Sejak saat itu, Arjuna berusaha menyembunyikan kesedihannya, meskipun sikapnya sedikit berubah saat berhadapan dengan Rudi dan Rully. Ia berjanji untuk memperbaiki sikap, tetapi suasana di antara mereka berubah menjadi canggung. Arjuna menjadi lebih pendiam saat berada di dalam rumah. Seperti yang dikatakan Rully, dia harus tahu diri.
“Jun, sarapan dulu!” seru Annisa—istri dari Rully. Ia tidak tahu apa yang sudah terjadi kemarin sore di kamar mertuanya.
Juna pun datang menghampiri untuk menyalaminya sebelum berangkat kerja.
“Juna lagi buru-buru, Ma. Nanti saja sarapan di kantor,” sahutnya.
Annisa bukanlah Ibu yang jahat buat Arjuna, hanya saja dia selalu sibuk dengan kegiatan ibu-ibu sosialita, sehingga tidak pernah memiliki waktu luang untuk Arjuna. Meski begitu, Arjuna tetap menghormati dan menyayanginya sekalipun saat ini dia tahu bahwa Annisa bukan ibu kandungnya.
Arjuna melajukan mobil dengan pelan pikirannya masih melayang entah ke mana. Tatapan yang kosong tiba-tiba terpaut di toko bunga yang sedang ia lewati dalam perjalanannya. Segera ia hentikan mobil untuk membeli beberapa bunga di sana.
Berdiri di depan toko yang sudah memajang berbagai macam jenis bunga sambil menunduk mengamati ujung sepatu yang ia ketukan ke lantai. Arjuna tampak menikmati suara ketukan dari sepatunya yang terdengar berirama. Hingga sapaan pemilik toko bunga membuyarkan lamunannya.
“Silakan bunganya, Tuan ....”
Arjuna segera mengangkat wajahnya yang tengah menunduk, lalu tersenyum manis pada sang pemilik toko.
“Loh, Pak Juna ...?” tanya gadis pemilik toko sambil mengangkat telunjuknya.
“Ohh, siapa, ya?” tanya Arjuna sambil mengerutkan dahinya.
“Saya, Dinda. Kita bertemu di persidangan beberapa hari yang lalu. Masih ingat?”
Arjuna yang ramah tersenyum sambil mengangguk. “Oo ... ya, ya. Saya ingat sekarang. Dinda, ya,” ucap Arjuna tidak begitu peduli. Dia lebih fokus mengamati bunga di hadapannya satu per satu.
Dinda mengamati wajah Arjuna yang jika dilihat dari sisi mana pun tetap memancarkan pesona. Dia pun baru tahu bahwa ternyata Arjuna adalah sosok yang humble dan murah senyum.
Tak heran jika dia selalu dikelilingi wanita-wanita cantik.
Mata Dinda seakan kena sihir sehingga ia lupa untuk mengedip.
“Tolong beri saya satu buket bunga mawar, satu Anyelir dan bunga lili,” pinta Arjuna.
“Ba-baik. Sebentar.” Dinda berhenti menatap wajah Arjuna dan segera memberikan bunga yang dimintanya.
Arjuna segera kembali ke mobilnya setelah membayar bunga-bunga tersebut. Namun, tiba-tiba ia mendongak menatap sebuah banner yang terpasang di sebuah bangunan yang berada dekat dengan toko bunga. Di sana tertulis kalimat disewakan juga disertai nomor kontak yang bisa dihubungi.
Selama beberapa menit ia menatap lalu kepalanya mengangguk seperti sedang memikirkan sesuatu. lalu ia segera melajukan mobilnya.
Bersamaan dengan Arjuna yang melajukan mobilnya, Arimbie pun keluar dari toko bunga itu. Siap dengan setelan kerja dan tak lupa dengan kacamata yang menjadi ciri khasnya.
“Siapa yang sudah borong bunga sepagi ini, Din?” tanya Arimbie sambil melangkah menuju mobilnya.
“Tebak! Siapa yang baru saja datang membeli bunga kita?” Wajah Dinda berseri-seri karena masih membayangkan senyum ramah Arjuna beberapa saat yang lalu.
Arimbie hanya menggelengkan kepalanya karena tidak tertarik dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Dinda.
“Pengacara tampan itu, Bie. Dia baru saja membeli tiga buket bunga di toko kita.”
“Pengacara tampan? Selama setahun menjadi jaksa, aku belum pernah tuh melihat pengacara tampan,” ucapnya sambil tersenyum sinis lalu membuka pintu mobil dan memanaskan mesin.
“Arjuna, Bie!” tegas Dinda sambil mondar-mandir mengikuti gerakan Arimbie.
“Sshh, sejak kapan pengacara mesum itu berubah jadi tampan?” gumam Arimbie dengan wajahnya yang datar. “Berapa bunga yang dia beli hari ini?” tanya Arimbie sambil mendongak.
“Tiga,” jawab Dinda sambil mengacungkan tiga jarinya.
“Aku gak heran sepagi ini dia sudah coba menggoda tiga wanita sekaligus,” ucap Arimbie yang sudah siap melajukan mobilnya.
Dalam pikiran Arimbie, pengacara kondang itu kerap menghabiskan waktunya dengan menggoda wanita-wanita cantik sambil memberi bunga dan barang-barang mewah seperti dalam pemberitaan yang beredar.
...***...
Arjuna masih melajukan mobilnya lalu berhenti di tempat yang biasa ia datangi seminggu sekali. membawa bunga dan meletakkannya di atas pusara sang nenek yang meninggal beberapa tahun silam.
Tepat di setiap hari Jumat ia selalu datang untuk mendoakan neneknya di surga. Namun, kali ini berbeda. Dia yang biasa membawa seikat bunga, kali ini masih ada dua ikat bunga yang dia taruh di sampingnya.
“Nenek, aku titip salam untuk Ayah dan Ibu yang saat ini mungkin ada bersamamu. Aku sangat merindukan kalian,” ucapnya sambil meletakkan dua ikat bunga lagi ke atas kuburan sang nenek. “Ayah ... Ibu, di mana pun kalian berada, semoga kalian selalu bahagia.” Bibir Arjuna tersenyum. Namun, air matanya jatuh begitu saja.
Arjuna mengambil sebuah saputangan dari saku jas hitamnya untuk menyeka air mata, lalu beranjak menuju tempat ia bekerja.
“Selamat pagi semua ...,” sapa Arjuna setelah melewati pintu otomatis yang terbuat dari kaca mewah.
“Pagi, Pak Jun,” jawab resepsionis yang segera berdiri ketika Juna datang. “ Oh, ya. Seseorang sedang menunggu Pak Juna di dalam,” terangnya.
“Baiklah. Terima kasih.” Arjuna segera menuju ke ruangannya.
Di sana sudah duduk menunggu seorang laki-laki tua yang tak lain adalah kakeknya Arjuna bersama seorang asisten yang selalu menemaninya kemana pun.
“Jam segini baru nyampe kantor? Padahal dari rumah berangkat pagi sekali,” ucap sang kakek seraya menatap jam tangannya.
Arjuna tidak menanggapi, dia hanya menunduk. “Sebentar, Kek. Juna buatkan dulu secangkir kopi untuk Kakek.”
“Tidak perlu. Kakek hanya mampir sebentar, karena setelah ini harus mengunjungi teman kakek,” ucapnya sambil berdiri dari duduknya. “Ikutlah dengan kakek. Dia membutuhkan bantuanmu untuk menyelesaikan kasusnya.”
“Apa teman Kakek yang terjerat kasus suap itu?” tanya Arjuna sambil membuang napasnya. “Maaf, Kek. Juna tidak bisa. Hari ini agak sibuk.”
“Selain berperilaku buruk, sekarang kamu mulai berani membangkang kakek, Jun?” sergah Kakek Rudi yang mulai menunjukkan sikap otoriternya. “Selama kamu masih mau bekerja di sini, ikutilah peraturanku.” Sang kakek pun pergi dari hadapan cucunya.
Arjuna menarik napasnya dalam-dalam sambil berpikir cukup lama. Akhirnya dia datang menemui CEO di ruangannya dengan membawa sebuah amplop.
“Apa! Mengundurkan diri? Kamu tidak salah, Jun?” CEO yang memiliki nama lengkap Gilang Budiman itu kaget. Dia menatap wajah Arjuna penuh tanda tanya.
Arjuna mengangguk dengan penuh keyakinan, dan keputusannya itu sudah final. Tidak bisa diganggu gugat lagi.
“Ada apa, Jun? kenapa harus mengundurkan diri?”
Arjuna hanya menggelengkan kepalanya sambil mengulas senyum.
“Pikirkan lagi baik-baik,” ucap Gilang sambil membuang amplop itu ke tempat sampah. Arjuna memungut kembali dan meletakkan amplop di atas meja. Lalu pergi ke suatu tempat.
Arjuna membuka jas lalu menggulung lengan kemeja putihnya sebelum melajukan mobil dengan pelan. Dia berhenti ketika tidak sengaja lewat di depan sekolah di mana dia menghabiskan masa taman kanak-kanaknya hingga ke sekolah menengah. Internasional school yang cukup terkenal di Jakarta.
Di dalam mobil, udara terasa lebih panas hingga Arjuna mengeluarkan saputangan untuk mengelap keringatnya. Ia terus menatap sapu tangan yang sudah cukup kotor karena tadi pagi ia gunakan juga untuk menyeka air matanya.
Dari kejauhan dia masih bisa melihat sebuah bangku yang berada di bawah pohon yang biasa dulu ia duduki saat bel istirahat sudah berbunyi. Posisinya masih sama. Namun, bangku itu mungkin sudah mengalami banyak perubahan hingga saat ini.
Seorang anak laki-laki berusia delapan tahun duduk termenung memandangi teman-teman seusianya yang disambut pelukan hangat dari kedua orang tua yang datang menjemput di waktu pulang sekolah. Satu per satu dari mereka pulang meninggalkan area sekolah. Suasana mulai sedikit sepi. Tinggallah di sana sang anak laki-laki yang juga tengah menunggu jemputannya sambil meniup luka di siku tangannya akibat terjatuh karena berdesakkan saat keluar dari kelas.
Tiba-tiba gadis berusia empat tahun datang menghampiri. Sambil mengerutkan wajahnya ia bertanya, “Cakit kali, ya?”
Dia mengeluarkan sebuah saputangan dari dalam tas gendong lalu mengikatkannya di siku tangan anak laki-laki, seperti yang sering dia lihat saat ibunya merawat luka pasien. Gadis kecil itu ingin duduk lebih lama di sana, tetapi seseorang sudah memanggilnya dari kejauhan.
“Nda, jemput.” Gadis kecil menunjuk ke arah wanita yang tengah melambaikan tangan. Dia berdiri lalu berlari.
...—BERSAMBUNG—...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Elly Az
pasti arimbiekan
2021-07-06
0
Zaini
pasti itu arimbie anknya banana
2021-02-12
0
Nuraini
pasti arimbi
2021-01-04
1