~Nomad
Ann duduk lesehan di atas tumpukan dedaunan dan lumut bersama keluarga rimba itu. Rambut mereka gimbal berantakan, kulit cokelat gosong, dengan tubuh beraroma kayu dan lumut. Mereka duduk melingkar dengan Ann yang bagai bidadari seorang diri duduk di tengah-tengah lingkaran itu. Setelah ini, mereka akan saling bercengkrama dengan bahasa isyarat yang hanya mereka saja yang paham.
Ann menggerakkan tangannya seolah sedang membentuk simbol-simbol tertentu. Beberapa dari mereka lantas membalas dengan gerakan isyarat lain. Begitu terus yang terjadi dan mereka menampakkan keseriusan pada wajah mereka. Mereka sedang membicarakan apa?
Lama aku menunggu mereka berdiskusi pagi ini. Hari mulai bergeser siang, Ann pamitan dan pergi dari hutan. Sedangkan, dari kejauhan aku melihat mereka tengah asyik menikmati santapan nasi kotak mereka. Benar seperti ungkapan. Bahagia itu sederhana.
Di siang hari, biasanya Ann akan melakukan pekerjaan rumah tangga seperti kebanyakan orang. Mulai dari mencuci piring, membersihkan rumah, mencuci baju, dan sebagainya. Setelahnya pun ia akan menuju kamar dan istirahat.
Selama ia tidur siang, aku pergi ‘bermain’, terserah aku hendak pergi ke mana. Aku tak perlu berada di dekat Ann setiap saat, karena aku yakin Ann sudah dilindungi. Tidak akan ada yang berani mengusiknya. Aku putuskan hari ini pergi ke pohon beringin di sebelah rumah Ann.
Banyak sekali makhluk-makhluk yang berkeliaran di sana siang ini. Aku tidak tahu dari mana saja mereka. Aku yakin Ann tidak pernah kesepian karena ada pemandangan ramai di sebelah rumahnya. Walau cuma ia seorang yang melihatnya.
Aku tidak tahu apa yang sedang ‘mereka’ lakukan dan apa yang harus kulakukan. Aku juga tidak akrab dengan mereka. Khawatir kalau-kalau mereka tidak menyukai keberadaanku di sana dan mereka akan menghancurkanku. Kekuatan mereka jauh tinggi dari pada diriku. Memang, tanah Bali itu hebat.
Ya, aku kembali saja ke rumah Ann. Aku kemudian duduk bersila tepat di depan pintu kamar Ann. Aku harap dia tidak bermimpi di siang bolong.
~Ann
Aku tidak bisa tidur siang. Berkali-kali aku menghitung kambing melompati pagar. Apa karena yang kuhitung itu kambing, makanya aku tidak bisa tidur? Aku tidak mengantuk, tapi aku lelah.
Cerita dari manusia rimba tadi terus terbayang dalam benakku. ‘Mendengar’ penjelasan mereka, membuatku merasa sangat iba. Aku tidak bisa memendamnya sendiri. Aku harus memberitahu seseorang.
Aku kemudian beranjak dari ranjang dan pergi ke luar kamar. Kutarik gagang pintu, suara menderit menyambutku. Mataku menangkap sesosok bayangan di lantai. Aku melompat terkejut mendapati Nomad duduk bersila di lantai tepat menghadap ke kamarku. Dia mau membunuhku apa? Untung tidak terlanjur jantungan.
“Bedebah kamu!” umpatku.
Ia berdiri sambil tertawa. Lesung pipinya begitu jelas menampak dan menambah keimutannya.
“Ups, maaf.”
“Oh ya, Nomad, aku mau bercerita denganmu.” Ia menatapku penasaran. Kemudian, ia tarik ujung bibirnya dan memperlihatkan senyuman sombong.
“Baik. Setelah itu, kau akan ceritakan pada tetangga sebelah juga, kan?” sindirnya. Aku menggeleng pasrah.
“Eng … namanya Sati, ingat itu. Kau seharusnya tahu namanya karena kau sering mengganggunya, benar?” nada bicaraku meninggi.
Aku cukup kesal pada Nomad, karena aku harus sering menerima ungkapan keberatan dari tetanggaku yang satu ini. Sati mendadak bisa ‘melihat’ setelah Nomad yang marah datang untuk mengganggunya. Ia malah terkekeh atas sindiran balasan dariku.
“Apa ceritamu kali ini?” tanyanya.
“Aku mau duduk di dekat kebun. Sini.”
Aku berjalan pelan menuju jalan setapak yang mengarah ke kebun. Ia menyusulku sambil bersiul dengan nada melantur. Aku duduk di atas sebuah batu berukuran agak besar. Nomad duduk kemudian bersanding denganku.
“Kebetulan aku ingin tahu, siapa saja mereka itu?” Nomad tahu-tahu sudah membuka pembicaraan.
“Mereka?”
“Yang di hutan barusan.”
“Dengarkan aku dulu, aku akan beri tahu kamu setelah aku ceritakan apa yang kami bicarakan tadi.”
“Yang bahasanya membuatku bingung tujuh kepalang? Entah bagaimana cara kalian akrab.”
“Ya. Tadi mereka memberitahuku bahwa hutan tempat mereka tinggal sekarang hendak dibuka dan dijadikan lahan perkebunan oleh warga sekitar. Banyak juga yang mencari kayu dengan menebang pohon sembarang. Hal-hal itu telah membuat mereka risau. Padahal, mereka sudah menghalangi orang-orang itu sekuat tenaga.”
Nomad terdiam sesaat, “Mereka memang penjaga hutan di situ? Apa hubunganmu dengan mereka?”
“Mereka bukan penjaga hutan di sana. Penunggu hutan memang ada, beliau sudah sangat marah sekaligus sedih atas perbuatan para manusia. Aku menyadarinya dan … mereka, manusia rimba itu, adalah mimpiku yang jadi nyata sejak aku kecil, entah di usiaku yang keberapa. Mereka yang membantu penunggu hutan untuk menjaga ekosistem di sana. Mereka menayangkan para manusia yang berani mencuri dari hutan dan merusaknya sembarangan.”
“Oh. Kamu juga manusia dan sangat disayangkan …,” balasnya dengan ketus.
“Mentang-mentang kamu roh, seenaknya mengejek wujudmu yang sebelumnya juga? Dan, Nomad, aku … perlu bantuanmu. Aku rencananya akan menyadarkan warga sekitar sini. Aku ingin bicara pada bapak dulu, baru ke kepala desa.”
“Apa yang kamu ingin bicarakan dengan mereka, Ann?” ia menatapku sinis. “Kau yakin mereka masih punya kepedulian? Apalagi pada tumbuhan yang kelihatannya mati padahal bernyawa.”
“Nomad, kita punya harapan. Mereka masih punya sedikit kepedulian, sedikit itu cukup. Aku hanya perlu mengingatkan dan menyadarkan, terserah itu sadar sekali atau cuma sekadar. Mendekati akhir zaman, dunia memang seperti ini. Tapi entah mengapa, aku berpikir … aku bisa mengundurnya.”
Sesuai dugaanku, Nomad terbelalak tak percaya setelah mendengar ucapanku yang terakhir itu. Ia nampak menahan tawa hingga wajahnya memerah dan bertambah imut. Pipinya menggembung, garis bibirnya agak naik, namun ditahan hingga merah padam mukanya.
“Zaman apa yang bisa kau undur akhirnya? Mengkhayal boleh, Ann, tapi ingat jangan berlebihan!” akhirnya ia lepaskan kegeliannya, sepuasnya. Dasar kutu loncat.
“Tapi, Nomad, aku tetap sedih mengetahui kalau hutan akan dirusak. Aku harus segera bicara dengan yang lain.”
“… dan mereka akan membela diri mereka sebaik-baiknya—para perusak itu. Seyakin apa kau bisa memenangkan debat dari mereka? Aku kenal sifat mereka.”
Aku justru lebih kesal dengan sifatmu, batinku. Ya, aku sadar orang-orang bisa menjadi pembicara yang lebih hebat dariku. Menjadi sedikit optimis apa itu salah?
“Nomad, makanya aku perlu bantuanmu,” pintaku dengan nada memelas.
Kulihat semringah mengembang di wajahnya, dihias dengan tawa licik khas makhluk halus.
“Jadi … aku harus berbuat apa pada mereka?” tanyanya dengan ekspresi meremehkan.
“Bukan berbuat apa pada mereka. Membantuku. Iya, membantuku, jadi pembantu.”
“Pembantu?!” aku sangat suka ketika dia terkejut.
“Ya, apa lagi? Aku perlu bantuan dan kamu harus mau jadi pembantuku. Mari kita tanam kembali pohon-pohon itu ….” Kutunjuk barisan tanaman dalam polybag di sebelahku. Bibit-bibit itu kelak akan menjadi pohon rambutan dan durian yang besar kalau tertanam dan dirawat dengan baik. Nomad menganga tak percaya sekaligus terkejut.
“Bagaimana? Aku tidak perlu bicara saja sudah ada kebaikan yang bisa kita lakukan.” Kupertanyakan niatnya. Ia hanya mendengus kesal.
“Ya sudah kalau tidak mau,” tandasku. Ia menghela napas panjang.
“Apa yang tidak bisa seorang Nomad lakukan, terutama untuk Ann? Tidak ada yang mustahil! Menanamnya sekarang? Sini, aku yang bawa semuanya.”
Aku membalasnya dengan tepuk tangan dan tawa. Ia kembali dengan wajah kesalnya. Aku kemudian beranjak karena rasanya hari sudah hendak menjadi senja. Waktu seakan berjalan cepat sekali. Aku kembali ke rumah untuk mandi dan melakukan rutinitas soreku.
~Nomad
Ann mengataiku sembarangan! Seorang Nomad dibilangnya seorang pembantu? Nomad adalah pelindung, bukan pembantu! Lebih tepatnya hantu.
Aku benar-benar tidak yakin ia bisa berbicara dengan orang-orang desa. Ia seorang pemalu dan jarang bergaul. Bagaimana caranya bicara di muka umum, apalagi untuk membela kaum rimba itu?
Tapi kurasa, ia tidak melakukannya untuk manusia rimba. Ia melakukannya atas keinginannya sendiri. Aku sering dengar, banyak orang yang peduli dengan lingkungan, namun lihatlah perbandingan mereka dengan yang tidak peduli. Mereka seakan hidup dalam suatu lingkaran kosong. Padahal ada alam yang memberi segalanya pada mereka. Anak durhaka pasti akan mendapat hukuman, Ann, bukan kau yang memberikan mereka ganjaran dari perbuatan mereka.
Aku takut Ann rusak, jiwa mau pun raganya hanya demi omong kosong yang akan ia sampaikan pada tong kosong yang nyaring bunyinya. Sebaiknya, cari yang peduli sajalah, Ann. Meski pun ideku jumlahnya ribuan hanya untuk membantu Ann, tak satu pun aku beri tahukan padanya. Biarlah dia yang putuskan, apakah ia akan tetap pada pendiriannya atau melakukan pelesterian alam ini seorang diri saja tanpa menunggu yang lain menyusul. Kita tidak tahu apa kata takdir dan waktu. Lihat saja nanti.
Karena sudah pukul empat sore, Ann membersihkan diri dan bersiap dengan kedatangan tamu rutin ke rumahnya. Yang terpenting, tamu-tamunya adalah manusia. Selesai berdandan, Ann berdoa sebentar di sanggah dan menanti kehadiran tamunya.
Delapan orang anak-anak datang. Rumah Ann seketika ramai akan gelak tawa bocah. Mereka menghampiri Ann dan menyalami tangan Ann dengan hormat.
Mereka beramai-ramai menuju ke teras dan duduk rapi. Antusiasme mereka terlihat jelas dari wajah mereka. Tiap sore hari, bertempat di rumah Ann, mereka akan mendengarkan cerita gratis dan pelajaran budi pekerti lainnya dari kakak guru kesayangan mereka.
Ann mengambil tempat di hadapan mereka. Matanya memandangi kedelapan bocah tersebut satu per satu. Mereka menyiagakan pendengaran dan penglihatan mereka. Ann membuka pelajaran hari ini dengan senyuman.
“Sore semuanya,” sapanya. Dibalas sahut-menyahut oleh mereka.
“Kakak punya cerita yang menarik untuk kalian. Apa kalian siap mendengarnya?” mereka semua menjawab siap dengan serempak.
Ann memulai ceritanya. “Baiklah, kakak hari ini akan menceritakan tentang sebuah permukiman dan penduduknya yang berada di tengah hutan yang masih asri. Mereka biasa disebut ‘manusia rimba’.”
Dan, ya … ia bercerita tentang hutan pada mereka. Semoga saja mereka tidak menangis sampai mengompol di celana saat diminta menanam pohon.
“Manusia rimba hidup di tengah hutan secara berkelompok. Mereka membangun rumah dari ilalang bersama-sama. Mereka juga saling membantu jika ada yang kesulitan. Kehidupan di sana berjalan damai hingga akhirnya para penebang kayu datang dan mengusik mereka.
Suatu hari, para penebang kayu datang ke hutan dengan membawa peralatan menebang yang lengkap. Penampilan mereka cukup garang seperti preman dan membuat para manusia rimba sedikit ketakutan. Tapi, manusia rimba harus menghentikan niat mereka untuk merusak hutan.
Para penebang kayu kemudian memilih pohon yang hendak diambil. Ternyata, jumlahnya tidak sedikit dan membuat manusia rimba geram. Beberapa manusia rimba kemudian menyelinap mendekati mereka secara sembunyi-sembunyi. Mereka kemudian mengganggu para penebang kayu diam-diam seolah kekacauan yang menimpa penebang kayu adalah perbuatan hantu hutan. Sayangnya, para penebang kayu masih melanjutkan.
Hingga akhirnya manusia rimba tertua yang menjadi pemimpin menghampiri para penebang. Pemimpin manusia rimba mencari dan menemui pimpinan penebang kayu. Yang terjadi malah tetua manusia rimba diusir oleh penebang kayu. Meski begitu, tetua manusia rimba teguh berdiri di sana untuk menghentikan ancaman dari para penebang kayu.
Nah, kakak ingin tanya pada kalian, menurut kalian, apa jadinya kalau hutan rusak dan tidak ada pohon lagi di sana?” suasana sunyi ketika anak-anak itu masih memikirkan jawabannya.
Seorang gadis kemudian mengangkat tangan. “Hutannya tidak lagi indah, kak,” jawabnya lugu.
Seingatku, gadis itu pandai melukis, terutama melukis objek berupa pemandangan alam. Walaupun salah satu matanya rusak akibat kecelakaan, dia masih mampu melukis dan menangkap ribuan warna yang bahkan kutak tahu namanya.
“Ada jawaban lain?” tanya Ann lagi untuk mencari lebih banyak hasil pemikiran kritis bocah-bocah ingusan ini.
Lantas, mereka saling menjawab dan sahut-menyahut hingga membentuk forum diskusi jawaban mereka sendiri. Keributan itu berubah gaduh dan membuat Ann menepuk tangannya dua kali hingga para bocah itu berhenti bicara dan terpaku padanya.
“Kalau ingin menjawab, ingat untuk unjuk tangan, baru jawab.”
Satu-satu dari mereka mengangkat tangan, bahkan semuanya. Melihatnya, Ann nampak terharu.
“Tidak sejuk lagi, kak,”
“Oksigen berkurang,"
“Pohonnya menangis,”
“Kakekku sedih nanti, katanya rusanya bisa hilang dan aku tidak bisa lihat rusa,”
“Burungnya pergi,”
“Longsor, kak.”
Begitulah jawaban mereka. Kepolosan dan keluguan masih bagian utama dari anak kecil. Apapun yang mereka lakukan akan selalu nampak lugu dan polos. Jawaban mereka juga didasarkan apa yang terlintas di benak mereka. Tidak ada jawaban yang salah.
“Kalian tahu? Hutan yang kita miliki di desa kita terancam dirusak, lho! Menurut yang kakak dengar, ada yang ingin menebang pohon di hutan dan ada juga yang mau membakar hutan untuk dibuka menjadi lahan kebun sendiri. Kalian mau kehilangan hutan ini?”
“Tidak!” seru mereka kompak.
“Kalian yakin?” tegas Ann.
“Yakin!”
Di antara semua anak yang setuju, si gadis pelukis mengacungkan jari telunjuknya. Membuat Ann menatapnya penasaran.
“Kak, aku juga sering dengar begitu. Kalau kupikir, hutan kan masih banyak di luar sana. Jika hutan di sini hilang, 'kan, masih banyak hutan yang lain?” ungkapnya. Hal itu menimbulkan kontra di antara bocah-bocah.
“Tapi 'kan sekarang hutan di negara kita itu sudah berkurang! Katanya orang utan saja sampai kabur ke rumah orang gara-gara tidak ada hutan!” sela seorang bocah laki-laki berambut gimbal.
“Aku tidak ingin semua hutan hilang …” lirih bocah lain. Begitu juga yang lain yang kemudian menjiplak perkataan bocah itu hingga rumah Ann benar-benar bising. Gadis pelukis itu kemudian berpendapat lagi.
“Aku mengerti. Mendiang ibuku pernah bilang, kalau pohon itu punya perasaan. Kalau kita menyakiti mereka, mereka bisa menangis kesakitan, seperti kita. Ibu bilang, kita harus ingat konsep Tat Twam Asi. Aku adalah kamu, kamu adalah dia. Kita juga harus menghormati alam karena mereka yang memberi kita kehidupan. Benar, kak?”
“Pendapat kalian itu, bagus semua. Bahkan, kakak pada umur kalian saat ini tidak terpikir hal-hal seperti itu. Kalian pintar boleh, tapi ingat agar kepandaian kalian itu digunakan untuk kehidupan. Tat Twam Asi mengajarkan kita supaya kita saling menghargai karena sebenarnya kita semua sama di mata Tuhan, sama-sama ciptaan-Nya. Di setiap makhluk hidup, ada Tuhan. Menyakiti makhluk lain sama dengan menyakiti dan berbuat buruk terhadap diri sendiri.”
“Kita harus menghentikan penebang kayu itu, kak!” sela seorang bocah, disusul yang lain.
“Kita tidak boleh merusak hutan, nanti kita dimarah Tuhan!”
“Ayo, kak, kita lawan penebang pohonnya!”
Ann menggelengkan kepala. “Bukan, yang kita lawan sebenarnya adalah diri kita sendiri.” Semua terdiam dan menanti ucapan Ann selanjutnya.
“Kita juga tidak tahu, bisa jadi esok hari kita jadi seperti mereka. Kita hanya perlu menyadarkan diri kita sendiri. Kalau kalian ingin hutan tetap lestari, jagalah hutan dari dirimu sendiri. Sama juga dengan lingkungan yang lain, kalau kita sendiri mau merawatnya, menjaganya, setidaknya ada sedikit perubahan. Setelah berhasil dengan diri sendiri, barulah ajak yang lain. Coba bayangkan, bagaimana jika semua orang di dunia sadar akan lingkungan? Menurut kakak, semuanya akan terjaga seperti sedia kala. Nah, kalau kalian yakin ingin menyelamatkan hutan, kalian cukup menyadarkan diri kalian dulu.”
Ceramah Ann barangkali sudah menancap kuat dalam pikiran dan hati mereka serta mengubah cara pandang mereka terhadap banyak hal. Mereka mengangguk mengerti.
Karena hari menggelap, mereka berpamitan dan meninggalkan rumah Ann. Waktunya makan malam, Ann, ayo kita makan tempe lagi.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Arumi Khazanah
Assalamualaikum....Maaf thor numpang promo🙏jangan lupa mampir lagi di karyaku
"Kasih Tak Sampai"
"Who I Am"
Dan jangan lupa kasih boom likenya, komenya dan vote
Aku tunggu....Terima kasih
2020-06-15
0
puja_surya
Ceritanya bagus ka.
Semangat untuk selalu up.
Aku udah kasih boom like, vote and bintang lima ya ka
Aku tunggu feedbcak nya ka .
2020-05-21
0
Fiki04
Aku suka sekli genre seperti ini... lanjut terus ka author
2020-02-10
0