Arjuna Mencari Cinta
Di pengadilan tengah berlangsung sebuah sidang. Kasus pelecehan sek*ual, dengan tersangka seorang lelaki berusia kurang lebih dua puluh lima tahun. Dia didampingi seorang pengacara, sebagai Penasehat Hukum yang cukup terkenal di kalangan rekan seprofesinya. Arjuna, begitulah sang pengacara, biasa disapa.
Hakim Ketua tengah memimpin sidang yang baru dimulai sejak beberapa puluh menit yang lalu. Dia mempersilakan Jaksa Penuntut Umum untuk membacakan dakwaan terhadap terduga, yang dikenai pasal 289 sampai 296 KUHP mengenai dugaan kasus perbuatan c*bul.
“Pak Hakim yang mulia, kami menyatakan keberatan atas dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum,” sanggah Arjuna sambil berdiri dari tempat duduknya, setelah dakwaan selesai dibacakan.
“Keberatan diterima, silakan lanjutkan,” jawab hakim yang berwibawa itu sambil mengangkat tangannya, sebagai isyarat supaya Arjuna melanjutkan pembelaan.
“Yang dilakukan terdakwa saat itu bukanlah tindak pelecehan seksual, melainkan sebuah upaya yang spontan. Mungkin setiap orang akan melakukan hal yang sama jika pada saat itu berada di posisi terdakwa,” ucap Arjuna lagi sambil menunjuk terdakwa yang tak lain adalah sesama pengacara muda yang baru saja menyelesaikan pelatihan Advokat-nya, di Firma Hukum tempat Arjuna bekerja.
“Maaf!" sela jaksa muda berkacamata tebal yang nampak tak setuju dengan pembelaan pengacara. “Alasan itu sangat terdengar klise. Semua pelaku akan beralasan sama demi membela diri dari jeratan hukum yang tengah menantinya. Begitupun dengan Anda.” Jaksa Penuntut Umum itu menunjuk terdakwa dengan mengarahkan telapak tangannya. Tatapannya begitu dingin. Dia masih tetap dengan keyakinan dan tuntutannya.
Pasalnya, jaksa cantik yang tidak pernah mahir berdandan itu, sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat seorang wanita. Tidak akan pernah memberi ampun pada pelaku yang menjatuhkan kehormatan kaumnya. Apalagi, wanita yang tengah menjadi korban adalah sahabatnya sendiri. Dalam hal ini, dia mati-matian mencari keadilan untuk sang sahabat.
“Ibu Jaksa dan Pak Hakim yang terhormat, izinkan saya menunjukkan sebuah bukti di persidangan ini.” Arjuna selaku Penasihat Hukum yang ditunjuk terdakwa, mengeluarkan barang bukti berupa rekaman yang memutar kejadian yang berlangsung di waktu dan tempat di mana peristiwa pelecehan itu terjadi. Jangan tanya dari mana dia mendapatkannya. Itulah Arjuna. Dia tidak pernah datang ke persidangan dengan tangan kosong.
Dalam rekaman video yang berdurasi tidak lebih dari tujuh menit itu, menunjukkan bahwa terdakwa spontan menarik tubuh korban hingga tak sengaja menyentuh bagian sensitifnya. Padahal dia hanya berniat menyelamatkan korban supaya tidak terjatuh. Meski akhirnya mereka berdua tetap terjatuh dengan posisi korban tertimpa oleh si pelaku. Benar-benar upaya yang sia-sia. Alih-alih, menyelamatkan korban, pelaku mendapat tuduhan yang kurang mengenakkan.
Suasana ruang sidang cukup riuh diwarnai debat hebat antara Jaksa Penuntut Umum melawan Penasehat Hukum dari pihak terdakwa.
Setelah Majelis Hakim berunding, mereka memutuskan untuk menutup dan menunda sidang hingga tujuh hari mendatang dengan jadwal Pembacaann Putusan Hakim.
Hadirin dipersilakan berdiri ketika hakim hendak meninggalkan ruang sidang. Satu per satu hadirin pun turut meninggalkan ruangan mengikuti hakim di belakangnya.
Meskipun keputusan hakim baru akan dibacakan Minggu depan, tetapi Arjuna optimis, usahanya berhasil meyakinkan Majelis Hakim, bahwa kliennya tidak bersalah dalam kasus ini. Dengan senyumnya yang khas, Arjuna melayangkan tatapan andalan pada jaksa yang terkenal angkuh—untuk menunjukkan rasa hormat karena saat ini masih berada dalam ruang sidang.
Jaksa muda yang akrab disapa Arimbie itu, merasa bahwa tatapan Arjuna saat ini tengah mengejeknya karena pengacara itu berhasil meyakinkan Hakim Ketua. Saat itu juga, Arimbie merapikan berkas yang ada di hadapannya lalu bergegas meninggalkan ruangan sambil menarik tangan sahabatnya, Dinda.
“Ayo pergi!” ajak Arimbie dengan ketus.
“Bie ... tunggu!” seru Dinda setelah mereka berada di luar ruang sidang. “Aku mau ngomong dulu.” Dengan ragu-ragu Dinda mengatakan bahwa dirinya ingin mencabut gugatan karena menyadari bahwa ini semua hanya salah paham. Tidak dengan Arimbie, dia tetap yakin bahwa video itu hanya rekayasa. Karena setiap pengacara pembela, memiliki 1001 cara untuk membantu kliennya.
“Gak bisa! Proses hukum sudah berjalan. Lagipula, orang seperti itu memang harus diadili.”
“Setelah aku nonton video itu, sepertinya aku sudah salah paham padanya.” Dinda meremas tangan Arimbie sambil berusaha meyakinkan temannya.
“Bie ... aku masih bisa mencabut gugatan itu, 'kan?” bujuknya sedikit memohon. Dinda pikir, mana bisa dia menuntut lelaki yang sudah mencoba menolongnya. Jangan sampai air susu dibalas air tuba olehnya.
Tiba-tiba, terdengar suara tegas seseorang lelaki yang masuk dalam pembicaraan.
“Sayangnya, sudah terlambat!”
Arjuna muncul karena tak lama setelah Arimbie dan Dinda, mereka juga keluar dari ruang sidang.
“Proses hukum akan tetap berjalan, sekali pun kalian sudah saling memaafkan. Bukan begitu, Bu Jaksa yang terhormat?” Seringai Arjuna membuat bola mata Arimbie bergerak membeliak. “Kalian bersiap saja untuk sidang berikutnya. Hakim akan membacakan putusan.” Arjuna bersama kliennya datang menghampiri. Dia berhenti sesaat di depan Arimbie.
“Baik kalau gitu, saya duluan Bu Jaksa.” Tanpa menunggu jawaban dari Arimbie yang masih menatap sinis, Arjuna dan Ghibran, melanjutkan langkahnya menuju parkiran. Tak sampai lima angkah, dia kembali menoleh. “Oh ya, jika nanti kalian tidak terima dengan kekalahan, silakan ajukan banding saja.” Lagi-lagi peringatannya terdengar seperti ejekkan.
Arjuna mengangguk sambil mengulas senyum lalu mengedipkan mata kanannya sambil berlalu. Kali ini, pria itu menunjukkan jurus tebar pesona, yang membuat Arimbie semakin membenci sikapnya. Begitulah Arjuna dikenal selama ini. Dia cakap saat bekerja, tetapi lain lagi saat berhadapan dengan wanita.
Dasar gila! Jadi pengacara kalau otaknya ditaro di comberan, tetap aja kotor. Sama kotornya dengan klien yang dia bela.
Arimbie mengangkat sudut bibirnya sambil bergidik jijik.
...***...
“Akhh ... lega.” Ghibran menghela napas panjang sambil duduk di sebelah Arjuna yang akan segera melajukan mobilnya.
“Lega apanya! Aku laporin sama bapakmu, baru tau rasa!” Arjuna meninju pangkal lengan Ghibran dengan kepalan tangannya. “Jangan sampai mengulangi kesalahan yang sama! Itu bisa merusak reputasi kawan sejawat kita, tau?” ucap Arjuna sambil mendelik.
“Seorang anak polisi yang baru saja memulai kariernya sebagai Advokat terjerat kasus pencab*lan. Mau ditaro di mana muka bapakmu, Ghib?! Memalukan!” lanjutnya sambil terkekeh.
“Lah, terus kasus Pak Juna gimana?” sanggah Ghibran. Dia mengingatkan kembali kasus Arjuna dengan wanita-wanita cantik yang mengelilinginya.
“Kasus aku? Gak usah dibahas! Orang papaku aja enggak pernah peduli,” ujarnya malas membuat Ghibran mengalihkan topik pada persidangan yang baru saja berlalu.
“Si Dinda, tadi udah mau cabut gugatannya, Pak Jun. Sadar juga dia kalau aku cuma niat nolong. Masa iya, aku biarin dia jatuh di depan mata kepalaku,” kilahnya seraya berdecak.
“Hahaha! Padahal aslinya kalian berdua tetep jatuh juga. Sakit banget pastinya. Belum lagi nahan malunya yang setengah mati.” Arjuna terdengar sedang mengolok temannya. Dia berdecak sambil menggeleng. Sesekali tertawa lebar.
“Sudah jatuh, tertimpa tangga,” keluh Ghibran terdengar pelan.
“Kamu tuh yang menimpa tubuhnya Dinda. Harusnya adegan itu kamu lanjutkan di dalam hotel, pasti gak gini ceritanya,” sambung Arjuna dengan ucapannya yang jahil.
“Hhahh! Yang benar saja?” tanya Ghibran sambil membulatkan matanya. “Masalah sepele begini, masa harus berakhir di hotel?”
“Daripada berakhir di pengadilan, hayo?” Arjuna semakin iseng membuat Ghibran yang polos, berubah penasaran.
“Emangnya Pak Jun? Dikit-dikit hotel. Giliran ketahuan wartawan kan berabe urusannya. Buat apa, sih, bawa-bawa cewe ke hotel?”
“Seorang laki-laki dan perempuan pergi berduaan ke kamar hotel, kamu pikir mereka ngapain?” Arjuna melirik sekilas ke arah Ghibran yang tengah menggaruk kepalanya. Dengan iseng Arjuna meninju pelan lengan Ghibran karena mulutnya belum berhenti menganga.
“Hey! Jangan dibayangin!” Arjuna terkekeh menahan tawa. Ghibran pun ikut tertawa menanggapi candaan senior yang hampir membuatnya berpikir yang tidak-tidak.
“Mentang-mentang mukanya cakep kebangetan, bisa seenaknya bawa anak orang ke hotel.” Ghibran mencibir sekaligus memuji, membuat Arjuna kembali terbahak.
Sedetik kemudian, Arjuna menghela napas panjang. “Baguslah wanita itu segera menyadari kesalahannya, meskipun Minggu depan masih ada perang sengit antara aku dan Jaksa Arimbie.” Arjuna menarik sudut bibirnya sambil mengernyit. “Semoga ke depannya, mereka berpikir dua kali sebelum membuat gugatan.”
Ghibran segera menghadapkan badannya ke arah Arjuna. “Sebenarnya ... ada apa antara Pak Juna dengan Jaksa Arimbie? Seperti ada yang tidak beres?” tanya Ghibran sambil menatap, menunggu penjelasan dari Arjuna.
“Entahlah. Nanti akan kucari tahu kenapa dia tidak menyukaiku. Kamu tahu sendiri, kan, wanita normal akan bertekuk lutut di hadapanku. Hahaha!” jawab Arjuna sambil menginjak rem saat mobil yang dikendarai, tiba di depan Firma Hukum tempat mereka bekerja.
...***...
Seorang CEO masuk ke ruangan Arjuna dengan membawa berkas di tangannya. Dengan ragu-ragu, dia menyodorkan berkas tersebut sambil duduk di hadapan lelaki yang belum lama tiba di ruangannya. Arjuna yang tengah fokus pada layar laptop pun segera melirik pada berkas yang baru saja mendarat di atas meja.
“Apa itu? Kasus baru lagi?”tanyanya sambil mendongak.
Sang CEO berdiri dari duduknya, bertumpu di sudut meja, sambil melipat tangan di atas dada. Dia hanya menjawab dengan gerakan alis saja.
Arjuna membuka dan membaca isi berkas itu sekilas lalu setengah melemparkannya kembali di tempat semula.
“Saya sudah mengamati kasus itu sejak lama dan saya menolak untuk menanganinya!” tegas Arjuna seraya menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi yang tengah dia duduki.
“Ini perintah Pak Rudi, Jun!”
“Sudah kuduga,” jawab Arjuna yang tahu benar kebiasaan sang kakek yang selalu memaksakan kehendak.
“Katakan padanya kalau saat ini sedang banyak kasus yang harus saya tangani. Lagipula, di firma ini masih banyak pengacara ahli yang bisa diandalkan.”
“Tapi klien hanya percaya dengan kemapuanmu, Jun. Dia bilang akan membayarmu berapa pun jumlahnya.”
“Saya tidak mau dibayar dengan uang yang enggak jelas asal usulnya. Ah, sudahlah. Nanti saya bicarakan ini dengan Kakek di rumah.”
Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) melarang advokat menolak klien dengan alasan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya. Namun, tak jarang Arjuna menolak klien hanya jika itu bertentangan dengan hati nuraninya.
...-Bersambung-...
Hallo ... jumpa lagi dengan Author receh, Mbuna Banafsha. 😘
Mudah-mudahan readers semua dalam keadaan yang sangat baik. Meskipun jauh di mata, kalian tetap ada di hati. Terima kasih sudah berkenan mampir dan membaca karyaku. 🙏
See you.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
NandhiniAnak Babeh
absen reader baru Thor 🙋🙋🙋
2022-05-20
0
Reiva Momi
mampir thor
2022-03-08
0
Nda Malamsyah
Salam kenal pak jun dan mbie 🤭
2021-12-19
1