Tidak butuh lama bagi Alina untuk bisa menyesuaikan diri dengan rutinitas barunya. Berkat kemampuan kerjanya yang baik, Alina sudah dipercaya untuk membuat rancangan sendiri meskipun hanya untuk proyek-proyek kecil. Semua itu tidak lepas dari dukungan Morgan juga Pak Leo yang meminta Max selaku pimpinan tim agar mau memberikan kesempatan pada gadis itu.
Awalnya Max nampak keberatan, tapi karna Alina berusaha membuktikan kalau dia layak, Max pun setuju tapi dengan catatan harus sesuai arahan dia. Alina tidak menyia-yiakan kepercayaan yang didapatnya, dia selalu berdiskusi dengan Max ketika hendak menggambar untuk satu project.
Dan selama itu, Max tidak pernah komplain tapi tidak juga memuji setiap kali Alina mengajukan karyanya. Benar-benar pria tanpa ekspresi, begitu pikir Alina.
Kalau diperhatikan lebih jauh, ada yang aneh dengan sikap si gunung es. Jika dengan wanita, Max selalu dingin, pada pria malah sebaliknya. Dia bersikap biasa saja, bahkan boleh dibilang ramah. Pernah satu kali Alina melihat Max dan Morgan mengobrol. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Alina takjub ketika Max tertawa, tanpa ragu pria itu menampilkan deretan gigi rapinya yang sempurna hingga membuat siapa pun terhipnotis, termasuk Alina yang ikut tersenyum meskipun tidak terlibat dalam perbincangan.
Sayangnya pemandangan itu hanya untuk sesaat, begitu kembali berinteraksi dengan para wanita yang ada dikantor tersebut, Max kembali menjadi pria gunung es.
" Jangan-jangan dia...." Alina tidak melanjutkan ucapannya, dia diam sejenak dengan pikiran menerawang.
" Jangan-jangan apa Al?" desak Tasya tidak sabaran. Dia memperhatikan wajah Alina dengan seksama. Raut penasaran tercetak jelas disana.
Alina memperhatikan keadaan sekitar, memastikan kalau situasi aman dan tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka. Suasana pantry memang sedang sepi, tetap saja dia harus hati-hati, zaman sekarang tembok bisa bicara, terlebih yang akan dia katakan cukup sensitif.
Tasya mengerutkan kening mengikuti gerakan liar mata Alina.
" Kenapa sih Al,"
Alina memberi isyarat agar Tasya mendekat.
" Mungkin Max itu Gay, " ucapnya sepelan mungkin hingga nyaris tak terdengar.
" What?" Tasya membelalakkan mata, beruntung telinganya tajam, sepelan apapun dia masih menangkap jelas ucapan sahabatnya itu.
Alina memberi kode sambil menempelkan telunjuknya dibibir Tasya mengangguk sambil menutup mulutnya sendiri.
" Kok kamu bisa mikir begitu sih Al, kenapa aku jadi gak rela ya," ucap Tasya dengan wajah nelangsa.
Wajarlah Tasya seperti itu. Sudah jadi rahasia umum kalau Max adalah *most wanted diperusahaan besar itu. Siapa sih yang tidak tergila-gila dengan pria setampan Max, hidung mancung, rahang kokoh, tubuh tinggi dan tegap, wangi , suara bariton yang menggoda serta tatapan tajamnya yang mampu menusuk hingga ke ulu hati. Perfecto*!
Tasya bilang sejak kedatangan Max, mendadak seisi kantor khususnya para ladies rajin berdandan dan saling berlomba untuk merebut perhatian pria itu, tapi sayang hingga sekarang belum ada yang berhasil menaklukan si gunung es.
"Itu sih pendapatku aja, sekali-kali kamu perhatikan deh, gimana perbedaan sikapnya ketika berbicara dengan wanita dan sesama pria," saran Alina pada Tasya yang masih bingung.
Tasya menggeleng " Aku jadi takut,"
" Takut kenapa, kan kamu yang ingin tahu gimana Max, aku sih bicara apa adanya," cerocos Alina santai
Tasya tidak memprotes, memang percakapan ini dia yang mulai, dia hanya ingin memenuhi permintaan teman-temannya yang lain untuk mencari tau soal Max. Karena mereka sungkan untuk nanya ke Alina lansung. Alina adalah satu satunya perempuan beruntung yang terus berada disekitar Max, karena masalah pekerjaan tentunya.
" Terus aku harus ngomong apa ke mereka, " keluh Tasya lagi.
Gantian Alina yang terheran " Mereka?"
" Sebenarnya anak-anak pada minta tolong cari info soal Max dari kamu," jelas Tasya jujur.
" Aku pikir kamu yang suka sama Max , makanya aku bilang begitu biar kamu gak ngarepin pria dingin itu, buang-buang waktu," ucap Alina sambil mengunyah sisa makanannya
Tasya terkekeh "siapa sih yang gak naksir sama Max, cuma aku cukup tau diri kali Al,"
"Gak perlu rendah diri gitu Sya, sah-sah aja kalau kamu suka sama Max, tapi dari pada mengharapkan sesuatu yang gak jelas mending cari yang pasti-pasti aja, terima aja cintanya Andri, kurang apalagi sih tu laki," nasehat Alina panjang lebar. Andri adalah staf keuangan yang sudah lama naksir Tasya. Tapi Tasya masih belum memberi jawaban ketika Andri menyatakan perasaannya.
" Iya iya tuan putri, jadi mana yang bener nih, Max itu gay apa bukan? "
" Gak tau juga sih, lagian aneh masa nanya soal Max ke aku, yang lebih duluan kenal kan kalian,"
" Iya sih, tapi yang bisa dekat sama Max cuma kamu, sering pergi berdua, sedikit banyaknya kamu pasti ngertilah,"
Alina menggelengkan kepala, "sebatas kerjaan sayang diluar itu mah aku gak tau,"
Tasya menghela napas" Gimana ngomongnya sama mereka ya,"
" Bilang aja kalau aku gak tau, yang tadi itu cuma penilaianku aja, nanti kalau orangnya dengar aku mengatakan dia gay bisa tamat riwayatku," Alina bergidik ngeri membayangkan tatapan mematikan Max.
" Gak mungkinlah aku sampein sama mereka Al, bukan kamu aja yang tamat, aku ikutan tamat karna udah nyebar gosip gak jelas" pungkasnya terbahak, Alina ikut tertawa, diapun menyudahi makan siangnya kemudian beranjak menuju wastafel dan mencuci kotak bekalnya.
" Ngomong-ngomong, kamu memangnya gak terpesona sama Max," selidik Tasya ingin tahu.
" Ogah, masih kalah jauh sama Bryan," pungkasnya cepat.
Tasya mengerti kalau Bryan tidak tergantikan dihati Alina, tapi sebagai teman yang baik Tasya ingin Alina kembali membuka diri, masa depannya masih panjang, tidak mungkin selamanya Alina sendirian.
" Al, sudah hampir lima bulan, apa kamu gak terpikir untuk kembali membuka diri?" tanya Tasya hati-hati.
Tangan Alina yang tadinya lincah bergerak mengeringkan wadah terhenti begitu mendengar pertanyaan barusan. Mendadak wajahnya murung.
Tasya disergap perasaan bersalah " Sorry-sorry Al, aku gak bermaksud membuat kamu sedih,"
Alina menggeleng, dia menerbitkan sebuah senyuman.
" Gak papa Sya, bukan cuma kamu yang menanyakan hal itu, tapi fokus ku masih di kerjaan, aku belum bisa memikirkan apapun sekarang, biarlah semuanya mengalir seperti air" ungkap Alina sendu.
Tasya mengerti, dia memeluk sahabatnya, memberi support sepenuhnya. Tanpa Tasya sadari, satu bulir bening kembali lolos dari mata indah Alina, tiba-tiba dia merindukan Bryan.
Sudah lama dia tidak mengunjungi makam orang terkasihnya itu. Dia hanya menelpon Mang Udin untuk memastikan keadaan makam.
Alina bukannya tidak ingin move on, masih ada yang mengganjal hatinya hingga saat ini, rencana awalnya masuk ke Mega Buana untuk mencari bukti, tapi sampai detik ini belum ada keanehan yang bisa dia temukan. Semuanya berjalan normal seperti biasa. Alina sempat ragu, entah dia yang salah menduga atau memang pembunuh kejam itu yang rapi menyembunyikan kejahatannya.
Disisi lain perasaan itu terus menuntunnya, dan memintanya untuk bertahan. Dia akan terus berada disini sampai Bryan mendapatkan keadilan, lambat laun waktu akan menjawabnya.
Alina dan Tasya beriringan masuk keruangan mereka, karyawan yang lain juga sudah kembali termasuk Max yang sudah berada didalam ruang kerjanya, sepertinya Max tidak sendiri karna dari pintu yang sedikit terbuka, terdengar suara orang orang bercakap.
" Boss ada tamu?" Tasya bertanya pada Gladys yang duduk disebelahnya
Gladys mengangguk dengan wajah cemberut dan itu tak luput dari perhatian Alina, diam-diam dia menguping pembicaraan Tasya dari mejanya.
" Ada nenek lampir," dengkus Gladys kesal, Alina tidak tahu siapa nenek lampir yang dimaksud.
Alina memberi kode pada Tasya ingin tau apa yang terjadi
" Mahira," bisik Tasya.
Sontak Alina mengatupkan geraham, tangannya yang berada diatas meja mengepal begitu nama itu disebutkan.
Tak lama sosok yang dimaksud keluar diantar oleh Max, dengan gaya yang dibuat semanja mungkin sosok itu bergelayut manja dilengan Max yang nampak tidak nyaman.
" Ternyata dia belum berubah", Desis Alina dalam hati.
Sosok itu terpaku begitu melihat Alina, untuk sesaat dia terkejut tapi detik berikutnya dia tersenyum penuh arti dan berjalan mendekati gadis itu.
" Alina Maharani, senang bertemu kembali," ucapnya sarkas
Alina tersenyum sopan.
" Terima kasih," jawabnya ringkas. Dia memilih melanjutkan pekerjaannya dari pada melayani basa-basi Mahira.
" Aku turut berduka cita , maaf baru menyampaikan sekarang," lanjutnya mengabaikan sikap cuek Alina.
Alina hanya mengangguk sekilas tanpa mengalihkan pandangan dari monitor didepannya. Merasa tidak mendapatkan respon yang baik, akhirnya Mahira melengos pergi dan menarik tangan Max.
Max ingin menghindar tapi Mahira begitu kuat mencengkram tangannya, dia bisa saja melepaskan diri dengan satu kali sentakan, Tapi Max tidak mau mempermalukan gadis itu, akhirnya dia pasrah dan menatap penuh arti pada Alina.
***
Happy reading ya, jangan lupa follow, vote dan komen,,terima kasih
With Love
Dik@
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Yuyun Yunita
apa pernah menjadi rival alina wkt msh bersama tunangannya
2023-10-31
0
lies
lansung = langsung mbak
2023-10-30
1
Andariya 💖
siapa ini Mahira 😁
2023-10-24
0