Haris berada di sebuah ruangan serba putih. Dia melihat sekeliling. Ruangan itu luas sekali seakan tak aja ujungnya. Haris menengok ke kanan dan ke kiri, sesekali dia memutarkan badannya. Dia berjalan ke depan, menapaki jalan di depan matanya. Semuanya putih bersih. Kemanapun dia menolehkan kepalanya hanya ada warna putih dan menyilaukan.
BRUKK!!! Haris mendengarnya. Sesuatu jatuh dari entah mana. Dia berputar sekali lagi dan dia melihat di kejauhan di belakangnya ada sesuatu yang besar telah jatuh berdebam. Haris berbalik. Belum pernah dia penasaran sedemikian besar kepada entah apa yang tadi jatuh dengan suara keras. Hatinya terusik. Dia ingin tahu sekaligus takut. Dia melangkah hati-hati menuju sesuatu itu.
Kurang dari lima belas langkah, Haris menyadari yang terjatuh adalah seorang manusia. Orang itu mengenakan baju dan celana berwarna putih. Tubuhnya bersimbah darah. Entah apa yang terjadi padanya. Dia jatuh tertelungkup dengan wajah tertutup total dan melihat perawakan tubuhnya, Haris tahu bahwa orang itu laki-laki.
Haris mempercepat langkahnya dan duduk berjongkok dengan satu kakinya terlipat di hadapan laki-laki asing itu. Dia hampir membuka mulutnya hendak bertanya apakah gerangan yang terjadi padanya ketika laki-laki itu mengangkat kepalanya. Hati Haris mencelos, matanya terbelalak dan tubuhnya kaku tak dapat bergerak. Dimana seharusnya ada wajah, hanya ada daging merah penuh dengan darah segar yang menetes, merah dan kental. Haris merasa jijik dan ngeri secara bersamaan. Tak ada kulit di wajah itu, warna merah darah mendominasi total. Wajah itu tersenyum menyeringai mengerikan. Haris mencoba mundur satu langkah, tetapi laki-laki pemilik wajah itu mencengkeram bajunya dengan kuat di bagian leher, mendekatkan wajah Haris kepada wajahnya.
" Haris...," laki-laki itu menyebut namanya dengan suara Handi yang sangat Haris kenal.
Lidah Haris kelu, seperti ada tali yang mengikatnya agar tidak dapat bergerak di mulutnya. Otot di lehernya telah menegang, dia berusaha berteriak namun suaranya pun tak bisa keluar. Semakin wajah itu mendekat, sekelebat Haris menemukan siluet wajah Handi, sahabatnya. Wajah itu sangat mengerikan dipenuhi amarah dan dendam. Cengkraman laki-laki itu di baju Haris semakin kuat dan segalanya terjadi begitu cepat. Mendadak dia membuka mulutnya, sangat lebar dibandingkan mulut manusia biasa dan gigi-gigi taring sebesar gigi buaya raksasa keluar dari sana. Dalam sepersekian detik mulut itu melahap kepala Haris dan membenamkan taringnya di kepala Haris, membuat pandangan mata Haris seketika hitam pekat.
****
"HAHHH!," Haris tersentak bangun dari tidurnya. Tanpa sadar dia berteriak. Rupanya dia bermimpi buruk. Lagi-lagi dia bermimpi buruk, entah sudah yang keberapa kalinya dia bermimpi tentang laki-laki mengerikan menyerupai Handi itu. Sudah ratusan kali dia bermimpi buruk yang sama sejak kepergian Handi, menghantuinya setiap malam.
Haris bangkit dari tempat tidurnya. Dia duduk di pinggir tempat tidur sambil mengelap keringat yang membasahi dahi, pipi dan lehernya dengan punggung tangannya. Sekujur tubuhnya sakit seperti dia habis berlari saja. Selalu saja begitu, setiap malam, sampai rasanya dia tidak ingin siang berganti gelap, dia tidak ingin tidur. Dia takut mimpi-mimpi itu datang lagi menghampirinya.
Sejak Handi meninggal karena kecelakaan itu setahun yang lalu, hidup Haris tak pernah tenang. Setiap malam dia selalu bermimpi buruk. Dia selalu bermimpi Handi dengan muka berdarah-darah dan tak berbentuk datang menghampirinya untuk menuntut balas, meminta pertanggungjawabannya. Ketika dia terbangun, dia tidak akan bisa tidur lagi.
Keluarga Haris sangat khawatir dengan keadaannya. Sebelumnya Haris tinggal sendirian di apartemen pribadinya. Namun suatu ketika, Dini pernah menemukan Haris dalam keadaan tak sadarkan diri di kamar apartemennya dengan kondisi kepalanya di bawah dan kakinya di atas tempat tidur. Selimutnya terlempar beberapa centimeter di dekat kepala Haris, begitu juga bantal dan gulingnya, bahkan ada bantal yang berada di bawah cermin yang jauhnya satu meter dari bibir tempat tidur. Dini mengira, Haris bergulat dengan apa yang menjadi mimpinya, dan dia melemparkan sesuatu kepadanya. Kondisi Haris pada waktu itu benar-benar kacau balau. Gara-gara hal tersebut, Bu Nani, ibu Haris, membawanya kembali tinggal di rumahnya. Setidaknya ketika terjadi sesuatu yang membahayakan jiwa Haris, ada seseorang di sampingnya.
Semenjak itu, Dini mengajak Haris untuk berobat ke psikiater kenalannya. Haris menolak, dia mengatakan bahwa dirinya tidak gila. Sebagai dokter, Dini pun membantahnya," Mas, aku ngga bilang kalau kamu gila, tapi kondisi sepertimu ini hanya bisa dibantu oleh psikiater. Ini bukan kondisi sakit fisik, mas."
" Nah, kamu sendiri yang bilang, aku ngga sakit, Din. Aku baik-baik saja. Aku ngga butuh dokter, apalagi psikiater. Aku ngga gila," teriak Haris, sikapnya seperti anak kecil yang dipaksa ke dokter gigi.
Dini sudah kehabisan akal untuk meyakinkan Haris, bahkan pidatonya tentang kondisi Haris dalam pandangan medis pun tidak dihiraukan. Haris mengalami trauma mendalam karena kecelakaan itu. Perasaan bersalahnya kepada Handi telah menyisakan depresi luar biasa kepada Haris. Hal ini menyebabkan alam bawah sadarnya seringkali menampakkan visual-visual mengerikan tentang Handi maupun kejadian kecelakaan itu. Haris benar-benar butuh konsultasi dan terapi dengan psikiater. Haris harus memulihkan kondisinya.
Ketika Dini tak bisa meyakinkan Haris untuk mengajaknya berobat, maka dia akan meminta bantuan Bu Nani untuk ikut meyakinkan putranya. Itupun tidak mudah. Bu Nani sudah menjebak Haris, menyuruhnya pergi menemuinya padahal Haris diajak ke psikiater teman Dini, cara ini gagal. Bu Nani pernah mengancam akan mencoret nama Haris dari Kartu Keluarga dan mencabut semua fasilitas yang dia terima, bahkan mengancam akan membuat Haris miskin, Haris malah mempersilahkan ibunya melakukannya. Cara terakhir yang bisa dilakukan Bu Nani hanyalah menangis meraung-raung seperti bayi dan berlutut di hadapan Haris, tapi anaknya bergeming. Haris sungguh tak mau dibawa psikiater. Baik saran Dini sebagai seorang dokter dan bujuk rayu ibunya tidak menggoyahkan sedikit hatinya untuk sekedar berkonsultasi.
Malam ini, setelah bermimpi buruk dan terbangun dengan keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya, Haris berjalan menjauhi tempat tidurnya dan membuka pintu kamarnya. Dia kehausan. Entah mengapa setiap dia terbangun karena bermimpi buruk, tubuhnya seperti kehilangan tenaga dan dia pasti haus.
Haris berjalan pelan-pelan menuju dapur, berusaha tanpa suara. Dia sedang mengambil botol air mineral dari dalam kulkas, ketika dia mendengar seseorang berbicara padanya.
" Den Haris belum tidur?" Itu jelas suara Bi Nah. Namanya Sarinah, pembantu rumah tangga yang sudah bertahun-tahun mengabdi kepada keluarga Haris. Usianya tidak lebih tua dari ibu Haris. Badannya sehat dan bugar meskipun tetap kelebihan berat badan, maklum sudah emak-emak. Haris menyebutnya dengan nama Bi Nah, khas sebutan anak kecil jaman dulu. Bi Nah memang orang yang dipercaya Bu Nani untuk mengasuhnya dulu.
Hati Haris mencelos. Wajahnya tampak lelah dan keringatnya terlihat sangat jelas. Dia tak mungkin bisa menyembunyikan kenyataan dari Bi Nah bahwa dia terbangun dari mimpi buruknya. Bi Nah tidak bisa dibohongi begitu saja. Dia selalu tahu bila Haris berbohong kepadanya.
" Iya, Bi," jawabnya sambil meneguk minumnya.
" Habis mimpi buruk lagi ya?," tanya Bi Nah menusuk Haris langsung ke jantungnya. Bila menjawab tidak, Bi Nah tidak akan percaya. Bila menjawab iya, Bi Nah pasti melaporkannya kepada ibunya.
" Bi Nah ngomong apa sih!," jawab Haris tanpa berani memandang Bi Nah. Haris berjalan meninggalkan Bi Nah tanpa berani melihat raut wajah Bi Nah, namun bisa Haris pastikan mata Bi Nah pasti mengikuti raganya sembari menyipit.
Sesampainya Haris di kamarnya, dia melihat jam dinding dan waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Rupanya sudah pagi. Haris mengutuk dirinya sendiri. Dia begitu bodoh. Dia lupa bila pada pukul sekian, Bi Nah sudah bangun dan memulai aktivitas paginya. Lain kali dia harus membawa botol air mineralnya ke dalam kamar sebelum tidur.
****
Paginya, setelah matahari naik dan teriknya sudah mulai terasa, Haris bersiap untuk berangkat ke kantornya. Dia sudah mengenakan kemeja berwarna biru langit, jas kasual dan smartwatch sporty-nya. Dilihatnya dirinya melalui cermin. Dia kembali teringat bahwa dia mengenakan kemeja dengan warna seperti ini pada saat kejadian kecelakaan itu. Setelah pipa baja yang menimpa tubuh Handi diangkat, secara otomatis Haris berlari mendekati tubuh Handi yang hancur lebur. Tulang-tulang Handi remuk, seluruh organ tubuhnya keluar dari dalam tubuhnya, separuh kepalanya hancur hanya tangan sebelah kirinya yang masih utuh. Hati Haris benar-benar hancur saat itu melihat kondisi sahabatnya. Haris berusaha mengangkat sisa tubuh Handi yang terlihat masih utuh, namun hal tersebut justru membuatnya menyesal. Kepala Handi bahkan terlepas ketika Haris mencoba mengangkatnya. Haris menjerit kuat. Di situlah dia menangis sambil menjerit seperti anak kecil. Dia mengelap darah Handi di tangannya ke kemeja yang dia pakai. Darahnya banyak sekali menggenang dan pelan-pelan mengalir menyelimuti beton tempat mereka berdiri. Sungguh sebuah pemandangan mengerikan yang pernah dilihat Haris dalam hidupnya.
Haris menggelengkan kepalanya dengan cepat, mencoba menepis kenangan buruk yang selalu menghantuinya selama ini. Dia sudah lelah. Dia ingin menjalani kehidupan normal sebetulnya, tapi dia tahu hal ini tidak akan mudah sebab Handi adalah sahabatnya. Bagaimana mungkin dia akan melupakan kejadian mengerikan yang menimpa sahabatnya, apalagi kejadian itu tepat di depan matanya dan karena dirinya.
Haris keluar dari kamarnya menuju meja makan untuk menyantap sarapan. Lagi-lagi hatinya mencelos, lebih pada erangan mengeluh malahan. Bu Nani sudah duduk berdua dengan Dini disana sambil sarapan. Pagi sekali Dini sudah disini, gumamnya. Hilang sudah nafsu makan Haris melihat kedua wanita itu disana. Mereka pasti sudah mendengar cerita Bi Nah yang bertemu dengannya dini hari tadi. Mereka juga akan mencecarnya dengan pertanyaan yang sama dengan Bi Nah dan pasti menyuruhnya pergi ke psikiater lagi. Haris sudah bosan.
" Duduklah, Haris! Ayo kita sarapan bersama!," kata Bu Nani mempersilahkan anaknya duduk di sebelah kirinya, berhadapan dengan Dini di sebelah kanannya.
Haris melirik ibunya dan Dini, kemudian dia melirik menu sarapan di meja makan, nasi goreng jawa dengan telor mata sapi. Dia sudah menelan ludah. Sebetulnya dia lapar, tapi dia memilih langsung berangkat dan makan di kantin kantor saja, daripada dia duduk disitu dan diberondong pertanyaan dari dua wanita keras kepala sekelas ibunya dan Dini. Di satu sisi isinya nasihat, belas kasihan dan rengekan ibunya, sedangkan di sisi lain adalah saran seorang dokter dari Dini. Haris tak mau kehilangan kesabaran menghadapi dua wanita yang dicintainya ini.
" Tidak usah, Bu. Aku langsung berangkat saja. Sudah siang," kata Haris berpamitan sambil mencium tangan dan pipi ibunya. Dini memandanginya sambil mengunyah makanannya.
" Loh...ini masih jam tujuh pagi loh! Jarak kantormu kan dekat. Kenapa tidak sarapan dulu saja?," kata Bu Nani.
" Iya, bu, ngga apa-apa. Jam sembilan tepat, aku sudah ada janji dengan klien dan ngga mungkin aku menyuruhnya menunggu." Haris memaksakan diri tersenyum, meskipun Dini tahu bahwa Haris tidak mau sarapan dengannya dan Bu Nani. Dia tahu Haris tidak mau ditanya macam-macam selama sarapan.
" Baiklah, hati-hati di jalan, Nak," kata Bu Nani.
Mata Haris beralih kepada Dini yang sedari tadi menatapnya dalam diam. " Aku berangkat dulu, Sayang." Dini menjawabnya dengan anggukan penuh senyum dan semangat. Lalu Haris pergi, meninggalkan Bu Nani dan Dini yang sudah saling pandang.
Pintu depan sudah terdengar menutup, pertanda Haris sudah keluar dari rumah. Dini langsung membuka pembicaraan dengan Bu Nani," Ibu lihat gimana dia menghindari kita?"
Bu Nani mengeluh sambil memegang kepalanya.
" Dia pasti merasa bahwa kita tahu kalau tadi pagi Bi Nah memergokinya," lanjut Dini.
" Iya, Ibu rasa juga begitu."
" Ibu, Mas Haris ngga bisa begini terus," ucap Dini serius.
" Ibu tahu, Din," keluh Bu Nani.
" Dia depresi, bu. Dini khawatir dia bisa jadi gila kalo kita biarkan," Dini masih saja nyerocos.
" Iya, Din, kamu sudah bilang itu ratusan kali," kata Bu Nani sedih.
" Nah, Ibu punya ide lain bagaimana supaya Mas Haris mau pergi menemui psikiater?," tanya Dini menuntut.
" Dini, kamu tahu sendiri, Ibu sudah melakukan semua yang Ibu bisa. Kamu juga tahu bagaimana jawaban Haris dan reaksinya. Dia bahkan bilang bersedia hidup miskin asal aku tidak mencampuri hidupnya lagi. Anak macam apa dia mau hidup miskin dengan keadaan seperti itu?" Bu Nani benar-benar kesal dengan sikap anak laki-laki satu-satunya itu.
" Ibu, Dini punya cara agar Mas Haris mau melakukan terapi dan pengobatannya," kata Dini. Matanya benar-benar menunjukkan keseriusan.
" Bagaimana?," tanya Bu Nani antusias.
" Berjanjilah bahwa ibu akan menyetujuinya! Hanya ini satu-satunya cara," kata Dini.
Bu Nani mengerutkan dahinya. Dia tampak curiga, pasti sesuatu yang sulit yg akan dilakukan Dini agar tujuan mereka berhasil. Entah apa yang ada di pikiran gadis ini. Namun demi kesembuhan putranya, Bu Nani menyanggupinya," Baiklah, aku akan menyetujui apapun rencanamu. Sekarang katakan apa yang akan kamu lakukan!"
" Baiklah, Bu. Begini..."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments