Bab 3: Batu Kura-kura dan Paku Semesta

Zhu Lao meletakkan sumpitnya. Mangkuk di depannya bersih bukan hanya dari ayam, tapi dari setiap tetes terakhir minyak cabai yang membara.

Dia bersendawa pelan. Sebuah sendawa yang, jika dilepaskan di Alam Dewa, akan menciptakan aurora baru. Di sini, itu hanya membuat pelayan yang lewat mengangkat alis.

Wajah tuanya masih sedikit memerah, dan keringat membasahi dahinya. Dia merasakan sensasi hidup. Rasa sakit yang diikuti oleh kelegaan. Itu adalah urutan yang rumit dan sama sekali tidak efisien. Itu sempurna.

"Luar biasa," gumamnya. "Sepuluh dari sepuluh. Akan makan di sini lagi."

Dia merogoh jubahnya. Sebelum turun, dia telah menciptakan "kantong koin biasa" yang berisi "mata uang fana biasa." Dia meletakkan beberapa koin tembaga di atas meja jumlah yang sedikit lebih banyak dari yang seharusnya, tapi tidak cukup untuk menimbulkan kecurigaan.

"Kakek, kau menghabiskannya!" seru pelayan itu, matanya terbelalak tak percaya saat mengambil mangkuk itu. "Banyak kultivator Ranah Perunggu mencoba pamer dengan memakan itu dan berakhir pingsan!"

"Mungkin perutku sudah tua dan mati rasa," kata Zhu Lao sambil terkekeh. Dia berdiri, meregangkan punggungnya yang (sekarang tampak) kaku.

Dia berjalan keluar dari kedai, kembali ke udara yang basah dan berlumpur.

Di seberang jalan, anak laki-laki itu, Li Xian, masih di sana. Kuda-kudanya goyah hebat. Dia terengah-engah, dan jelas dia sudah mencapai batas kemampuannya. Lumpur menutupi dia dari pinggang ke bawah.

Para pemabuk yang tadi menggodanya kini tertawa terbahak-bahak. "Sudah menyerah, Li Xian?" "Kau terlihat seperti ubi jalar yang baru dicabut!"

Zhu Lao berjalan perlahan melintasi jalan, langkahnya mantap di atas lumpur yang licin. Dia berhenti beberapa langkah dari anak itu, aroma pedas dari napasnya berbaur dengan bau hujan.

Para pemabuk terdiam, penasaran dengan apa yang akan dilakukan kakek aneh ini.

"Nak," kata Zhu Lao dengan suara tenang.

Li Xian tersentak, konsentrasinya buyar. Kakinya yang gemetaran akhirnya menyerah, dan dia jatuh terduduk di lumpur dengan bunyi ceplok yang menyedihkan.

Dia memelototi Zhu Lao, wajahnya memerah karena malu dan marah. "Apa?" geramnya.

"Latihanmu salah," kata Zhu Lao sederhana.

"Apa yang kau tahu, Pak Tua?" balas Li Xian, mencoba bangkit berdiri, tapi kakinya terlalu lelah.

"Aku tahu kau sedang mencoba merasakan Qi Langit dan Bumi," kata Zhu Lao. "Tapi kau hanya berdiri di lumpur, membuat kakimu pegal. Kau membuang-buang waktu."

Mata Li Xian melebar. "Bagaimana kau tahu...?" Tetua desa telah memberitahunya bahwa itu adalah langkah pertama.

"Kuda-kuda itu untuk menstabilkan tubuh," kata Zhu Lao, "tapi tubuhmu lemah. Niatmu kuat, tapi fondasimu hanyalah pasir."

Para pemabuk terkekeh. "Dengar itu, Nak? Kakek ini bilang kau lemah!"

Li Xian mengepalkan tinjunya yang berlumpur. "Aku tidak lemah! Aku akan menjadi kuat!"

"Begitukah?" Zhu Lao melihat sekeliling alun-alun desa. Tatapannya tertuju pada sebuah batu besar berwarna abu-abu lumut di dekat sumur tua. Batu itu datar di atasnya, sering digunakan oleh para wanita desa untuk meletakkan keranjang cucian mereka. Batu itu sebesar sapi dewasa, dan dikenal oleh semua orang sebagai "Batu Kura-kura" karena bentuknya.

"Kau ingin jadi kuat?" tanya Zhu Lao, suaranya terdengar geli. "Baiklah. Lupakan kuda-kuda bodohmu itu."

Dia menunjuk ke batu itu. "Pergi angkat batu kecil itu."

Keheningan menyelimuti alun-alun kecil itu.

Lalu, para pemabuk meledak dalam tawa yang paling keras. "Batu kecil?!" "Kakek, kau gila! Itu Batu Kura-kura!" "Bahkan Shen Hu, si beruang besar itu, tidak bisa menggesernya seinci pun! Mereka mencobanya saat festival musim semi!"

Li Xian menatap Zhu Lao, lalu ke batu itu. Penghinaan membara di pipinya. "Kau... kau sama saja dengan mereka! Kau mengejekku!"

"Aku?" Zhu Lao mengangkat alis. "Aku hanya seorang kakek tua yang memberikan saran. Kau bilang kau ingin kuat. Aku menunjuk ke sebuah batu. Apa yang kau lakukan selanjutnya adalah urusanmu."

Zhu Lao berbalik, tampak bosan dengan percakapan itu. "Jika kau bisa mengangkatnya satu inci saja dari tanah, latihanmu yang sebenarnya bisa dimulai. Jika tidak," dia melambaikan tangan, "pulanglah dan belajar cara menanam ubi. Itu pekerjaan yang lebih jujur."

Kaisar Dewa Semesta berjalan santai ke bawah pohon willow besar di tepi alun-alun, duduk bersandar di batangnya, dan memejamkan mata, tampak seolah-olah dia akan tidur siang.

Li Xian ditinggalkan sendirian di tengah lapangan, menjadi pusat perhatian. Tawa telah mereda, digantikan oleh tatapan kasihan dan ejekan.

Dia mengepalkan tinjunya. Orang tua gila.

Dia memandang Batu Kura-kura. Itu hanyalah batu. Berat, ya, tapi hanya batu. Shen Hu mungkin kuat, tapi dia tidak punya Qi. Li Xian, setidaknya, bisa merasakan sesuatu di dantian-nya.

Didorong oleh amarah dan sisa-sisa harga diri, Li Xian bangkit. Dia berjalan terseok-seok ke Batu Kura-kura, mengabaikan tatapan semua orang.

Dia menyeka tangannya yang berdarah dan berlumpur di celananya yang compang-camping. Dia berjongkok. Posisinya salah, tapi dia tidak peduli. Dia menyelipkan jari-jarinya yang kurus di bawah tepi batu yang basah dan berlumut.

"H... NNRRGGGHH!"

Dia menarik dengan sekuat tenaga. Wajahnya berubah menjadi ungu. Urat-urat menonjol di lehernya yang kurus.

Batu itu tidak bergeming.

Rasanya... aneh. Itu bukan hanya berat. Rasanya seolah-olah dia sedang mencoba mengangkat gunung itu sendiri. Seolah-olah batu itu terhubung dengan inti planet.

"Hah... hah..." Dia melepaskannya, terengah-engah.

Tawa kecil terdengar lagi dari kedai.

Li Xian menatap tangannya yang lecet. Dia menatap lelaki tua yang tidur di bawah pohon.

"Satu inci..." gumamnya.

Dia menarik napas dalam-dalam. Dia mengabaikan para pemabuk. Dia mengabaikan rasa sakit. Dia mengabaikan rasa laparnya.

Dia memposisikan ulang cengkeramannya.

"HAAAAAA!"

Dia menarik lagi. Otot-ototnya menjerit. Tulangnya terasa seperti akan patah.

Batu Kura-kura tetap diam, tak tergoyahkan, seolah menertawakan usahanya yang menyedihkan.

Di bawah pohon willow, Zhu Lao membuka satu matanya sedikit. Senyuman tipis tersungging di bibirnya.

Tentu saja tidak bergerak, Nak, pikirnya dalam hati. Batu itu adalah paku. Aku melemparkannya ke sini sembilan juta tahun yang lalu untuk menyegel retakan ruang kecil yang mengganggu Alam Fana. Aku benar-benar lupa aku meninggalkannya di sini.

Dia mengamati Li Xian, yang alih-alih menyerah, kini duduk di depan batu itu, mengatur napasnya, matanya menatap batu itu dengan kebencian murni. Anak itu tidak pergi.

Zhu Lao menutup matanya lagi, benar-benar nyaman.

Bagus. Mari kita lihat berapa lama tekadmu bertahan melawan paku semesta.

Terpopuler

Comments

Nanik S

Nanik S

Batu Kura kura ternyata Paku Alam

2025-11-04

0

Yanka Raga

Yanka Raga

🤩😎

2025-11-06

1

lihat semua
Episodes
1 Bab 1: Teh Semesta dan Kebosanan Abadi
2 Bab 2: Rasa Sakit, Pedas, dan Anak yang Keras Kepala
3 Bab 3: Batu Kura-kura dan Paku Semesta
4 Bab 4: Tiga Hari, Dua Benih, dan Pria Polos
5 Bab 5: Satu Inci dan Seorang Pembawa Tas
6 Bab 6: Ayam Iblis, Pemanggang Ubi, dan Kepergian
7 Bab 7: Berjalan, Bernapas, dan Serigala Sial
8 Bab 8: Kota Fenglei dan Niat Pedang dalam Tagihan Anggur
9 Bab 9: Anggur, Pedang, dan Es yang Jatuh
10 Bab 10: Anggur yang Tumpah dan Utang Lima Belas Perak
11 Bab 11: Utang, Pencuci Cangkir, dan Pemandu Anggur
12 Bab 12: Penginapan, Pesuruh Ranah Raja, dan Cangkir Kotor
13 Bab 13: Wujud yang Merepotkan dan Kembalinya Si Pemandu Anggur
14 Bab 14: Ubi, Wajah Baru, dan Pengabdian yang Lebih Dalam
15 Bab 15: Retakan, Bakpao, dan Pintu Keluar Penyelundup
16 Bab 16: Jalur Penyelundup, Lumut Mabuk, dan Kembang Api Es
17 Bab 17: Ransel Ubi dan Perahu Daun Willow
18 Bab 18: Perahu Daun dan Pelajaran Ubi
19 Bab 19: Pondok, Dapur, dan Halaman yang Terlalu Bersih
20 Bab 20: Halaman yang Bersih, Tamu Kotor, dan Sendok Teh
21 Bab 21: Sapu, Koin, dan Hari Pertama Sekte
22 Bab 22: Dao Sapu, Dao Ubi, dan Hari Pertama
23 Bab 23: Hari Kedua, Goresan di Batu, dan Murid yang Merugikan
24 Bab 24: Obat Ubi Panas dan Pujian yang Merugikan
25 Bab 25: Tangan Baru, Pohon Besi, dan Pengurus Api Ubi
26 Bab 26: Orkestra Penderitaan dan Musik yang Baru Lahir
27 Bab 27: Daun, Kerikil, dan Kelahiran Maksud Sapu
28 Bab 28: Pencerahan Halaman, Api yang Marah, dan Kapak yang Tumpul
29 Bab 29: Dapur Suci, Noda Membandel, dan Dao Panci
30 Bab 30: Tekanan Naga dan Tamu Tak Diundang
31 Bab 31: Cakar Setan Laut dan Sendok Sup
32 Bab 32: Hukuman Sarapan Pagi dan Debu di Angin
33 Bab 33: Aturan Baru Sekte dan Utang Gadis Naga
34 Bab 34: Latihan yang Menyedihkan dan Guru yang Tidak Sabar
Episodes

Updated 34 Episodes

1
Bab 1: Teh Semesta dan Kebosanan Abadi
2
Bab 2: Rasa Sakit, Pedas, dan Anak yang Keras Kepala
3
Bab 3: Batu Kura-kura dan Paku Semesta
4
Bab 4: Tiga Hari, Dua Benih, dan Pria Polos
5
Bab 5: Satu Inci dan Seorang Pembawa Tas
6
Bab 6: Ayam Iblis, Pemanggang Ubi, dan Kepergian
7
Bab 7: Berjalan, Bernapas, dan Serigala Sial
8
Bab 8: Kota Fenglei dan Niat Pedang dalam Tagihan Anggur
9
Bab 9: Anggur, Pedang, dan Es yang Jatuh
10
Bab 10: Anggur yang Tumpah dan Utang Lima Belas Perak
11
Bab 11: Utang, Pencuci Cangkir, dan Pemandu Anggur
12
Bab 12: Penginapan, Pesuruh Ranah Raja, dan Cangkir Kotor
13
Bab 13: Wujud yang Merepotkan dan Kembalinya Si Pemandu Anggur
14
Bab 14: Ubi, Wajah Baru, dan Pengabdian yang Lebih Dalam
15
Bab 15: Retakan, Bakpao, dan Pintu Keluar Penyelundup
16
Bab 16: Jalur Penyelundup, Lumut Mabuk, dan Kembang Api Es
17
Bab 17: Ransel Ubi dan Perahu Daun Willow
18
Bab 18: Perahu Daun dan Pelajaran Ubi
19
Bab 19: Pondok, Dapur, dan Halaman yang Terlalu Bersih
20
Bab 20: Halaman yang Bersih, Tamu Kotor, dan Sendok Teh
21
Bab 21: Sapu, Koin, dan Hari Pertama Sekte
22
Bab 22: Dao Sapu, Dao Ubi, dan Hari Pertama
23
Bab 23: Hari Kedua, Goresan di Batu, dan Murid yang Merugikan
24
Bab 24: Obat Ubi Panas dan Pujian yang Merugikan
25
Bab 25: Tangan Baru, Pohon Besi, dan Pengurus Api Ubi
26
Bab 26: Orkestra Penderitaan dan Musik yang Baru Lahir
27
Bab 27: Daun, Kerikil, dan Kelahiran Maksud Sapu
28
Bab 28: Pencerahan Halaman, Api yang Marah, dan Kapak yang Tumpul
29
Bab 29: Dapur Suci, Noda Membandel, dan Dao Panci
30
Bab 30: Tekanan Naga dan Tamu Tak Diundang
31
Bab 31: Cakar Setan Laut dan Sendok Sup
32
Bab 32: Hukuman Sarapan Pagi dan Debu di Angin
33
Bab 33: Aturan Baru Sekte dan Utang Gadis Naga
34
Bab 34: Latihan yang Menyedihkan dan Guru yang Tidak Sabar

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!