Dari balik pintu, Linda mengintip melihat siapa yang datang ke rumahnya. Melihat ada sahabat tampan abangnya yang bernama Gus Faiz, dia buru-buru lari ke mobil ayahnya dan mengaca di sana. Dia merapikan rambut dan pakaiannya. Setelah dirasa oke, diapun mulai masuk ke dalam rumah.
“Assalamualaikum.” salam Linda dengan suara yang disengajakan lembut.
“Waalaikumsalam.” semua orang menjawab.
“Tumben kamu salam dulu, Sayang?” tanya Yeni.
Faiz kini sibuk dengan ponsel jadulnya. Tak begitu memperhatikan apa yang terjadi. Dia memang masih bisa mendengar percakapan antara ibu dan anak itu, hanya saja Faiz tidak berniat untuk menimbrung.
Linda melirik Faiz. Dalam hati dia merutuki ibunya yang tidak mengerti arti sikapnya.
“Hehehe. Biasanya juga begini kan, Ma?” tanya Linda. Meski kata-katanya ditujukan kepada Ibunya namun mata Linda terus mengarah pada Faiz.
Lindapun berjalan ke arah Ilham, kakak tertuanya.
“Bang..” kata Linda mengulurkan tangan.
“Minta ama Mama ahela, Abang lagi gak ada duit.” kata Ilham.
“Ih, Bang Ilham, akukan mau salim.” kata Linda.
“Lha, tumben amat.” kata Ilham sambil mengulurkan tangannya.
“Sttt, Abang!” kata Linda, berbisik sambil melirik Gus Faiz.
Linda buru-buru mencium tangan kakaknya.
“Buseh, adek gue genit amat.” kata Ilham.
Linda terus mengisyaratkan Ilham untuk diam. Linda menghampiri Gus Faiz, lalu mengulurkan tangan. Faiz menatap tangan itu lalu beralih ke Ilham.
“Dia minta salim.” kata Ilham.
Alih-alih mengambil uluran tangan Linda, Ilham hanya menyatukan tangannya di depan dada. Lalu kembali berkutat dengan ponsel.
“Udah tau temen gue super alim, masih aja ganjen.” kata Ilham tanpa memperdulikan perasaan Linda.
Linda melotot kepada Ilham sambil mengepalkan tangan. Mengancam untuk memukulnya kalau Ilham tidak mau diam. Linda buru-buru menurunkan tangannya dan tersenyum saat Faiz meliriknya.
“Nak Faiz..” panggil Yeni.
Faiz meletakkan ponselnya di atas meja lalu menoleh ke arah Yeni.
“Iya, Tante?” tanya Faiz.
Tanpa disuruh, Linda langsung duduk di samping ibunya. Kini Yeni berada di seberang Faiz sedangkan Linda berada di sebrang Ilham.
“Kata Ilham, Nak Faiz pesantren ya?” tanya Yeni.
“Iya, Tante.” jawab Faiz.
“Begini, Nak Faiz. Ini Linda minta masuk pesantren juga. Kira-kira menurut Nak Faiz baiknya Linda masuk pesantren mana ya?” tanya Yeni.
“Memang mau yang dekat atau jauh, Tan?” tanya Faiz.
“Yang jauh saja, Nak. Kalau bisa di pedalaman. Agar dia tidak cepat minta pulang.” kata Yeni.
“Lho, Ma. Tap-tapi..” Linda protes.
***
Linda mendekati sang ibu, Yeni, yang sedang asyik menonton film azab di salah satu stasiun televisi di ruang tengah.
“Ma.” panggil Linda.
“Iya, Sayang?” tanya Yeni. Matanya masih terfokus pada film azab.
“Kualat baru tau rasa kamu tong. Nyolong kotak masjid masuk neraka!” teriak Yeni, mengomentari film azab yang sedang ditontonnya.
Tak ubahnya ibu-ibu di luaran sana, Yeni juga termasuk ibu-ibu yang suka berteriak mengomentari film atau senetron yang di tonton, gregetan.
“Mamamah. Udah matiin dah.” kata Linda.
“Eh, jangan. Lagi seru!” seru Yeni. Sambil menyembunyikan remot.
*Linda terkekeh melihat sikap ibunya. Benar-benar ajaib. Linda pun terdiam.
Linda gelisah. Dia ingin mengatakan sesuatu pada Yeni. Namun, dia begitu bingung harus memulainya dari mana. Selain itu, Lindapun tidak tahu apakah ini waktu yang tepat untuk mengutarakan* keinginannya atau tidak.
“Ma, Linda mau pesantren dong.” kata Linda pada ibunya.
Mendengar kata-kata anaknya, Yeni menoleh.
“Lho, kenapa tiba-tiba mau masuk pesantren?” tanya Yeni bingung.
“Ya, nggakpapa, Ma. Aku pengen bisa ngaji.” kata Linda.
“Bener, kmau mau masuk pesantren?” tanya Yeni.
“Iya, Ma. Mama nggak mau apa anaknya pinter ngaji, salatnya rajin, terus jadi anak salihah?” kata Linda.
Yeni menatap Linda dengan serius. Dia mencari keseriusan dari mata anaknya. Linda, yang ditatap balas menatap mantap.
Memang sedari dulu, diam-diam Yeni memiliki keinginan untuk memasukkan anak-anaknya ke pesantren. Namun, karena takut anak-anaknya tidak mau dan perasaan masih belum bisa jauh dari anak-anaknya, iapun mengurungkan niatnya.
“Mama nggak mimpi kan?” tanya Yeni.
“Nih.” Linda langsung mencubit ibunya.
“Heh, sakit.” kata Yeni.
Linda tertawa. Melihat ibunya mengomel.
“Boleh ya, Ma?” kata Linda lagi.
“Nanti Mama bilang Papa dulu ya, lagian Mama juga gak tahu pesantren yang bagus di mana.” kata Mama.
Mendengar kalimat yang terlontar dari mulut sang ibu, Lindapun tersenyum penuh hati. Dia tentu tahu kalau ibunya pasti akan mengatakan hal demikian. Karena perkiraannya itu, dia sudah mempersiapkan jawaban.
“Ngapain tanya Papa, Ma?” kata Linda. Otak liciknya mulai jalan.
“Terus Mama harus tanya siapa dong?” tanya Yeni.
“Tanya temannya Bang Ilham aja, Ma. Itu lho.” kata Linda.
“Teman Ilham? Siapa? Akbar?” tanya Yeni.
“Waduuuh, Bukan, Ma. Diamah mana ngerti pesantren-pesantren.” kata Linda.
“Terus siapa?” tanya Yeni.
“Faiz, Ma.” kata Linda.
“Faiz?” tanya Yeni.
Linda mengangguk semangat.
"Faiz bukannya teman sekolah Ilham?" tanya Yeni.
"Dia diem-diem meski satu sekolah sama Bang Ilham, tapi dia pesantren, Ma." kata Linda.
"Oh, pantas, dia sopan sekali anaknya." kata Yeni.
"Iyamah. Tanya dia aja ya, Ma." kata Linda.
“Oke. Nanti Mama tanya dia deh kalau ke sini.” kata Yeni.
“Yeay, terima kasih, Mama.” kata Linda, seraya mencium pipi ibunya.
***
“Kalau bisa, Nak Faiz. Linda kan anak perempuan tante satu-satunya. Jadi, tempat yang Kyainya kamu kenal saja, biar tante bisa tenang.” kata Yeni.
“Lho, pesantren, Ma?” tanya Ilham.
Dia baru tahu. Kalau Linda minta dimasukkan ke pesantren.
“Iya, Sayang. Linda minta sendiri ke Mama.” kata Yeni.
“Hebat juga, Lo.” kata Ilham kepada Linda.
“Iyalah, Linda. Calon anak salihah ya, Ma.” kata Linda, sambil melirik-lirik Faiz.
Yeni hanya tersenyum menanggapi. "Amin."
“Gimana, Nak?” tanya Yeni pada Faiz.
“Kalau mau, bisa masuk ke pesantren milik Abah saya.” kata Faiz.
Keluarga Yeni sangat baik padanya. Jadi, Faiz merasa harus sedikit membantu Ibu sahabatnya itu. Lagipula pesantren Abahnya termasuk pesantren yang sangat bagus dan hampir setiap lulusan-lulusannya selalu menjadi, ‘orang’. Namun, ya balik lagi kepada pribadi masing-masing.
Setidaknya lebih banyak yang berhasil setelah keluar dari pesantren Abahnya Faiz.
“Lho, Nak Faiz anak Pak Kyai?” tanya Yeni.
Faiz hanya tersenyum mengangguk.
“Waduh, Nak. Kami harus panggil kamu Gus.” kata Yeni.
“Panggil Faiz saja tidak apa-apa, Tante.” kata Gus Faiz.
“Lo serius, Is? Kok lo nggak kasih tau gue kalo lo anak Kyai?” tanya Ilham.
“Untuk apa saya beri tahu kamu?” tanya Faiz.
“Iya dah, kalah mulu guemah.” Kata Ilham.
Melihat Ilham yang tidak bisa menjawab pertanyaan Faiz membuat Yeni dan Linda tertawa. Mata Linda terus tertuju pada Faiz. Bukan, Gus Faiz.
“Wah, mimpi apa tante ya, sampai temannya anak tante anaknya Kyai yang punya pondok.” kata Yeni.
“Dek!” teriak Ilham pada Linda.
Linda menoleh ke arah Ilham.
“Mingkem. Jangan mupeng begitu.” kata Ilham, jahil.
“Ih, Abang. Ngeselin banget sih!” teriak Linda.
“Hahahahaha.” Ilham tertawa.
Dalam hati Ilham tahu persis kalau adiknya menyukai Gus Faiz dengan sepenuh hati. Namun, dia merasa ada yang lebih membutuhkan Gus Faiz dibandingkan dengan adiknya.
Sorry, Lin. Gue emang jahat sama lo. Gue tau lo suka sama Faiz tapi gue tetep pengen nantinya Gus Faiz sama Nindy. –batin Ilham.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Maulana ya_Rohman
mantap pemikiran ilham👍👍👍👍👍👍
2022-07-29
0
Musdalifah
abis baca penjara suci lanjut ke sini 😊😊😊
2022-01-26
0
Kendarsih Keken
nyimakkk ajaaa dollooo
2022-01-10
0