Lisa tidak tahu lagi berapa banyak orang yang sudah menjabat tangannya dan memeluknya. Otaknya sudah kosong sejak dia mengetahui bahwa Handi, suaminya, sudah terbujur kaku. Dia bahkan tidak menghiraukan Hana dan Hamza yang menuntut penjelasan sebenarnya apa yang terjadi pada ayahnya. Dia tidak sanggup mengatakan apapun pada anak-anaknya. Dia tidak tega memberitahu mereka bahwa ayah mereka telah pergi meninggalkan mereka selama-lamanya.
Tak bisa dibayangkan betapa terkejutnya Bu Sri, ibu Handi, ketika Bu Nani, ibu Haris yang merupakan tetangganya di kampung, menelponnya dan memberi kabar duka. Sama halnya dengan Lisa, Bu Sri tidak bisa menerima kenyataan bahwa putranya telah tiada dengan cara yang tragis. Beliau berkali-kali pingsan dan bangun dengan berteriak-teriak memanggil nama Handi. Beliau benar-benar tidak ikhlas, anak kesayangannya yang paling beliau sayangi meninggalkannya lebih dulu. Beliau meminta kepada Haris dan Bu Nani agar membawa jenazah Handi pulang ke kampung halaman. Beliau ingin berdekatan dengan anaknya meskipun hanya berupa makam. Lisa mengiyakan permintaan ibu mertuanya. Dia paham betul bagaimana perasaan ibu Handi. Dia mengizinkan ibunya memiliki Handi untuk terakhir kalinya.
Sudah dua hari sejak pemakaman Handi, sikap Lisa masih tidak menunjukkan tanda-tanda dia mengikhlaskan kepergian suaminya. Dia tidak makan, kurang minum, kurang tidur, dan kurang istirahat. Wajahnya tidak hanya terlihat sayu dan pucat, tapi tak ada pancaran kehidupan dari dalam dirinya. Dia memang duduk di ruang tamu, tak sekalipun beranjak dari sana ketika ada tamu pelayat yang datang. Dia menjabat tangan mereka, menerima ucapan belasungkawa mereka, dan tidak jarang yang memeluknya memberikan simpati kepadanya, tapi dia hanya diam membeku, tak ada satu kata pun keluar dari mulutnya. Ibu mertuanyalah yang menjawab setiap pertanyaan para tamu yang datang.
" Lisa, makan dulu!," kata Bu Sri. Di tangannya ada sepiring nasi soto ayam yang hangat.
Lisa menatapnya dengan pandangan kosong dan menggeleng pelan.
" Lisa, makanlah! Sudah dua hari kamu ngga makan!," Bu Sri menyendokkan nasi dan mengangkatnya di depan muka Lisa. Wajahnya diliputi rasa khawatir atas keadaan menantunya.
Lisa kembali menggeleng.
Bu Sri mengangkat sendok berisi nasi ke depan mulut Lisa dan berkata dengan lembut," Buka mulutmu! Ibu bilang buka!" Dia memaksa Lisa membuka mulutnya dengan menempelkan sendok itu di bibir Lisa.
Dengan enggan, Lisa membuka mulutnya dan Bu Sri menyuapinya. Lisa menangis ketika mengunyah makanannya. Dia menemukan keluarga yang didambakannya ketika dia menikah dengan Handi. Kini dia harus kehilangan semuanya. Lisa hidup sebatang kara sejak lahir. Ibunya membuangnya di depan rumah seseorang dan dia dikirim ke panti asuhan. Di panti asuhan itulah dia dibesarkan. Dia tidak pernah kekurangan kasih sayang, sebab pengurus panti asuhan sangat menyanyanginya dan bersikap adil kepada semua anak-anak panti, tetapi dia tidak bisa memungkiri bahwa dirinya iri bila melihat mereka yang hidup bersama ayah dan ibunya. Sejak kecil Lisa terbiasa bekerja, meskipun pengurus panti tidak pernah mengizinkannya. Dia merasa malu bila harus meminta uang lebih kepada pengurus panti bila dia menginginkan sesuatu. Dia tahu pengurus panti sudah berjuang membesarkannya dan ratusan anak panti yang lain dengan hanya mengandalkan bantuan para donatur. Lisa cukup tahu diri untuk tidak merepotkan pengurus panti dengan keinginannya akan sesuatu. Mungkin bagi anak-anak lain memiliki sebuah diari bagus dengan motif boneka Teddy Bear, bersampul tebal, memiliki gembok dan kertas dalamnya berwarna-warni adalah hal yang mudah, namun tidak bagi Lisa. Dia harus bekerja di warteg dekat panti asuhannya, mencuci piring kotor sejak pulang sekolah hingga lepas maghrib dengan upah hanya lima ribu perak setiap hari. Dia harus menyisihkan uang hasil keringatnya tiga ribu per hari agar dia segera bisa punya buku diari itu yang harganya tiga puluh ribu saja. Dia bekerja berpindah-pindah setiap ada orang lain yang menawarinya bekerja part time. Dia bahkan bisa membayar sebagian biaya sekolahnya saat SMA dengan bekerja di percetakan. Suatu prestasi yang membanggakan baginya, begitulah pemikiran seorang anak SMA.
Selepas SMA, dia pergi merantau ke Jakarta, mencoba keberuntungannya, melambungkan harapannya siapa tahu nasibnya bisa berubah. Dia bermimpi bisa sukses dengan kemampuannya sendiri. Prestasi belajarnya selama bersekolah SD sampai dengan SMA bagus, hal tersebut bisa menjadi bekal untuknya bisa bekerja di tempat yang bagus dan berpenghasilan besar. Ternyata alam masih belum memihaknya. Dia hanya bisa menjadi waitres di sebuah rumah makan waralaba, office girl di perkantoran kecil dan akhirnya dia menjadi staf administrasi di sebuah perusahaan kecil distributor rokok baru. Gajinya tidak pernah besar, tapi dia menikmati semua proses hidupnya.
Bagaimana Lisa bisa bertemu Handi? Ah, pertemuan mereka bukanlah hal yang bisa disebut biasa. Lisa berjalan pulang dari kantornya ke arah rumah kosnya, dia selalu melewati jalan yang sama dan di jam yang sama setiap harinya. Di jalan itu, ada sebuah warung kopi sederhana yang selalu ramai pengunjung dan disitulah Handi biasa ngopi bersama teman-temannya. Tanpa Lisa ketahui, Handi mengawasinya dan selalu menunggunya lewat disana setiap harinya.
Suatu hari, Handi membuat siasat agar bisa berkenalan dengan Lisa. Dia menunggu Lisa di warung kopi seperti biasa. Dia celingak-celinguk menantikan kehadiran Lisa yang rupanya terlambat lewat lebih dari tiga puluh menit, cukup membuatnya cemas rencananya bakal gagal, bahkan sebelum dilakukan. Akhirnya Lisa lewat juga setelah dia mulai bosan menunggu, tepat lima langkah setelah Lisa melewatinya. Handi berlari menghampiri Lisa dan menepuk pundaknya.
" Mbak..mbak," sapa Handi dengan napas tersengal-sengal.
Lisa menoleh. " Ada apa ya, mas?," tanya Lisa sopan.
Handi mencengkram dadanya, ternyata langkah kaki Lisa cepat juga, dia harus benar-benar berlari menyusulnya. " Uang Mbak tadi jatuh," katanya sambil menyodorkan uang kertas lima puluh ribuan yang terlipat.
Lisa otomatis merogoh sakunya. Dia memang punya pecahan uang itu di saku celana kerjanya. " Tapi punya saya masih ada,mas," katanya sambil mengeluarkan uang kertas lima puluh ribu yang juga dalam kondisi terlipat. "Mungkin Mas salah orang." Lisa tersenyum.
Hati Handi seketika tersengat ketika melihat senyum Lisa. Entah mengapa rasanya baru kali ini dia melihat senyum seindah dan setulus senyum Lisa kepadanya. " Masa sih, Mbak? Kayaknya tadi saya lihat uang ini jatuh dari saku Mbak," elak Handi sedikit ngotot.
" Tapi uang saya masih ada kok, Mas," Lisa kembali mengeluarkan uang lima puluh ribu miliknya setelah tadi sempat dia masukkan ke dalam saku celananya.
" Waduh, terus ini uang siapa ya, Mbak?," tanya Handi bersikap bodoh.
Lisa tersenyum kecil. Wajahnya benar-benar menggemaskan di mata Handi saat itu. " Mana saya tahu, Mas. Kan Mas yang menemukan uangnya. Saya balik dulu ya, Mas. Semoga pemilik uangnya segera ketemu." Lisa sudah berbalik hendak berjalan pergi ketika Handi meneriakinya.
" Kalau boleh tahu, nama Mbak siapa ya?"
Lisa menoleh sekali lagi dan tersenyum manis. Hati Handi tersengat lagi.
" Namaku Lisa, Mas." Lisa berbalik lagi. Dia sudah berjalan dua langkah ketika Handi kembali berteriak.
" Apa saya bisa menemui Mbak lagi besok?"
Lisa berhenti. Dia lagi-lagi menoleh, kali ini dengan tatapan heran dan bingung. Matanya memandang Handi dari ujung kepala sampai ujung kaki lagi. Sebelum akhirnya dia tersenyum lebar, membuat wajahnya semakin terlihat manis di mata Handi. Lebih manis lagi ketika bibir tipis Lisa menjawab tanpa ragu-ragu," Boleh. Bila kita berjodoh, besok kita akan bertemu lagi, Mas. Siapa namamu?"
" Handi," jawab Handi.
" Baiklah, Mas Handi, saya pulang dulu."
Lisa berbalik lagi dan berjalan cepat. Handi memandangi punggungnya hingga hilang dari pandangan.
Sejak itu hubungan mereka berlanjut, hingga Handi menyatakan rasa sukanya kepada Lisa, bahkan berani melamarnya. Handi juga menyatakan keseriusannya ingin hidup berumah tangga dengan Lisa dengan mengajak Lisa menemui orangtuanya di kampung. Baru kali ini ada seorang laki-laki yang menyukainya sedemikian tulus seperti Handi. Baru Handi yang mampu menggetarkan hatinya. Handi tidak tampan, postur tubuhnya juga biasa-biasa aja, namun Lisa sangat menyukai sikap gentleman Handi. Handi selalu perhatian, pengertian, menerimanya apa adanya, menghargai setiap kata-katanya dan mendengarkan keluh kesahnya. Handi selalu ada dengan segala kata-kata petuahnya. Handi juga selalu ada dengan gombalannya bila Lisa cemberut. Handi selalu punya cara agar Lisa tersenyum.
Semua terjadi begitu singkat. Lisa masih ragu-ragu ketika Handi bilang bahwa dia ingin menjadikan Lisa sebagai istrinya. Keluarga mana yang akan menerima Lisa menjadi bagian dari keluarga mereka bila melihat latar belakang hidup Lisa? Keluarga mana yang akan membiarkan anaknya menikahi seorang perempuan yang hidup sebatang kara? Lisa tak mau larut dalam impiannya. Dia takut sakit hati bila nanti keluarga Handi tidak menerimanya. Dia sudah siap dengan hal yang terburuk. Dia sudah siap bila nantinya dia harus putus dengan Handi bila keluarganya tidak merestui cinta mereka. Bukan berarti Lisa tidak mencintai Handi, dia hanya sadar diri. Dia tidak mungkin menyuruh calon suaminya untuk berseteru dengan keluaarganya sendiri hanya karena dirinya.
Lisa gugup bukan kepalang ketika dia dan Handi sudah berada di depan pintu rumah Handi di kampung. Keringat dingin membasahi tangan Lisa. Dia bolak balik menelan ludahnya yang sudah kering. Dia bahkan merasa bedaknya sudah luntur saking banyaknya keringatnya.
Handi mengetuk pintu rumahnya, sambil mengucap salam. Terdengar ada orang yang menjawab dari dalam rumah dan suara orang berlari. Pintu terbuka setelahnya. Seorang wanita paruh baya berperawakan langsing, tinggi sekitar seratus lima puluh centimeter, berwajah teduh, berkulit putih dan bermata sayu menggenggam gagang pintu. Sudah pasti wanita ini ibunya Handi. Seketika Lisa menyadari bahwa Handi mirip sekali dengan ibunya. Wanita itu tersenyum lebar menyambut tangan Handi," Handi, sudah datang, Nak."
Handi masuk ke dalam rumah diikuti Lisa yang malu-malu. " Jadi ini Lisa ya?," tanya Bu Sri riang.
Lisa mengangguk pelan. Dia menundukkan kepalanya karena malu. Dia tak sanggup menatap wajah ibu Handi. Tiba-tiba Bu Sri menarik tangannya dan memeluknya erat. Lisa terbelalak. Jantungnya berdegup kencang, mungkin Bu Sri bisa mendengar suara detak jantungnya. Beliau melepaskan pelukannya dan memegang kedua pipi Lisa dengan kedua tangannya yang keriput. Beliau tersenyum sangat dalam dan tulus.
" Jadi inikah perempuan yang dicintai anakku, sampai-sampai memaksa ibunya untuk segera menikahkannya?," kata Bu Sri.
" Saya mohon maaf, bu...," kata Lisa dengan suara lirih yang langsung dipotong Bu Sri, " Ya ampun, pantas aja kamu minta cepat-cepat menikah, Han. Siapa yang menolak calon istri secantik dia?"
Lisa terbelalak bingung. Mulutnya melongo. Mungkin itu ekspresi paling bodoh yang pernah tersirat di mukanya. Handi terkekeh melihat perubahan wajah Lisa. Bu Sri juga tertawa. Bu Sri menuntun Lisa duduk di kursi tamu. Beliau sendiri duduk di kursi di sebelah Handi.
" Jadi kapan kalian menikah?," tanya Bu Sri kepada Handi.
" Kalau bisa minggu depan," jawab Handi santai.
Lisa terpana. Mulutnya terbuka. Matanya bergantian menatap Handi dan ibunya yang tersenyum jahil kepadanya.
" Baiklah. Ibu akan mengurus semuanya. Kamu urus yang di Jakarta," kata Bu Sri sambil menepuk paha Handi. Mereka tersenyum-senyum.
Handi mengalihkan pandangannya kepada Lisa. " Kenapa diam saja, Lisa? Kamu tidak senang? Kita menikah minggu depan loh! Ibu sudah setuju," tanya Handi.
Lisa mengangguk, tapi buru-buru dia menggeleng.
Bu Sri tertawa melihat kelakuan Lisa yang menggemaskan. " Kamu dapat istri darimana sih, Han? Kok lucu begini?"
" Seleraku kan memang unik, Bu," Handi tertawa.
" Lisa,..," Bu Sri memanggil namanya, seketika si empunya nama memalingkan kepalanya melihat Bu Sri. " Handi selalu menceritakanmu dari awal sampai akhir, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sebelum kamu sampai disini, Ibu sudah tahu siapa dirimu, bagaimana hidupmu, apa yang kamu lakukan, apa yang kamu suka dan yang tidak kamu suka. Ibu sudah tahu semuanya. Ibu tidak pernah mempermasalahkan dengan siapa anak Ibu akan menikah, bagaimana latar belakangnya, keturunan siapa. Bagi Ibu, itu tidak penting. Yang penting anak Ibu bahagia bersama wanita pilihannya, itu sudah cukup buat Ibu. Kayaknya harus Ibu yang balik tanya sama kamu, kamu mau ngga menikah dengan anak Ibu?"
Mata Lisa terasa panas saat itu juga. Dia menitikkan air mata. Kekhawatirannya yang terlalu berlebihan, ketakutannya tidak diterima, kecemasannya tidak direstui oleh calon mertuanya menguap karena kata-kata Bu Sri. Lisa mengangguk. " Iya, saya mau, Bu. Terimakasih." Air mata Lisa tak bisa dibendung lagi.
Dan inilah awal mula kehidupan bahagia Lisa. Dia yang dulu iri melihat anak lain hidup bersama keluarga mereka, kini dia memiliki keluarga bersama Handi. Dulu dia bermimpi disayang dan diperhatikan oleh ibu dan ayahnya, kini dia mendapatkannya dari Handi, ibu mertua dan ayah mertuanya. Saking sayangnya Handi padanya, Handi tidak memperbolehkan Lisa bekerja di luar. Dia bilang istri itu tugasnya santai di rumah, mengurus anak-anak dan menunggunya pulang kerja di rumah. Kehidupan sempurna dan bahagia versi Lisa.
" Lisa, kamu harus makan. Lanjutkanlah hidupmu, Nak!," suara bu Sri memecah lamunan Lisa yang sedari tadi mengingat pertemuannya dengan Handi dan ibunya untuk pertama kalinya. Bu Sri kembali menyorongkan sesendok nasi ke dalam mulut Lisa. " Lihatlah Hana dan Hamza! Lihat anak-anakmu! Mereka membutuhkanmu, Sayang! Jangan siksa dirimu seperti ini!"
Lisa menangis. Entah keberapa ratus kali. Dia heran kenapa air matanya tak kunjung mengering. Mendengar kata-kata ibu mertuanya membuatnya tersadar. Dia masih punya Hana dan Hamza. Dia masih punya anak-anaknya yang butuh kasih sayang dan perhatian darinya. Anak-anaknya yang akan menjadi penghiburan baginya. Mereka akan saling menguatkan satu sama lain tanpa kehadiran Handi di sisi mereka lagi.
" Lisa, meskipun Handi sudah tiada, sampai kapanpun kamu boleh menganggap Ibu sebagai ibumu. Hana dan Hamza adalah cucu Ibu dan Abah. Sampai kapanpun kamu boleh pulang dan menganggap rumah ini sebagai rumahmu," kata Bu Sri.
Lisa mengangguk sambil menitikkan air mata.
" Berjanjilah pada Ibu, kamu akan bangkit! Berjanjilah kamu akan berjuang demi anak-anakmu! Kamu wanita yang kuat, Lisa! Ibu percaya padamu," kata Bu Sri. Beliau ikut menangis melihat kondisi menantunya.
Lisa tak mampu menjawab kata-kata mertuanya. Dia hanya bisa memeluk tubuh Bu Sri dan membenamkan semua perasaannya, kesedihannya, keputusasaannya, dan kepedihan hatinya di pundak ibu mertunya. Dia berjanji dalam hati dia akan terus hidup, membesarkan anak-anak Handi dengan baik dan mengantarkan mereka menuju kesuksesan. Dia berjanji akan membahagiakan Hana dan Hamza demi nama Handi.
Bu Sri melepaskan pelukan Lisa dan mengelus pipi Lisa dengan lembut. Beliau menghapus sisa air mata Lisa. Kemudian beliau lanjut menyuapi Lisa hingga piring Lisa kosong.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
®αf|_>_<
pedih mata sis😭
2021-04-06
0