Ellena sampai di bagian sungai yang dimaksud setelah bertanya pada warga yang tinggal paling pinggir desa. Tidak sulit menemukan lokasi tempat belut tinggal karena dengan mata telanjang pun seekor belut besar terlihat berenang damai di dalam sungai yang bening
.
Sepertinya Linda kurang memberi informasi. Dia bilang cuma belut besar, bukan belut raksasa berukuran satu orang dewasa dengan gigi-gigi tajam layaknya piranha. Dan hewan itu benar-benar bukan makhluk ramah.
“Shhhh…”
“Belum apa-apa sudah marah saja.” Ellena melangkah mundur dan menghindar saat si belut raksasa mengibaskan ekornya hingga tembakan air terbang ke atas Ellena seperti peluru. Melihat targetnya berhasil menghindar si belut semakin keras mendesis penuh ancaman. Tubuh nya yang berwarna coklat tua menegang mulai mengeluarkan kilat-kilat berbahaya.
Harusnuya Ellena takut. Tapi mata miliknya justru melihat sesuatu yang lain. Bibi Em selalu berkata secerdas apapun hewan tidak akan pernah melampaui manusia. Hewan harusnya tidak menyerang saat tidak diganggu. Kemungkinan penyebab di belut cepat marah ialah sudah muak dengan banyaknya orang masuk ke teritorialnya atau ada penyebab lain.
“Hm? Apa jenis kelamin belut ini?” guman Ellena seraya kembali menghindari bola-bola air yang meluncur ke arahnya. Kali ini serangan itu mengandung listrik hingga mampu membuat retakan cukup parah di tanah. Seolah marah dengan pertanyaan Ellena, si belut menjulurkan kepalanya ke atas permukaan air dan mendesis menunjukkan seluruh gigi tajamnya.
Ellena mundur lebih jauh. Dia tidak mengerti kenapa diserang sedemikian rupa oleh hewan di depannya. Tidak ada yang mengatakan kalau si belut sangatlah agresif pada penyusup teritorialnya. Ellena berpikir keras bagaimana mengalahkan lawan di depannya.
“Belut ini telah berevolusi,” Itu adalah satu-satunya alasan logis kenapa ukuran dan serangan belut itu lebih besar dan mematikan daripada informasi yang dia dapat dari Guild.
“Selain itu…belut ini terlalu pemarah.” Tindak tanduk si belut mengingatkan Ellena pada induk Ular yang sedang menjaga sarangnya.
Hm? Ellena langsung menyadari sesuatu.
“Kalau dugaanku benar, kau dan anak-anakmu benar-benar akan menyusahkan di masa depan.” Membalas perkataan Ellena, si belut mendesis semakin keras. Makhluk besar bertubuh licin itu semakin bernafsu ingin membunuh Ellena yang telah mengetahui rahasianya.
Ellena mengambil pisau dan tali dari ransel nya serta mematahkan dahan pohon. Tangannya bergerak cepat, mengikat tiga pisau pada ujung dahan yang diambil. Dalam waktu singkat, sebuah tombak bermata 3 pisau berada di tangan Ellena. Kemudian gadis itu mengambil pisau dan tali lagi. Ellena mengikat pangkal pisau dengan tali sedang ujung tali yang lain dia ikat di pergelangan tangannya.
Awan mendung mulai berarak diatas langit.
Selama ini Ellena selalu menghindari serangan si belut raksasa. Bola-bola air bertenaga listrik dia hindari dengan baik. Tubuhnya yang kecil memudahkan Ellena untuk bergerak gesit. Mata emerald nya tidak lepas memperhatikan lawannya yang menyerang dengan tidak sabaran.
Ellena menunggu. Menunggu kesempatan miliknya.
Si belut kembali mendesis marah karena tidak bisa mengenai targetnya. Dia semakin agresif meluncurkan serangan hingga pada satu kesempatan, si belut tidak menyadari bahwa posisinya telah berada jauh dari tempatnya berjaga. Kini si belut naik ke darat.
Ellena lalu melempar pisau bertalinya—mengikat si belut erat. Tidak membuang waktu Ellena menghunus tombaknya pada tubuh si belut raksasa. Menusuk kedua mata makhluk itu. Mata tombaknya yang berjumlah tiga memberi tiga kali serangan dan luka yang lebih dalam. Si belut mengerang murka.
“Berisik!” Ellena mengangkat tinggi tombaknya dan menusuk sekuat tenaga kepala sang belut. Lawannya menggelepar mengeluarkan darah. Dalam keadaan sekarang nya si belut melepaskan serangan terkuatnya.
“ARRRGGGHH”
Ellena berteriak saat tubuhnya di sengat kekuatan luar biasa. Tulang-tulangnya berderak dan seluruh tubuhnya merasa sakit tidak terkira. Pandangannya gelap seketika.
.
.
.
Ellena hanya kehilangan kesadarannya selama beberapa menit. Matanya buram lantaran kepalanya yang pening. Saat merasa lebih baik, Ellena menyadari dia berbaring di tanah. Tubuhnya berlumuran darah bukan miliknya. Jasad belut raksasa tergeletak dengan tombak nya menancap di atas kepala yang telah patah gagangnya.
“Aku bau amis.” Keluh Ellena mencium bau tubuhnya sendiri.
Misinya menghabisi belut raksasa ternyata menghabiskan lebih banyak waktu. Langit telah petang dengan setitik semburat orange di barat.
“Semoga bibi suka oleh-oleh belut bakar.” Dengan cekatan Ellena bekerja. Dia mengeluaran kresek besar dari tas mungilnya dan mengikatnya rapat-rapat. Dengan sedikit tarikan Ellena berhasil menyimpan jasad buruan senilai 20 koin emasnya.
Tapi Ellena tidak langsung meninggalkan tempat. Memastikan sekitar telah aman, Ellena melepas bajunya dan membersihkan tubuh nya.. Tubuhnya sangat bau amis hingga jika Ellena kembali ke penginapan sekarang, hanya akan di tendang keluar lagi oleh bibinya.
“Aku benci air.” ungkap Ellena merasakan air membuat tubuhnya lebih lelah dari sebelumnya. Ellena tidak menyukai mandi tapi peraturan bibi Em yang memaksanya giat bersentuhan dengan air. Lalu Ellena mengingat dugaan nya tentang si belut yang menjadi sangat agresif karena menjaga sarangnya.
“Seingatku belut tinggal dan bersarang di lubang berlumpur.” Ellena menggaruk belakangnya bingung tentang bagaimana seekor belut bertempat tinggal di sungai bermata air jernih. Tapi kemudian mata nya menatap sesuatu yang janggal di kedalaman sungai.
Ellena benar-benar tidak mau berlama-lama di air. Tapi memikirkan warga yang harus menghadapi hewan semacam ini lagi, terlebih lebih dari satu…
“Bibi Em akan menyuruhku tidur di kandang kuda malam ini.” Gerutunya sebal kemudian menyelam ke dalam sungai.
.
.
.
Malam itu ialah malam seperti biasa.
Para petualang pria berkumpul dan minum bersama. Transaksi jual-beli. Permohonan misi. Sungguh, hari itu mengalir seperti hari-hari sebelumnya.
Sampai Linda merasakan hawa dingin mencekam datang dari arah pintu. Melihat sekeliling, Linda menyadari bukan hanya dia yang merasakannya. Seluruh ruangan yang tadinya ramai seketika menjadi hening—meninggalkan beberapa bisik-bisik kepada sosok yang baru saja membuka pintu Guild.
Saat melihat siapa yang menyebabkan suasana mencekam itu, bulu kuduk Linda langsung berdiri. Secara spontan tubuhnya berdiri tegak dengan senyum kaku saat sosok wanita cantik nan penuh aura misterius sampai di depan mejanya.
“Se-Selamat malam Nyonya Emily. Malam yang cerah hari ini ya?” sapa Linda ramah berusaha professional terhadap pekerjaannya. Meski dia tidak bisa mencegah keringat dingin menetes dari dahinya.
Namun seolah sedang mengejeknya, langit tiba-tiba mengeluarkan guntur petir amat keras dan hujan kemudian turun dengan lebatnya. Linda tersenyum kikuk meski mengumpat habis-habisan dalam hati.
Mata Emily menatap tajam perempuan Admin di depannya.
“Simpan basa-basimu, Linda. Sekarang, katakan dimana keponakanku!”
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Mo_Moe
baguss 👍👍
2022-10-20
0