Rania menghempaskan rasa sesak di hatinya, bukan saatnya untuk mengeluh, ia harus bekerja keras untuk masa depannya dan orang-orang yang dicintainya.
-
Sudah 2 bulan lamanya Haryo di rawat di Singapura dan sampai saat ini, Rania berusaha bertahan atas segala macam tekanan yang diberikan oleh keluarga Haryo di rumah itu.
Pekerjaan Rania seakan tidak ada habisnya, mulai dari pagi ia berangkat kuliah, lalu siang menjelang sore ia harus pergi bekerja hingga malam. Tentu saja pekerjaan rumah masih sempat ia selesaikan walau terkadang harus bolak-balik.
Rania memang tidak sendiri mengurus rumah tersebut, masih banyak pembantu lain yang juga bekerja di rumah itu. Namun entah mengapa pekerjaannya lebih banyak dan sedikit lebih berat dari yang lain.
Rania bahkan tidak memiliki waktu untuk Vano. Ingin rasanya Vano membantu tapi hal itu ditolak mentah-mentah oleh Rania, mengingat kesibukan Vano akan skripsinya membuat Rania tidak ingin menyusahkan kekasihnya itu.
"Rania, nanti bisa kan kerja kelompok? Kita harus terjun ke lapangan soalnya." Rania meringis kecil mendengar nada kesal yang terselip di perkataan temannya.
Rania sadar ia sering kali mangkrak dari survey lapangan, meskipun ia selalu mengerjakan tugas bagiannya, namun survey lapangan juga perlu kontribusi darinya.
"Maaf, Sil. Aku engga bisa untuk sekarang." Seperti yang Rania duga respon kecewa dan sinis pasti akan didapatinya. Jangankan mereka, bahkan Rania pun kecewa dengan dirinya sendiri.
"Terus bagaimana, Ran? Tugas kita 60% di lapangan, ini survey terakhir, minggu depan kita presentasi. Bukannya apa, Ran. Tapi yang lain juga ingin mengejar nilai." Rania benar-benar merasa bersalah apa yang dia harapkan begitu sulit menjadi kenyataan.
Ia hanya berharap dapat menjalankan perkuliahan dengan baik, namun keadaan selalu tak memihak kepadanya.
"Baiklah kalau begitu, Sil. Aku engga papa dikasih nilai seadanya, kalau semisal aku bisa atur waktu aku akan langsung ke lapangan. Oiya, kalau semisal tugas bagian aku kamu lebih kan juga engga papa kok, dan kalau kalian nanti ada kesulitan pasti akan aku bantu." Jelas Rania dengan tatapan penuh harap dan sesal, helaan napas terdengar dari lawan bicaranya.
"Sorry banget ya, Sil. Aku juga sebenarnya mau ikut terjun lapangan, tapi keadaan aku sulit. Aku usahakan semampuku untuk membantu." Rania menyatukan kedua telapak tangannya tanda memohon.
"Yasudah, nanti aku usahakan kamu dapat nilai aman, Aku engga janji nilai sempurna, ya." Rania tersenyum lega dan berucap syukur saat itu juga.
"Makasih banget, Sil." Ucap Rania yang diangguki oleh temannya itu.
-
Restoran yang mulai sepi, membuat Rania memiliki keberanian untuk meminta ijin agar dapat pulang lebih awal, ia ingin ikut kelompoknya untuk terjun lapangan.
Saat Rania menghadap pada kepala penanggung jawab tempatnya bekerja, tak beberapa lama datang si pemilik restoran yang tak lain adalah kakak dari teman Rania, ia tak datang sendiri melainkan bersama para temannya.
"Mau kemana kau?! Enak saja mau ijin, saya memberikan gaji bukan untuk main-main tapi untuk kerja!" Rania tersentak kaget mendapati perkataan dari bos tempatnya bekerja.
"Tapi saya ada urusan Non, saya janji besok saya akan lembur." Rania tak ingin menyerah, kepala penanggung jawab di sebelahnya pun hendak membantu, namun perintah mutlak dari bosnya tak bisa dibantah.
Rania tertunduk lesu dan kembali ke belakang, namun netranya tak sengaja melihat Keisha yang tersenyum senang pada bosnya tadi, tak lama ia mendapati senyum mengejek dan pandangan sinis dari Keisha dan juga dari teman-temannya. tanpa menggubrisnya lebih lama, Rania segera bergegas ke belakangan.
-
Hari yang cukup melelahkan bagi Rania. Setelah selesai menutup restoran Rania langsung berlari pulang, ia lupa menyiapkan makan malam untuk orang-orang di rumah. Di tengah jalan ia mendapati pesan dari satpam rumah bahwa semua orang rumah baru saja pergi ke Singapura.
Rania panik dan juga gelisah karena tiba-tiba pikirannya terlintas akan kesehatan Haryo, kakek tua yang selama ini memberikannya kasih sayang juga pembelaan. Rasa khawatir Rania membuatnya tak fokus berjalan hingga tak menyadari sebuah mobil melaju kencang dari arah kanannya.
Tinnn...
Rania terkejut bukan main, ia hendak berlari namun kakinya malah keseleo dan membuatnya terjatuh. Rania memejamkan matanya melihat mobil yang semakin mendekat, namun setelah menunggu 10 detik ia merasa tidak terjadi apapun, hanya suara rem yang begitu memekakkan telinganya.
Tepat saat Rania membuka matanya saat itu juga terdengar suara bantingan pintu dari mobil tersebut. Jantung Rania berdetak keras, sedetik kemudian matanya melotot mendapati sosok pemilik mobil.
"Pak Kevin!" Tak kalah terkejut dari Rania, Kevin pun terlihat kaget dan juga khawatir. Namun rasa keterkejutannya dapat disembunyikan dengan cepat oleh dosen idaman banyak mahasiswi tersebut.
"Kamu tidak papa?" Tanya Kevin memastikan sedangkan Rania masih terkejut, ia menjawab dengan gelengan sambil memegang kakinya yang sakit. Kevin menyadari hal tersebut, dengan segera ia membopong Rania ke dalam mobilnya.
"Eh, Pak!" Rania hendak Protes namun pelototan tajam Kevin menghentikannya.
"Saya akan obati kamu dulu, kebetulan rumah saya tidak jauh dari sini." Rania hanya mengangguk, dirinya masih takut dihadiahi pelototan oleh dosen di sampingnya itu.
-
Begitu sampai rumah Kevin, Rania segera membuka pintu dan hendak keluar, namun dirinya lupa akan kakinya, sehingga detik selanjutnya pekikan kesakitan terdengar dari bibir mungil Rania.
Kevin menggelengkan kepala mendapati kelakukan merepotkan salah satu mahasiswinya itu, dengan segera ia keluar mobil dan menghampiri Rania.
"Kakimu tambah parah, bengkaknya semakin besar." Rania menahan tangisnya namun tidak bisa, setetes demi setetes air matanya jatuh.
Rupanya selain keseleo kakinya juga mendapatkan luka yang menganga, tak banyak memang darah yang keluar tapi begitu perih rasanya ketika Kevin menyentuh luka itu.
"Eh! apa ini sakit? Ya ampun ini berdarah." Kevin sedikit panik mendapati Rania yang menangis, juga luka yang menganga lebar di kakinya.
Segera Kevin menggendong Rania ala bridal style. Kaki Rania sempat tersenggol pintu saat hendak masuk, ringisan Rania semakin membuat Kevin panik, ia juga merasa bersalah karena tidak hati-hati.
Dengan segera Kevin meletakkan Rania di kursi ruang tamunya. Sekali lagi karena ketidak hati-hatian Kevin, kaki Rania kembali terpentok. Kali ini lebih parah karena luka Rania mengenai pinggiran meja, sehingga membuat luka itu semakin lebar dan dalam.
"Aduh! Sakit!" Rania reflek teriak dan semakin menangis, Kevin berulang kali mengucapkan maaf.
Dengan hati-hati Kevin mengobati kaki Rania, dalam hati ia menyesal tidak membawa Rania ke rumah sakit. Ia berpikir rumahnya jauh lebih dekat dari pada harus ke rumah sakit yang memerlukan 30 menit untuk perjalanan ke sana.
Namun melihat luka Rania yang tambah parah, dan raut kesakitan yang tak pernah lepas dari wajah ayu mahasiswinya itu, membuat Kevin merutuki keputusannya.
"Terimakasih Pak Kevin dan maaf merepotkan, saya akan pulang sekarang." Kevin mengernyit heran mendengar ucapan Rania, pasalnya keadaan Rania tidak bisa dikatakan baik.
"Kamu yakin?" Tanya Kevin memastikan, Rania mengangguk mantap dan dengan pelan ia berusaha berdiri namun kembali duduk karena kakinya masih terlalu sakit.
"Nanti dulu Rania, tunggu baikan dulu." Rania menggeleng keras membuat Kevin pasrah.
Dengan cepat Kevin membawa Rania ke dalam gendongannya, sejenak mereka saling bertatapan, Rania melihat tatapan berbeda dari Kevin namun suara petir segera menyadarkan mereka.
"Tuh kan, Hujan. Itu artinya kamu tidak boleh pulang dulu." Kevin kembali mendudukkan Rania di atas kursi.
"Tapi kan, kita naik mobil pak." Kevin terdiam sesaat mendengar perkataan Rania.
"Saya tidak mau menggendong kamu sambil hujan-hujanan dan juga kaki kamu jauh dari kata baik, Rania." Tegas Kevin. Rania hendak protes namun dirasa percuma, akhirnya ia hanya bisa diam dan menunggu hujan reda serta keadaan kakinya membaik.
"Sepertinya, hujannya akan lama dan saya harus lembur malam ini. Kamu menginap saja karena saya tidak mungkin mengantarkan kamu. Itu perintah!" Kevin seakan tahu Rania akan protes, dengan segera ia memberikan perintah mutlak yang seperti dugaannya, tidak ada perlawanan dari Rania. Meskipun gadis itu sempat terkejut dan menatapnya tajam, namun setelahnya Rania memejamkan mata dan menghembuskan napas pelan.
Rania benar-benar lelah ia tak ingin berdebat, istirahat adalah hal yang diperlukan saat ini. Rania sangat bersyukur Keisha dan kedua orang tuanya tidak ada di rumah, Rania tidak perlu mencari alasan atau jawaban jika ditanya mengapa tak pulang malam ini.
Namun detik berikutnya ia tersenyum miris, memangnya adakah seseorang yang akan mengkhawatirkannya? Tanpa Rania sadari segala macam perubahan raut wajahnya telah diperhatikan oleh Kevin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
🐾♎🕸️ Alaska 12🕸️⚖️🐾
Rania semangat lov you 😥❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️🌹🌹🌹🌹🌹🌹
2021-02-19
0
Regita Regita
like mendarat. suka cerita nya menarik.. dari awal udah geregget
2020-10-28
0