Beyond Blessed
“Lo nggak mau ketemu dulu, Is? Temen gue cantik parah. Asli potong kuping gue kalo gue bohong. ” seru Ilham kepada Faiz.
“Saya tidak pacaran, Ham.” kata saya.
Namanya Muhammad Faiz Al Ghifari. Dia biasa di panggil Faiz. Dia kini tinggal di salah satu pesantren milik teman ayahnya yang ada di Jakarta. Hari ini adalah hari liburnya di pesantren. Jadi, dia memilih untuk pergi ke rumah salah satu sahabatnya, Muhammad Ilham Ramadhan, yang biasa di panggil Ilham.
Sebetulnya, orang tua Faiz juga memiliki pondok di pedalaman Jawa. Alasan Faiz tidak ‘nyantri’ di sana adalah karena Faiz tidak mau diistimewakan di pesantren ayahnya itu. Dia mau mendapatkan perlakuan yang sama seperti santri-santri lain, hal ini pasti sulit didapatkan bila dia tetap berada di pesantren ayahnya yang biasa ia panggil Abah.
***
“Abah, Umi, bolehkah Faiz meminta satu permintaan?” kata Faiz.
Sekarang Faiz dan kedua orang tuanya sedang berada di ruang keluarga. Abah dan Umi yang mendengar pertanyaan anaknya langsung memfokuskan perhatian mereka ke arah Faiz. Faiz kecil menelan ludah. Dia benar-benar tidak mengerti apakah yang akan disampaikannya ini akan membuat kedua orang tuanya sedih atau tidak. Namun, satu keyakinan di hatinya terus menyuara untuk meneruskan apa yang hendak dikatakannya.
“Ada apa, Nak?” tanya Umi sambil membelai putra semata wayangnya dengan penuh kasih-sayang.
Faiz meremas ujung bajunya cemas.
“Boleh, Faiz pindah pesantren?” tanya Faiz.
“Lho, memang kamu ada masalah apa, Nak?” tanya Umi.
Abah memilih diam, mendengarkan percakapan antara Faiz dan istri tercintanya. Faiz melirik wajah Abahnya. Mencoba membaca situasi. Namun, yang ditemukannya hanyalah raut wajah ayahnya yang sedang menanti jawaban atas pertanyaan Uminya.
“Tidak ada, Umi. Hanya saja, Faiz merasa semakin tidak nyaman di sini.” kata Faiz. Dia merutuki kata-katanya dalam hati.
Melihat wajah cemas Uminya, dia buru-buru melanjutkan, “Bukan karena santri atau ustaz di sini memperlakukan Faiz dengan buruk, Umi. Sungguh. Justru mereka sangat baik pada Faiz dan selalu mengistimewakan Faiz, namun karena hal ini Faiz menjadi tidak nyaman.” Kata Faiz.
Faiz menunduk. Dia adalah anak yang sangat baik, tidak pernah membantah atau melawan kedua orang tua, dan tidak pernah meminta apapun kepada orang tuanya. Ini adalah kali pertama dia meminta permintaan kepada orang tuanya. Meski masih kecil, Faiz tidak pernah muluk-muluk meminta ini dan itu seperti anak seusianya pada umumnya.
“Biar nanti Abah yang bicara pada ustaz-ustazmu.” kata Abah.
Faiz menggeleng. “Mohon maaf Abah, bukan maksud Faiz menentang Abah. Namun, menurut Faiz selama Faiz masih di sini dan semua orang tahu kalau Faiz anak Abah, tidak akan merubah keadaan. Faiz mohon Abah, pindahkan Faiz ke tempat yang jauh, tempat yang tidak ada seorangpun yang mengenal Faiz. Faiz ingin mengukur kemampuan Faiz secara murni.” kata Faiz.
Faiz adalah anak yang pandai. Dia pendiam, namun sekalinya berbicara bahasa yang digunakan begitu teratur hingga kadang mengalahkan orang dewasa yang ketika berbicara, struktur kalimatnya tidak jelas dan berantakan.
“Bagaimana ini, Abah?” tanya Umi kepada Abah.
“Kamu serius, Nak?” tanya Abah.
Mendengar pertanyaan Abah, Faiz langsung mendongak dan mengangguk mantap.
“Seorang anak laki-laki harus berani memegang kata-katanya. Abah tanya sekali lagi, kamu serius mau pindah ke pesantren yang jauh dari sini?” tanya Abah.
“Iya, Abah. Faiz serius. Insyaallah, Faiz akan belajar dengan rajin, tidak akan menjadi anak nakal, dan tidak akan mempermalukan Abah selama di pesantren itu.” kata Faiz.
Melihat tekad yang kuat dari putranya. Abah tersenyum. Jujur dalam hati Abah begitu bangga kepada putranya. Ketika banyak orang yang begitu bangga dan nyaman saat diistimewakan, putranya justru tidak menginginkan itu walaupun secara objektif sebetulnya Faiz memang benar-benar anak yang istimewa dan patut dibanggakan.
Umi memeluk anaknya. Air matanya menetes.
***
“Sumpah, gue nggak nyuruh lo buat pacaran sama temen gue.” kata Ilham.
“Lalu apa? Bukannya kamu minta saya bertemu dia dan menjalin hubungan dengan dia?” tanya Faiz.
Telak. Berdebat dengan Faiz sepertinya tak akan membuahkan hasil. Ilham terdiam dengan raut frustasi. Ilham seumuran dengan Faiz. Sekolah Ilham berdekatan dengan pesantren Faiz. Namun, Ilham selalu mengatakan pada keluarganya kalau Faiz adalah teman sekolah.
Belakangan ini, Faiz memang terus-terusan di terror Ilham untuk bertemu dengan sahabat Ilham. Meski berulang kali Faiz mengatakan kalau dia tidak mau bertemu dengan gadis itu, namun Ilham tetap saja mengatakan kalau Faiz harus bertemu dengan sahabatnya itu.
Faiz adalah anak pesantren. Seorang santri yang taat tentu tidak tertarik dalam hal pacaran. Karena baginya selain dalam islam tidak ada istilah pacaran sebelum menikah, diapun merasa pacaran itu hanya mendekatkan diri kepada zina. Tentunya, zina termasuk perbuatan yang tidak di sukai Allah SWT.
“Ya, lo liat aja gitu dulu. Ntar-ntarnya terserah lo dah.” kata Ilham.
“Saya lebih baik kembali ke pesantren.” Kata Faiz, malas menanggapi Ilham lebih jauh.
“Gak asik lo, Is.” kata Ilham.
“Lagian, kenapa tidak kamu pacari saja dia.” kata Faiz.
“Dia sahabat gue, udah gue anggep sebagai adek gue sendiri. Rasa sayang gue ke dia sama kayak rasa sayang gue ke Linda. Mana mungkin gue pacarin adek gue sendiri?” kata Ilham.
“Memang ada ya, persahabatan murni antara laki-laki dan perempuan?” tanya Faiz.
Ilham terdiam. Kali ini Ilham tak bisa berkata-kata. Dalam hati ia membenarkan perkataan Faiz. Lagi-lagi dia kalah berdebat dengan Faiz. Ilham menghempaskan tubuhnya ke sofa.
“Eh, ada Nak Faiz.” sapa Yeni pada Faiz.
Faiz mengangguk.
Yeni adalah Ibu Ilham. Beliau adalah sosok yang baik hati dan selalu baik pada siapa saja, terlebih Faiz. Bagi Yeni, Faiz adalah sosok putra idaman setiap orang tua. Dia begitu tampan, sopan, dan cerdas. Selain itu Faiz juga taat beragama. Yeni selalu mendukung anak-anaknya untuk berkawan dengan Faiz.
“Aaron pulang!” teriak Aaron.
Aaron adalah adik kembar Ilham. Ilham memiliki dua adik yang satu bernama Aaron, dan yang satu lagi bernama Linda. Aaron bisa dikatakan sebagai kembaran Ilham, karena mereka hanya berbeda satu hari saat dilahirkan. Meski kembar, wajah Ilham dan Aaron tidaklah sama. Wajah Ilham hampir sempurna mengikuti ibunya sedangkan Aaron berwajah gabungan antara ibu dan ayahnya.
“Aduh, anak Mama. Mbok ya kalo masuk salam dulu, tho. Contoh itu Nak Faiz.” kata Yeni sambil menjewer telinga anaknya.
“Aduh, sakit, Ma.” kata Aaron sambil memengangi telinganya. Yenipun melepaskan tangannya dari kuping Aaron.
“Salam dulu, coba!” kata Yeni.
“Iya, Ma. Assalamualaikum.” salam Aaron dengan terpaksa.
“Waalaikumsalam.” semua orang menjawab salam Aaron. Hanya jawaban salam Faiz terdengar lebih panjang.
“Emang enak lo! Hahahaha.” seru Ilham yang senang melihat adiknya tersiksa.
Diam-diam Aaron mengacungkan jari tengah pada Abangnya tanpa sepengatahuan Yeni. Namun, sebenarnya bila Yeni melihat pun, rasanya Yeni tak akan mengerti maksud jari tengah yang dimaksudkan Aaron sebagai umpatan.
“Wah, Ma. Parah, Ma.” Ilham sengaja ingin mengadukan kelakuan adiknya.
“Aaron ada PR, ke atas dulu ya, Ma.” kata Aaron sambil mencium pipi Yeni, lalu buru-buru lari ke atas.
Sebelum lari Aaron melirik Faiz. Pandangannya tak menyatakan kalau dia suka melihat Faiz. Faiz yang merasa tatapan Aaron berbeda padanya, tak begitu memperdulikan. Dia memang seperti itu. Tak banyak bicara. Dia lebih menyukai diam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Maulana ya_Rohman
langsung lompat sini thor😆
2022-07-29
0
Kendarsih Keken
Hadir thorrr , mampirrr
2022-01-10
0
Atik Karyati
baru baca kalau ada kembar beda sehari...nggak salah ?
2021-11-22
0