PERNIKAHAN DINGIN
Anisa
Bagaimana seharusnya saya bertindak, ketika kecap rasa diambil paksa,
Bagaimana seharusnya saya bertindak, ketika rahim sebuah juang di haramkan tumbuh dipukul mundur hingga jatuh,
Bagaimana seharusnya saya bertindak.
“Saya tidak mau Bah,” Ia merengek bahkan memberontak ketika ayah menyeret paksa tubuhnya kedalam mobil.
Bahwa ayah yang sangat murka tidak akan pernah luluh bahkan walaupun ia rela bersujud memohon mencium kaki Abah sekalipun.
“Pergi kamu.” Melemparkan tubuhnya berakhir di bangku penumpang, sanggulnya yang besar menabrak lengan pria yang sedari tadi ada disana. “Jalan.” perintah Abah kepada supir.
“Abah,,, tolong dengarkan penjelasan Ani.” Ia menepuk-nepuk kaca mobil, memohon belas kasih Abah yang belakangan ini sangat membencinya.
“Abahh,,,,.” Ia menangis sesenggukan ketika mobil mulai berjalan, masih memandang Abah yang memasang roman masam, bahkan wajahnya dipenuhi kemarahan.
Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menangis, mengingat kejadian naas tadi malam yang mengubah hidupnya secara tiba-tiba.
Entah datang darimana dan apa yang dilakukan kedua pria ini malam itu sehingga Abah mantap menikahkannya dengan terpaksa.
tanpa tanya, tanpa karena, tanpa memikirkan bagaimana perasaannya.
Bahkan pernikahan yang jauh dari kata sederhana, bagi Abah yang penting sah sudah lebih dari cukup.
Ia hanya bisa menangisi dan membuang jauh-jauh pandangannya dari kedua pria yang saat ini ada bersamanya.
“Pak Kim.”
Ia masih mendengar dengan jelas percakapan kedua laki-laki itu meski ia sedang menangis sesenggukan.
“Iya Pak Li? ada apa?” Sahut pria bernama lengkap Hakim al-Fatih itu.
“Kapan air itu akan habis?” Ia mempererat genggaman tangannya ketika Ali suaminya kembali bertanya kepada rekannya itu.
“Sepertinya tidak akan habis pak Li, seperti yang anda lihat sejak awal, air itu terus merembes tiada henti-hentinya.” Jawab Kim membuatnya tersentak.
Apa mereka membicarakan air mataku?
Ia berpikir keras.
“Kau benar Pak Kim, dari awal airnya tak pernah habis. Tapi dari mana sumber airnya datang? aku tidak melihat ada tampungan di sana.” Sambil memegang pipi, Ali kembali bicara membuatnya semakin yakin bahwa mereka sedang membicarakan.
Penampungan air katamu? kau pikir ini tangki.
Batinnya kesal.
Ia menyeka air mata, terlalu sedih dan terbawa suasana membuatnya kehilangan kendali dan menangis seharian.
Ia menatap tajam suaminya yang sedikit memajukan tubuh lantas mengarahkan tangan ke mulutnya seolah berbisik ke telinga Kim.
“Airnya habis.”
Ia bisa mendengarnya, sisanya kedua pria itu tertawa cengengesan. Membuatnya merasa direndahkan.
Plakk.
Ia memukul lutut Ali dengan sendi jemarinya, membuat pria itu setengah meringis menahan sakit.
Anisa
Bagaimana seharusnya saya bertindak, ketika kecap rasa diambil paksa,
Bagaimana seharusnya saya bertindak, ketika rahim sebuah juang di haramkan tumbuh dipukul mundur hingga jatuh,
Bagaimana seharusnya saya bertindak.
“Saya tidak mau Bah,” Ia merengek bahkan memberontak ketika ayah menyeret paksa tubuhnya kedalam mobil.
Bahwa ayah yang sangat murka tidak akan pernah luluh bahkan walaupun ia rela bersujud memohon mencium kaki Abah sekalipun.
“Pergi kamu.” Melemparkan tubuhnya berakhir di bangku penumpang, sanggulnya yang besar menabrak lengan pria yang sedari tadi ada disana. “Jalan.” perintah Abah kepada supir.
“Abah,,, tolong dengarkan penjelasan Ani.” Ia menepuk-nepuk kaca mobil, memohon belas kasih Abah yang belakangan ini sangat membencinya.
“Abahh,,,,.” Ia menangis sesenggukan ketika mobil mulai berjalan, masih memandang Abah yang memasang roman masam, bahkan wajahnya dipenuhi kemarahan.
Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menangis, mengingat kejadian naas tadi malam yang mengubah hidupnya secara tiba-tiba.
Entah datang darimana dan apa yang dilakukan kedua pria ini malam itu sehingga Abah mantap menikahkannya dengan terpaksa.
tanpa tanya, tanpa karena, tanpa memikirkan bagaimana perasaannya.
Bahkan pernikahan yang jauh dari kata sederhana, bagi Abah yang penting sah sudah lebih dari cukup.
Ia hanya bisa menangisi dan membuang jauh-jauh pandangannya dari kedua pria yang saat ini ada bersamanya.
“Pak Kim.”
Ia masih mendengar dengan jelas percakapan kedua laki-laki itu meski ia sedang menangis sesenggukan.
“Iya Pak Li? ada apa?” Sahut pria bernama lengkap Hakim al-Fatih itu.
“Kapan air itu akan habis?” Ia mempererat genggaman tangannya ketika Ali suaminya kembali bertanya kepada rekannya itu.
“Sepertinya tidak akan habis pak Li, seperti yang anda lihat sejak awal, air itu terus merembes tiada henti-hentinya.” Jawab Kim membuatnya tersentak.
Apa mereka membicarakan air mataku?
Ia berpikir keras.
“Kau benar Pak Kim, dari awal airnya tak pernah habis. Tapi dari mana sumber airnya datang? aku tidak melihat ada tampungan di sana.” Sambil memegang pipi, Ali kembali bicara membuatnya semakin yakin bahwa mereka sedang membicarakan.
Penampungan air katamu? kau pikir ini tangki.
Batinnya kesal.
Ia menyeka air mata, terlalu sedih dan terbawa suasana membuatnya kehilangan kendali dan menangis seharian.
Ia menatap tajam suaminya yang sedikit memajukan tubuh lantas mengarahkan tangan ke mulutnya seolah berbisik ke telinga Kim.
“Airnya habis.”
Ia bisa mendengarnya, sisanya kedua pria itu tertawa cengengesan. Membuatnya merasa direndahkan.
Plakk.
Ia memukul lutut Ali dengan sendi jemarinya, membuat pria itu setengah meringis menahan sakit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Liliani latif
jejak..
2021-01-25
0
Tri Widayanti
Baru baca
2021-01-02
0
Bunda Saputri
Pemula thoorr
2020-12-13
0