Ellena dalam perjalanan kembali ke desa saat matahari telah benar-benar menghilang di ufuk barat. Hari telah malam dan Ellena telah selesai menyelesaikan misi sekaligus masalah yang mungkin muncul di masa depan.
Dugaan Ellena tentang sarang belut memang benar. Di sadar sungai, tertutup ranting, serabut tanaman dan juga lendir entah dari mana, sebuah lubang berisi banyak telur lembek. Telur-telur belut itu bernyatu dalam perlindungan kelambu kuning.
Membawa telur-telur itu ke darat bukan hal mudah. Ellena harus berulang kali naik ke permukaan sangat saat tidak bisa menahan nafasnya lebih lama. Entah berapa kali gadis yang menyamar menjadi laki-laki itu menyelam namun pada akhirnya, Ellena berhasil membawa telur-telur itu ke darat atau memusnahkahnya dengan pisau saat terlepas satu atau dua telur.
Menimbang telur-telur itu juga bisa dijual, Ellena sengaja tidak menghancurkan semuanya. Dia cukup senang dengan perburuan nya ini dan cengengesan saat membayangkan berapa banyak uang yang dia dapatkan. Tapi pikiran itu langsung lenyap saat sadar hari sudah malam.
Jarak sungai dan desa tidak jauh. Ellena bisa segera sampai jika berlari sekuat tenaga. Gelapnya malam tidak menyulitkan penglihatannya karena Ellena bisa melihat dalam gelap sekalipun. Tapi seolah menghendakinya pulang lebih terlambat lagi, langit menurunkan hujannya. Sangat lebat hingga tanah cepat basah dan menggenang serta berubah menjadi berlumpur.
“Sempurna. Sudah terlambat makin terlambat saja aku. Semoga Linda tidak diamuk bibi saat ini.” Tanpa Ellena tahu, Linda tengah menderita tekanan batin di Guild.
Ellena tidak membiarkan tubuhnya lebih basah lagi. Dia memanjat pohon paling tinggi dan rindang yang dia temukan. Mematahkan beberapa dahan dengan tangan dan pisaunya kemudian mengeluarkan terpal berukuruan satu meter dari tas kecilnya dan mengikatnya di atas kepalanya. Dalam sekejab Ellena telah membangun sebuah rumah pohon yang terlalu sederhana namun cukup untuk satu orang. Ellena menilai karyanya jelek tapi setidaknya dengan begini dia tidak akan terlalu basah terkena air hujan.
CTARR
Masalah petir. Ellena tidak masalah. Petir-petir itu memang berisik tapi Ellena tidak takut. Bibi Em selalu menasehatinya untuk waspada kepada petir karena mungkin saja petir adalah musuhnya. Saat itu dia enam tahun dan sampai sekarang Ellena tidak tahu maksudnya apa. Tapi sungguh, petir itu bukan ancaman.
CTARR
Satu kilat petir berhasil merobohkan sebuah pohon yang jaraknya cuma lima puluh meter darinya.
“Baik aku tarik lagi. Kekuatan petir sangat dahsyat dan menakutkan. Keren…”
Orang pasti menyebutnya gila karena menyanjung guntur di langit. Tapi setelah itu tidak ada lagi petir yang menyambar hingga mengancam jiwanya.
.
.
.
Guncangan keras terjadi pada kereta barang yang membawanya. Dia meringis kesakitan saat tubuhnya terus menerus di goncang ke kanan dan kiri bahkan menyengggol keras seseorang di sampingnya. Entah siapa itu, yang dia tahu, seseorang di sampingnya juga bernasib sama dengannya.
Terikat dan babak belur sekujur tubuh.
Lalu suara hujan deras dan guntur terdengar. Laju kereta barang memelan dan dia mendengar seruan kesal dan umpatan para pria bajingan yang seumur hidup tidak akan dia maafkan.
“Sial! Kenapa harus hujan deras sekarang?!” gerutu satu pria.
“Ck! Dengan hujan lebat seperti ini, sulit untuk kita menelurusi hujan di depan.”
“Maksudmu kau ingin kita berhenti di sini? Kau gila? Kita bisa ketahuan warga desa ini.”
“Mau bagaimana lagi? Lihat di depan, jalan-jalan sudah berlumpur! Memaksa kereta berjalan, salah-salah akan merusak roda kereta! Lebih repot mana, HA?”
Adu mulut beberapa orang pria terus berlanjut. Hingga suara pria yang terdengar paling tegas dan kejam bersuara, “Kita berhenti dan lanjut pergi saat pagi-pagi buta. Aku ingin empat orang berjaga di sekeliling. Bunuh bila ada orang yang melihat kita. Sisanya, pastikan tidak ada dagangan kita yang kabur.”
“SIAP BOS.”
Dagangan.
Tangannya mengepal erat dalam ikatan tali yang mengekangnya. Mata hijaunya berkilat marah pada mereka yang dengan seenaknya menjadikan dirinya ‘dagangan’.
Dia ingin kabur.
Dia ingin bebas dari orang-orang tidak punya hati dan kejam seperti mereka.
Dan dia berdoa semoga dewa mendengar doanya dan menurunkan hukuman mengerikan bagi orang-orang yang telah hilang kemanusiaannya.
.
.
.
Selama menunggu hujan reda, Ellena menghabiskan waktunya dengan sia-sia.
Dia mencoba untuk tidur tapi embun hujan dan gemericik air tidak membiarkan dia terlelap. Terlebih tempat lembab bukan tempat cocok untuk tidur.
Ellena mencoba mengisi waktu dengan membuka bukunya, mencoba membunuh waktu dengan membaca. Tapi lagi-lagi gagal karena Ellena tidak rela buku berharga nya basah dan kering jelek.
Atau mencoba mengasah pisau-pisaunya. Tapi setelah beberapa menit, Ellena kehilangan minat karena pisaunya tidak bisa lebih tajam lagi. Senjata kecil itu bisa menembus batang pohon sekalipun jika Ellena mau.
Pada akhirnya Ellena melamun.
Satu-satunya hal baik ialah Bibi Em tidak ada sini saat ini. Jika bibinya itu tahu dia kebasahan sembari nangkring di atas pohon seperti kera, niscaya panggilannya untuk sebulan ke depan adalah “Kera Lusuh”.
Siapa yang suka di panggil Kera?
Hidup memang keras. Apalagi jika memiliki bibi macam Emily Ellyzzia.
“—*Bunuh bila ada orang yang melihat kita. Sisanya, pastikan tidak ada dagangan kita yang kabur.”
“SIAP BOS*”
Seketika perhatian Ellena teralihkan. Suara sekelompok pria yang tidak jauh darinya membangkitkan rasa penasaran sekaligus waspada. Terlebih kata kata ‘bunuh’ yang sempat di dengarnya tadi.
Dengan sigap Ellena melepas terpal kemudian memanjat lebih tinggi pohon yang ditempatinya. Berbarengan dengan itu, seorang pria dewasa bertubuh besar lewat di bawah dengan kapak besar di tanganya.
“Hm…”
Ellena bersyukur hujan menghilangkan jejak kaki serta menyamaran hawa keberadaanya. Meski tubuhnya kini harus basah kuyup tapi insting Ellena mengatakan dia harus berhati-hati.
Melawan hewan buas dan manusia adalah dua hal berbeda. Monster yang dihadapi Ellena selama ini pastilah lebih lemah darinya atau sedikit lebih kuat darinya. Dan hewan buas tidak memiliki akal yang tinggi sehingga setelah beberapa pengamatan bisa mengetahui titik lemahnya.
Sedangkan bertarung dengan manusia yang jelas-jelas berakal tinggi itu menyusahkan. Lebih-lebih jika orang tadi ternyata adalah petualang dan ber-rank lebih tinggi darinya.
Bisa saja Ellena mengalahkan satu tapi teman-temannya? Ellena lebih terima pulang basah kuyup daripada pulang tinggal nama. Ellena khawatir tidak akan mati dengan tenang karena bibi Em justru akan membangkitkannya hidup lagi hanya untuk dibunuh dengan tangannya sendiri.
Sekejam itu seorang Emily Ellyzzia.
Pria berbeda lewat kembali--sama-sama jelek cuma lain tipe saja. Kali ini pria cungkring, berambut panjang terikat dan membawa celurit. Pria itu berdiam agak lama tepat dipohon yang Ellena singgahi. Gadis itu menggerutu dan meminta dalam hati agar pria jelek itu menyingkir dari sana.
CTARR
Lalu petir kembali datang. Ellena dan pria dibawah sana sama-sama kaget karena petir itu persis menyambar pohon di samping hingga gosong dan roboh. Ellena melotot dengan jantung berdegub kencang. Kupingnya agak pengang karena suara ledakan.
“Petir sialan!”
Takut menjadi korban sambaran petir dan bernasib sama dengan pohon yang telah tumbang serta gosong, pria jelek itu akhirnya pergi hingga Ellena bisa menghela nafas lega.
Dia memandang langit dan berkata dengan senyum gila, “Petir! Kamu memang kereeen…”
Ellena bertahan cukup lama di atas pohon dengan hujan deras yang menerpa tubuhnya. Lalu saat dirasa tubuhnya tidak lagi kuat menahan beban, Ellena memutuskan untuk nekat kembali ke Guild. Masa bodoh dengan basah kuyup atau apalah, toh dia juga sudah basah kuyup. Perihal hukuman bibi Em juga tidak masalah. Tidur di kandang kuda jauh lebih baik daripada kedinginan dan kebasahan macam kera menyedihkan.
Ellena berhati-hati menuruni dahan hingga dia menginjak tanah becek dengan air menggenang. Mata emeraldnya melihat sekeliling, memastikan pria-pria tadi tidak ada dan lekas pergi dari situ.
“…pastikan tidak ada dagangan kita yang kabur!”
Ellena berhenti berlari. Ingatannya yang terlampau baik mengingat penggalan ucapan salah seorang pria bersuara kejam itu.
Dagangan kabur?
Mana ada barang dagangan yang bisa kabur? Memangnya benda punya kaki dan berjalan sendiri?
Kecuali…barang dagangan itu memang memiliki kaki untuk berjalan. Sekaligus punya dua tangan. Dua mata. Satu hidung. Dan satu mulut.
“Sialan! Mereka menjual manusia!” umpat Ellena tertahan.
Ellena selalu diperingatkan oleh bibi Em untuk menjauh dari sindikat perdagangan manusia. Pelaku-pelaku ini biasanya menargetkan anak-anak kecil dan wanita untuk diambil organnya, dijual sebagai budak atau pelacur ke rumah bordir.
Emily mengatakan bahwa rupa Ellena sangat cocok dan masuk kategori dagangan senilai ribuan emas dipelelangan. Entah Ellena harus senang atau sedih karena itu.
Jadi sudah seharusnya Ellena mempercepat larinya dan segera kembali ke Guild. Jika dia cepat melaporkan hal ini pasti pihak Guild akan bertindak. Yang jadi masalah adalah waktu. Entah sampai kapan hujan ini berlangsung. Entah sampai kapan sindikat perdagangan manusia yang kebetulan lewat berhenti di sini.
“Bibi Em, aku akan pulang sebelum tengah malam.” Maunya begitu. Ellena tahu langit tidak akan menyampaikan pesannya pada sang bibi tapi kebiasaan sejak kecil sulit hilang.
Kemudian langkah kedua kaki Ellena berbalik. Dibawah derasnya hujan yang dia benci, Ellena mengendap-endap mengintai dan berharap bisa melakukan sesuatu pada orang-orang jahanam yang tidak patut masuk surga.
Semoga Ellena tidak menyesali tindakannya hari ini.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Fahmi Salal
hmmm menarik....
2022-11-06
0
Mo_Moe
👋👋
2022-10-20
0