(2) SANGKAKALA DITIUP

Setahun setelah kepergian ibu tercinta ….

~Ann

Di sebuah hari yang gelap gulita. Terlalu dini dikata malam, terlalu gelap dibilang pagi. Tidak ada awan mendung maupun gerhana, langit hitam pekat tanpa izin. Mereka masih belum menyadari, sesuatu akan segera hadir.

Para leluhur seakan memberikan suatu petunjuk, makhluk tak kasat mata lainnya mencoba memperjelas keadaan. Alam tunjukkan pertanda. Sesuatu pasti akan terjadi.

Awan gelap didorong oleh angin kencang bergemuruh dan mulai berkumpul di atas kepala. Gelapnya terlalu kelam jika hendak turun hujan. Sebuah lubang di tengah awan membiarkan cahaya menerobos. Dari sana, dapat kusaksikan banyak cahaya memancar dari Akasa dan hendak memberitahukan sesuatu.

Dengungan yang panjang dan menggema di seluruh bumi. Sangkakala terdengar sebagai degungan akhir dunia. Zaman Kali Yuga akan segera berakhir. Satu Kalpa segera menggenap. Semuanya akan segera berhenti. Tamat.

Aku lari ketakutan setelah mendengarnya. Kupeluk Bapak yang panik mencari tahu asal suara yang menakutkan itu. Dia belum tahu kalau yang barusan didengarnya adalah terompet penanda kiamat.

“Suara apa itu, Ann?”

Pertanyaan sederhana yang pasti akan dilontarkan manusia normal. Sebagai salah seorang yang dapat menerima pesan, mendengarnya adalah kutukan untuk telingaku. Takut? Bagaimana tidak, kami dikabari Kali Yuga tinggal beberapa saat lagi. Apa waktu itu singkat? Memang singkat. Saatnya pergunakan hidup sebaik mungkin, wahai manusia.

Aku berjalan pelan dan was-was ke kamar. Tiba dengan selamat, kulempar tubuhku dengan kasar ke atas ranjang. Perlahan, kuusahakan memejam. Tak berselang lama, seorang jiwa leluhur menghampiriku. Cahaya yang teramat menyilaukan terpancar darinya. Rambut putihnya tersanggul kecil khas orang zaman dahulu. Berdiri dengan bantuan tongkat berbentuk kepala naga padahal hampir tak berwujud pada pegangannya. Pakaian serba putih menutupi tubuh tua dan kulit keriputnya. Kakinya tak menapak pada lantai berkeramik dingin di bawahnya.

Nomad berdiri di sebelahnya dan nampak berbicara. Aku yang sedari tadi berbaring langsung mengambil posisi bersimpuh di atas kasur dan mencakupkan tangan di depan dada. Beliau mulai berbicara dengan bahasa yang asing bagiku, namun sering terdengar ketika dan pergelaran Calon Arang. Kukira Bahasa Kawi yang digunakannya. Nomad mendengarkan beliau dengan seksama dan memerhatikan sekali apa-apa yang terucap dari bibir sang leluhur.

Suara beliau berat, serak, dan bertempo pelan. Setiap kata yang meluncur bagai sungai penuh makna. Aku termangu. Kualihkan pandangan pada Nomad yang asyik mengalih bahasa dalam otaknya. Sesekali ia menanggapi dengan manggut-manggut dengan ekspresi datar dan hormat. Ia pun sepertinya sedang membalas beberapa ucapan sang leluhur.

Mungkin dialog di antara mereka sudah berakhir, sang leluhur melihat ke arahku dan seketika lenyap tanpa jejak. Kini, waktunya menggali informasi dari narasumber kedua. Nomad.

“Bagaimana, Nomad? Apa yang beliau perintahkan?”

Nomad menggeleng. “Tidak ada. Beliau hanya mengingatkan. Kamu tahu, Ann, beliau adalah leluhur keluargamu. Beliau berpesan agar kau selalu rajin berdoa. Beliau juga memberitahuku, kamu harus lebih rajin membaca kitab suci. Yang kamu perlukan saat ini hanya kepercayaan, katanya. Beliau juga mengingatkanku pada sebuah sloka dari Sarasamuschaya, aku harap kamu mengetahuinya. Akan kujelaskan artinya.

Di antara semua makhluk, hanya menjadi manusia yang dapat melaksanakan dan membedakan perbuatan baik dan buruk. Oleh karena itu, janganlah bersedih hati walaupun hidupmu tidak makmur. Malahan, dalam hidup sebagai manusia hendaknya budi pikiran itu diperkuat, karena menjelmanya kita menjadi manusia adalah hal yang utama, walaupun menjadi manusia merana sekalipun.

Beliau menyadari bahwa kehidupanmu sangat berat. Beliau memberitahukanku, kehidupanmu, dan banyak manusia lain di dunia ini sebenarnya punya maksud penting bagi dunia. Beliau bahkan menceritakan padaku, kamu pernah ingin bunuh diri, kan?”

Aku terpaku mendengarnya. Tak terasa, mataku membasah. Bayangan Nomad yang tipis di mataku semakin memburam tertutup genangan air mata. Aku hanya sanggup mengangguk pelan untuk menjawabnya.

“Beliau tahu kamu sangat kesulitan dengan hidup yang sedang kamu jalani sekarang. Mimpimu jadi nyata, yang baik juga yang buruk. Ingatlah, tidak selamanya sesuatu itu buruk. Pasti ada makna yang tersirat dan kamu tidak menyadarinya. Tujuan hidupmu, Ann, itulah yang harus kamu cari. Aku percaya, penderitaanmu saat ini menggambarkan tujuan hidupmu,” lanjutnya.

Aku tidak ingin tahu kalau aku ditakdirkan jadi penyelamat umat manusia atau bahkan dunia ini. Aku bukan seorang superhero dengan kekuatannya untuk menyelamatkan dunia dari kesengsaraan. Aku tidak memiliki kuasa atas itu.

Aku hanya Ann. Tidak berguna selain menjadikan mimpi buruknya hidup sebagai kenyataan. Mengapa aku sudah tak lagi bisa mengatur mimpiku? Sebenarnya, yang terjadi padaku itu … apa?

“Makanya, kamu harus sabar dan berjuang selalu. Leluhurmu datang jauh-jauh hanya untuk berpesan itu padamu.” Aku terbelalak, seakan tengik ini mampu mendengar suara hatiku. “Kamu mampu menjadikan mimpimu nyata. Cari arti dari pemberian Tuhan itu padamu, selami, hidupkan, dan jadikan itu sesuatu yang berarti bagi manusia.”

Ia telah mengguruiku dan memasang tampang menang. Namun, aku merasa pantas diperlakukan demikian. Aku ternyata tidak tengah beranjak dewasa dari masa kanak-kanak. Diejek teman sekolahan yang biasa nongkrong di kursi panjang merah muda depan kantin saja ******, bagaimana menghadapi masalah yang ini?

Lima tahun setelah kehilangan ibu tercinta ….

~Nomad

Aku bangga pada Ann. Pernah ingin bunuh diri seperti korban cemoohan yang lain, juga karena batinnya yang lelah dan sakit. Mampu merangkak saja sudah syukur. Ia telah mampu berdiri sendiri tanpa ia sadari. Ann, ia berdiri. Meski kakinya selalu gemetaran di hadapan keburukan yang keluar begitu saja dari alam mimpinya. Ia pernah berpikir untuk tidak pernah tidur, kecuali untuk beristirahat selama-lamanya.

Entah sampai kapan ia akan bertahan tegar.

Ia sempat bercerita padaku, ia teringat ketika sangkakala bertiup untuk yang pertama sebelum disusul tiupan kedua yang berarti dunia harus pralina. Namun, dengan binar mata yang indah, ia berkata bahwa ia sudah mengerti maksud pesan leluhurnya ketika itu. Ya, ia semakin rajin membaca kitab suci, berdoa, dan mengamalkan segala isi kitab suci yang dibacanya. Satu hal yang tersulit baginya: menyadarkan orang lain agar mengamalkan ajaran agama sama seperti yang ia giati.

Mimpinya adalah gambaran akhir dunia. Aku ingin ia tahu sendiri mengapa harus dia yang menjadi penyalur mimpi buruk ini dan mengapa mereka menjadi nyata. Terlalu berat untuk memberitahunya sekarang. Lagi pula, aku juga menyukai wajahnya wajahnya ketika ia semakin dibuat penasaran.

Setelah sarapan pagi ini, ia pergi ke kebun milik sang ayah yang berada dua puluh meter di belakang rumah. Tanah yang luasnya tak seberapa itu penuh dengan tanaman vanili yang ditanam layaknya pagar. Tanaman-tanaman vanili itu tengah berbunga. Setiap pagi di musim berbunganya vanili, Ayah Ann akan pergi ke kebun untuk membuahi bunga vanili.

Ann menghampiri ayahnya. Rantang tiga tingkat berbahan aluminium itu menghumbar aroma tempe dan masakan lain. Biar kutebak isinya … rantang paling atas gorengan termasuk tempe, di tengah-tengah ada kuah kaldu ayam, di bawah nasi. Betul?

“Pak, untuk nanti siang,” ucap Ann sambil menaruh rantang tersebut di atas tumpukan dedaunan yang mengering.

Ayahnya membalas dengan anggukan. Jari-jemarinya tengah asyik memasukkan serbuk sari ke kepala putik bunga vanili. Dari jauh, aku memerhatikannya dengan teliti. Ann melihatku dan memberi isyarat. Kita pulang sekarang. Akhirnya, kuturuti dan mengikuti langkahnya kembali ke rumah.

Sesampainya kami di rumah, Ann berjalan menuju dapur. Ia kenakan celemek berwarna merah muda kesayangannya yang selalu ia cuci setiap hari. Ia menggulung rambutnya yang panjang dan mengikatnya tinggi di atas kepala. Dicucinya kedua tangannya dengan air mengalir. Sesekali ia bergidik karena dinginnya suhu air yang tengah membasahi tangannya.

Ia berpindah ke arah meja makan. Di sana, sudah tertata rapi beberapa piring lauk-pauk dan nasi segunung. Tangannya melaju ke laci meja makan. Dikeluarkannya sebungkus kotak nasi yang belum dilipat sedemikian rupa. Satu per satu ia membentuk kotak nasi dari karton sampai jumlahnya kurang lebih sepuluh buah. Ada pula mika plastik dengan beberapa tempat untuk menaruh isian nasi bungkus.

Ia menyendokkan nasi, tempe, sambal, mi goreng, telur dadar yang diiris kecil dan sebuah cabe rawit. Sambil mengingat siapa saja yang akan menerima nasi bungkus itu, aku sengaja tersungut-sungut di sebelahnya hendak menyindir.

“Mewah sekali, ya, makanannya ….”

Ia tak memedulikanku rupanya. Matanya tak beralih dari meja makan. Terpaksa aku mengalah. Ann di saat seperti ini memang ada baiknya untuk tidak diganggu.

Aku dengan iseng memainkan rambutnya yang terikat di atas kepalanya. Ia masih saja bergeming dan fokus pada makanannya. Aku menusuk-nusuk gulungan rambut itu dengan jari-jari tangan kananku, bergantian mulai dari jempol hingga kelingking dan kuulangi sampai tak sadar Ann sudah selesai mengemas kesepuluh porsi makan siang itu. Ia meraih sebuah tas plastik merah besar dan memasukkan kotak-kotak nasi ke dalamnya.

Saatnya berangkat menuju tujuan pengiriman.

Awalnya, aku sering bertanya-tanya dalam hati, untuk apa Ann membuat nasi kotak dengan jumlah yang sama setiap hari dan bukan untuk ia titipkan di warung-warung maupun dijajakan. Semakin sering aku menguntitnya, barulah kutahu alasannya.

Ann selalu pergi ke hutan di dekat rumahnya, hutan yang masih asri. Karena rumah Ann yang sedikit menjorok ke pedalaman, mencari hutan alami tidak terlalu sulit. Hutan hujan tropis itu kini mulai terjamah manusia. Meski begitu, tidak banyak bagian yang dikosongkan para warga untuk kepentingan mereka. Namun, ada satu titik yang kosong dari pepohonan dan benar-benar layaknya lapangan. Ada sesuatu yang perlu ditelusuri.

Pemukiman rimba yang biasanya ada ketika zaman para manusia masih hidup nomaden, terlihat begitu apik dan damai di sini. Tidak akan ada yang menyadarinya. Meski pun dunia ini sudah menunjukkan perubahan zaman dan tampil modern, keberadaan mereka dan kebudayaan mereka tetap berjalan. Aku masih bingung, bagaimana cara Ann untuk berkomunikasi dengan para manusia bisu itu?

Beberapa anak berpenampilan kusam dan dekil keluar beramai-ramai dari sebuah pondok ilalang sederhana. Lumpur menutupi kulit mereka. Bau tanah dan rumput tercium begitu mereka mendekat. Aroma khas hutan hujan tropis menyegarkan menjadi parfum mereka.

Mereka tertawa menyambut kedatangan Ann. Mereka membawa Ann masuk ke dalam desa kecil mereka. Hanya terlihat tiga buah pondok berbahan ilalang yang berdiri di sana. Meski demikian, aku bersikeras dalam kepercayaanku bahwa masih banyak manusia rimba lain di hutan ini.

Beberapa orang dewasa kemudian ikut keluar dari pondok. Mereka sepertinya sudah terbiasa dan berbaris rapi untuk mengantri untuk mendapatkan nasi kotak mereka. Aku bahkan tak dapat melihat pemandangan ini di luaran sana, di antara para manusia modern.

Ann biasa ber-Yaĵña pada mereka—manusia rimba. Ann pernah bilang padaku, mereka yang melarang manusia lain merusak ekosistem yang terbentuk semenjak manusia mulai tinggal di sini. Meski hutan ini tidak termasuk sebagai wilayah cagar alam oleh pemerintah, tapi mereka yang melindungi hutan tersebut dari kehancuran. Para manusia rimba berhak atas penghormatan kecil ini karena mereka sangat berjasa bagi hutan dan segala isinya. Ann memberikan wujud terima kasihnya dengan bentuk nasi kotak sebagai makan siang mewah mereka setiap hari.

Para manusia ini—menurut Ann—merupakan jawaban atas permintaan seorang leluhur pada Ann agar ia bersedia menyadarkan dan mengingatkan para manusia untuk menyayangi lingkungan. Sebuah contoh, sebut saja hutan. Ada manusia rimba yang membantu Ann. Mereka sebenarnya bukanlah penduduk asli hutan ini. Mereka baru muncul di sini beberapa tahun yang lalu.

Kuhempas pandangan pada hamparan warna hijau yang dominan. Begitu sejuk dan menyegarkan. Bernapas di sini bisa jadi adalah hal terbaik. Burung-burung berkicau saling menyahuti. Terlihat pula para rusa malu-malu menengok dari balik pepohonan. Inilah kehidupan hutan yang benar-benar asli.

Terpikir pula olehku sebuah pertanyaan: Apakah mereka dapat bertahan lama di sini? Ann bahkan melontarkan pertanyaan yang sama. Dan, entahlah. Aku tidak bisa meramalkan masa depan dan mengetahui nasib mereka setelah ini. Doakan saja mereka agar bisa hidup di sana lebih lama lagi menjadi abdi hutan.

.

.

.

.

Terpopuler

Comments

Ryan Jacob

Ryan Jacob

semangat Thor ditungggu karya-karyanya

2024-02-26

0

Srieaniez Ñew Srieaniez

Srieaniez Ñew Srieaniez

kosakatanya bagus,,, semangat author,,,

2020-09-05

1

Ria Ria

Ria Ria

aku sudah mampir ya thor

2020-06-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!