Bab 5: Satu Inci dan Seorang Pembawa Tas

Mata Li Xian terpaku pada tempat Shen Hu berdiri. Tanah di sana retak. Kekuatan sebesar itu... gagal total.

Bukan "sulit". Bukan "hampir". Itu mustahil.

Gelombang keputusasaan yang dingin, lebih dingin dari lumpur malam, akhirnya menembus keras kepalanya. Tiga hari perjuangan, penghinaan, rasa sakit—semuanya sia-sia.

Orang tua itu telah mempermainkannya. Dia telah menjadikannya tontonan desa.

Api di mata Li Xian padam, hanya menyisakan bara keputusasaan yang pahit. Dia tidak lagi berusaha mengangkat. Dia hanya duduk di sana, bersandar pada batu yang telah mengalahkannya, terlalu lelah untuk menangis, terlalu hancur untuk marah.

Langkah kaki pelan terdengar di atas tanah yang kering.

Zhu Lao berhenti di depannya. Bayangannya menutupi Li Xian dari sisa cahaya sore. Kakek tua itu menguap lebar, sama sekali tidak peduli.

"Sudah menyerah?" tanya Zhu Lao.

Suara Li Xian serak, pecah karena dehidrasi dan debu. "Itu mustahil."

"Oh?"

"Bahkan Shen Hu tidak bisa menggerakkannya," bisik Li Xian. "Kau... kau tahu itu. Kau hanya ingin menertawakanku."

Zhu Lao memiringkan kepalanya. "Aku tahu itu berat. Aku tidak tahu itu mustahil." Dia membungkuk, matanya yang tampak mengantuk mengamati batu itu seolah-olah baru pertama kali melihatnya. "Hmm."

Dia mengulurkan jari telunjuknya yang kotor. Kukunya panjang dan sedikit kuning.

"Mungkin," kata Zhu Lao, "kau hanya tidak memintanya dengan baik."

Dia mengetuk Batu Kura-kura.

Ting.

Itu adalah suara kecil yang jernih, seperti kerikil yang dijatuhkan ke dalam sumur yang dalam. Tidak ada cahaya, tidak ada getaran, tidak ada pertunjukan kekuatan. Hanya satu ketukan kecil yang nyaris tak terdengar.

Di dalam lautan kesadaran Long Zhu, sebuah perintah sederhana diberikan. Segel Paku Semesta Sembilan Juta Tahun, lepaskan sedikit dari penahannya.

Di luar, Zhu Lao menguap lagi, punggungnya berbunyi krek saat dia berdiri tegak.

"Nah," katanya, menepuk-nepuk debu imajiner dari jubah goni-nya. "Sepertinya ada serangga kecil di dalamnya. Sudah kuusir. Coba lagi."

Li Xian menatapnya. Dia pasti sudah gila. Kakek ini pasti sudah gila.

"Apa... apa yang kau lakukan?"

"Menyingkirkan serangga," ulang Zhu Lao, tidak sabar. "Apa kau akan mengangkatnya atau tidak? Aku mulai lapar lagi. Aku ingin 'Ayam Iblis Neraka' itu lagi, tapi aku butuh seseorang untuk membayarnya."

Sesuatu dalam diri Li Xian putus. Logika tidak lagi penting. Rasa sakit tidak lagi penting.

Ini adalah kesempatan terakhir.

Dia tidak peduli lagi jika dia mempermalukan dirinya sendiri. Dia tidak peduli jika tulangnya patah. Dia menolak untuk mati di depan batu ini.

Dengan raungan yang bahkan tidak terdengar seperti manusia lebih seperti suara binatang yang terpojok Li Xian menempatkan semua sisa berat badannya yang kurus di bawah tepi batu. Dia tidak menarik dengan tangannya. Dia mendorong dengan punggung, kaki, dan setiap sisa terakhir dari tekadnya yang terkoyak.

Dia memfokuskan semua kebenciannya pada tiga hari terakhir ke dalam satu titik kontak.

Matanya memutih.

KRRRRRRRRRRKKKK....

Itu adalah suara yang paling mengerikan dan paling indah yang pernah didengar Li Xian. Itu bukan suara otot yang robek. Itu adalah suara batu yang menyeret tanah.

Batu Kura-kura, paku semesta yang telah beristirahat selama sembilan juta tahun, bergeser.

Itu tidak terangkat. Itu tidak terguling.

Itu bergeser.

Satu inci.

Goresan sepanjang satu inci kini terlihat jelas di tanah kering tempat batu itu semula berada.

Keheningan total menyelimuti alun-alun desa.

Li Xian membeku, masih dalam posisi mendorong, tidak berani bergerak. Matanya yang merah dan bengkak menatap goresan itu. Dia melakukannya. Dia... melakukannya?

Lututnya gemetar, lalu menyerah. Dia ambruk ke samping, terengah-engah seperti ikan yang baru ditarik dari air. Dia mencoba tertawa, tetapi yang keluar hanyalah batuk kering.

Zhu Lao mengangguk dalam-dalam, seolah sedang menilai kualitas sebuah lobak di pasar.

"Hmph. Satu inci," katanya. "Kau baru saja memindahkannya. Kau tidak mengangkatnya. Tapi kurasa janjiku adalah 'mengangkat', bukan? Ah, terserahlah. Cukup dekat."

Kaisar Dewa Semesta menatap anak laki-laki yang pingsan karena kelelahan di kakinya. Anak itu kotor, berdarah, dan benar-benar hancur. Fondasinya buruk, bakatnya biasa saja. Tapi tekadnya... tekadnya memiliki kualitas Dao.

"Baiklah," kata Zhu Lao. "Kau tidak sepenuhnya tidak berguna."

Dia menyenggol Li Xian dengan sandalnya yang reyot. "Bangun. Kau belum mati."

Li Xian hanya bisa mengerang.

"Bangun," ulang Zhu Lao, lebih tegas. "Karena kau sudah berhasil menggerakkan 'batu kecil' itu, kau boleh ikut denganku."

Li Xian berhasil mengangkat kepalanya, matanya dipenuhi kebingungan. "Ikut... denganmu? Kemana?"

"Mencari makan," kata Zhu Lao, seolah itu adalah hal yang paling jelas di dunia. "Dan setelah itu, kita cari tempat untuk tidur. Dan besok, kau bisa mulai menyapu halaman."

"Menyapu... halaman?"

"Tentu saja." Zhu Lao berbalik dan mulai berjalan pergi, tidak menoleh ke belakang untuk melihat apakah Li Xian mengikutinya. "Kau sekarang adalah murid" dia berhenti, mempertimbangkan. "Bukan. Kau adalah pembawa tasku. Murid adalah gelar yang terlalu muluk."

Li Xian menatap punggung bungkuk lelaki tua itu. Dia telah melakukan hal yang mustahil. Kakek ini, yang tampak gila dan pemalas, telah melakukan sesuatu pada batu itu. Sesuatu yang ajaib.

Ini adalah kesempatannya. Kesempatan yang dia latih di lumpur setiap hari.

Dengan erangan terakhir yang menyakitkan, Li Xian menggunakan sisa-sisa kekuatannya untuk bangkit, pertama berlutut, lalu berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang seperti ranting dalam badai.

"Tunggu!" teriaknya dengan suara serak.

Dia tersandung, lalu berlari kecil, mencoba mengejar kakek tua yang aneh itu.

"Siapa namamu, Kakek?" tanya Li Xian, terengah-engah.

"Zhu Lao."

"Aku Li Xian!"

"Aku tahu," kata Zhu Lao. "Sekarang diamlah. Aku sedang memikirkan di mana kita bisa menemukan anggur yang enak di kota berikutnya."

Terpopuler

Comments

Yanka Raga

Yanka Raga

awal dari usaha tekad yg kuat
😍💪

2025-11-06

1

Nanik S

Nanik S

Kaisar Dewa... cari anggur apa mau mabuk

2025-11-04

0

Yanka Raga

Yanka Raga

🤩😎

2025-11-06

1

lihat semua
Episodes
1 Bab 1: Teh Semesta dan Kebosanan Abadi
2 Bab 2: Rasa Sakit, Pedas, dan Anak yang Keras Kepala
3 Bab 3: Batu Kura-kura dan Paku Semesta
4 Bab 4: Tiga Hari, Dua Benih, dan Pria Polos
5 Bab 5: Satu Inci dan Seorang Pembawa Tas
6 Bab 6: Ayam Iblis, Pemanggang Ubi, dan Kepergian
7 Bab 7: Berjalan, Bernapas, dan Serigala Sial
8 Bab 8: Kota Fenglei dan Niat Pedang dalam Tagihan Anggur
9 Bab 9: Anggur, Pedang, dan Es yang Jatuh
10 Bab 10: Anggur yang Tumpah dan Utang Lima Belas Perak
11 Bab 11: Utang, Pencuci Cangkir, dan Pemandu Anggur
12 Bab 12: Penginapan, Pesuruh Ranah Raja, dan Cangkir Kotor
13 Bab 13: Wujud yang Merepotkan dan Kembalinya Si Pemandu Anggur
14 Bab 14: Ubi, Wajah Baru, dan Pengabdian yang Lebih Dalam
15 Bab 15: Retakan, Bakpao, dan Pintu Keluar Penyelundup
16 Bab 16: Jalur Penyelundup, Lumut Mabuk, dan Kembang Api Es
17 Bab 17: Ransel Ubi dan Perahu Daun Willow
18 Bab 18: Perahu Daun dan Pelajaran Ubi
19 Bab 19: Pondok, Dapur, dan Halaman yang Terlalu Bersih
20 Bab 20: Halaman yang Bersih, Tamu Kotor, dan Sendok Teh
21 Bab 21: Sapu, Koin, dan Hari Pertama Sekte
22 Bab 22: Dao Sapu, Dao Ubi, dan Hari Pertama
23 Bab 23: Hari Kedua, Goresan di Batu, dan Murid yang Merugikan
24 Bab 24: Obat Ubi Panas dan Pujian yang Merugikan
25 Bab 25: Tangan Baru, Pohon Besi, dan Pengurus Api Ubi
26 Bab 26: Orkestra Penderitaan dan Musik yang Baru Lahir
27 Bab 27: Daun, Kerikil, dan Kelahiran Maksud Sapu
28 Bab 28: Pencerahan Halaman, Api yang Marah, dan Kapak yang Tumpul
29 Bab 29: Dapur Suci, Noda Membandel, dan Dao Panci
30 Bab 30: Tekanan Naga dan Tamu Tak Diundang
31 Bab 31: Cakar Setan Laut dan Sendok Sup
32 Bab 32: Hukuman Sarapan Pagi dan Debu di Angin
33 Bab 33: Aturan Baru Sekte dan Utang Gadis Naga
34 Bab 34: Latihan yang Menyedihkan dan Guru yang Tidak Sabar
Episodes

Updated 34 Episodes

1
Bab 1: Teh Semesta dan Kebosanan Abadi
2
Bab 2: Rasa Sakit, Pedas, dan Anak yang Keras Kepala
3
Bab 3: Batu Kura-kura dan Paku Semesta
4
Bab 4: Tiga Hari, Dua Benih, dan Pria Polos
5
Bab 5: Satu Inci dan Seorang Pembawa Tas
6
Bab 6: Ayam Iblis, Pemanggang Ubi, dan Kepergian
7
Bab 7: Berjalan, Bernapas, dan Serigala Sial
8
Bab 8: Kota Fenglei dan Niat Pedang dalam Tagihan Anggur
9
Bab 9: Anggur, Pedang, dan Es yang Jatuh
10
Bab 10: Anggur yang Tumpah dan Utang Lima Belas Perak
11
Bab 11: Utang, Pencuci Cangkir, dan Pemandu Anggur
12
Bab 12: Penginapan, Pesuruh Ranah Raja, dan Cangkir Kotor
13
Bab 13: Wujud yang Merepotkan dan Kembalinya Si Pemandu Anggur
14
Bab 14: Ubi, Wajah Baru, dan Pengabdian yang Lebih Dalam
15
Bab 15: Retakan, Bakpao, dan Pintu Keluar Penyelundup
16
Bab 16: Jalur Penyelundup, Lumut Mabuk, dan Kembang Api Es
17
Bab 17: Ransel Ubi dan Perahu Daun Willow
18
Bab 18: Perahu Daun dan Pelajaran Ubi
19
Bab 19: Pondok, Dapur, dan Halaman yang Terlalu Bersih
20
Bab 20: Halaman yang Bersih, Tamu Kotor, dan Sendok Teh
21
Bab 21: Sapu, Koin, dan Hari Pertama Sekte
22
Bab 22: Dao Sapu, Dao Ubi, dan Hari Pertama
23
Bab 23: Hari Kedua, Goresan di Batu, dan Murid yang Merugikan
24
Bab 24: Obat Ubi Panas dan Pujian yang Merugikan
25
Bab 25: Tangan Baru, Pohon Besi, dan Pengurus Api Ubi
26
Bab 26: Orkestra Penderitaan dan Musik yang Baru Lahir
27
Bab 27: Daun, Kerikil, dan Kelahiran Maksud Sapu
28
Bab 28: Pencerahan Halaman, Api yang Marah, dan Kapak yang Tumpul
29
Bab 29: Dapur Suci, Noda Membandel, dan Dao Panci
30
Bab 30: Tekanan Naga dan Tamu Tak Diundang
31
Bab 31: Cakar Setan Laut dan Sendok Sup
32
Bab 32: Hukuman Sarapan Pagi dan Debu di Angin
33
Bab 33: Aturan Baru Sekte dan Utang Gadis Naga
34
Bab 34: Latihan yang Menyedihkan dan Guru yang Tidak Sabar

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!