(1) APA MIMPIMU MALAM INI?

~ Ann

Jika saja mimpiku bertemu idolaku jadi nyata, aku tidak akan mengumpatmu. Wahai kemampuanku yang menjengkelkan.

Jika saja mimpiku tidak pernah berwujud sebagai bunga tidur yang buruk, aku akan selalu memujamu. Wahai kemampuan overpower.

Hanya karenamu, aku dibenci dunia. Terima kasih.

Hari ini, aku bangun lagi dengan mata basah dan perih. Seperti sebelum-sebelumnya, hidup yang terlalu banyak drama. Menangis adalah rutinitas pagiku. Merenung adalah hobiku. Menanti yang tidak ada adalah cita-citaku. Tempe adalah hidupku.

Itulah diriku, Ann Azalea. Hidup mengenaskan di dunia kecil ini. Untunglah ada ibu dan tempe yang selalu mengingatkanku dan mendukungku untuk bertahan. Wahai ibu dan tempeku ….

Aku terbangun setelah berkutat dengan mimpi buruk lagi. Kali ini, aku memimpikan seseorang yang sangat penting dalam hidupku—nomor satu terpenting sebelum tempe. Ibuku yang tercinta. Dalam alam mimpi, kulihat ibuku meninggal dunia. Terlalu berat dan menyayat untuk mengingat detailnya.

Menurut mitos yang sudah beredar entah dari siapa mulanya, bermimpi seseorang meninggal dunia artinya orang itu akan panjang umur, terkecuali pada mimpiku. Semua mimpiku, yang indah secantik bidadari maupun buruk sejelek borok busuk, akan jadi nyata. Bukan sekadar rangkaian ingatan acak yang muncul ketika tertidur.

Kurasai cahaya matahari yang hangat menyeruak dari balik gorden putih yang terpasang menutupi jendela persegi di atas kepalaku. Ini sudah pagi menuju siang. Mengapa tidak ada yang datang untuk membangunkanku? Ke mana semua orang pergi? Jangan bilang mimpiku sudah jadi nyata saja.

Aku yakin, hari ini masih hari sekolah dan harusnya aku sudah berangkat untuk belajar dari tadi. Namun, tidak ada yang sudi datang ke kamarku atau berteriak dari luar untuk menyadarkanku dari alam mimpi biar rusak saja sekalian mimpi burukku tadi. Semakin sedih, kututupi wajahku dengan bantal dan selimut. Terisak dan terus terisak. Aku tidak mampu membayangkan mimpi yang akan jadi nyata di duniaku ini.

Benar, gara-gara pria itu. Setelah kali pertama melihatnya, aku langsung menerima kemampuan yang tidak bisa kukendalikan lagi; mimpi nyata. Pria itu, meskipun imut, tampan, dan nampak tidak berbahaya, auranya ketika muncul tidak mengenakkan bagiku pada awalnya. Ia sering terlihat di mana pun aku berada, dengan tatapan kosong dan pakaian bergaya vintage yang didominasi warna tanah. Sesekali, tangannya terlihat berusaha menggapaiku. Entah mengapa, ia tidak mampu mendekatiku.

Sudah tiga bulan sejak kemunculannya yang misterius dalam hidupku yang suram. Meski terkesan menakutkan, pria muda itu pernah membawa kebaikan untukku. Ia melindungiku dari racun kiriman. Ia memakan makanan yang sengaja seseorang berikan padaku. Sekujur tubuhnya membiru. Kuduga karena keracunan. Ia melindungiku, tapi aku ragu, apakah aku boleh memercayainya. Jika ia memang menjadi roh penjagaku, mengapa ia tidak terlihat di sisiku sejak dulu? Mengapa pula ia tidak bisa lebih dekat denganku?

Di antara tangisku, aku turut mengumpatnya sebagai salah satu hal yang menjengkelkan dalam hidupku, selain mimpiku. Tubuhku tak kunjung tenang dari gemetar. Mataku terasa membengkak, merah, dan basah seperti tomat ranum. Aku tersentak ketika derit pintu kayu tua terdengar. Aku melompat dari kasur begitu mendapati sesosok malaikat memasuki kamarku.

Kupanggil dia.

“Ibu!”

Kupeluknya erat sampai sesak. Ia hanya bisa tertawa geli ketika tanganku menyelusup lewat dari ketiaknya.

“Biar ibu tebak … mimpi buruk lagi?”

Kujawab dengan anggukan kepala yang membenam di dadanya.

“Sudahlah, anak semata wayang ibu itu kuat dan berani! Masa, sama mimpi saja takut? Ayo, sembahyang dulu, biar tenang. Habis itu kita sarapan. Biar ibu yang menelepon gurumu kalau kamu izin, ibu juga lupa kalau sekarang hari rabu.”

Ia hanya tersenyum lembut. Saking terlukanya hatiku, senyum selembut marshmallow itu terasa menyayat setajam pisau daging.

Ibu mengambilkanku sehelai kain dan selendang, kemudian mengenakannya padaku yang masih sibuk menepis air mata di pipi. Ia menuntunku menuju sanggah sambil membawa sebuah dupa terbakar. Ia berhenti sesaat di taman untuk memetikkan beberapa bunga sebagai sarana persembahyangan.

Tiba di sanggah, aku ditinggalkannya ke taman. Kusiapkan batinku untuk menghadap pada-Nya.

Kuatur napasku, kuhembuskan sambil melepas pandang pada pemandangan depan rumah. Tatapanku terpaku pada pohon kamboja milik Pak Gede yang tengah berbunga lebat tanpa daun. Warna kuning terang menghiasi tempat bermain empat anak kecil tanpa tujuan yang selalu berputar-putar saling berkejaran setiap hari. Mereka muncul setiap pagi.

Bola mataku berputar dan mencari pohon beringin rimbun di selatan rumahku. Hanya dipisahkan dengan gang kecil di sebelah rumah. Sudah ramai aktivitas yang terjadi di sana, baik oleh orang-orang yang menyempatkan diri menghaturkan canang, maupun yang menerima persembahan. Yang tidak ada urusan juga ada. Semua berjalan normal selayaknya hari lalu. Masih belum ada yang bicara denganku, untuk sekadar berinteraksi atau mengabari hari terakhir ibuku.

Sudahlah. Kini, kupaksa pikiranku fokus menuju tujuanku duduk bersimpuh di sanggah. Kulakukan pranayama sampai aku cukup tenang. Kuucapkan kata demi kata yang membentuk enam bait Tri Sandhya. Setelahnya, kulanjutkan dengan Panca Sembah menggunakan bebungaan yang sudah ibu petikkan untukku. Doa yang kupanjatkan adalah keinginanku agar mimpi burukku tidak kunjung menjadi nyata.

Usai berdoa, aku keluar dari sanggah. Ibu dengan cekatan menghampiriku dan menggandengku menuju ke dapur. Aroma tempe yang gurih sudah memanggilku. Sarapan sederhana dengan lauk berbahan kedelai itu cukuplah mewah di mata dan lidahku. Apalagi, karena juru masaknya adalah dua koki hebat di duniaku. Bapak dan Ibuku tercinta.

Bapak sedang asyik membalikkan beberapa potong tempe yang masih berenang dalam kubangan minyak panas, sekalian menjaga lauk kesukaanku dari serangan lalat nakal. Masakan rumah biasanya dimasak oleh Ibu. Namun, jika Bapak sudah turun ke dapur dan mengambil alih tugas utama Ibu, hasilnya tidak tanggung-tanggung. Siapa pun akan jatuh cinta pada cita rasa yang Bapak ciptakan.

Karena Bapaklah, aku jadi jatuh cinta dan tak dapat dipisahkan dari tempe. Pertama kali aku mencicipi olahan kedelai itu, Bapak yang menggorengnya dan membuatku jatuh cinta dalam kecapan pertama. Sampai akhirnya, aku memiliki motto hidup yang sama sekali tidak berguna. No tempe, no life.

Aku duduk menghadap meja makan. Di atasnya sudah tersaji sepiring penuh tempe berwarna keemasan. Masih hangat pula.

Tanpa ragu dan tanpa malu, kucomot sebuah tempe dan langsung kumasukkan ke mulut. Kerenyahan dan kegurihan rasa tempe tak mampu dikalahkan jenis sajian apa pun. Bapak menghampiriku, diam sesaat dan menyentil dahiku. Aku menjerit pelan. Ibu hanya tertawa di tempatnya berdiri.

“Pagi-pagi sudah menangis, katanya kuat?” goda Bapak.

“Ih, Bapak kan tidak tahu mimpiku tadi. Mimpi buruk lagi tahu …,” gerutuku.

Menjengkelkan. Air mataku malah jatuh lagi tanpa izin. Aku tak kuasa menahannya lagi, tembok bendungan air mataku sudah ambruk gara-gara konstruksi yang buruk dan tidak mampu menahan tangisku lagi. Seakan tangisanku bukanlah kuasaku.

“Mimpi apa yang sudah membuat kekuatan anak Ibu goyah? Coba cerita, siapa tahu, Tuhan akan kabulkan doa kita agar mimpi burukmu yang tadi tidak terjadi di dunia nyata.” Suara ibu terlalu lembut dan hatiku terlalu rusak.

Aku tak memiliki kekuatan untuk menjawabnya. Ucapannya barusan membuatku semakin hancur. Spontan tubuhku memeluknya, dengan tempe yang memenuhi rongga mulutku. Kuceritakan mimpiku semalam masih dengan mulut penuh.

“Aku bermimpi … Ibu meninggalkan aku dan Bapak berdua di sini! Selamanya!” seruku.

Aku tidak bisa melihat ekspresi Ibu setelah mendengarnya. Apa ia terkejut dan takut karena tahu segala mimpi putrinya bisa saja menjadi nyata, atau sebaliknya—tenang dan menganggapnya sebatas mimpi.

“Sudahlah, percaya saja kalau mimpimu kali ini cuma bunga tidur semata, ya? Ann adalah gadis yang optimis, jadi ia tidak akan berpikir ibunya mati saat ia masih muda. Kita sudah saling berjanji, kan? Sebelum kamu jadi musisi seperti yang kamu idamkan, Ibu tidak akan meninggalkanmu.”

“Ibu ….” Aku terus merengek dalam peluknya. Hangat. Detak jantungnya keras terasa. Aku tidak ingin kehidupan di dalam sana berhenti, apalagi sampai menjadikan pelukannya dingin, seperti tempe yang tergeletak di piring.

“Sudah … lanjutkan sarapanmu. Jangan terus dipikirkan …,” tuturnya padaku. Aku berbalik dan melihat lalat nakal mulai mengusik tempeku. Sebelum tempeku jadi santapannya, cepat-cepat kuhabiskan sarapan sederhanaku.

“Ann, Bapak merasa sangat yakin, mimpimu kali ini tidak bakal terwujud!” seru bapak dengan semangat berkobar. Aku hanya membalasnya dengan senyum kecut.

Begitulah kemudian kami menghidupkan kepercayaan semu dengan keyakinan tinggi dalam hati. Bersujud pada Tuhan dan merelakan pada-Nya segalanya. Mimpiku memang tidak bisa dibuktikan dalam selang waktu satu-dua hari. Ibu tidak pergi. Setidaknya tidak hari ini.

Suatu pagi yang cerah dan terlalu panas di pukul enam tiga puluh menitan. Ibu mengantarku ke SMP tempatku mengemban ilmu saat ini dengan sepeda motor. Jalanan agak ramai dan berlangsung seyogyanya. Suatu detik yang terlalu lambat, suatu menit yang terlalu singkat, suatu peristiwa yang tidak kuharapkan. Déjà vu.

Sebuah mobil keluarga berwarna putih memantulkan cahaya surya yang menyilaukan mata. Aku baru tersadar, ini layaknya pengulangan mimpiku. Bukan itu masalahnya, tapi dengan kecepatan tinggi mobil itu mengejutkan seisi jalanan. Kami ditabraknya dengan sangat kuat. Sepeda motor ibu jatuh di tempat, sedangkan kami terpental dan punggung kami bertumbukan dengan tembok pekarangan orang.

Ibu memelukku, tubuhnya merangkulku sehingga saat menabrak tembok tadi, punggungku hanya sekedar menyentuh. Sedangkan ibu, ia merelakan punggungnya demi sang anak. Kami tergeletak di aspal.

Dari bawah, kulihat tembok dari beton itu kini berwarna merah. Tanganku pun merasa basah ketika menyentuh bagian belakang ibu.

Aku hanya melihat warna merah, setelah ibu menukar posisi kami dan ia meregang nyawa di jalan ini. Ia melemparku ke pinggir jalan ketika mobil itu kehilangan kendali dan bergerak ke arah kami. Begitulah setelahnya sebuah tubuh manusia remuk tak berbentuk akibat tergilas mobil. Merah, paling kubenci. Warna itu menutupi pandanganku.

Terdengar sayup-sayup teriakan histeris orang-orang kepanikan. Kurasai beberapa orang menghampiriku yang masih terkulai lemah. Mereka mengangkat tubuhku dan membawaku entah ke mana. Mataku jernih kembali dan kuperhatikan sosok wanita pahlawan dalam hidupku tinggal jenazah tak utuh bermandi darah. Tidak manusiawi.

Aku memberontak dan mengamuk. Aku memukuli orang-orang yang menggendongku dan setelahnya aku berlari ke arah ibuku. Mereka dengan cekatan menarikku menjauhi mayatnya dan aku tetap bersikukuh. Kulihat pria muda yang biasa membuntutiku dan pembawa kutukan bagiku itu tengah berdiri mematung di sebelah ibu dengan wujud halusnya. Pria itu berjalan cepat ke arahku dan menutupi mataku dengan tangan kanannya. Setelahnya, aku hanya tahu aku sedang terbaring di kamar rawat inap rumah sakit dan pria itu duduk di sebelahku dan memancarkan senyum hangat.

Upacara Pitra Yajña untuk ibuku, kuwarnai monokrom. Penuh tangis layaknya sinetron yang biasa tayang di televisi. Kalau biasanya, orang yang sudah meninggal akan dikremasi, dan yang meninggal dengan cara yang tidak wajar sebaiknya dikubur terlebih dulu. Namun, sesuai keinginan terakhir ibu ketika pesuugan, ia meminta agar aku dan bapakku segera mengkremasi jenazahnya.

Ibu tak ingin membuatku datang ke kuburannya untuk ziarah dan menangis berlarut-larut. Ia berharap agar aku bisa melupakan bahwa dirinya memang tidak ada lagi untukku. Ia akan menjadi asap yang bersatu dengan udara, menjadi abu dan bersatu dengan tanah dan dihanyutkan, bersatu dengan lautan. Kini, aku bisa menemuinya di mana pun dan kapan pun. Meski tidak mewujud manusia yang dapat kupeluk erat.

Hidupku semakin menderita. Makin hari, makin kacau. Beberapa wujud nyata mimpi burukku perlahan terlihat dan terdengar olehku. Dua bulan sejak kepergian ibu, di televisi sedang gencar diberitakan kabar mengenai seorang pembunuh berantai yang ternyata pelaku dibalik hilangnya puluhan bayi. Pembunuh yang merupakan wanita tua itu ditemukan polisi dengan bangkai bayi dan tulang belulang mungil di sebuah jalan saat tengah malam.

Tak hanya itu, aku hanya bisa menyelesaikan sekolah hanya untuk merasakan kelas sepuluh SMA. Setelahnya, kuputuskan berhenti mengenyam pendidikan karena kelamnya kehidupan pribadiku yang membuatku terlihat amburadul di hadapan semua orang. Lima tahun dalam hidupku ini kuhabiskan untuk merenungi kesalahan yang tidak sama sekali kuperbuat.

Selama setengah dasawarsa itu juga, dengan pria itu, aku mencari informasi mengenai kemampuan anehku. Baik dari manusia ‘pintar’, maupun para makhluk astral. Lama- kelamaan, hubungan tidak jelasku dengan pria itu mulai terbentuk. Sebuah jalinan baru yang kelak diwarnai segala rasa dan warna. Kunamai teman baruku itu dengan sebutan kutu loncat tengik, biasa kupanggil dengan sebutan Nomad.

Rambut hitam lurus sepanjang tengkuknya begitu lembut dan mengilap. Manik hitam bulat terbingkai kelopak mata dengan tatapan elang. Kulitnya cerah dan bercahaya meski merupakan bagian makhluk pucat tak beraga. Bibirnya merah tepat dihiasi dengan dagu agak runcing. Meski begitu, dengan poni jatuh ke sebelah kiri wajahnya, ia nampak begitu imut. Suaranya tak kusangka, begitu indah dan lembut. Namun, aku tak punya sebutan selain kutu loncat tengik untuk sifatnya yang jahil dan pengganggu.

Tubuhnya sedikit lebih tinggi dariku. Fisiknya dewasa, tidak sifatnya yang kekanakan. Ketika ia tersenyum, lengkungan merah di wajahnya memancarkan aura hangat dan lembut yang senantiasa kurindukan. Berbeda ketika emosinya meningkat dan mengacau, dia bisa jadi benar-benar jauh dari penggambaranku barusan. Imutnya seketika lenyap. Sadis.

Saat pertama kali berinteraksi lebih dekat dengannya, aku mengajarinya bernyanyi agar suara merdunya tak terbuang percuma hanya untuk mengoceh tentang koleksi anggrekku. Kubuat ia hapal lirik lagu Bintang Kejora.

Semakin ia akrab, sifat aslinya keluar ke permukaan. Bebal, keras kepala, usil, dan humoris seringkali mengaduk-aduk emosiku. Dan, ia juga sering mengamuk dan tidak mau bicara denganku beberapa hari. Alasannya, konyol. Ia seringkali mengungkapkan bahwa ia ingin menjadi sepasang kekasih bersamaku. Kujawab saja “tidak” tiap kali ia minta, dan ia kecewa. Namun, ia hanya bercanda.

Nomad. Aku tak begitu tahu harus kunamai siapa dia. Hanya karena ia sering bepergian entah ke mana hanya untuk mencari tahu mengenai kemampuan rangkap kutukanku. Ia tidak pernah berlama-lama di satu tempat. Saat itu, aku teringat cara hidup manusia sebelum masa perundagian dengan berpindah-pindah tempat. Tersebutlah satu kata yang menggambarkan dirinya. Nomad.

Untunglah ia mampu memperbaiki diriku yang remuk setelah kepergian Ibu dan munculnya mimpi buruk berkepanjangan yang menerorku. Aku begitu berharap mimpi burukku segera berakhir. Sayangnya, usahaku tidak ada. Ingin bersumpah menyelesaikan ini semua, namun aku terlalu rapuh untuk melanjutkan langkah. Baiklah, setelah ini semua berakhir, dipanggil Tuhan tidak masalah lagi bagiku.

Dan, aku tidak ingin bermimpi lagi malam ini.

.

.

.

.

Note Penulis: Selamat datang di sebuah cerita berlatar di Bali. Saya penulis pemula. Masih SMP. Kalau ada kurang, silahkan komentar. Sekiranya tiap bab diberikan like dan komentar sekenanya. Kalau ikhlas, kasi rate sejujurnya juga tidak kenapa.

I Love You, untuk kamu yang tidak bisa melihatku langsung, tapi terus menemukanku dalam mimpi. Kuharap, aku bukan bagian mimpi burukmu. Karya ini kutujukan untukmu. Masalahnya, orang itu bukan kamu yang membaca ini.

Selamat menyelami kerumitan dan ketidaksempurnaan kisah hidup Ann Azalea ini.

.

.

.

Terpopuler

Comments

francess

francess

good job

2023-02-22

0

Melia

Melia

Bahasanya keren banget yampun, penulisannya rapiiii 😭

2020-08-05

3

Arumi Khazanah

Arumi Khazanah

Da mampir ya...

Uda aku kasih like...

Jangan lupa mampir lagi di karyaku

2020-06-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!