Angin yang menerpa lembut, ditambah suasana asri pegunungan, dan suara air yang mengalir menjadi perpaduan yang sungguh menenangkan hati kali ini.
Kami memilih salah satu curug untuk beristirahat melepas penat atas kegiatan sehari-hari kami yang membosankan.
Bersama Dino dan 4 orang lainnya, kami menikmati suasana nyaman ini dengan duduk di bibir sungai.
“Eh main air yuk!” celetuk seseorang diantara kami.
Yup.. Itu Rina
Salah satu teman (?) wanita yang ikut bersama kami.
Aku ragu menyebutnya sebagai temanku. Dia tidak terlalu akrab denganku sewaktu SMA.
Hanya sebagai teman kelas...
Ngomong-ngomong ada 2 wanita lain yang ikut bersama kami. Dan...
Mereka juga salah satu alasanku untuk ikut berlibur kali ini.
Ayolah... Aku hanya penasaran, seberapa cantik Rina saat ini.
Saat SMA dulu dia benar-benar jadi primadonanya kelas kami.
Jadi aku sedikit bersemangat tentang liburan kami ketika Dino membisikan sesuatu tentang Rina kepadaku.
Seperti yang aku duga, dia melebihi ekspetasiku sekarang.
Wajahnya yang semakin dewasa, cantik, namun tidak kehilangan sisi keimutannya...
Ditambah tubuhnya yang... Ehem...Mueheheheheh.
Aku sampah seriusan.
........
“Hey, bisa enggak berhenti ngeliatin gitu?!”
Eh?!
Suasana mendadak menjadi tegang. Tatapan semua orang tertuju kepadaku.
“Eh maaf Rin, Bu-bukan gitu.... Eh.”
Suaraku tak mau keluar. Aku tergagap menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Rina.
Aku sadar, ini salahku karena menatapnya dengan tatapan yang kurang mengenakan.
Tak pernah terlintas di benakku kalau dia akan menegur secara terang-terangan.
Semuanya menjadi terasa sangat sunyi, meski begitu aku merasakan semua mata sedang tertuju padaku.
Sambil aku mencoba untuk menjelaskan pada Rina, yang aku lakukan hanya tambah memperburuk suasana. Aku yang hanya tertunduk dan tak berkata apapun, menegaskan bahwa memang itu adalah salahku...
Suaraku tertahan di ujung tenggorokanku.
Udara yang tadi terasa menyejukkan, berubah menjadi sangat berat dan menyakitkan.
Perlahan aku mengangkat wajahku dan mencoba untuk melirik Rina.
Alih-alih penasaran, aku melihat Rina menatapku dengan kesal dan sambil bergumam.
(Jijik)
Tidak ada orang yang mendengar apa yang di katakan Rina barusan.
Namun aku tahu persis itu yang ia katakan.
Satu kata, meski begitu itu cukup untuk membuat suasana hatiku kacau.
Ah.... Aku tahu akan menjadi seperti ini akhirnya.
Tapi aku tidak menduga akan jadi secepat ini aku membuat kesalahan.
Aku pun mengambil sebungkus rokok milikku dan memilih pergi dari tempat kami bersantai.
Sungguh tidak sanggup aku menahan malu.
Rasanya aku ingin pulang dan masuk kedalam selimutku untuk waktu yang lama.
“Rio!”
Sambil ikut berdiri Dino memanggilku seakan dia ingin menegaskan bahwa tidak ada yang perlu di permasalahkan.
“Aku cuma mau jalan-jalan bentar kok” jawabku sambil tersenyum dan pergi.
.......
Cukup jauh aku berjalan, anehnya aku tidak merasakan lelah pada tubuhku.
Otakku dipenuhi pikiran tentang bagaimana mana aku harus menyelesaikan masalah ini.
Mungkin itu yang membuatku tidak merasakan lelah.
Aku berjalan menelusuri hutan. Dengan sebatang rokok di mulut, aku mencoba untuk meredam rasa sesak di dadaku karena perkataan Rina tadi.
Ah... Aku benci diriku yang terlalu sensitif ini.
Seandainya aku lebih tidak peduli, mungkin aku akan menjawab pertanyaan Rina tadi dengan beberapa candaan dan berakhir untuk tidak memperdulikannya.
Kenapa coba aku memasukannya dalam hatiku.
Selemah ini kah aku?
Desiran air mengalir terdengar jelas dari arah depan...
Aku mendekati itu, dan menemukan sebuah sungai disana yang deras airnya.
Kuputuskan untuk istirahat sebentar. Duduk di atas batu besar pinggir sungai.
Masih bersama rokokku, aku menatap langit dengan tatapan yang tidak bersemangat.
Menyadari kesalahanku, aku berpikir seperti...
Ah, mungkin sudah bawaanku dari lahir untuk jadi orang semacam ini-.
“Meong...”
Suara anak kucing baru saja ditangkap oleh telingaku. Sontak aku palingkan wajahku tuk melihat sekitar.
Tidak ada?
Mataku masih mencari asal dari suara kucing itu. Sayangnya, aku tidak menemukan sosoknya.
Perasaanku kah?
Pikirku sesaat...
“Meow!”.
“Huh”.
Mendengar suara kucingnya yang meninggi, aku terkejut dan sempat berpikir kalau itu makhluk halus-.
“Heh?!”
Belum sembuh dari keterkejutan sebelumnya, aku di buat kaget saat melihat seekor anak kucing tidak jauh dari semak sedang berpegangan erat pada ranting kayu, sementara setengah badannya sudah terendam di sungai.
Aku yang melihat pemandangan itu bergegas menggerakan tubuhku untuk menyelamatkannya.
Tapi sesaat sebelum aku meraih anak kucing itu-.
“Eh kenapa?”
Pikiranku mendadak kosong, tidak, lebih tepatnya bingung melihat anak kucing tadi terbawa arus sungai.
Kenapa anak kucingnya terlepas dari pegangannya?
Tidak...
Aku yakin dia tidak terlepas... Melainkan sengaja melepaskan pegangannya.
Sementara itu, aku yang buru-buru mendekati anak kucing itu, menginjak pijakan yang kurang tepat...
Pergelangan kakiku terasa sakit, dan akhirnya terkilir.
Bersama anak kucing tadi, kami berdua jatuh ke dalam aliran sungai yang deras.
Aku terus mencoba mencari pegangan sambil menaikan wajahku ke permukaan. Tidakku sangka sungainya lumayan dalam.
Jika saja kakiku tidak terkilir, mudah bagiku untuk berdiri dan mengambil nafas.
Rasa sakit dari kakiku yang terkilir benar-benar menahan ku di dalam air.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk meraih pegangan.
Bahkan untuk mengambil nafas pun terasa sangat susah!
Siapa aja tolong! Tolong aku!
“Tolo-”.
Belum selesai aku menyelesaikan perkataanku, tenggorokanku sepenuhnya telah terisi dengan air.
Terbawa arus sungai dan tenggelam semakin dalam, tanganku mencoba meraih permukaan... Tapi sayang, itu hanyalah tindakan bodoh.
Tanpa kusadari gelapnya rasa keputusasaan sudah menyelimutiku.
Kesadaranku hampir lenyap karena banyaknya air yang masuk kedalam dadaku.
Sesak rasanya, sakit...
Aku akan mati?
Begitukah?
Aku benar-benar akan mati sebagai orang yang gagal?
Entah kenapa, sepintas aku berpikir bahwa anak kucing tadi melepaskan cengkeramannya karena takut kepadaku...
Setidaknya aku ingin minta maaf....
Aku merasakan airmataku mengalir keluar
Apa yang membuatku menangis, aku pun tak mengetahuinya. Yang aku rasa dadaku sakit, tapi bukan sakit karena air yang masuk ke paru-paruku.
Semakin lama semakin seperti teriris.
Apa ini?
Apa mungkin ini yang dinamakan penyesalan?
Apa yang aku sesali-?
Ah.... Aku menyesal karena sampai akhir hidup aku tidak bisa berguna untuk siapapun, aku hanya menjadi penghalang, atau keburukan bagi siapapun yang ada di dekatku.
Sedikit demi sedikit, suara riuh gemericik air tergantikan dengan suara yang tenang nan menghanyutkan.
Umurku 22 tahun. Tapi aku masih merepotkan orang tuaku.
Aku bahkan masih ingat saat sebelum berangkat berlibur tadi.
Ingat betul raut wajah Ayahku yang terlihat lesu dan kecewa saat aku menghadapnya untuk pamit pergi.
Sungguh itu raut wajah yang sangat kecewa padaku...
Tapi aku tak peduli dan tetap meminta uang padanya...
Aku sampah...
Senyum kecil melukis wajahku yang perlahan kehilangan kesadaran.
Sampai akhir... Aku bahkan tetap menjadi sampah.
Atau.... mungkin ini yang terbaik?
Mungkin... Hilangnya aku dari dunia ini akan menjadi lebih baik.
Benar..
Semuanya akan lebih baik......tanpa....a...ku....
.
Siulan angin, gemericik air, dan hangatnya sinar mentari yang menyirami tubuhku membuat aku sedikit merasa nyaman dengan situasi ini.
Aku terduduk di pinggir sungai sambil menghadap padang rumput hijau yang luas setelah aku dapati diriku terbaring tak sadarkan diri di tengah sungai yang sangat dangkal.
"Aku masih hidup?" tanyaku pelan sambil melihat sekitarku dan meraba-raba seluruh tubuhku.
Pakaianku basah, dan ponselku juga mati karena terendam air.
Masih dengan pandanganku yang kosong, aku sedang menduga-duga tentang apa yang telah terjadi.
Aku ingat bahwa aku hanyut dalam arus sungai yang deras, lalu kehilangan kesadaran... Lalu aku terbangun di tengah sungai yang arusnya tidak terlalu deras dan dasar sungainya yg sangat dangkal?
Tunggu, tunggu, tunggu sebentar... Candaan macam apa ini?!
Aku yakin aku ada ditengah hutan di pegunungan dengan sungai yang deras nan dalam.
Namun sejauh yang aku lihat......
Padang rumput yang luas....
Pepohonan... Hanya beberapa butir yang terlihat...
Bukit rumput kecil....
Dan sungai dangkal dengan arus yang menenangkan....
Jadi, seberapa jauhkah aku telah hanyut?
Kemana perginya hutan dan pegunungan tadi coba?!
.
Cukup lama aku terduduk ditempat aku pertama kali tersadar, hingga aku memutuskan untuk berjalan mencari pemukiman terdekat.
Namun... Sejauh aku berjalan, aku tidak menemukan apapun.
“Panas.... Laper.... Ugh!”.
Awalnya aku berencana untuk pergi ke hulu dengan tujuan menemukan tempat awal ku terhanyut..
Tapi aku menyerah...
Aku yakin berjalan ke hulu pasti lebih jauh dan melelahkan karena jalannya yang naik.
Setelah berjalan untuk waktu yang cukup lama, aku menemukan secercah harapan. Jauh dari pandangan, terlihat sebuah jalan raya? Sepertinya bukan.
Memaksakan seorang pengurung diri dan anti sosial untuk berjalan jauh, sungguh bukan lawakan yang terdengar lucu aku rasa.
Jalanan itu tak beraspal, hanya tanah yang diratakan.
Sesampainya disana, aku segera membaringkan tubuh di atas rumput sambil menunggu kendaraan warga melintas.
Kalau boleh memilih, mobil adalah pilihan terbaik untuk mengangkut orang yang sedang sekarat ini.
"Rasa lapar dan lelah ini sungguh kembunuhku", gumamku sembari mengganjal perut dengan kedua tanganku.
Rasanya seperti nostalgia... Apa aku akan mati? Dan mati karena kelaparan?
Selepas dari jurang maut tadi tentu belum sempat aku memulihkan mentalku.
Dan sekarang aku dihadapkan dengan situasi yang serupa.
Lalu aku tak sengaja tertidur....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Emonee
Like untukmu Thor mohon dukungan untuk
CINTAKU GEA
2020-11-30
0
Meytha
Tetep semangat ya thor 💪😊
2020-11-23
1
*Ephixna Neesama* >>>[Cieciel]
(Ephixna)!! : "Waktunya mengkritik!! 'Semua akan lebih baik.....tanpa.....a..ku....' ❎❎ Seharusnya, 'Semuanya akan lebih baik ... tanpa ... a ... ku.' ✔️✔️ Jadi, belajar lagi, yah!"😉😉👍👍
2020-11-10
2