Belajar ikhlas

Nawal

Sudah dua Minggu berlalu semenjak pernikahan mas Fandy dan Mila. Aku udah pasrah dengan jalan hidupku pada Tuhan. Karna aku nggak bisa ngapa-ngapain lagi. Biarlah aku ikhlas menjalani takdir ini. Apapun yang terjadi nanti, Aku yakin Tuhan tau mana yang terbaik untuk hambanya.

Pikiranku mulai terbuka. Karna beban dan masalah rumah tanggaku yang begitu rumit, Aku semakin mendekatkan diri pada Tuhan. Enggak mungkin kan, aku mengadu pada orang tuaku di kampung, jadi aku lebih banyak sholat malam untuk mengadu pada Tuhan tentang apa yang aku alami.

Seperti malam ini, Tepat pukul 2.35 dini hari, aku terbangun dan tenggorokanku terasa kering. Aku bangkit dan hendak mengambil air di dapur. Tapi naas nya, saat aku membuka pintu, aku kembali mendengar suara desahan laknat saling bersahut-sahutan. Suara siapa lagi kalau bukan suara suamiku dan maduku.

Kakiku terasa kebas, kaku dan mendadak berat. Aku kembali menangis. Sekuat tenaga aku melangkahkan kakiku kembali masuk ke kamar, dengan keras aku membanting pintu kamar dan menguncinya dari dalam, aku berlari menuju ranjang dan menelungkup kan tubuhku, membalutinya dengan selimut.

Suara itu, terus saja terngiang di telingaku. Aku harus apa Tuhan? Aku belajar untuk mengikhlaskannya, tapi kenapa hatiku masih terasa sakit menyaksikan kebahagiaan suami dan maduku. Aku iri, tentu saja. Karna suamiku tak pernah memperlakukanku dengan adil. Dia bahkan tidak pernah menyentuhku.

Sudah dua Minggu aku mendiamkannya, aku berharap dia sadar dan meminta maaf padaku. Tetapi alih-alih meminta maaf, dia malah semakin menyakitiku dengan cara yang seperti ini.

Mungkin ada sekitar sepuluh menit kurang lebih setelah aku membanting pintu. Aku mengambil air wudhu dan sholat malam. Aku terpaksa meminum air kran di kamar mandi ku karna tidak ingin keluar dan mendengar apapun lagi.

Di pertengahan sholat, Aku tak sengaja mendengar mas Fandy memanggilku dan mengetuk-ngetuk pintu kamarku. Tak ku hiraukan dan tetap melanjutkan sholatku. Tanpa di minta, air mata ku mulai tumpah d tengah-tengah sholatku. Kemudian ia menggedor-gedor pintu kamarku. Sepertinya dia mendobraknya secara paksa.

Tepat saat aku tengah bersujud pintu kamarku terbuka paksa, dan aku tetap melanjutkan ibadahku tanpa mempedulikannya. Dia nampak menungguiku hingga aku selesai sholat. Dia pasti tau aku menangis dan terisak, tapi dia hanya diam saja dan malah duduk di tepi ranjang ku.

Usai sholat, aku tak langsung beranjak. Aku menengadahkan tangan ku, Mengadu pada yang maha kuasa, bahwa suamiku ini, dia yang ada di dekatku, telah banyak melukai hatiku. Aku hanya meminta keadilan untukku.

"Udah selesai?", Dia bertanya seakan tidak melakukan kesalahan apapun. Jengkel kan aku. Kulihat sekilas, dia hanya menggunakan boxer dan kaos dalam tanpa lengan.

"Udah", Jawabku tenang dan penuh kelembutan. Bukan sengaja aku melembutkan nada bicaraku, Tapi karna aku merasa lemas setelah mengalami hal buruk seperti ini.

"Kenapa kamu tadi banting pintu kamarku?", Aku menoleh padanya sekilas kemudian balik menanyainya.

"Itu hak ku karna ini rumahku", jawabnya tegas.

"Oh iya, aku lupa kalau ini rumah pemberian orang tuamu dan aku nggak berhak apapun yah disini? Maaf". Maaf adalah kata terbaik untuk menyudahi percakapan nggak penting ini. "Aku akan pergi jika kehadiranku disini udah nggak di butuhkan. Jadi tenang aja, kamu bakal bebas" Aku bergetar saat mengucapkannya. Menangis lagi. Sebenernya aku lelah sekali karna menangis. Tapi bagaimana lagi? Hanya itu yang bisa ku lakukan.

"Na, please. Jangan mancing amarahku lagi. Aku datang dan tanya bener-bener loh ke kamu. Kamu kok ngelantur gini sih". Aku berdiri sambil membuka mukena dari tubuhku. Melipatnyasedikit kemudian menyampirkannya pada hanger dan meletakkannya di sebelah lemariku.

"Bukannya aku udah jawab baik-baik yah". Jawabku sambil mendaratkan tubuhku di kursi depan meja riasku. Mila datang membawakan ku teh hangat. Kemudian memberikannya pada mas Fandy agar mas Fandy memberikannya padaku. Aku menerimanya saja, berusaha menghargai niatan baiknya, hanya saja aku tak meminumnya dan malah meletakkannya di meja rias.

"Mbak di minum dulu, mumpung masih hangat" katanya lembut kemudian menatap mas Fandy, "Mas, pintu kamar mbak Nawal rusak, besok panggil orang buat memperbaiki yah", Fandy mengangguk, sedang aku menyahutinya dengan tak kalah lembut.

"Nggak usah mil, lagian besok aku udah nggak tinggal disini lagi", Mila terkejut.

"Tapi kenapa mbak?".

"Nggak apa-apa". Kulihat mas Fandy mengepalkan kedua tangannya, mengeraskan rahangnya.

"Jaga bicaramu Nawal", dia menekankan setiap katanya.

"Aku udah bicara baik-baik tanpa membentak bukan. Lalu aku mesti ngomong apa?".

"Pokoknya embak nggak boleh pergi dari sini mbak," Mila kembali bersuara.

"Terus, aku harus tetep tinggal disini dan mendengar desahan laknat kalian pasangan suami istri yang sengaja mengotori telingaku? Apa perlu sekalian aku menonton adegan ranjang kalian?".

Plak......

Aku melotot terkejut karna mas Fandy tiba-tiba menamparku. Baru kali ini, dia bermain tangan dan bersikap kasar padaku. Ku lihat mila menangis sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

Setelah itu kulihat mas fandy, ku tatap lekat wajah imam yang selama ini kupatuhi, ku hormati, ku hargai, dan ku jadikan pusat duniaku. Matanya menampakkan kilat kemarahan. Aku berdiri dan sengaja memberikan pipi kiri ku padanya.

"Tampar aku mas, Tampar aku lebih keras lagi agar aku terbangun dari mimpi burukku karna sudah menjadi Istri dari seorang pria laknat sepertimu. Aku yakin Allah akan melaknatmu karna kamu nggak pernah adil pada istri-istri mu". Kemudian mas fandy mengepalkan tangan dan memukulkannya pada tembok kamarku, Mila kemudian mencoba menghentikan aksi mas Fandy. aku hanya diam mematung dan membiarkan dua insan ini melakukan hal sesuka mereka.

Entah mengapa, saat itu bukannya menurut pada Mila, Mas Fandy malah menyuruh Mila masuk kamarnya dengan suara membentak. Mila beranjak pergi untuk masuk kamar. Kemudian mas Fandy menarikku menuju ke kamar paling belakang. Kemudian mas Fandy melemparku dengan kasar ke atas ranjang, menutup pintu dan menguncinya rapat, melempar kunci ke atas lemari dekat pintu.

"Apa-apaan kamu mas? Lepasin aku, keluarin aku dari sini" Ucapku bergetar karna takut bercampur emosi.

"Kamu mau aku bersikap adil kan? Baik, akan aku lakukan, sesuai kemauanmu" Kemudian mas Fandy menindihku, meraup bibirku kasar. Dan pada saat itulah suamiku mengambil mahkotaku secara paksa. Merenggut kesucian yang selama ini ku jaga.

Aku bahkan jijik pada suamiku ini. Dia bahkan tidak membersihkan diri setelah bergelut mesra dengan si Mila. Sekarang dia malah memperkosaku.

"Ouh Shit..." aku dengar dia mengumpat, "Kamu masih perawan?",

"Kamu pikir apa mas? Aku wanita murahan yang mudah melemparkan diriku ke ranjang semua laki-laki?" Kataku sambil menangis. Dia tidak peduli dan tetap saja melanjutkan aktifitasnya. Hingga aktifitas menjijikkan ini berakhir, mas Fandy mengerang sambil memuntahkan sp***a nya ke dalam rahimku.

Aku lelah. Sekujur tubuhku terasa sakit. Aku tak kuat lagi menahannya. Aku menangis. Menangis dalam diam, kemudian mas Fandy menyelimutiku, "Tunggu sebentar, aku ambil pakaianmu dulu di kamar". Aku menepis tangannya yang mencoba membelai rambutku. Dia diam dan kudengar keluar kamar sambil menutup pintu.

Tak lama, Mas Fandy datang membawakan ku pakaian. "Kamu bersihkan diri dulu. Sebentar lagi kita makan. Mila masih nyiapin sarapan buat kita". Aku diam tak menyahut. Sesak dadaku ini merasakan sakit yang luar biasa. Aku menangis hingga kelelahan dan terlelap.

Aku terbangun dan mengerjapkan mataku beberapa kali. Entah jam berapa ini. Perutku terasa lapar dan malas untuk beranjak bangun. Ku paksakan bangun dan menuju kamar mandi hendak membersihkan diri.

Ku buka pintu perlahan. Kulihat, maduku membaca majalah dan menoleh kearah ku, kemudian berdiri dan berjalan menghampiriku, "Mbak Nawal sudah bangun? Sarapan dulu mbak, ini udah siang loh".

"Nanti". Jawabku pelan. Sungguh aku lemas, yang ku butuhkan saat ini hanyalah istirahat dan makan. Tapi gengsi ah mau Nerima makanan dari Mila.

"Mas Fandy ke kampus mbak, ada beberapa hal yang harus di selesaikan. Karena bentar lagi sidang skripsi. Tadi mas Fandy pesen mbak Nawal harus sarapan pokoknya, pintu kamar mbak Nawal juga udah di benerin tukang tadi." Aku diam tak menjawab, hanya tersenyum menanggapinya. kemudian melangkah menuju kamar. "Oh iya, ini handphone embak. Maaf tadi dari kantor mbak Nawal telpon, tapi aku bilang mbak Nawal kurang enak badan jadi mbak Nawal ijin kerja hari ini. Maaf lancang".

"Iya makasih". Jawabku singkat. Dan tiba-tiba, si Mila menarik tanganku, membawaku menuju dapur. Aku nurut aja nggak berontak. Aku kehabisan tenaga.

"Ayo mbak Nawal makan dulu".

Terpopuler

Comments

Ramadina

Ramadina

Nawal goblok,,,lemah

2022-04-28

2

~Si imut~🌹🌼🌷🌻🌺

~Si imut~🌹🌼🌷🌻🌺

miris nya jd Nawal untung yg perkosa suami sendiri

2021-08-26

0

Suci

Suci

Mila apa ga perawan ya...kok pas 'perkosa' Nawal kaget tahu Nawal masih perawan🤔

2021-06-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!