Di pengadilan tengah berlangsung sebuah sidang. Kasus pelecehan sek*ual, dengan tersangka seorang lelaki berusia kurang lebih dua puluh lima tahun. Dia didampingi seorang pengacara, sebagai Penasehat Hukum yang cukup terkenal di kalangan rekan seprofesinya. Arjuna, begitulah sang pengacara, biasa disapa.
Hakim Ketua tengah memimpin sidang yang baru dimulai sejak beberapa puluh menit yang lalu. Dia mempersilakan Jaksa Penuntut Umum untuk membacakan dakwaan terhadap terduga, yang dikenai pasal 289 sampai 296 KUHP mengenai dugaan kasus perbuatan c*bul.
“Pak Hakim yang mulia, kami menyatakan keberatan atas dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum,” sanggah Arjuna sambil berdiri dari tempat duduknya, setelah dakwaan selesai dibacakan.
“Keberatan diterima, silakan lanjutkan,” jawab hakim yang berwibawa itu sambil mengangkat tangannya, sebagai isyarat supaya Arjuna melanjutkan pembelaan.
“Yang dilakukan terdakwa saat itu bukanlah tindak pelecehan seksual, melainkan sebuah upaya yang spontan. Mungkin setiap orang akan melakukan hal yang sama jika pada saat itu berada di posisi terdakwa,” ucap Arjuna lagi sambil menunjuk terdakwa yang tak lain adalah sesama pengacara muda yang baru saja menyelesaikan pelatihan Advokat-nya, di Firma Hukum tempat Arjuna bekerja.
“Maaf!" sela jaksa muda berkacamata tebal yang nampak tak setuju dengan pembelaan pengacara. “Alasan itu sangat terdengar klise. Semua pelaku akan beralasan sama demi membela diri dari jeratan hukum yang tengah menantinya. Begitupun dengan Anda.” Jaksa Penuntut Umum itu menunjuk terdakwa dengan mengarahkan telapak tangannya. Tatapannya begitu dingin. Dia masih tetap dengan keyakinan dan tuntutannya.
Pasalnya, jaksa cantik yang tidak pernah mahir berdandan itu, sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat seorang wanita. Tidak akan pernah memberi ampun pada pelaku yang menjatuhkan kehormatan kaumnya. Apalagi, wanita yang tengah menjadi korban adalah sahabatnya sendiri. Dalam hal ini, dia mati-matian mencari keadilan untuk sang sahabat.
“Ibu Jaksa dan Pak Hakim yang terhormat, izinkan saya menunjukkan sebuah bukti di persidangan ini.” Arjuna selaku Penasihat Hukum yang ditunjuk terdakwa, mengeluarkan barang bukti berupa rekaman yang memutar kejadian yang berlangsung di waktu dan tempat di mana peristiwa pelecehan itu terjadi. Jangan tanya dari mana dia mendapatkannya. Itulah Arjuna. Dia tidak pernah datang ke persidangan dengan tangan kosong.
Dalam rekaman video yang berdurasi tidak lebih dari tujuh menit itu, menunjukkan bahwa terdakwa spontan menarik tubuh korban hingga tak sengaja menyentuh bagian sensitifnya. Padahal dia hanya berniat menyelamatkan korban supaya tidak terjatuh. Meski akhirnya mereka berdua tetap terjatuh dengan posisi korban tertimpa oleh si pelaku. Benar-benar upaya yang sia-sia. Alih-alih, menyelamatkan korban, pelaku mendapat tuduhan yang kurang mengenakkan.
Suasana ruang sidang cukup riuh diwarnai debat hebat antara Jaksa Penuntut Umum melawan Penasehat Hukum dari pihak terdakwa.
Setelah Majelis Hakim berunding, mereka memutuskan untuk menutup dan menunda sidang hingga tujuh hari mendatang dengan jadwal Pembacaann Putusan Hakim.
Hadirin dipersilakan berdiri ketika hakim hendak meninggalkan ruang sidang. Satu per satu hadirin pun turut meninggalkan ruangan mengikuti hakim di belakangnya.
Meskipun keputusan hakim baru akan dibacakan Minggu depan, tetapi Arjuna optimis, usahanya berhasil meyakinkan Majelis Hakim, bahwa kliennya tidak bersalah dalam kasus ini. Dengan senyumnya yang khas, Arjuna melayangkan tatapan andalan pada jaksa yang terkenal angkuh—untuk menunjukkan rasa hormat karena saat ini masih berada dalam ruang sidang.
Jaksa muda yang akrab disapa Arimbie itu, merasa bahwa tatapan Arjuna saat ini tengah mengejeknya karena pengacara itu berhasil meyakinkan Hakim Ketua. Saat itu juga, Arimbie merapikan berkas yang ada di hadapannya lalu bergegas meninggalkan ruangan sambil menarik tangan sahabatnya, Dinda.
“Ayo pergi!” ajak Arimbie dengan ketus.
“Bie ... tunggu!” seru Dinda setelah mereka berada di luar ruang sidang. “Aku mau ngomong dulu.” Dengan ragu-ragu Dinda mengatakan bahwa dirinya ingin mencabut gugatan karena menyadari bahwa ini semua hanya salah paham. Tidak dengan Arimbie, dia tetap yakin bahwa video itu hanya rekayasa. Karena setiap pengacara pembela, memiliki 1001 cara untuk membantu kliennya.
“Gak bisa! Proses hukum sudah berjalan. Lagipula, orang seperti itu memang harus diadili.”
“Setelah aku nonton video itu, sepertinya aku sudah salah paham padanya.” Dinda meremas tangan Arimbie sambil berusaha meyakinkan temannya.
“Bie ... aku masih bisa mencabut gugatan itu, 'kan?” bujuknya sedikit memohon. Dinda pikir, mana bisa dia menuntut lelaki yang sudah mencoba menolongnya. Jangan sampai air susu dibalas air tuba olehnya.
Tiba-tiba, terdengar suara tegas seseorang lelaki yang masuk dalam pembicaraan.
“Sayangnya, sudah terlambat!”
Arjuna muncul karena tak lama setelah Arimbie dan Dinda, mereka juga keluar dari ruang sidang.
“Proses hukum akan tetap berjalan, sekali pun kalian sudah saling memaafkan. Bukan begitu, Bu Jaksa yang terhormat?” Seringai Arjuna membuat bola mata Arimbie bergerak membeliak. “Kalian bersiap saja untuk sidang berikutnya. Hakim akan membacakan putusan.” Arjuna bersama kliennya datang menghampiri. Dia berhenti sesaat di depan Arimbie.
“Baik kalau gitu, saya duluan Bu Jaksa.” Tanpa menunggu jawaban dari Arimbie yang masih menatap sinis, Arjuna dan Ghibran, melanjutkan langkahnya menuju parkiran. Tak sampai lima angkah, dia kembali menoleh. “Oh ya, jika nanti kalian tidak terima dengan kekalahan, silakan ajukan banding saja.” Lagi-lagi peringatannya terdengar seperti ejekkan.
Arjuna mengangguk sambil mengulas senyum lalu mengedipkan mata kanannya sambil berlalu. Kali ini, pria itu menunjukkan jurus tebar pesona, yang membuat Arimbie semakin membenci sikapnya. Begitulah Arjuna dikenal selama ini. Dia cakap saat bekerja, tetapi lain lagi saat berhadapan dengan wanita.
Dasar gila! Jadi pengacara kalau otaknya ditaro di comberan, tetap aja kotor. Sama kotornya dengan klien yang dia bela.
Arimbie mengangkat sudut bibirnya sambil bergidik jijik.
...***...
“Akhh ... lega.” Ghibran menghela napas panjang sambil duduk di sebelah Arjuna yang akan segera melajukan mobilnya.
“Lega apanya! Aku laporin sama bapakmu, baru tau rasa!” Arjuna meninju pangkal lengan Ghibran dengan kepalan tangannya. “Jangan sampai mengulangi kesalahan yang sama! Itu bisa merusak reputasi kawan sejawat kita, tau?” ucap Arjuna sambil mendelik.
“Seorang anak polisi yang baru saja memulai kariernya sebagai Advokat terjerat kasus pencab*lan. Mau ditaro di mana muka bapakmu, Ghib?! Memalukan!” lanjutnya sambil terkekeh.
“Lah, terus kasus Pak Juna gimana?” sanggah Ghibran. Dia mengingatkan kembali kasus Arjuna dengan wanita-wanita cantik yang mengelilinginya.
“Kasus aku? Gak usah dibahas! Orang papaku aja enggak pernah peduli,” ujarnya malas membuat Ghibran mengalihkan topik pada persidangan yang baru saja berlalu.
“Si Dinda, tadi udah mau cabut gugatannya, Pak Jun. Sadar juga dia kalau aku cuma niat nolong. Masa iya, aku biarin dia jatuh di depan mata kepalaku,” kilahnya seraya berdecak.
“Hahaha! Padahal aslinya kalian berdua tetep jatuh juga. Sakit banget pastinya. Belum lagi nahan malunya yang setengah mati.” Arjuna terdengar sedang mengolok temannya. Dia berdecak sambil menggeleng. Sesekali tertawa lebar.
“Sudah jatuh, tertimpa tangga,” keluh Ghibran terdengar pelan.
“Kamu tuh yang menimpa tubuhnya Dinda. Harusnya adegan itu kamu lanjutkan di dalam hotel, pasti gak gini ceritanya,” sambung Arjuna dengan ucapannya yang jahil.
“Hhahh! Yang benar saja?” tanya Ghibran sambil membulatkan matanya. “Masalah sepele begini, masa harus berakhir di hotel?”
“Daripada berakhir di pengadilan, hayo?” Arjuna semakin iseng membuat Ghibran yang polos, berubah penasaran.
“Emangnya Pak Jun? Dikit-dikit hotel. Giliran ketahuan wartawan kan berabe urusannya. Buat apa, sih, bawa-bawa cewe ke hotel?”
“Seorang laki-laki dan perempuan pergi berduaan ke kamar hotel, kamu pikir mereka ngapain?” Arjuna melirik sekilas ke arah Ghibran yang tengah menggaruk kepalanya. Dengan iseng Arjuna meninju pelan lengan Ghibran karena mulutnya belum berhenti menganga.
“Hey! Jangan dibayangin!” Arjuna terkekeh menahan tawa. Ghibran pun ikut tertawa menanggapi candaan senior yang hampir membuatnya berpikir yang tidak-tidak.
“Mentang-mentang mukanya cakep kebangetan, bisa seenaknya bawa anak orang ke hotel.” Ghibran mencibir sekaligus memuji, membuat Arjuna kembali terbahak.
Sedetik kemudian, Arjuna menghela napas panjang. “Baguslah wanita itu segera menyadari kesalahannya, meskipun Minggu depan masih ada perang sengit antara aku dan Jaksa Arimbie.” Arjuna menarik sudut bibirnya sambil mengernyit. “Semoga ke depannya, mereka berpikir dua kali sebelum membuat gugatan.”
Ghibran segera menghadapkan badannya ke arah Arjuna. “Sebenarnya ... ada apa antara Pak Juna dengan Jaksa Arimbie? Seperti ada yang tidak beres?” tanya Ghibran sambil menatap, menunggu penjelasan dari Arjuna.
“Entahlah. Nanti akan kucari tahu kenapa dia tidak menyukaiku. Kamu tahu sendiri, kan, wanita normal akan bertekuk lutut di hadapanku. Hahaha!” jawab Arjuna sambil menginjak rem saat mobil yang dikendarai, tiba di depan Firma Hukum tempat mereka bekerja.
...***...
Seorang CEO masuk ke ruangan Arjuna dengan membawa berkas di tangannya. Dengan ragu-ragu, dia menyodorkan berkas tersebut sambil duduk di hadapan lelaki yang belum lama tiba di ruangannya. Arjuna yang tengah fokus pada layar laptop pun segera melirik pada berkas yang baru saja mendarat di atas meja.
“Apa itu? Kasus baru lagi?”tanyanya sambil mendongak.
Sang CEO berdiri dari duduknya, bertumpu di sudut meja, sambil melipat tangan di atas dada. Dia hanya menjawab dengan gerakan alis saja.
Arjuna membuka dan membaca isi berkas itu sekilas lalu setengah melemparkannya kembali di tempat semula.
“Saya sudah mengamati kasus itu sejak lama dan saya menolak untuk menanganinya!” tegas Arjuna seraya menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi yang tengah dia duduki.
“Ini perintah Pak Rudi, Jun!”
“Sudah kuduga,” jawab Arjuna yang tahu benar kebiasaan sang kakek yang selalu memaksakan kehendak.
“Katakan padanya kalau saat ini sedang banyak kasus yang harus saya tangani. Lagipula, di firma ini masih banyak pengacara ahli yang bisa diandalkan.”
“Tapi klien hanya percaya dengan kemapuanmu, Jun. Dia bilang akan membayarmu berapa pun jumlahnya.”
“Saya tidak mau dibayar dengan uang yang enggak jelas asal usulnya. Ah, sudahlah. Nanti saya bicarakan ini dengan Kakek di rumah.”
Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) melarang advokat menolak klien dengan alasan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya. Namun, tak jarang Arjuna menolak klien hanya jika itu bertentangan dengan hati nuraninya.
...-Bersambung-...
Hallo ... jumpa lagi dengan Author receh, Mbuna Banafsha. 😘
Mudah-mudahan readers semua dalam keadaan yang sangat baik. Meskipun jauh di mata, kalian tetap ada di hati. Terima kasih sudah berkenan mampir dan membaca karyaku. 🙏
See you.
Tiba di rumah, Arjuna segera membersihkan dirinya di kamar mandi karena tak tahan dengan gerah di tubuhnya.
Sambil bersiul dan bernyanyi-nyanyi pelan dia menyelesaikan ritual mandi lalu keluar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Di atas sofa, sang kakek sudah cukup lama menunggu. Hingga membuat Arjuna sedikit kaget saat menyadari keberadaannya.
“Loh ... sejak kapan Kakek duduk di situ?” Arjuna menghentikan langkahnya tepat di depan lelaki tua yang mulai ringkih.
“Mandi, kok, lama sekali!” gerutu laki-laki tua itu, tanpa menatap ke arah Arjuna yang berdiri di depannya.
“Ada hal penting apa memangnya, sampe Kakek mau berlama-lama menungguku?”
Rudi, sang kakek melemparkan sebuah tabloid yang ia pegang ke atas meja. “Mau sampai kapan kamu seperti ini?” tanyanya dengan hati dongkol akibat rumor yang selalu berseliweran di berbagai media.
Arjuna meraih tabloid lalu membacanya. Isinya bukan hal yang aneh karena ini bukan yang pertama kali. Masih tentang seorang pengacara tampan, anak dan cucu dari orang ternama di Jakarta. Baru-baru ini kembali diberitakan telah menghabiskan uang ratusan juta demi membelikan pacar barunya sebuah mobil mewah.
“Ooh, jadi hanya karena itu, wajah Kakek ditekuk?” ucap Arjuna datar sambil meletakkan kembali tabloid di atas meja lalu duduk di sebelah kakeknya.
“Kamu bilang, 'hanya'?” tanya laki-laki tua itu penuh penekanan seraya melayangkan tatapan, menahan amarah. “Apa kamu ingin membunuh kakekmu pelan-pelan dengan pemberitaan seperti itu yang tidak pernah ada hentinya?”
Arjuna hanya bisa menunduk. Hati kecilnya sungguh menyesali kesalahannya itu. Namun, ia selalu sengaja mengulang perbuatan yang kurang baik, sebagai bentuk protes terhadap sang ayah yang tidak pernah menunjukkan kasih sayang selama ini. Tanpa ia sadari seorang kakek harus kena imbas dari perbuatannya.
Arjuna sangat menyayangi sang kakek karena sesungguhnya dialah satu-satunya orang yang menyayangi Arjuna sejak kecil setelah neneknya meninggal. Meskipun sang kakek cenderung otoriter dan selalu menuntut Arjuna untuk tampil sempurna, tetapi hanya dialah yang peduli terhadap Arjuna melebihi orang tuanya sendiri.
Kakek tua itu berdiri lalu berjalan menggunakan tongkatnya meninggalkan kamar Arjuna dengan perasaan kecewa untuk kesekian kali.
Kali ini Arjuna benar-benar menyesal dan berpikir untuk mengakhiri perbuatannya. Setelah selesai mengenakan pakaian dengan rapi, dia pun segera bergegas menuju kamar Kakek Rudi untuk meminta maaf dan mengambil hatinya lagi. Namun, ketika ia hendak mengetuk pintu kamar yang sedikit terbuka, segera ia urungkan niatnya karena terdengar sebuah percakapan antara Kakek dan lelaki yang dia kenal sebagai ayahnya selama ini.
“Pa ... cobalah nasihati dia supaya memperbaiki sikapnya itu. Karena semua orang mengenal dia sebagai anakku, secara langsung namaku ikut tercoreng dengan kelakuan buruknya.”
“Papa sudah bicara dengan Arjuna tadi. Tolong mengertilah!” ucap Pak Rudi dengan suara parau khas pria tua.
“Dia bukan anak kecil lagi, Pa. Usianya sudah tiga puluh tahun sekarang. Untuk apa dia bergonta-ganti pasangan lalu memamerkannya di depan umum.” Rully adalah anak sulung dari Kakek Rudi. Arjuna mengenal Rully sebagai ayah kandung yang sangat jarang berkomunikasi dengannya. Kakek Rudi menjadi satu-satunya perantara ketika ayah dan anak itu ingin menyampaikan sesuatu. Kali ini, Rully terlihat sangat jengkel, padahal sejauh ini dia tidak peduli sedikit pun tentang Arjuna.
“Aku pikir ... sekarang saatnya Arjuna mengetahui kebenaran tentang orang tua kandungnya, Pa. Aku mau memberitahunya supaya dia lebih tahu diri.”
Pak Rudi terperangah sambil menatap wajah anaknya. “Tolong jangan lakukan hal itu. Papa mohon!” ucapnya sambil memelas. “Kasihan Arjuna, Rull. Sejak kecil dia tumbuh menjadi anak yang kurang kasih sayang dan dia sangat kesepian. Jangan lukai hatinya lagi dengan mengatakan hal itu.”
“Tapi semakin lama dia semakin tidak tahu diri, Pa! Dia juga tidak pernah mencoba menghormatiku sebagai seorang ayah.”
“Itu karena kamu tidak pernah memberinya kasih sayang. Padahal papa selalu minta kamu untuk memperlakukannya seperti anakmu sendiri. Sayangi dia.”
Tak terasa Arjuna mulai menitikkan air mata. Gamang di hatinya selama ini mulai mendapat sedikit alasan. Arjuna yang selalu memiliki segalanya dari sang kakek. Namun, dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Hari ini dia tidak perlu meminjam telinga orang lain untuk mendengar sebuah kenyataan pahit. Meskipun masih menyisakan banyak pertanyaan, setidaknya dia mengerti akan statusnya di rumah ini.
Rully merasa kecewa dengan sikap ayahnya yang terlalu memanjakan Arjuna. Dia bergegas meninggalkan kamar sang ayah dan sedikit kaget ketika berpapasan dengan Arjuna yang tanpa sengaja sudah menguping obrolan di balik pintu. Langkahnya terhenti sesaat sambil menatap Arjuna, lalu dia pergi begitu saja tanpa menjelaskan apa pun.
Dengan mata yang memerah, Arjuna masuk ke kamar Kakek Rudi untuk meminta penjelasan.
“Itukah jawaban kenapa Papa tidak pernah menyayangiku, Kek?” tanya Arjuna saat berdiri di hadapan kakeknya. Tubuh Arjuna sedikit bergetar. Pak Rudi mendongak dan menatap mata Arjuna yang berkaca-kaca.
“Tidak ada yang bisa merubah keadaan. Kamu tetap cucuku. Tidak perlu bertanya lagi.”
“Aku hanya ingin tahu kenapa kalian menutupinya? Kenapa harus merahasiakannya dariku.” Pertanyaan Arjuna sangat pelan. Namun, sedikit mendesak. Sementara Pak Rudi terus menggelengkan kepala.
“Di mana orang tua kandungku? Mereka masih hidup, 'kan? Kalau pun sudah meninggal, tunjukkan saja di mana kuburannya?” Arjuna menunggu jawaban dari pertanyaannya yang bertubi-tubi, tetapi sang kakek masih tetap bungkam.
“Katakan saja, Kek, meskipun aku seorang anak pungut, aku pasti bisa menerima kenyataan itu,” ucapnya sambil menyeka air mata yang melintas begitu saja di tulang pipinya yang tegas.
Sang kakek menatap lekat dengan bola mata yang tak lagi jernih karena tergerus usia.“Kamu bicara apa, Juna? Rully adalah ayahmu. Kami semua adalah keluarga terdekatmu. Jangan berpikir yang tidak-tidak.”
Arjuna tersenyum miring karena sang kakek masih saja menganggapnya anak kecil. Padahal, dia tahu Arjuna sangat menunggu kejujuran bukan kebohongan. Bukan waktunya lagi untuk menyembunyikan identitas Arjuna setelah percakapannya dengan Rully beberapa saat yang lalu.
“Memangnya apa yang kamu dengar? Kamu salah paham. Cobalah untuk berubah dan jangan membuat ayahmu marah supaya dia tidak bicara yang aneh-aneh.”
Melihat sang kakek yang tetap tidak mau berkata jujur, Arjuna hanya bisa mengeratkan gigi seraya mengepalkan tangan lalu ia pergi dan mengunci diri di dalam kamar. Dia terus berpikir hingga kepalanya menjadi sangat pusing.
Sementara Pak Rudi masih merasa gelisah. Karena hal yang tidak dia inginkan, akhirnya terjadi. Pria yang sudah berusia senja itu menjatuhkan kembali tubuhnya di atas sofa sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Pikirannya menerawang ke masa dua puluh enam tahun silam. Saat pertama kali Arjuna datang ke rumah ini.
Selepas kepergian suami istri yang membesarkan Arjuna sampai usianya hampir empat tahun, Rudi—kakeknya Arjuna, menatap selembar berkas yang tak lain adalah akta kelahiran milik cucunya yang ia terima dari sepasang suami istri itu sebelum mereka kembali pulang ke Bandung.
Sepasang suami istri yang nampak sedih melepas Arjuna, hanya berkata jika mereka akan sangat senang jika semua nama yang ada di sana, tidak diubah sedikit pun. Keduanya berharap, saat Arjuna beranjak dewasa, dia akan mencari dan kembali ke pelukan mereka. Pak Rudi mengakui dirinya memang egois. Dia ingin menghapus semua jejak masa lalu Arjuna, termasuk kisah cinta Minie—anak keduanya yang memilih menikah dengan Junaedi—yang hanya seorang lelaki biasa, lalu menikah tanpa restu hingga melahirkan seorang anak bernama Arjuna. Tentang Minie dan Junaedi, dia tidak ingin Arjuna mendengar nama itu. Yang ada saat ini adalah seorang pengacara muda bernama KEENAN BARRA WIJAYA. Putra pertama dari Rully Rahadian Wijaya.
Apa pun yang dirancang sang kakek untuk Arjuna, dia berharap semua yang terbaik untuk cucunya. Akan tetapi, yang terjadi tidak pernah berjalan seperti bayangannya. Arjuna tidak bahagia dengan apa yang dia miliki. Dalam benak Arjuna selalu bertanya, siapa dirinya. Kenapa ayahnya selalu memperlihatkan tatapan dingin dan penuh kebencian.
Untuk seorang kakek Rudi, memang bukan hal yang mudah menaklukan hati Arjuna kecil hingga kini ia dewasa. Ia tahu, kebahagiaan Arjuna ada bersama keluarga lain di Bandung, tetapi itu tidak menyurutkan niat untuk merebut hati cucunya. Kasih sayang untuk Minie, ia curahkan pada Arjuna. Karena itulah, Arjuna harus tetap berada di dekatnya.
...—BERSAMBUNG—...
Sejak saat itu, Arjuna berusaha menyembunyikan kesedihannya, meskipun sikapnya sedikit berubah saat berhadapan dengan Rudi dan Rully. Ia berjanji untuk memperbaiki sikap, tetapi suasana di antara mereka berubah menjadi canggung. Arjuna menjadi lebih pendiam saat berada di dalam rumah. Seperti yang dikatakan Rully, dia harus tahu diri.
“Jun, sarapan dulu!” seru Annisa—istri dari Rully. Ia tidak tahu apa yang sudah terjadi kemarin sore di kamar mertuanya.
Juna pun datang menghampiri untuk menyalaminya sebelum berangkat kerja.
“Juna lagi buru-buru, Ma. Nanti saja sarapan di kantor,” sahutnya.
Annisa bukanlah Ibu yang jahat buat Arjuna, hanya saja dia selalu sibuk dengan kegiatan ibu-ibu sosialita, sehingga tidak pernah memiliki waktu luang untuk Arjuna. Meski begitu, Arjuna tetap menghormati dan menyayanginya sekalipun saat ini dia tahu bahwa Annisa bukan ibu kandungnya.
Arjuna melajukan mobil dengan pelan pikirannya masih melayang entah ke mana. Tatapan yang kosong tiba-tiba terpaut di toko bunga yang sedang ia lewati dalam perjalanannya. Segera ia hentikan mobil untuk membeli beberapa bunga di sana.
Berdiri di depan toko yang sudah memajang berbagai macam jenis bunga sambil menunduk mengamati ujung sepatu yang ia ketukan ke lantai. Arjuna tampak menikmati suara ketukan dari sepatunya yang terdengar berirama. Hingga sapaan pemilik toko bunga membuyarkan lamunannya.
“Silakan bunganya, Tuan ....”
Arjuna segera mengangkat wajahnya yang tengah menunduk, lalu tersenyum manis pada sang pemilik toko.
“Loh, Pak Juna ...?” tanya gadis pemilik toko sambil mengangkat telunjuknya.
“Ohh, siapa, ya?” tanya Arjuna sambil mengerutkan dahinya.
“Saya, Dinda. Kita bertemu di persidangan beberapa hari yang lalu. Masih ingat?”
Arjuna yang ramah tersenyum sambil mengangguk. “Oo ... ya, ya. Saya ingat sekarang. Dinda, ya,” ucap Arjuna tidak begitu peduli. Dia lebih fokus mengamati bunga di hadapannya satu per satu.
Dinda mengamati wajah Arjuna yang jika dilihat dari sisi mana pun tetap memancarkan pesona. Dia pun baru tahu bahwa ternyata Arjuna adalah sosok yang humble dan murah senyum.
Tak heran jika dia selalu dikelilingi wanita-wanita cantik.
Mata Dinda seakan kena sihir sehingga ia lupa untuk mengedip.
“Tolong beri saya satu buket bunga mawar, satu Anyelir dan bunga lili,” pinta Arjuna.
“Ba-baik. Sebentar.” Dinda berhenti menatap wajah Arjuna dan segera memberikan bunga yang dimintanya.
Arjuna segera kembali ke mobilnya setelah membayar bunga-bunga tersebut. Namun, tiba-tiba ia mendongak menatap sebuah banner yang terpasang di sebuah bangunan yang berada dekat dengan toko bunga. Di sana tertulis kalimat disewakan juga disertai nomor kontak yang bisa dihubungi.
Selama beberapa menit ia menatap lalu kepalanya mengangguk seperti sedang memikirkan sesuatu. lalu ia segera melajukan mobilnya.
Bersamaan dengan Arjuna yang melajukan mobilnya, Arimbie pun keluar dari toko bunga itu. Siap dengan setelan kerja dan tak lupa dengan kacamata yang menjadi ciri khasnya.
“Siapa yang sudah borong bunga sepagi ini, Din?” tanya Arimbie sambil melangkah menuju mobilnya.
“Tebak! Siapa yang baru saja datang membeli bunga kita?” Wajah Dinda berseri-seri karena masih membayangkan senyum ramah Arjuna beberapa saat yang lalu.
Arimbie hanya menggelengkan kepalanya karena tidak tertarik dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Dinda.
“Pengacara tampan itu, Bie. Dia baru saja membeli tiga buket bunga di toko kita.”
“Pengacara tampan? Selama setahun menjadi jaksa, aku belum pernah tuh melihat pengacara tampan,” ucapnya sambil tersenyum sinis lalu membuka pintu mobil dan memanaskan mesin.
“Arjuna, Bie!” tegas Dinda sambil mondar-mandir mengikuti gerakan Arimbie.
“Sshh, sejak kapan pengacara mesum itu berubah jadi tampan?” gumam Arimbie dengan wajahnya yang datar. “Berapa bunga yang dia beli hari ini?” tanya Arimbie sambil mendongak.
“Tiga,” jawab Dinda sambil mengacungkan tiga jarinya.
“Aku gak heran sepagi ini dia sudah coba menggoda tiga wanita sekaligus,” ucap Arimbie yang sudah siap melajukan mobilnya.
Dalam pikiran Arimbie, pengacara kondang itu kerap menghabiskan waktunya dengan menggoda wanita-wanita cantik sambil memberi bunga dan barang-barang mewah seperti dalam pemberitaan yang beredar.
...***...
Arjuna masih melajukan mobilnya lalu berhenti di tempat yang biasa ia datangi seminggu sekali. membawa bunga dan meletakkannya di atas pusara sang nenek yang meninggal beberapa tahun silam.
Tepat di setiap hari Jumat ia selalu datang untuk mendoakan neneknya di surga. Namun, kali ini berbeda. Dia yang biasa membawa seikat bunga, kali ini masih ada dua ikat bunga yang dia taruh di sampingnya.
“Nenek, aku titip salam untuk Ayah dan Ibu yang saat ini mungkin ada bersamamu. Aku sangat merindukan kalian,” ucapnya sambil meletakkan dua ikat bunga lagi ke atas kuburan sang nenek. “Ayah ... Ibu, di mana pun kalian berada, semoga kalian selalu bahagia.” Bibir Arjuna tersenyum. Namun, air matanya jatuh begitu saja.
Arjuna mengambil sebuah saputangan dari saku jas hitamnya untuk menyeka air mata, lalu beranjak menuju tempat ia bekerja.
“Selamat pagi semua ...,” sapa Arjuna setelah melewati pintu otomatis yang terbuat dari kaca mewah.
“Pagi, Pak Jun,” jawab resepsionis yang segera berdiri ketika Juna datang. “ Oh, ya. Seseorang sedang menunggu Pak Juna di dalam,” terangnya.
“Baiklah. Terima kasih.” Arjuna segera menuju ke ruangannya.
Di sana sudah duduk menunggu seorang laki-laki tua yang tak lain adalah kakeknya Arjuna bersama seorang asisten yang selalu menemaninya kemana pun.
“Jam segini baru nyampe kantor? Padahal dari rumah berangkat pagi sekali,” ucap sang kakek seraya menatap jam tangannya.
Arjuna tidak menanggapi, dia hanya menunduk. “Sebentar, Kek. Juna buatkan dulu secangkir kopi untuk Kakek.”
“Tidak perlu. Kakek hanya mampir sebentar, karena setelah ini harus mengunjungi teman kakek,” ucapnya sambil berdiri dari duduknya. “Ikutlah dengan kakek. Dia membutuhkan bantuanmu untuk menyelesaikan kasusnya.”
“Apa teman Kakek yang terjerat kasus suap itu?” tanya Arjuna sambil membuang napasnya. “Maaf, Kek. Juna tidak bisa. Hari ini agak sibuk.”
“Selain berperilaku buruk, sekarang kamu mulai berani membangkang kakek, Jun?” sergah Kakek Rudi yang mulai menunjukkan sikap otoriternya. “Selama kamu masih mau bekerja di sini, ikutilah peraturanku.” Sang kakek pun pergi dari hadapan cucunya.
Arjuna menarik napasnya dalam-dalam sambil berpikir cukup lama. Akhirnya dia datang menemui CEO di ruangannya dengan membawa sebuah amplop.
“Apa! Mengundurkan diri? Kamu tidak salah, Jun?” CEO yang memiliki nama lengkap Gilang Budiman itu kaget. Dia menatap wajah Arjuna penuh tanda tanya.
Arjuna mengangguk dengan penuh keyakinan, dan keputusannya itu sudah final. Tidak bisa diganggu gugat lagi.
“Ada apa, Jun? kenapa harus mengundurkan diri?”
Arjuna hanya menggelengkan kepalanya sambil mengulas senyum.
“Pikirkan lagi baik-baik,” ucap Gilang sambil membuang amplop itu ke tempat sampah. Arjuna memungut kembali dan meletakkan amplop di atas meja. Lalu pergi ke suatu tempat.
Arjuna membuka jas lalu menggulung lengan kemeja putihnya sebelum melajukan mobil dengan pelan. Dia berhenti ketika tidak sengaja lewat di depan sekolah di mana dia menghabiskan masa taman kanak-kanaknya hingga ke sekolah menengah. Internasional school yang cukup terkenal di Jakarta.
Di dalam mobil, udara terasa lebih panas hingga Arjuna mengeluarkan saputangan untuk mengelap keringatnya. Ia terus menatap sapu tangan yang sudah cukup kotor karena tadi pagi ia gunakan juga untuk menyeka air matanya.
Dari kejauhan dia masih bisa melihat sebuah bangku yang berada di bawah pohon yang biasa dulu ia duduki saat bel istirahat sudah berbunyi. Posisinya masih sama. Namun, bangku itu mungkin sudah mengalami banyak perubahan hingga saat ini.
Seorang anak laki-laki berusia delapan tahun duduk termenung memandangi teman-teman seusianya yang disambut pelukan hangat dari kedua orang tua yang datang menjemput di waktu pulang sekolah. Satu per satu dari mereka pulang meninggalkan area sekolah. Suasana mulai sedikit sepi. Tinggallah di sana sang anak laki-laki yang juga tengah menunggu jemputannya sambil meniup luka di siku tangannya akibat terjatuh karena berdesakkan saat keluar dari kelas.
Tiba-tiba gadis berusia empat tahun datang menghampiri. Sambil mengerutkan wajahnya ia bertanya, “Cakit kali, ya?”
Dia mengeluarkan sebuah saputangan dari dalam tas gendong lalu mengikatkannya di siku tangan anak laki-laki, seperti yang sering dia lihat saat ibunya merawat luka pasien. Gadis kecil itu ingin duduk lebih lama di sana, tetapi seseorang sudah memanggilnya dari kejauhan.
“Nda, jemput.” Gadis kecil menunjuk ke arah wanita yang tengah melambaikan tangan. Dia berdiri lalu berlari.
...—BERSAMBUNG—...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!