Ilham dan Gus Faiz kini asyik berkutat dengan PS milik Ilham. Permainan yang mereka mainkan tentu saja bukan ‘harvest moon’. Di usia mereka, mereka lebih memilih permainan yang menantang dan bisa battle dengan kawannya. Kali ini mereka sedang bermain bola.
“Jago juga lo. Gue kira lo cuma bisa main harvest moon.” kata Ilham.
“Sudah jangan pecah konsentrasi saya.” kata Gus Faiz.
“Eh, tapi jangan salah lo. Harvest moon itu permainan paling real menurut gue. Nih, dari permainan itu kita diajarin buat kerja keras. Kalo kita pengen apapun kita juga harus kerja keras, termasuk dapetin cewek. Mau nikahin cewek pun kita gak bisa langsung nikah, kita kudu kerja keras dulu cari uang yang banyak, kasih love atau bunga buat nunjukkin kasih sayang, bangun ini itu biar keluarga hidup nyaman. Iya gak si?” kata Ilham.
“Iya.” kata Gus Faiz.
“Buseh, gue ngomong panjang lebar kayak penceramah, dijawab iya doang.” kata Ilham.
Gus Faiz malas menanggapi.
“Kata lo kekurangan harvest moon apa, Is?” kata Ilham.
Tanpa mengalihkan pangangannya pada layar dan pegangannya pada stik PS, Ilham pun bertanya lagi pada Faiz.
“Kurang salat.” kata Gus Faiz.
“Hadeeeh, susah emang temenan ama anak Pak Kyai.” kata Ilham.
Gus Faiz tidak marah. Karena dia tahu gaya bicara sahabatnya memang seperti ini. Dan Ilham hanya sedang bergurau.
“Lo kapan balik ke pondok, Is?” tanya Ilham.
“Kamu usir saya?” tanya Gus Faiz.
“Ayolah, Is. Jangan kayak balok es begitu. Bega banget gue dengernya.” kata Ilham sambil memutar bola mata.
“Saya merasa nyaman seperti ini.” kata Gus Faiz.
Melihat tim sepak bolanya hampir kalah, Ilham buru-buru memutar otak untuk mengacaukan konsentrasi Gus Faiz.
“Temen gue kasian juga kalo lo begini terus.” kata Ilham. "Berubah ya, jadi cair biar temen gue betah sama lo." lanjut Ilham.
Gus Faiz melirik Ilham dengan tajam. Gus Faiz tahu ke mana percakapan ini akan berlabuh. Gadis itu lagi, sahabat Ilham yang terus dijodohkan dengannya. Konsentrasi dia pun terpecah. Meski tak pernah melihat wajah atau fotonya, gadis itu sukses membuat Gus Faiz tidak konsentrasi.
“Gol! Yes, seri!” teriak Ilham.
“Ck, curang.” kata Gus Faiz. Menyadari Ilham yang hanya memecah konsentrasinya.
Di dapur Linda sedang sibuk menunggu Ibunya menghidangkan kue kering ke piring. Kue itu untuk Gus Faiz di kamar Ilham. Linda bermaksud untuk mengantarkannya. Setelah selesai ditata di piring, Lindapun ke kamar Ilham.
Dia mengetuk pintu.
“Assalamualaikum.” salamnya.
“Waalaikumsalam.” Gus Faiz dan Ilhampun membalas salam Linda, hanya saja jawaban salam Gus Faiz lebih panjang.
“Ini, Bang, eh Gus. Ada kue.” kata Linda kepada Gus Faiz.
“Terima kasih.” Gus Faiz menjawab singkat.
“Dengan senang hati, Bang. Eh Gus.” kata Linda.
Ilham mengisyaratkan adiknya untuk keluar kamar. Setelah cemberut, Linda pun menuruti permintaan Ilham. Namun, dia tidak benar-benar pergi. Linda penasaran dengan apa yang sedang dikatakan Ilham dan Gus Faiz di dalam.
“Lo suka sama adek gue, Is?” tanya Ilham.
“Suka.” kata Gus Faiz.
Linda menggigit bibir. Rasanya dia ingin berteriak. Dia memegangi dada, memerika degup jantungnya. Linda buru-buru pergi masuk ke kamar yang cukup jauh dari kamar Ilham. Dia sangat bahagia.
Bang Faiz suka sama gue! Gue janji, Bang. Gakpapa deh gue gak jadi satu pondok sama lo. Gue janji bakalan jadi anak alim di pondok orang tua lo. Gue bakalan jadi calon istri paling sempurna buat lo. –batin Linda.
Linda terkikik sendiri, dia masih SMP namun pemikirannya sudah sampai tahap menikah. Memikirkan umurnya, Linda tertawa lagi.
Linda yang sempat ragu karena misinya gagal untuk membuat dia masuk pesantren yang sama dengan Gus Faiz, kini seakan mendapat pencerahan baru dan cita-cita baru. Dia merasa dunia sedang berpihak padanya, awalnya hanya ingin berdekatan dengan Gus Faiz dengan masuk pesantren itu, akhirnya akan masuk ke pesantren keluarga Gus Faiz.
“Bukan itu maksud gue, Malih. Maksud gue lo cinta gak sama adek gue?” tanya Ilham.
“Tidak. Adikmu baik tapi saya tidak mencintainya.” jawab Gus Faiz.
Di satu sisi Ilham mengasihani adiknya namun di sisi lain dia merasa lega karena masih punya peluang menjodohkan Gus Faiz dengan Nindy.
“Sebentar lagi Azan Zuhur, ayo ke Masjid!” kata Gus Faiz.
Gus Faiz berdiri dan meletakkan stik PS Ilham lalu mulai beranjak. Ilhampun mengikuti langkah Gus Faiz. Semenjak bertemu Gus Faiz, sedikit demi sedikit Ilham banyak mengalami perubahan. Salah satunya jadi rajin salat.
Setelah mengikuti salat jemaah di Masjid, telepon Ilham berbunyi.
“Ham!” teriak suara di sebrang sana, Nindy, dengan panik.
“Kenapa, Nin?” tanya Ilham panik.
“Gue ke rumah lo ya? Urgent banget!” seru Nindy.
“Ke rumah gue? Yaudah-yaudah gue balik sekarang.” kata Ilham.
"Yaudah cepet, gue udah deket banget!" seru Nindy.
"Oke-oke." kata Ilham langsung mematikan sambungan telepon
Ilham menatap Gus Faiz. Sebetulnya ini peluang Nindy bisa bertemu Gus Faiz. Namun, Ilham sadar Gus Faiz tak mau bertemu dengan Nindy. Walau begitu, untuk memastikan, dia berniat kembali mengajaknya.
“Balik yuk, Nindy mau ke rumah.” kata Ilham.
“Saya ke rumah Akbar saja.” kata Gus Faiz.
“Yaudah, nih, pake aja motor gue. Gue balik duluan ya, Assalamualaikum.” kata Ilham sambil memberikan kunci motor dan langsung berlari pulang ke rumahnya.
Jarak antara Masjid dengan rumah tidak terlalu jauh namun tidak terlalu dekat. Karena Ilham mengajak naik motor jadi Faiz menurut.
“Waalaikumussalam wa rahmatullahi wa barakatuh.” jawab Gus Faiz.
Di jalan menuju parkiran Gus Faiz mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Akbar. Namun, tiba-tiba seseorang menabraknya hingga ponselnya terlempar jauh dan rusak.
Bukan hanya ponselnya, ponsel penabrak pun tak kalah naasnya. Ternyata yang menabrak Gus Faiz adalah seorang gadis. Gadis itu memungut ponselnya cepat, hingga semua rambutnya terjulur ke depan.
“Aduh. Sorry Mas. Sorry. Aduh gimana ya. Saya lagi buru-buru banget. Aduh, saya nggak bawa uang cash. Aduh.” kata seseorang menabrak Gus Faiz.
Gus Faiz tidak bisa melihat wajah gadis yang sudah menabraknya karena rambut lurus gadis itu menutupi wajah cantiknya.
“Iya tidak apa-apa. Pergilah.” kata Gus Faiz.
“Terima kasih, Mas. Saya janji saya akan ganti rugi.” kata perempuan itu sambil memengang kedua pipi Guz Faiz, lalu langsung berlari pergi.
Gus Faiz hendak protes namun gadis itu sudah berlari sangat jauh. Dia memegangi pipinya. Ntah mengapa pipinya menghangat. Ini kali pertamanya ada seorang perempuan yang bukan Uminya berani menyentuh pipinya.
Gus Faiz memandangi gadis itu. Meski sudah jauh, gadis itu menyadari kalau Gus Faiz memperhatikannya dari belakang. Gadis itupun berbalik, mengangkat tangannya sambil melambai, dan membuat tanda hati dengan menyatukan jari telunjuk dengan jempol, di kedua tangannya.
Gus Faiz tidak mengerti lambang tangan itu. Pemikirannya tidak sampai hati.
Gadis itupun berbelok ke sebuah gang. Dan hilang.
Gus Faiz mengambil ponselnya yang sudah naas tak berbentuk. Dia merakit ponsel tersebut agar menyatu, lalu memasukkannya ke dalam kantong.
Sebaiknya saya pergi ke rumah Akbar terlebih dahulu. –batin Faiz.
***
Visual Gadis Tirai
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Momy Haikal
cantik bgt 😍😍😍
2023-01-11
0
Akhmad Khumaedy
cantik pol
2021-08-29
0
Puji Rahayuningsih
penasaran
2021-08-26
0