kemudian mbok Minah menghampiri mereka, dan meraih kemoceng dari tangan mama.
Aku juga masih ingat, momen dimana mama jatuh sakit.
"Lagi ngapain sih kamu diet segala! Nyiksa diri tau, nggak! Ayo, makan!" Ujar nenek sembari menyuapkan nasi kepada mama yang akhirnya pasrah
"Kamu itu, mau gimanapun bentuk badanmu, tetap aja kamu tuh cantik!" Ujar nenek, masih menyuapi mama
"Kalo kamu nggak cantik, nggak mungkin mommy punya cucu cantik, macam Jennifer." Ucapan nenek, membuat mama menyunggingkan senyum
"Selama mommy masih hidup, Joseph nggak bakal berani macam-macam! Mau mommy rebus, dia!" Kata-kata nenek membuat mereka berdua tertawa bahagia.
Dan kini aku, tersenyum menatap wajah pucat nenek.
"Kamu kenapa senyum-senyum sendiri gitu, Jen?" Ucapan nenek membuyarkan lamunanku.
"Eh, itu... Mmmmmm... Nek..." Aku menatap lembut wajah nenek
"Kenapa, sayang?" Nenek membelai tanganku
"Do'ain Jen, ya... Supaya bisa dapat ibu mertua macam nenek, terus suami yang baik macam papa." Ucapku kemudian menggenggam tangan nenek. Nenek tidak segera menjawab ucapanku. Beliau menatap mataku, kemudian tersenyum lembut.
"Jen, kalau kamu nikah sama Young Joon..."
"Nek..." Aku menyela kata-kata nenek, hingga membuat nenek memudarkan senyumnya. "Ada apa sih, sama Young Joon? Kenapa sih, nenek selalu bahas tentang dia?" Protesku. Lagi-lagi, nenek tersenyum, alih-alih menjawab pertanyaanku.
"Jen, pas pulang dari China, bukannya kamu tuh selalu ngomongin tentang Young Joon?" Nenek kembali mengingatkanku akan kejadian hampir 13 tahun yang lalu itu. Ketika aku baru saja kembali dari China, dan terus menceritakan tentang Park Young Joon kepada nenek.
"Bukannya kamu bilang, kalo kamu tuh..."
"Nek..." Lagi-lagi aku menyela ucapan nenek
"Jen... Dengerin nenek dulu." Kali ini nenek yang menyela ucapanku. "Neneknya Young Joon, itu teman baiknya nenek. Nenek pernah cerita sama kamu kan, waktu nenek terpuruk, ada teman yang bantu nenek?" Nenek meyakinkan. Aku kembali mengingat, namun nihil! Otakku tidak berfungsi dengan baik.
"Nenek pernah bilang sama teman nenek, kalau kelak kami sama-sama punya cucu, kami akan jodohin mereka." Nenek menjeda ceritnya.
"Jen, nenek berani jodohin kamu sama cucunya teman nenek, karena nenek tahu persis sifat mereka." Nenek kembali menjeda ceritanya
"M-maksud nenek?" Aku sedikit bingung mendengar ucapan nenek kini
"Dua tahun sebelum kamu lahir, teman nenek kasih kabar ke nenek, kalau cucu pertamanya itu, laki-laki. Dua tahun setelahnya, pas mama kamu lahirin kamu, dan nenek tahu, kalo cucu nenek tuh perempuan, nenek langsung hubungi teman nenek itu." Mata nenek terlihat berkaca-kaca
"Nenek langsung kasih tahu papa kamu tentang perjodohan antara kamu sama Young Joon." Nenek melanjutkan
"Respon papa, gimana?" Sahutku penasaran
"Papa kamu tadinya sempat ragu, tapi Tuhan seolah memang mendukung nenek dan neneknya Joon." Nenek terlihat bersemangat sekali melanjutkan ceritanya. "Pas umur kamu belum genap 6 tahun, papa mu di tugaskan ke China, walaupun berat, nenek akhirnya mau melepas kalian, dengan harapan, papamu setuju sama rencana nenek." Lanjut nenek
"Maksud nenek?" Aku semakin penasaran
"Orang tua Young Joon waktu itu menetap di China, dan rumah mereka ternyata nggak jauh dari apartemen yang akan kalian tempati di China!" Mata nenek sungguh berbinar
"Gimana nenek bisa tahu?"
"Nenek tanya papa kamu, dimana dia akan ditugaskan, terus gimana sekolah kamu, papa kamu waktu itu bilang, semua sudah di atur sama perusahaan. Dan pas nenek tanya dimana kalian akan tinggal, papa kamu kasih tahu nenek secara detail, semuanya." Nenek semkin bersemangat
"Setelah obrolan nenek dan papamu malam itu, nenek langsung cek alamat keluarga Young Joon, di China. Karena nenek rutin kasih hadiah Natal untuk Young Joon setiap tahunnya."
"Terus?" Tanyaku penasaran, nenek tersenyum
"Akhirnya nenek ngizinin kalian pergi ke China, dan titip pesan ke papamu, untuk nemuin keluarga Young Joon."
"Tentang perjodohan, gimana akhirnya respon papa?" Aku memastikan
"Hubungan orang tua Young Joon sama mama dan papa kamu, nyatanya semakin baik. Bahkan mereka masih sering komunikasi sampai sekarang." Aku sedikit terkejut mendengar penjelasan nenek tadi.
Mengapa aku tidak mengetahui hal ini?
"Tapi semua balik lagi. Papa kamu setuju dengan rencana nenek, tapi semua keputusan, tetap ada di tangan kamu." Nenek tersenyum penuh harap kepadaku.
"Jen... Nenek nggak akan maksain kehendak nenek ke kamu. Kalau memang kamu nggak..."
"Nek..." Aku memandang wajah nenek yang saat ini masih tersenyum.
"Aku mau nikah sama Young Joon, tapi setelah nenek sembuh..." Ucapku kemudian meneteskan air mata. Nenek mengusap air mataku.
"Sayang..."
"Neneeeeeeeekkkk!!!!" Aku dan nenek langsung menoleh ke arah pintu, ketika mendengar suara yang tidak asing itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Anna Aqila 🏚️ 🌺
terharu 😭
2021-06-30
1
Little Peony
Like like like 👍
2021-03-12
1