Ghavi tiba dirumah waktu makan malam. Untungnya supir yang menjemputnya diterminal tidak datang terlambat. Jadi, saat sampai dirumah Ghavi tidak perlu melewatkan makan malamnya.
" Non, selamat datang! Semoga non betah tinggal disini. O, ya silakan langsung keruang makan. Eyang Putri sudah menunggu."
" Iya, Bi. Terima kasih!" ucapnya seraya menyerahkan kopernya pada Bi Narti, pembantu Eyang Putri Ghavi dari pihak ibunya.
Ya. Ghavi pergi ke Jogja selain untuk melanjutkan pendidikannya dan memenuhi wasiat terakhir ayah dan kakeknya, juga untuk menemani eyangnya, keluarga Ghavi yang tinggal satu-satunya.
Selama ini Ghavi kurang akrab dan dekat dengan eyangnya dikarenakan dulu eyangnya melarang keras hubungan ayah dan ibunya. Ghavi sendiri tidak tahu alasannya kenapa? Tapi karena ibu dan ayahnya saling mencintai, terpaksa eyangnya mengijinkan mereka menikah dengan syarat, mereka tidak boleh tinggal serumah dengan eyang. Untuk itulah Ghavi lebih dekat dengan kakek dan neneknya dari pihak ayah.
Namun, seiring berjalannya waktu eyang yang lebih akrab dipanggil Eyang Sosro ( nama belakang alm. eyang kakung ) itu perlahan mulai menerima kehadiran Ghavi, terlebih semenjak tragedi kecelakaan yang menewaskan ibu Ghavi yang tak lain anak angkat Eyang Sosro.
Ya, Eyang Sosro dan suaminya memang tidak memiliki anak dikarenakan eyang putri yang divonis mandul. Sebenarnya eyang putri pernah menyarankan suaminya untuk menikah lagi demi mendapat keturunan. Namun, karena begitu sayangnya eyang kakung, beliau tidak mau menikah lagi dan lebih memilih mengangkat ibunya Ghavi sebagai anaknya.
" Eyaaaaang ... !!!"
Ghavi berlari menghampiri wanita sekitar 80an tahun yang tengah duduk dikursi makan kebesarannya sambil merentangkan tangan.
" Eyang, apa kabar? Ghavi kangen banget sama Eyang." dipeluknya tubuh renta itu penuh kerinduan.
Diciuminya punggung tangannya dan kedua pipinya penuh rasa sayang.
" Seperti yang kau lihat, Nduk, Eyang sehat. Ini berkat Bi Narti yang selalu merawat Eyang dengan baik." jawab Eyang Sosro membalas pelukan sang cucu.
Matanya berkaca-kaca karena menahan rindu yang membuncah.
Akhirnya dia bisa menjalani sisa hidupnya dengan sang cucu satu-satunya itu.
" Bagaimana kabarmu juga, Nduk?? Sepertinya kau tampak kurusan. Kenapa, hmmm??"
Dipandanginya tubuh mungil cucunya yang terlihat lebih kurus dari terakhir kali berkunjung setengah tahun lalu.
" Iya, Yang. Sejak Kakek nggak ada, aku merasa kesepian." jawabnya sedih mengingat kepergian kakeknya lima puluh hari lalu.
"Makanya, begitu aku terima kabar kalau Eyang minta aku tinggal disini aku langsung berangkat."
" Maafkan Eyang, Nduk. Kondisi Eyang tidak memungkinkan untuk datang waktu Kakekmu meninggal."ucapnya penuh sesal.
Dibelainya rambut sang cucu penuh kasih.
" Iya. Sudahlah Eyang. Tidak usah dibahas lagi. Sekarang aku lapar. Apa Eyang menyiapkan makan malam untukku juga??"
Ghavi berdiri dari sungkeman eyangnya lantas duduk dikursi makan. Tangannya langsung mencomot perkedel kentang dihadapan sang eyang.
" Huusst ...! Cuci tangan dulu. Kebiasaan." perempuan renta itu menampik tangan yang hendak mencomot perkedel.
" Hehe ... . Maaf!"
🌳🌴🌾⚘
Pagi hari dikediaman Eyang Sosro.
" Tok ... tok ... tok ...!!! "
" Non, bangun, Non! Sudah pagi. Eyang menunggu untuk sarapan." terdengar Bi Narti mengetuk pintu membangunkan cucu majikannya.
" Hmmhh ... iya, Bi. Tunggu lima belas menit lagi aku nyusul. Baru mau mandi, nih." sahut Ghavi dari dalam.
Lima belas menit kemudian muncullah gadis mungil mengenakan kaos oblong putih kedodoran dipadu padankan celana jeans pendek selutut keluar dari kamar tengah. rambut hitamnya yang lurus sebahu diberi bandana pink model kupu-kupu.
" Pagi, Bi!"
" Pagi juga, Non!"
Ghavi pun melangkah keruang makan diikuti Bi Narti di belakangnya.
" Eyang di samping rumah, Non. Sarapannya juga sudah Bibi bawa kesana." ujar Bi Narti manakala dilihatnya Ghavi celingak-celinguk mencari seseorang.
" Oh."
Dengan langkah lebar Ghavi pun melangkah ke samping rumah, tempat biasa dia dan eyangnya biasa bercengkrama.
Udara sejuk berhembus dari kebun sayur dan buah di belakang rumah. Ditambah lagi semerbak wangi bunga yang beraneka warna dan ragam membuat rongga paru-paru terasa segar.
" Huuuffhh ... Haaaahhh ... " Ghavi menghirup napas pelan dan dalam seakan ingin mengisi paru-parunya dengan udara segar itu sebanyak mungkin. Kemudian dihempadkannya pelan.
Sudah lama dia tidak merasakan udara sesegar ini sewaktu di Jakarta.
" Sini, Nduk!" teriak eyang dari gazebo, atau lebih tepatnya gubuk yang terbuat dari bambu wulung beratap ilalang yang berdiri kokoh di tengah kebun bunga samping rumah.
Rumah Eyang Sosro tidak sebesar Rumah Kakek di Jakarta. Rumah Eyang Sosro masih mengedepankan rumah joglo sesuai rumah adat jawa, meski di dalamnya sudah mengalami akulturasi kebudayaan antara jawa dan moderen.
Rumahnya juga tidak besar dan tidak berloteng. Hanya ada satu kamar utama yang ditempati eyang, kamar tengah yang sekarang ditempati Ghavi, itupun dulunya adalah kamar ibunya. Satu kamar tamu yang terpisah karena letaknya berada paling depan menyatu dengan ruang tamu, serta satu kamar pembantu di belakang dekat dapur dan desertai kamar mandi di masing-kamar. Juga satu kamar mandi yang berada diantara ruang tamu dan ruang makan yang menyatu dengan ruang keluarga.
" Iya, Eyang! Sebentar. Aku sedang menikmati udara segar ini melepas penat dan lelah setelah perjalanan jauh kemarin."jawab Ghavi tersenyum.
Direntangkannya kedua tangan dan berputar. Matanya terpejam untuk beberapa saat.
" Sudah, Non. Lebih baik sekarang sarapan dulu. Kasihan Eyang sudah lama menunggu." perintah Bi Narti menarik tangan Ghavi menuju gazebo bambu menemui eyang.
" Sini cah ayu. Duduk! Ini Eyang pesankan nasi uduk orek tempe kesukaan kamu." tunjuk eyang pada bungkusan daun pisang berisi nasi uduk.
" Waaahh ... Eyang tahu saja aku lagi pengin makan nasi uduk. Eyang emang the best! " Ghavi mengacungkan jempolnya tanda senang.
" Sambal bawangnya juga, dong. Sama kerupuk kulitnya juga." sambungnya tertawa.
" Pokoknya semua klangenan
cah ayu ono kabeh." ujar sang eyang dengan logat jawanya yang kental.
#pokoknya semua kegemaran kamu ada semua.
" Siip!!"
Eyang Sosro, Ghavi dan Bi Narti pun sarapan dengan lahap. Nasi uduk yang dibungkus daun pisang membuat bau yang khas citarasanya. Apalagi ditambah orek tempe, sambel bawang serta kerupuk kulit yang menambah sarapan pagi itu semakin nikmat.
Selepas sarapan, Ghavi memutuskan untuk ikut Bi Narti ke pasar. Jarak antara rumah dan pasar hanya sekitar lima belas menit jika ditempuh jalan kaki.
Berhubung masih pagi, mereka memutuskan untuk berangkat jalan kaki saja sembari menikmati indahnya pagi didesa tempat mereka tinggal. Desa tempat eyang tinggal memang strategis karena berada didekat perkotaan. Jadi, meskipun disekitarnya masih banyak area persawahan, tapi untuk kekota juga tidak terlalu jauh.
" Bi, kemarin yang jemput aku siapa namanya, ya, aku lupa. Hehe ... " Ghavi memulai percakapan dengan Bi Narti sambil terus berjalan kepasar.
" Cakep, ya, Non." Bi Narti menyeringai.
" Namanya Aksan, Non. Dia anaknya Bu Diah, tetangga sebelah rumah. Dia sekarang sedang menyelesaikan kuliahnya di Perguruan Tinggi Negeri di kota ini. Calon Insinyur pertanian, Non."
"Owh, gitu. Hehe ... iya , Bi, lumayan. Pantesan aku kaget pas diterminal aku cari-cari Pak Agung tidak ketemu, eh, tiba-tiba saja ada laki-laki muda bawa papan bertuliskan nama aku dan Eyang." jawab Ghavi mengingat pertemuannya dengan Aksan kemarin sore.
" Memangnya Pak Agung kemana, Bi? Biasanya, kan beliau yang jadi supir dirumah Eyang."
" Istri Pak Agung melahirkan anaknya yang keempat, Non. Jadi minta ijin seminggu mau menemani istrinya di rumah sakit." jelas Bi Narti lagi.
" Owh, iya. Kalau si Risa sekarang dimana? Dari kemarin nggak kelihatan. Mau tanya dari semalam lupa."
" Risa ada dirumah. Baru lulus juga seperti, Non. Tapi masih bingung mau kerja dimana dengan hanya ijazah SMA." keluh Bi Narti sedih.
" Kenapa nggak kuliah saja, Bi. Sayang kalau nggak lanjut. Risa, kan anaknya pintar."
" Biaya darimana, Non. Lha wong untuk sekolah adik-adiknya saja susah." jawabnya sedih.
Anak Bi Narti tiga. Yang pertama Risa, seumuran Ghavi. Kedua Fajar, baru kelas dua SMP. Dan yang ketiga Shifa baru kelas empat SD. Suami Bi Narti meninggal karena penyakit demam berdarah satu tahun lalu. Dulu semasa hidupnya juga bekerja dirumah eyang sebagai tukang kebun dan jaga rumah kalau malam, aplusan dengan pak Agung.
Sementara Pak Agung sendiri tugasnya sesekali waktu saja jika dibutuhkan. Pekerjaan utamanya buka kios sembako dirumah dibantu istri.
" Sudah sampai, Bi. Silakan Bibi belanja. Aku ikut saja. Jangan lupa beli geplak kelapa y, Bi."
" Baik, Non."
⚋⚋⚋⚋⚋⚋⚋⚋⚋⚋⚋⚋⚋⚋⚋⚋
Tak terasa sudah seminggu ini Ghavi tinggal dirumah eyangnya. Dia juga sudah melakukan pendaftaran diPerguruan Tinggi yang sama dengan Risa. Ya, setelah membujuk Bi Narti agar anaknya bisa lanjut kuliah, akhirnya Risa masuk melalui jalur beasiswa. Jadi Bi Narti tidak perlu memikirkan biayanya selama Risa bisa mempertahankan prestasi akademiknya.
Ghavi tengah tiduran dikamar saat terdengar nada dering ponselnya bernyanyi. Dengan segera diangkatnya begitu nama Liana yang tempampang dilayar.
" Hallo ... "jawabnya begitu menekan tombol hijau.
" Viiiii ... " pekiknya kencang sampai-sampai Ghavi menjauhkan benda pipih itu dari telinganya.
" Aaauw ..." Ghavi mengaduh karena merasakan sakit ditelinganya.
" Kamu jahat sekali tahu, nggak. Pergi nggak kasih kabar. Kemarin aku main ke rumah, tapi kata Bu Yoyon kamu pindah ke Jogja. Bukannya kamu sudah janji padaku mau kuliah bareng..." sungut Liana panjang lebar.
" Sorry, Li! Aku nggak jadi kuliah di Jakarta, Eyangku memintaku pulang dan kuliah di Jogja. Alasannya di Jakarta aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Ada si Ibu dan Pak Yoyon. Tapi Eyang memintaku untuk tinggal, alasannya hanya aku keluarganya sekarang. sorry, ya nggak sempat kasih kabar. Ini juga mendadak sekali." jelas Ghavi tak kalah panjangnya. Tapi Ghavi sengaja tidak memberitahukan alasan lain kenapa dia terpaksa pindah. Gadis itu belum siap untuk cerita pada sahabat kecilnya itu. Eyangnya sendiri pun belum diberitahu.
" Sayang sekali, Vi, kita nggak sama-sama lagi." terdengar nada kecewa diseberang sana.
" Kita, kan masih bisa chat, vc, iya, kan?!" ujar Ghavi mencoba menghibur.
Dia sendiripun sebenarnya sedih harus jauh dari satu-satunya sahabat kecilnya yang dia percaya dalam suka maupun duka.
Beruntung sekarang disini dia sudah punya teman baru, Risa dan Aksan. Ya. Ghavi akhir nya meminta bantuan Aksan sewaktu dia dan Risa mengurus administrasi pendaftaran masuk PTN. Beruntungnya lagi Aksan membantunya dengan senang hati. Merekapun akhirnya berteman.
" Tapi aku sedih, Vi. Sudah tidak ada lagi yang aku ajak ghibah. Hehe ... " sahutnya terkekeh, meski kekehannya terdengar menyakitkan.
" Hahaha ..." Ghavi terbahak.
" Kamu bisa ghibah sama si Ujang, Li. Bukannya dia juga daftar ditempat kamu??"
" Whaatt??? Kamu g*la, ya nyuruh aku ghibah sama dia. Yang ada nanti aku diceramahi habis-habisan sama doi. Secara, kan dia anak ustad." Liana menggerutu kesal dengan candaan sahabatnya.
" Hahaha ..."
Akhirnya Ghavi jatuh tertidur setelah mengakhiri video callnya dengan Liana selama satu jam. Hari ini sangat melelahkan baginya setelah mondar-mandir bersama Risa mencari perlengkapan kuliah yang akan dimulai besok pagi.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
erik yk
ttep semangat berkarya kak
2022-05-15
0
🦄Olong Long
suka.. bagus ceritanya thor
2020-10-21
0