Lily malah tertawa sinis. Menurutnya nama kopi teluh cinta sukabumi kurang menjual. Terlalu kampungan. Tidak menggoda di telinga anak-anak milenial. Anak-anak generasi sekarang lebih suka nama-nama yang diambil dari bahasa asing atau nama baru yang pleasant to the ear.
Siska mengernyitkan dahi. Dia seperti tidak suka dengan cara tertawa Lily yang bernada meremehkan begitu. “Kopi ini varietas yang istimewa dari daerah Jampang sukabumi selatan. Jenis arabica, kadar caffeinnya rendah. Menurut informasi yang kuperoleh ada sensasi rasa sedikit pedas seperti lada dan wanginya khas menyegarkan,” Siska nyerocos menjelaskan informasi yang pastinya baru dia dapat dari teman sesama coffee mania yang ditemuinya barusan.
“Kau sudah coba?”
“Belum.”
Lily tertawa. “Kenapa tidak minta sampelnya? Bagaimana kamu tahu kopi itu istimewa kalau kamu tidak mencobanya,” Lily memukul bahu Siska sambil menertawakan kebodohan yang dilakukan sahabatnya. Heran, kok bisa Siska bicara seyakin itu tanpa membuktikan dulu kebenarannya.
Siska sadar dan ikut tertawa sambil menepuk dahinya sendiri menyadari kebodohannya.
“Alamak, kenapa aku sampai lupa minta sampelnya? Mungkin karena saking terpesonanya sama sosok kang Asep ya?”
“Terpesona? Sama Kang Asep?” Lily tertawa kecil dengan menunjukan tampang heran campur jijik. "Ih, selera kamu kok jadi kampungan begitu sih Sis? Namanya aja Asep. Pasti tampangnya juga culun kayak kabayan.”
Siska juga tertawa melihat tampang Lily yang menurutnya lucu menggemaskan. Tidak biasanya Lily mencela orang yang belum dikenalnya. “Oh, iya kenapa nggak kepikiran ya?”
Kedua gadis itu tertawa bersama.
“Kalau aku sampai jadian sama dia dan orang baca undangan nikahku, bisa-bisa aku dikira menikahi aki-aki ya? Kan udah jarang ada anak muda namanya Asep. Ha ha ha”
Hanya Orang tua kolot yang masih mau menggunakan nama itu untuk anaknya. Nama sejuta umat itu bahkan sudah hampir punah dari tanah pasundan. Berganti menjadi nama-nama internasional , nama islami atau nama-nama baru rekaan orang tuanya sendiri yang cenderung sulit dilafalkan seperti Hezl, Giova, Zikr atau Vincent. Sudah seperti barang antik, pemilik nama Asep itu biasanya sudah tua seangkatan ayahnya.
Siska menepuk bahu Lily lagi sambil pasang wajah sedikit merengut, “ Aku lupa pasti gara-gara kamu telpon”
“Aku hanya mengingatkan hari ini kita ada jadwal ambil gambar lagi.” Lily membela diri dengan lepas seolah ingin mengatakan bukan salahku. Dia senang bisa bersikap normal di hadapan sahabatnya. Diminumnya lagi seteguk moccacinonya sambil menghirup wangi segar minuman kegemarannya itu.
“That’s right. Kamu benar. Aku berterima kasih sekali kamu karena telah mengingatkan aku jadwal itu dan membuatku lupa minta sampel. Aku jadi punya alasan tepat untuk janjian ketemu kang Asep lagi,” Siska tersenyum penuh kemenangan.
“Hah? Ketemu kang Asep lagi?Baru ketemu sudah kebelet ingin ketemu lagi? Ini pasti ada yang nggak beres.”
“Iya. Ketemu kang Asep lagi. Tadi ceritanya tentang sejarah koffe stelsel di Jampang belum selesai. Aku masih penasaran. Bagaimana kalau aku undang saja dia ke sini sekarang ya? Dia pasti suka dengan konsep dan suasana kafe ini.” Tiba-tiba Siska punya ide memamerkan kafe pada teman barunya itu. “Kamu juga perlu ikut ketemuan dengan kang Asep. Wawasannya luas. Mungkin kita bisa kembangkan peluang bisnis kita dengan ngobrol sama dia. Orangnya Asyik kok.”
Sekali lagi Lily meminum seteguk moccacinonya. Menyenangkan jika bisa fokus menikmati cairan itu mengalir di lidah dan kerongkongannya itu.
“Kutelpon sekarang ya?”
Lily menggeleng. Apasih istimewanya kang Asep? Kenapa Siska malah jadi terobsesi untuk ketemu lagi? Padahal kan dia baru saja ketemu. Oh, mungkin begitulah ekspresi Siska setiap kali menemukan teman baru yang memiliki kesamaan minat di dunia para penggila kopi. Kau selalu beruntung, Siska.
Ahh…. Siska. Entah kenapa Lily selalu iri dengan kehidupanmu. Kamu bisa bebas melakukan apa kau mau. Kamu selalu antusias dan ekspresif mengungkapkan apa yang kamu mau dan berjuang mendapatkannya.
“Kita bisa belajar tentang kopi dari dia.”
Lily tersenyum hambar. Ia sama sekali tak tertarik.
”Jangan buat moodku makin jelek, Sis. Aku ke sini mau menunggu kak Dave sambil mengambil foto-foto dan video untuk bahan broadcast iklan kafe ini lagi di media sosial, bukan untuk belajar tentang kopi. Sekarang kita fokus dulu pada bisnis kita ya. Kamu boleh belajar tentang kopi sepuasnya, asal tetap fokus membuat kafe ini selalu menguntungkan. Ingat. Filosofi dan idealisme saja tidak cukup buat menebus warisan mamaku yang tergadai. Tugasmu adalah memastikan kita punya persediaan kopi yang digemari pelanggan. Kafe ini harus untung. Hidupku sudah kupertaruhkan untuk bisnis ini,” tegasnya mencoba mengalihkan fokus Siska yang memang sering lari kemana-mana.
Siska segera tersadar, sahabatnya yang satu ini terbiasa disiplin. Lagipula gadis itu sulit diajak bicara tentang kopi dan segala falsafah hidup yang melekat di minuman segala bangsa itu. Lily tak pernah tertarik mencoba kopi murni sekalipun mulutnya telah berbusa-busa menceritakan tentang nikmat dan uniknya rasa kopi jenis tertentu. Dia tertarik investasi di bisnis kafe ini hanya karena suka dengan berbagai variasi latte art dan konsep kafe yang mengedepankan art decho serta pemandangan indah di sekitar kafe yang memanjakan mata pengunjung. Gadis berkulit bersih seperti kilauan mutiara itu lebih perduli pada keindahan, termasuk foto dan desain grafis yang dijadikannya bahan broadcast iklan di media-media sosial. Jelas berbeda. Dia bukan pencinta kopi murni seperti dirinya.
“Okelah, girl bos. Aku lupa kalau kamu bukan kopi mania. Sore ini memang waktu kita untuk membuat foto dan video-video untuk broadcast kafe ini.” Akhirnya Siska bisa bersikap bijak soal rencana dan waktu.
Satu hal yang Lily jengkel dari sahabatnya itu, kadang-kadang ia kurang tanggung jawab dan bertindak sesuka hatinya. Manajemen waktunya buruk, apalagi jika berbenturan dengan idealisme dan hausnya pengetahuan tentang kopi.
“Tunggu sebentar ya, aku akan siapkan perlengkapan fotografinya dulu. Aku boleh pinjam mbak Bodyguard kamu buat bantu-bantu pasang lighting ya.”
“Tentu saja.” Lily memanggil mbak Gea dan memperkenalkannya dengan Siska.
Tak lama keduanya sibuk menata perlengkapan fotografi di sudut sebelah utara dekat toples-toples besar persediaan roasted bean aneka kopi koleksi Kafe ini. Pengambilan gambar sore ini dimulai dengan tema roasted bean. Lily mencoba mengeksplor berbagai sudut dengan memanfaatkan berbagai teknik fotografi. Ia ingin hasilnya lebih bagus dari kemarin meski tantangannya semakin berat karena broadcast bertema pojok sunset sempat viral bulan lalu.
Sepanjang pengambilan gambar, Siska melihat mata Lily berkali-kali berputar ke seluruh ruangan. Rupanya sambil mengambil gambar ia masih berharap Dave datang malam itu.
“Sepertinya Dave nggak akan datang ke sini, Ly. Telponnya nggak aktif. Malah Bas yang tadi telpon ngancam aku supaya tidak memfasilitasi kamu ketemu mantanmu itu. Kalau memang papamu menyuruh putus, saranku sih lebih baik kamu patuh aja deh. Demi kebaikanmu sendiri. Kita masih muda, Ly. Lebih baik kita kembangkan diri kita dulu supaya bisa jadi perempuan mandiri sebagaimana yang diinginkan almarhumah mamamu.”
Lily tak menyahut. Ia masih terus fokus melakukan pekerjaannya mengambil gambar dan mengarahkan orang dan benda-benda agar berada di sekitarnya sesuai dengan teknik pencahayaan dan reka gambar dalam imajinasinya. Sesekali ia yang bergeser tempat mencoba membidik gambar dari sudut pandang yang berbeda dan membandingkan hasil gambar mana yang lebih baik.
Sampai hampir tengah malam Lily masih berada di kafe dan terus berkutat dengan kamera. Beberapa video dan ratusan foto dari berbagai sudut kafe telah tersimpan di memori kameranya. Pandangan matanya telah berkali-kali berkeliling ke sekitar lokasi mencari-cari keberadaan sosok yang ditunggunya. Sampai jenuh datang menyerang dan para asistennya selesai membereskan perlengkapan fotografi, yang diharapkannya tak pernah datang.
“Ponselnya masih mati, Ly. Nggak bisa ditelpon. Sampai saat ini chat aku juga cuma centang satu.” Siska angkat bahu sambil menjelaskan kalau ia tak berhasil menghubungi Dave.
Mungkin Dave terlalu sibuk, belum ada waktu untuk memberikan klarifikasi masalahnya. Lily pun akhirnya pulang dengan hati hampa. Meskipun hari ini efektif tak ada waktu yang terbuang percuma karena Lily masih fokus berkarya dengan gambar yang diperolehnya namun hatinya tetap memendam rasa kecewa yang begitu dalam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments