.....
“Nak bangun nak! Nak? Oi?”
Samar-samar aku mendengar suara seseorang.
Dengan pelan aku membuka mataku.Di depan ku yang terbaring, terlihat seorang pria paruh baya sedang membangunkanku.
Aku menatapnya lalu mengalihkannya keatas langit.
Warnanya jingga, dan agak sedikit kemerah-merahan.
Sudah sore kah...
Aku kembali menatap pria itu yang terus mencoba untuk berbicara padaku.
Melihat aku yang tersadar, wajahnya menggambarkan perasaan yang lega.
“Nak kenapa kau tidur ditempat seperti ini?
Dan dari mana asalmu?”
Ingin ku jawab pertanyaan itu, tapi karena terlalu lelah dan lapar aku cuma bisa memandangi pria itu.
Singkat cerita, aku dibawa oleh beliau.
Dengan menggunakan kereta kuda, aku duduk di belakang dekat barang-barang sambil di beri makan dan minum.
Jujur.... Yang aku harapkan tadi itu mobil, bukan kereta kuda.
Meski begitu, aku terselamatkan berkat kehadiran beliau yang mau memberikanku tumpangan.
Agak sedikit aneh bagiku, sudah sangat lama aku tidak melihat kendaraan ini beroperasi. Namun sekarang aku menemukan satu kereta kuda yang kelihatannya masih terawat baik. Bahkan aku merasa kalau kereta kuda ini masih dipakai untuk kegiatan sehari-hari.
Beliau juga memberikanku beberapa makanan.
Ya makanan... walau makanan ini terlihat aneh.
Seperti roti tapi bukan roti.
Yup... Makanan ini punya tekstur yang aneh, keras seperti ban dalam sepeda motor (jangan berpikir kalau aku pernah memakan itu, ok? ini hanya perumpamaan).
Dan juga... Hambar.
Aku tak punya pilihan lain selain memasukan semua itu kedalam perutku meski harus menelannya bulat-bulat.
Suasana hening mengiringi perjalanan kami. Hanya suara tapak kuda yang mendominasi kehadiran saat ini.
Ngomong-ngomong, paman itu berada didepan kereta kuda sembari mengendarainya.
Waktu terus berjalan bersama kami. Tanpa terasa warna jingga yang tadi menguasai langit telah tertutup sepenuhnya oleh gelap malam dan tumpahan cahaya bintang.
Aku masih sedikit memikirkan tentang Rina, entah wajah apa yang akan aku tampilkan saat bertemu dengannya.
Apa yang harus aku lakukan dengan semua ini? Aku benar-benar telah merusak liburan kami. Padahal sudah sangat lama kita berlibur bersama, gumamku dalam hati.
Perasaan bersalah terus bersarang, aku akan bersyukur jika ada mesin pemutar waktu di dekatku saat ini. Semuanya ingin ku ulang, aku ingin menolak ajakan Dino dan berakhir melanjutkan tontonanku depan laptop.
Lagi pula, sekarang aku ada dimana? Semua yang kulihat terasa asing bagiku.
“Anu.... Nak, Apa kau baik-baik saja?” tanya paman dari balik kemudinya.
Nampaknya paman ini masih sedikit khawatir denganku.
“Ehm... Ya aku baik-baik saja, hehe terimakasih paman buat makanannya (walaupun enggak enak makanannya)” sahutku sambil merasa bersalah sudah sedikit mengeluh.
“Yah sama-sama, tapi maaf aku cuma bisa memberimu beberapa roti. Jujur aku sedikit khawatir tentang keadaanmu, dari tadi kau hanya diam sampai malam begini. Aku pikir kau tidak sadarkan diri lagi.”
Ah... ternyata tadi benar roti tah?
“Ah tidak paman, aku cuma menikmati suasana malam saja, dan selebihnya aku baik-baik saja.”
Tidak seperti itu... Aku hanya sedang memikirkan beberapa hal yang mengganjal perasaanku. Dan juga aku bukan tipe orang yang akan memulai sebuah pembicaraan dengan orang lain. Sedikit malu? Entahlah... tidak mudah bagiku untuk melakukan itu.
“Ngomong-ngomong nak, apa yang kau lakukan dipadang Zavira?”
Padang Zavira? Ah padang rumput tadi kah?
Aku baru tahu ada yang namanya padang Zavira di daerah Wonosobo.
Tunggu sebentar, emang benar ada kah padang rumput seluas itu di daerah dekat pegunungan Dieng?
Setahuku, pegunungan Dieng tidak memiliki padang rumput seperti itu... Tapi masa iya terbawa arus sampai ke daerah lain? Kalau benar begitu, pastinya aku sudah mati.
“A-aku tenggelam di sungai dan hanyut sampai padang rumput itu.”
“Hanyut dalam sungai?!”
Paman itu entah kenapa terkejut dan menatapku dari depan kereta kuda.
“I-iya seperti itu, kaki ku terkilir dan aku hanyut dalam sungai.”
Dengan wajah paman yang terheran-heran entah kenapa, dia seperti tak punya pilihan lain untuk percaya kepadaku karena aku terlihat tidak berbohong sama sekali.
“Se-seperti itu kah? Y-ya mulai sekarang lebih berhati-hatilah... Dan bersyukurlah kau masih hidup.”
“Y-ya.”
Apa yang aku jelaskan adalah hal yang benar-benar terjadi. Jadi aku menjawabnya dengan seadanya.
Aku benar jatuh dan hanyut di sungai karena kaki ku terkilir-
Eh?
Loh kok bisa?!
Kakiku tidak terasa sakit sama sekali... Da-da-dan aku sama sekali tidak sadar tentang ini?!
Benar juga, tadi aku berjalan sangat jauh, seharusnya aku merasakan sakit di pergelangan kaki.
Tapi kok bisa aku tidak merasakan apapun? Apa aku sembuh? Atau aku hanya berhalusinasi tentang kaki yang terkilir?
Tunggu sebentar! Aku yakin aku terkilir, lalu kenapa sekarang sembuh?!
Keringat dingin mulai menetes dari keningku yang sedang memikirkan apa yang sedang terjadi sebenarnya.
Ini aneh!
“Oh ya nak, sebentar lagi kita akan sampai Kota Lexa, dan aku akan beristirahat disitu... Jadi, ehmm.... sepertinya aku hanya bisa memberikan tumpangan sampai kita tiba di kota."
“Ah... oke paman-
-Eh?!”
Kota apa dia bilang? Lexa? Kota Lexa?
Dimana Kota Lexa berada? Aku baru mendengar ada kota bernama Lexa di sekitar Dieng.
“Ada apa nak? Suaramu tadi seperti kau baru saja terkejut?”
“Ehhh.... Itu.... Apa, tadi apa nama kotanya?”
“Kota Lexa.”
“Kota Lexa?!”
“Iya Kota Lexa, ada apa nak?”
“Eh eng- enggak ada paman, hanya sedikit terkejut aja.... Ngomong-ngomong, dimana itu?”
Lanjutku bertanya mencari tahu.
“Itu di depan... Bentar lagi kita sampai.”
BUKAN ITU MAKSUDKU!
Aku hanya ingin tahu dimana kota Lexa berada?! Di kabupaten mana dan provinsi mana?! Atau sebelah mananya kota Wonosobo?!
Tapi sayang aku tidak bisa bertanya sambil teriak seperti itu pada paman baik hati ini.
Aku coba mengingat tentang Kota Lexa berada, tapi di dalam memoriku aku tidak menemukan nama kota atau daerah yang bernama Lexa didekat pegunungan Dieng. Jangankan Dieng, di pulau Jawa pun tidak ada kota dengan nama seaneh dan seasing itu.
Ada apa ini?
Dimana aku?
“Nak, oi nak.”
“Huh?! Heh?!”
Panggilan paman menyadarkanku yang sedang bergumam sendiri sambil memegangi kepalaku.
“Ada apa paman?”
“Ah tidak, aku cuma ingin tahu... Mungkin ini terlambat untuk bertanya, tapi... Dari mana kau berasal dan mau kemana?”
“Dari Semarang mau ke Wonosobo” balasku cepat.
“Apa? Darimana?”
“Semarang.”
"Semarang?"
"Iya.. Semarang."
“Dimana itu?”
“Eh?!”
“Huh?”
Kami terdiam saling pandang. Kereta kudanya pun mendadak berhenti dan diam seketika.
Lalu suasana jatuh pada kesunyian yang cukup dalam.
Tidak, ini terlalu sunyi sampai aku bisa mendengar detak jantungku.
Keringat dingin mulai mengalir deras dari keningku. Aku hanya bisa menerka-nerka tentang apa yang sedang terjadi saat ini.
Otakku bekerja sangat keras untuk memikirkan tentang hal ini. Mencari jawaban tepat untuk menjelaskan situasi absurd yang menimpaku. Sebuah kesimpulan dari pemikiran gila mendadak hadir dalam benak.
Meskipun sangat tidak masuk akal, hanya ini jawaban yang bisa menjelaskan semua hal yang aku alami.
Mustahil... Itu mustahil!
Beberapa kali aku pikirkan itu jelas diluar nalarku.
Tidak mungkin sesuatu yang bersifat fiksi dan hanya ada di komik atau anime bisa menjadi kenyataan.
Jawaban itu adalah, aku telah berpindah tempat ke dunia lain.
Dunia lain yang aku maksud disini ada 2 macam.
Dunia Ghaib, dan Dunia Parallel.
Mungkin kalau jawabannya dunia ghaib, itu masih masuk akal karena banyak cerita-cerita dari zaman dulu yang menjelaskan eksistensi dari dunia ghaib. Bahkan banya orang Jawa yang masih mempercayainya.
Disisi lain ada Dunia Parallel
Sebuah dunia yang berbeda dari dunia yang kita tempati. Biasanya itu didalam sebuah cerita fiksi, dunia yang penuh dengan keajaiban. Dunia ini di perkenalkan oleh cerita-cerita fiksi dalam novel yang eksistensinya masih sangat-sangat diragukan.
Jadi tak mungkin sesuatu seperti itu bisa terjadi!
Kata ku sambil meyakinkan diri diiringi senyum masam yang timbul dari wajahku.
Aku mungkin penggemar anime atau komik. Tapi aku tidak pernah sedikitpun berpikiran kalau semua itu nyata.
Nah sekarang, Bagaimana tuk menjelaskan situasi seperti ini?
“Nak, maaf soal ini. Aku tidak tahu apa yang kau katakan barusan. Jadi sebaiknya setelah sampai ke kota kau harus segera memeriksakan diri ke dokter.”
“Hmm... Baiklah paman.”
Sambil tersenyum aku membalas saran paman...
BAIKLAH MATTAMU!!!!
Kau pikir aku gila?! Hah?! Justru semua ini yang terdengar gila! Kau dengar paman?! Hah?!
“..........”
Tentu saja dia tidak mendengarnya, aku hanya berteriak di dalam hatiku. Aku tidak mungkin berkata seperti itu dengan orang yang baru saja kutemui.
Kami pun melanjutkan perjalanan.
Sepertinya paman tidak terlalu memusingkan tentang perkataanku tadi.
Sementara itu, aku masih berpikir keras tentang ini. Dalam hatiku masih ada 60% bagian yang tidak percaya bahwa aku ada di dunia lain.
Namun aku mencoba untuk mengingat-ingat kembali apa yang telah aku lalui. Dan aku juga melihat sekitarku untuk memastikan sesuatu-
"M-mustahil... A-aku berada di dunia lain."
Kali ini sambil menatap langit, aku yakin dan makin yakin setelah melihat pemandangan yang belum pernah aku lihat. Dua buah bulan di langit yang sama.
Satu bulan berwarna merah dan satunya berwarna biru terang.
Aku benar-benar tercengang melihat kenyataan ini. Tanpa ku sadari, aku mencubit pinggulku... Dan itu sakit.
Aku pikir semua itu fiksi dan tidak mungkin terjadi.
Malah apa yang aku pikirkan adalah kenyataan yang aku alami sekarang.
Aku ada di dunia parallel.
Kenapa aku berasumsi jika ini di dunia parallel? Mudah saja, semua ini terlalu nyata, dan sangat nyata jika aku asumsikan ke Dunia Ghaib. Rasa lapar, kenyang, makanan yang keras dan hambar, rasa sakit saat aku mencubit diri sendiri, dan paman yang berwujud manusia normal dengan sangat sempurna seperti manusia pada umumnya.
Dengan guncangan mental yang luar biasa, aku terduduk dengan lemas sambil menundukan wajahku.
Nafasku mulai berat, dan keringat dingin membanjiri tubuhku.
Semua ini sudah jelas, tinggal bagaimananya aku yang akan menerima kenyataan ini.
Hal-hal yang ku alami tadi juga menjelaskan tentang keadaan sekarang.
Dari mulai aku tenggelam di sungai yang deras dan dalam sampai aku bangun di tengah padang rumput yang sangat luas dengan sungai yang beraruskan tenang dan dangkal.
Setelahnya aku menjumpai kereta kuda yang seharusnya sudah tidak ada dizamanku.
Lalu makanan yang disebut roti walau itu lebih mirip dengan kulit hewan yang sudah di keringkan.
Dan terakhir kota yang belum pernah aku dengar namanya.
“Nak kita sudah sampai di depan gerbang, apakah kau punya tanda pengenal atau semacamnya? Para penjaga itu mungkin mengira kau adalah tahanan lepas jika kau tidak memiliki tanda pengenal."
Ditengah lamunanku, paman baik hati ini memberitahukanku tentang tanda pengenal agar aku bisa di ijinkan untuk masuk kedalam kota.
Sayangnya, aku tidak memiliki hal semacam itu. Yang aku miliki di dompeku hanya KTPku dan SIMku. Apakah kedua benda ini bisa di gunakan?
Jelas tidak.
Aku menatap paman itu dan berkata
“Tidak ada satupun, aku cuma membawa kartu pengenalku dari tempat asalku. Aku tidak berpikir itu akan bekerja untuk mereka” jawabku sambil menunjukkan KTPku pada paman.
“Ah...”
Dengan respon yang merasa iba, aku yakin bahwa paman ini serius menganggapku aneh atau gila karena aku membawa benda aneh yang mungkin tidak ada di dunia ini.
Entah kenapa firasatku buruk soal ini. Aku merasa ada di situasi yang gawat.
Sebelumnya juga aku pernah lihat klise ini di beberapa anime, ketika kau tidak memiliki tanda pengenal kau tidak diijinkan untuk masuk ke dalam kota.
Itu artinya aku harus menghabiskan malamku di luar batas kota, atau lebih buruknya aku akan masuk penjara karena di anggap orang asing yang akan membahayakan kota.
Yah, memikirkan aku yang tinggal di penjara.... Sebenarnya itu bukan hal yang terlalu buruk juga sih, karena aku pikir aku akan dapat makan gratis disana...
Meski begitu, aku tetap mempunyai perasaan enggan untuk tinggal di dalam penjara.
.......
Aku menatap paman itu dengan ekspresi putus asa. Dan nampaknya paman mengerti tentang keadaanku.
“Baiklah, kau bisa masuk denganku. Tapi sebelum itu, bisa kau sebutkan dulu namamu?”
“Oh iya, namaku Rosario Ellio.”
“Oke" balas paman itu dengan percaya diri.
Kereta kuda pun berhenti dan aku lihat di depan ada 2 penjaga gerbang dengan baju zirah.
Paman baik hati yang mengetahui penjaga itu langsung turun dari keretanya dan menghampiri mereka.
Sementara aku? Aku terkesima menatap tembok kota yang besar yang membatasi kota.
Perlahan-lahan aku mulai menerima semua ini. rasa cemasku mulai reda dengan melihat pemandangan yang menakjubkan. ini hanya bagian luar kota Lexa, namun semuanya terlalu epic bagiku.
Saat ini, pertama kalinya aku melihat tembok sebesar ini dan seluas ini. Walaupun saat ini malam hari, aku bisa melihatnya dengan jelas seberapa besar tembok itu sambil mengeluarkan kepalaku dari kereta kuda.
Tiba-tiba sesosok pria tinggi kekar berjalan menuju kereta kuda yang aku tempati.
Pria itu menatapku dan aku memberikan senyumku seakan menyapanya.
Setelah itu pria itu kembali ke pos penjaga yang ada di sudut pintu masuk gerbang.
Yah, pria itu salah satu dari penjaga gerbang.
“Ayo nak kita masuk gerbang.”
“Baik paman.”
Kita berdua akhirnya masuk kedalam kota.
Aku sempat berpikir apa alasan yang paman berikan agar aku diijinkan masuk kedalam gerbang.
Ingin aku menanyakannya, tapi tetap saja aku masih merasa sungkan bertanya.
Ah... Aku benci diriku yang terlalu lama menjadi anti sosial.
Sesaat kemudian kami pun berhenti.
“Nak sepertinya hanya sampai sini aku bisa mengantarmu, aku sungguh minta maaf tentang ini... Ehm aku punya beberapa urusan setelah ini, jadi aku tidak bisa mengantarmu lebih jauh lagi.”
Mendengar itu, aku hanya bisa mengangguk iya dan memberinya senyuman.
“Eh paman, aku lupa sesuatu... Dimana aku bisa menjual barang antik di kota ini?”
Dengan memberanikan diriku, aku bertanya soal ini. Aku tidak punya pilihan karena aku butuh uang. Ya kalian tahulah betapa susahnya seorang sepertiku untuk terus berada di sebuah percakapan.
“Ah soal itu... Kau tinggal berjalan lurus dari sini sampai kau bertemu tugu, lalu belok ke kiri. Di situ akan ada toko bertuliskan barang antik.”
“Baiklah kalau begitu. Terima kasih paman!”
“Nah aku pergi dulu yah. Jaga dirimu baik-baik dan jangan lupa untuk pergi ke dokter."
“Oke paman!”
Teriakku sambil melambai kearah paman yang perlahan mulai menjauh.
Paman...
Satu hal yang perlu aku tegaskan...
Aku bukan orang gila.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
FLox
Aku pernah bergumam ketika sedang nulis..
'Ah aku pengen ke dunia lain'
Terus adekku disamping mendengar..
'iya kalau dunia lainnya kayak anime. kalau dunia lain kayak alam ghaib.. kamu mau buat kuntilanak jadi heroine ?'
Lalu aku pikiran ke dunia lain menghilang seketika itu.. :')
2020-10-25
5