Lilyana
Hari ini untuk pertama kalinya Lily berada di dalam ruangan rapat direksi Goldlight Corporation milik keluarganya. Ia duduk dengan gelisah, matanya menatap wajah-wajah serius di sekeliling meja kayu jati berbentuk huruf U itu. Meski telah datang setengah jam sebelum waktu yang ditentukan papa lewat pesan singkat di ponselnya, namun ternyata ia sudah sangat terlambat. Kata sekretaris yang mengantarnya ke ruangan ini, rapat telah dimulai sejak 3 jam yang lalu. Lily mencoba lebih tenang dengan mengatur nafas lebih panjang dan berkonsentrasi mendengar apa yang mereka bicarakan. Usahanya sia-sia. Lily tetap tak dapat memahami detail apa yang mereka bicarakan dalam rapat itu. Daripada tampak seperti orang bodoh, Lily mengambil kertas hvs di tasnya lalu menyibukan diri dengan menggambar bunga dan balon-balon pesta di atas kertas itu. Entah apa maksud papa mengundangnya ke sini. Pasti ada sesuatu yang salah di sini. Semua direksi tidak mempedulikan kehadirannya. Bahkan papa dan ketiga kakak lelakinya tidak memperkenalkan Lily dan apa posisinya dalam rapat itu.
Satu jam sudah Lily duduk di ruangan ini, tapi ia tak melihat keberadaan Dave. Dimana dia? Kenapa dia tidak hadir dalam rapat direksi sepenting ini? Pesan singkatnya pada pria itu terbaca namun tak dibalas. Oh, mungkin ia sedang ada tugas penting di luar kantor. Lily mencoba untuk berpikir positif. Mungkin ia diundang menghadiri rapat ini sebagai pelengkap karena ketidakhadiran Dave. Ya. Seharusnya tunangannya itulah yang berada dalam ruang rapat ini sebagai wakil direktur Goldlight New Contruction (GNC). Bukan Lily. Meski ia sama sekali tidak mengerti detaill apa yang dibicarakan dalam rapat itu, namun ia tetap dapat menarik kesimpulan bahwa kondisi keuangan GNC dalam keadaan kritis sehingga perlu dukungan pendanaan dari kantor pusat.
Kenapa kondisi keuangan GNC tiba-tiba kritis ya? Aneh. Sepengetahuan Lily GNC berkembang pesat semenjak
dipegang duo Satya dan Dave. Tiga tahun belakangan ini laba GNC selalu naik sangat signifikan. Banyak tender proyek yang telah berhasil dimenangkan perusahaan, beberapa diantaranya adalah tender mega proyek nasional yang nilainya sangat fantastis. Lily sering mendengar papa memuji kinerja mereka. Papa terlihat bangga sekali dengan pencapaian kinerja keduanya. Bahkan di RUPS tahun lalu, katanya papa telah menjanjikan akan memberi 30% saham GNC pada Dave sebagai hadiah pernikahan dengan putri bungsunya yang rencananya akan dilangsungkan beberapa bulan lagi.
“Kamu tahu kenapa kamu diundang dalam rapat ini, Lily?” tanya Papa ketika semua direksi di luar keluarga inti Wirajaya Halim telah meninggalkan ruangan itu.
Lily hanya menggeleng. Ia hanya menatap bingung papa dan ketiga orang kakak laki-lakinya, Bram, Bas dan Satya, secara bergantian. Hanya Lily yang tak mengerti apa-apa tentang perusahaan karena ia memang tak punya posisi di perusahaan ini. Selain Satya yang menjabat direktur GNC yang bergerak di unit bisnis konstruksi, ada Bram -kakak pertama- yang menjabat corporate finance director kantor pusat Goldlight dan Bas –kakak kedua- direktur utama Goldlight property. Sekarang mereka tinggal berlima di ruangan itu: seorang presiden direktur, 3 orang direktur dan seorang cecunguk yang tersesat di ruang rapat. Tentu saja. Lily memang bukan siapa-siapa.
“Dave berkhianat. GNC rugi puluhan milyar gara-gara tunangan kamu itu, Ly. Dia telah membocorkan hasil studi kelayakan dan proposal tender kita ke perusahaan pesaing. Sekarang dia sudah kupecat,” Kata Satya dengan wajah lesu tapi tatapan matanya menyeringai.
Bas menggeretakkan giginya dan tersenyum sinis. Sejak peserta rapat lain keluar tadi ia tampak
gelisah. Berjalan bolak-balik tidak jelas. Wajahnya masam sangat menyebalkan.“Bukan hanya rugi. Kekalahan ini sangat memalukan. Belum pernah ada dalam sejarah Goldlight kalah dari perusahaan ecek-ecek sekelas MLC.”
“Kamu memang nggak becus. Seharusnya kamu jangan terlalu percaya sama Dave. Kalau sudah begini kita semua kena imbasnya. Harusnya uang goldlight bisa diputarkan untuk bisnis yang lebih menjanjikan, bukan buat menutupi keteledoran kamu.” Sepertinya Bas ingin memulai pertengkaran dengan memancing emosi Satya yang sudah terlihat kalut.
Bas selalu begitu. Sejak dulu Lily sudah tahu sibling rivalry diantara kedua kakaknya itu sangat besar. Mereka sering bertengkar dan selalu bersaing merebutkan sesuatu. Yah, mungkin memang usia mereka hanya berjarak setahun dan mereka terlatih untuk selalu bersaing menunjukan siapa yang prestasinya lebih baik. Ejek mengejek sudah makanan mereka sehari-hari. Lily yang tidak tahu apa-apa biasanya hanya bisa jadi pemantau saja.
“Aku sudah pecat Dave dari GNC. Berhentilah mengejek. Kamu tidak tahu banyak sekali pengkhianat di sekitarku. Kekalahan GNC bukan semata-mata hanya karena Dave yang berkhianat membocorkan data studi kelayakan dan data proposal tender itu. Orang-orang pemerintahan dan BUMN yang sudah menerima dana entertain milyaran untuk mengawal mega proyek itu juga angkat tangan semua. Tidak bertanggungjawab
sama sekali.”
“ Hmmm… Seharusnya kakak tidak berbisnis dengan cara kotor seperti itu. Tidak bisakah memenangkan tender sesuai prosedur normal tanpa pengawalan, suap, gratifikasi atau apapun namanya itu.” Lily masih enggan bicara. Unek- uneknya hanya diucapkan dalam hati saja. Ia terlalu lugu untuk mengerti permasalahan bisnis dan tak berani mengungkapkan pemikirannya.
“Kamu pasti salah menetapkan orang-orang yang mengawal proyek itu. Mereka yang kau kasih duit bukan pengambil keputusan. Jelas mereka tidak bisa apa-apa.” Bas membalas sinis dengan intonasi suara yang lebih tinggi.
“Bukan begitu, situasi politik tiba-tiba bergeser diluar ekspektasi Bas.” Bantah Satya dengan nada 1 oktav lebih tinggi dari suara kakaknya. “Jabatan-jabatan penting di pemerintahan dan BUMN sedang diobrak-abrik. Kali ini aku dan GNC memang sedang sial. Harus menghadapi pengkhianat dari dalam dan luar perusahaan,” jelas Satya geram. Lily melihat tangan Satya terkepal. Wajahnya memerah dan gurat-gurat di wajahnya tampak menegang.
“Alasan. Akui saja kalau kamu nggak becus pegang GNC. Unit kontruksi bisa bangkrut kalau dipegang orang yang nggak becus seperti kamu.”
“Diam kamu, Bas! Kamu tidak tahu apa-apa tentang bisnis GNC. Kamu harus ingat, aku sudah dapat puluhan proyek besar dengan keuntungan fantastis untuk GNC. Tahun lalu aku membawa GNC menyumbangkan laba paling besar ke grup Goldlight. Lima kali lipat dari apa yang kamu sumbangkan dari unit property. Kalau aku nggak becus, laba GNC nggak bakal naik pesat beberapa tahun belakangan ini. Urus saja Goldlight property dengan benar. Tidak usah sok tahu.” Satya mulai gusar. Tak terima dianggap tidak becus mengurus perusahaan. Ia bahkan menggebrak meja dengan keras.
“Sudah jangan bertengkar sekarang! Pertengkaran kalian ini tidak berdampak apapun pada perusahaan. Sekarang kita butuh solusi, bukan saling menyalahkan," lerai papa kemudian.
Bram juga sempat kaget, mendongak dan mengalihkan perhatiannya yang sejak tadi hanya tertuju pada laptop yang berisi data keuangan seluruh anak perusahaan Goldlight. Pria introvert yang pelit bicara itu memang sejak tadi chating dengan manajer-manajer keuangan seluruh unit bisnis untuk koordinasi ketersediaan dana pada masing-masing unit. Tapi kalau sudah papa yang bicara, semua pasti diam. Bram melanjutkan aktivitas daringnya. Sementara Lily, Satya dan Bas duduk menanti titah papa selanjutnya. Padahal Satya dan Bas masih memendam kemarahan yang belum semua tuntas diungkapkan. Ekspresi itu masih terlihat di gurat-gurat wajah keduanya.
“Satya, kamu harus tetap intimidasi dengan halus para pengawal proyek yang sudah terima dana kita. Pastikan kita dapat tender lagi dari mereka atau mereka kembalikan dana kita. Berikan daftarnya pada Bram juga supaya dia juga bantu intimidasi pengawal-pengawal proyek yang nggak becus itu.”
Satya mengangguk pasti. Begitupun Bram yang tak pernah terdengar suaranya sepatahpun. Lily bisa melihat lewat sorot matanya Satya sangat berterimakasih dengan perintah papa dan kesediaan Bram membantu mengatasi masalahnya. Tampaknya itu jauh lebih bijak daripada celaan-celaan yang dilontarkan Bas terhadapnya.
Bas masih geram tapi ia tak berani bertengkar lagi di hadapan papa.
Kemudian giliran papa mengarahkan pandangannya ke puterinya yang mematung saja di tempat duduknya.“Ly, kamu harus putuskan Dave sekarang juga. Pertunangan kalian batal,” begitulah keputusan papa untuk puteri bungsunya.
Duar!!! Akhirnya meledak juga kata-kata yang ditakutkan Lily sejak tadi. Jadi, ia dipanggil ke sini hanya untuk mendengar keputusan pembatalan pertunangannya dengan Dave? Bukan untuk didengar pendapatnya. Apalagi diajak bergabung mengelola perusahaan ini. Bodoh. Lily sadar selama ini ia hanya diperlakukan sebagai obyek, bukan subyek. Posisinya hanya sebagai penerima keputusan, bukan pembuat keputusan.
Lily ingin marah dan menolak keputusan itu, tapi ia mencoba mengendalikan emosinya dengan menarik nafas panjang dan menetralisir detak jantungnya agar tidak berdetak terlalu cepat. Dia melirik raut wajah Papanya lewat ujung matanya melihat kemungkinan ia boleh mengambil keputusan untuk hidupnya sendiri atau menunda keputusan itu sampai ia yakin bahwa putus adalah keputusan terbaik buat hidupnya.
Ngeri. Nyalinya berangsur ciut. Belum pernah melihat urat wajah papa menegang dan merah padam begitu. Papa pasti sedang marah besar. Tidak ada gunanya penyangkalan atau beradu pendapat dengannya saat ini. Lebih baik ia yang menahan diri. Lagipula ia selalu ingat pesan mama agar selalu mengendalikan emosinya hingga detak jantungnya dapat tetap stabil. Ia harus terus mengendalikan diri. Harus sabar. Harus tenang.
“Maafkan aku, Ly! Aku harap kamu sabar menerima keputusan ini. Orang seperti Dave tidak layak
mendapatkanmu. Dia hanya tikus pengkhianat. Dia hanya memanfaatkan kamu untuk menghancurkan keluarga kita,” kata Satya sambil mendekat dan menepuk bahu Lily.
Kali ini nada bicara Satya telah sedikit turun tapi matanya masih menyeringai tajam. Ada kebencian tertanam dalam di sana. Entah sisa benci karena dirinya diejek Bas atau mungkin dia sangat menyesal memperkenalkan adik kesayangannya bahkan membujuknya bertunangan dengan orang yang sekarang dianggap pengkhianat di perusahaannya. Memang Satyalah yang paling bersalah atas kasus ini.
Putus? Ia benar-benar tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi hingga hubungan pribadinya harus terkena imbasnya. Ia masih ingin bersikap netral. Pikirannya tidak bisa dipaksa untuk percaya dengan apa yang tidak dilihat dengan mata dan kepala sendiri. Ia perlu dengar apa penjelasan Dave tentang kasus ini. Tidak hanya menelan mentah-mentah opini dari satu pihak. Ia hanya ingin keadilan buat Dave dan hubungannya dengan lelaki itu tidak dianggap sebagai bagian dari bisnis keluarga. Tapi Lily tak bisa bicara. Bibirnya terkunci. Ia sama sekali tak berdaya melawan keputusan keluarganya.
Sejenak mereka saling diam. Terjebak dalam pemikirannya masing-masing. Kesunyian terpecahkan oleh suara
papa meminta ponsel Lily. “Berikan handphonemu pada papa!”
Tak berani membantah. Lily mengambil ponsel dari dalam tas dan menyodorkannya di hadapan Papa dan tiga kakak lelakinya. Mulutnya masih terkunci rapat. Pikirannya masih bertanya-tanya, sebenarnya apa yang mereka pikirkan.
Sekelebat Papa meraih ponsel berlogo apel keluaran terbaru itu, meminta Lily membuka passwordnya, mencari nomor Dave lalu memencet panggilan telepon
Papa menyodorkan lagi ponsel pada Lily yang berdiri ragu. Tak perlu menunggu lama terdengar nada deringnya meraung. Tut tut tuuuut…..
“Katakan putus sekarang juga,” perintah Papa dengan raut dingin. Alisnya meninggi.
Mana berani Lily menentang papa jika alisnya sudah meninggi begitu. Tapi ia juga tak ingin putus dari Dave tanpa kejelasan seperti ini. Rasanya ia ingin lari saja dari tempat itu atau berubah jadi patung batu tak bernyawa.
“Halo, sayang. Maaf aku belum sembat membalas pesanmu,” suara bariton Dave terdengar di seberang sana
“Em…..” Lily gemetar. Bibirnya terkunci. Ia menatap Papa, Bram, Satya dan Bas secara bergantian seakan memohon agar mereka mau mengerti bahwa ia belum sanggup mengatakan itu sekarang.Tapi mereka malah memandangnya dengan bengis.
“Halo sayang. Ada apa? Kamu baik-baik saja kan?” kata-katanya masih terdengar sok manis. Dia mungkin tidak tahu kalau Lily menelponnya di hadapan papa dan ketiga kakak lelakinya.
Papa mengangguk. Tatap matanya yang tajam mengisyaratkan Lily untuk mematuhi perintahnya.
Lily harus sanggup mengatakannya.
Kita putus. Hanya itu yang bisa diucapkan Lily di hadapan keluarganya. Ada keraguan tersirat dari nada bicaranya. Ia tak sanggup merangkai kalimat lagi selain kalimat itu. Setengah mati ia harus mengendalikan perasaan yang bergejolak di dadanya. Kecewa atas keputusan keluarga, tapi tak berani mengungkapkan pendapat apalagi melawan.
Ia sadar, tak pernah punya daya dan keberanian untuk melawan. Hidupnya masih tergantung pada keluarga.Ia belum siap jika fasilitas yang diperolehnya saat ini dirampas paksa kalau harus memaksakan pendapatnya. Kuliahnya belum selesai. Sebagian besar biaya hidupnya masih disokong keluarga. Lily belum siap jadi gelandangan. Tapi ia juga tak ingin putus dengan Dave hanya karena masalah bisnis
Kak Bas merebut ponselnya dengan secepat kilat mengambilalih pembicaraan.
“Dengar ya, Dave. Kamu telah mengkhianati keluarga kami. Pertunanganmu dengan Lily putus. Mulai detik ini jangan pernah temui Lily lagi,” tegasnya.
“Tapi...,” tampaknya Dave hendak membela diri atau paling tidak mengucapkan sepatah kata untuk
tunangannya. Bas tak memberi kesempatan. Ia menutup ponsel Lily dengan gerakan yang sangat cepat.
Bas bahkan langsung memblokir nomor Dave dan menghapusnya dari ponsel Lily. Bas menyerahkan ponselnya kembali pada Lily dengan wajah dingin.
Lily menerimanya dan langsung memasukan kembali ponselnya ke dalam tas tanpa bicara, hanya tertegun dan diam.
“Mulai hari ini kamu akan selalu didampingi bodyguard, Lily. Sekarang musuh Goldlight makin banyak, keamananmu adalah prioritas. Jangan keluar rumah jika tidak ada kepentingan dan jangan coba-coba berhubungan lagi dengan mantan tunanganmu itu. Semua demi kebaikan kamu.” Itu kata terakhir papa sebelum beliau pergi menemui rekan bisnisnya yang kata sekretaris pribadinya telah menunggunya sejak sejam yang lalu.
Bram, Bas dan Satya pergi mengikuti papa menemui tamunya. Lily menunduk pasrah. Bukankah ini kejam? Kenapa ia harus kehilangan kebebasan hanya karena urusan bisnis yang bahkan ia tak mengerti juntrungannya. Dan mereka …. Papa dan saudara-saudara kandungnya meninggalkannya sendiri di sini. Sama sekali tidak peduli bagaimana perasaannya. Tak ada yang memeluk dan menghiburnya. Lily merasa dipermainkan nasib. Ia terlahir sebagai boneka yang hanya diperalat untuk kepentingan bisnis. Mereka bisa dengan seenak hati memintanya bertunangan lalu memutuskan pertunangan itu saat ia sudah mulai merasa nyaman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Febi Chan😍
wah ini cerita tentang neng lily dan kang asep ya
2021-04-14
0