Hari ini pikirannya sangat kacau. Hatinya galau. Butuh refreshing. Kenyataan bahwa ia masih saja jadi gadis lemah yang tak berani mengemukakan pendapatnya di hadapan keluarga begitu menyakitkan. Ingin rasanya ia mengutuk dirinya sendiri. Tapi tentu saja itu tak ada gunanya sama sekali. Lebih baik ijin pergi ke Kafe saja. Mbak Gea –bodyguard baru- dan Dida –asisten pribadinya- sudah bersedia menemaninya mengunjungi kafe miliknya di Bogor. Kedua orang itu dibayar papa untuk menguntitnya kemanapun seperti tawanan yang tak boleh lepas dari penjagaan aparat.
Kafe yang baru saja dibuka 4 bulan lalu itu terletak di kaki bukit dengan pemandangan sunset pegunungan yang indah. Lokasinya benar-benar bagus. Sejak grand opening setiap sore kafe itu dipenuhi pengunjung yang menikmati matahari terbenam sambil minum kopi. Bahkan sampai malam pun masih banyak orang kongkow- kongkow menikmati udara dingin bersama taburan bintang di langit serta pendar lampu di sekelilingnya. Karena kenyamanannya beberapa pelanggan menjadikan kafe sebagai tempat kerja online atau tempat pertemuan santai dengan rekan bisnisnya.
Bangunan kafe bertema minimalis modern. Konstruksi bangunan didominasi struktur baja dan dinding kaca. Beberapa jenis pohon kopi jenis robusta sengaja ditanam di halaman kafe itu agar Pengunjung bisa merasakan suasana nyaman dan segar. Jika musim kopi berbunga, wangi segarnya akan menebar bagai parfum alami. Benar-benar suasana yang memanjakan penikmat kopi yang sengaja datang menikmati sore di kaki bukit.
Bangunan kafe ini didesain bersama dengan Dave. Lily yang memberikan gambaran konsep dan Dave yang mewujudkannya dalam bentuk desain arsitektur dan gambar teknis lengkap. Pembangunannya pun diawasi bersama. Dave mendedikasikan diri jadi manajer proyek di sela-sela kesibukannya di kantor GNC. Probono. Tanpa bayaran sama sekali. Dave begitu antusias mendukung Lily berinvestasi sekaligus mewujudkan cita-cita sahabatnya Siska yang memilih berprofesi menjadi bartender. Sebuah kafe yang buka 24 jam dengan pemandangan indah dan suasana yang sangat nyaman. Tanpa Dave, kafe ini mungkin hanya jadi angan-angan saja.
Lily mendirikan kafe ini dengan seluruh tabungannya dan menggadaikan perhiasan mama di salah satu bank syariah nasional, bukan dari belas kasihan keluarganya. Ide mendirikan kafe ini ditolak oleh papa dan ketiga saudaranya. Kata mereka, kafe bisnis receh yang tidak profitable. Hanya mama dan Dave yang bersedia mendukungnya dan tak berhenti memberi semangat, saran dan motivasi untuk lebih percaya diri dan belajar mandiri.
Seharusnya kafe ini menjadi tempat yang istimewa juga bagi Dave. Mereka telah melewati ratusan jam bekerja keras bersama mewujudkan kafe impiannya ini. Lily yakin, jika memang lelaki itu benar-benar mencintainya dan mengerti galau hatinya saat ini seharusnya ia menemuinya ke tempat yang menurut mereka romantis ini. Dave sudah tahu bagaimana hubungannya dengan papa dan ketiga saudaranya. Ketika teleponnya diambil alih, seharusnya Dave tahu kalau ia minta putus atas tekanan mereka.
Bagi Lily sebenarnya putus bukan harga mati. Ia masih berharap Dave berjuang mempertahankan hubungannya meski keluarganya menentang. Kalau Dave benar-benar mencintainya, ia berani menjalin hubungan back street atau bahkan kawin lari. Ia tak peduli. Mama sudah tiada. Tanpa Dave. Lily bisa apa? Saat ini, tidak ada orang yang diyakini bersedia mengerti perasaannya selain Dave.
Kali ini Lily ingin berlama-lama duduk di kafe dan menunggu kedatangan Dave yang katanya telah dikirimi pesan tertulis oleh Siska. Sebenarnya mengecek laporan harian bisa dilakukannya di mana saja, tapi hanya itu yang bisa dijadikannya alasan penting kepada keluarganya agar diijinkan pergi ke kafe pada saat situasi yang mereka anggap sedang genting dan berbahaya buat keamanannya. Dave telah merancang sistem informasi manajemen kafe yang bisa dipantau langsung dari laptop atau ponselnya.
Lily memang berniat menunggu Dave menemuinya di kafe ini. Tempat ini spesial. Seharusnya Dave datang menemuinya di sini untuk menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya. Dia harus bicara empat mata. Seandainya keputusannya mereka tak bisa lagi bersama, setidaknya Lily ingin mengucapkan selamat berpisah dan berterima kasih atas dukungan yang diberikannya selama ini.
Pelayan membawakan pesanannya dan mempersilakan Lily menikmati sajian yang dibawanya dengan senyum super ramah, “ Sila, mbak Lily.”
Secangkir moccacino tanpa gula dengan lukisan bunga lily di atasnya selalu tampak cantik di matanya. Lily selalu merasa tersanjung melihat moccacino yang dibuat special dengan lukisan bunga yang namanya serupa dengan namanya. Barista kafe ini tahu betul bagaimana membuat suasana hatinya lebih baik. Latte artnya cantik dan elegan. Rasa moccacinonya mantap. Apalagi ditemani cheese cake strawberry dengan hiasan 3 buah strawberry utuh yang montok merah merona.
Hhmmm… selain cantik makanan yang satu itu terasa lumer di lidah. Kejunya gurih. Sensasi rasa gurih dan segarnya terasa sampai ujung tenggorokan.
Hmmm… Yummy.
“Hai, Ly,” tiba-tiba Siska muncul dan memukul pundaknya
Lily sedikit kaget. Untung cheese cakenya lumer di lidah hingga dia tidak tersedak makanan itu. Kagetnya hanya mengurangi kenikmatan sensasi dingin di tenggorokan saja.
Ia buru-buru menarik nafas panjang beberapa kali dan menetralisir detak jantungnya.
Siska tersenyum renyah. ”Jangan kebanyakan bengong, Ly. Ayamku kemarin mati gara-gara kelamaan bengong. Hidup itu jangan terlalu dipikirkan serius, Ly. Santuy lah seperti aku”
Lily cuma tersenyum tipis sambil mengatur nafasnya perlahan.
“Sudah lama di sini?”
“Lumayan”
Siska menarik kursi di hadapan Lily lalu duduk dan meletakkan tas kecilnya di atas meja. Dia sempat melirik dua orang yang duduk di meja belakang Lily. Ia melambaikan tangan dan melempar senyum pada Dida yang telah lama dikenalnya sebagai asisten pribadi Lily. Di sebelahnya ada perempuan muda lain yang bertubuh kekar seperti atlet bela diri. Tulang pipinya agak tinggi sehingga wajahnya terlihat kaku. Dengan jeans, topi dan jaket yang dikenakan, penampilannya terlihat macho dan garang. Mungkin itu bodyguard baru yang barusan dikeluhkan Lily di telpon. Eh salah, bukan bodyguard yang dikeluhkan tapi keputusan keluarganya yang mengharuskannya didampingi bodyguard itu.
“Maaf, tadi aku habis janjian dengan seseorang di kampus IPB. Ngobrolnya asyik jadi hampir lupa kalau kamu janji akan ke sini sore ini.” Siska tersenyum ramah dan ceria.
“Urusan apa?”
“Urusan kopi lah”
Siska memang selalu terobsesi pada pengetahuan apapun soal kopi. Dia sudah menemukan passion hidupnya, yaitu kopi. Dia meninggalkan bangku kuliah untuk ikut kursus-kursus singkat di bidang boga, pastry dan barista. Cita-citanya sederhana, punya kafe dengan kualitas kopi premium. Tak hanya di dalam negeri, Siska juga pernah memburu beasiswa kursus barista di Vietnam dan Italia. Kadang dia melakukan perjalanan dengan teman-temannya sesama coffee mania ke daerah-daerah terpencil hanya untuk mencoba sajian kopi khas daerah tersebut. Dia terlihat sangat bahagia dengan pilihan hidupnya, bertualang dalam dunia kopi.
Berbeda dengan Lily, sampai saat ini ia masih gamang tak bisa memutuskan kehidupannya sendiri seperti apa. Passionnya tidak jelas. Karena itu ia tak pernah bergabung dengan komunitas tertentu yang memiliki kesamaan hobi. Lily bahkan tak punya banyak teman. Hidupnya seperti burung yang terpenjara dalam sangkar.
“Ah, kamu. Selalu kopi yang ada di pikiranmu. Jangan-jangan kalau otakmu itu dibuka, isinya pasti kopi semua kayak toples itu.” Lily meledek sambil menunjuk toples-toples berisi roasted bean coffee yang terpajang dekat meja bartender.
Siska tertawa lebar. “Yang ini agak beda, Ly,” katanya kemudian
Wajah Siska terlihat berbinar-binar, lebih ceria dari biasanya. Rasa-rasanya seperti gambaran wajah orang jatuh cinta di novel-novel picisan. Puih. Apa memang dia sedang jatuh cinta ya? Ahhh…. Tidak. Justru Lily ke sini mau curhat kalau sekarang Lily sudah jomblo. Seharusnya Siska tidak membuatnya iri dengan memperlihatkan wajah berbinar-binar seperti orang jatuh cinta begitu.
“Aku habis ketemuan sama orang yang baru saja dapat penghargaan nasional lomba kopi dan akan dikirimkan dalam lomba kopi internasional di Rio bulan depan. Aku sedang coba membuat deal agar bisa order kopinya untuk dijual di kafe ini.”
Lily pura-pura melongo meski tak terlalu tertarik dengan cerita Siska itu. Sekedar untuk menghargai cerita sahabatnya saja.
“Kau tahu apa nama kopi varietas baru yang dikembangkannya?”
Lily menggeleng.
“Namanya kopi teluh cinta sukabumi”
Lily heran kenapa Siska terlihat sangat antusias dan bangga. Dia selalu antusias jika menemukan kopi lokal dengan kualitas terbaik. Dia sama sekali tak peduli jika kali ini nama varietas kopi yang diburunya memberi kesan berbeda. Entah kenapa telinga Lily gatal mendengar nama varietas baru yang terkesan lebay dan kampungan seperti itu. Selama ini Lily telah familiar dengan nama-nama varietas kopi arabika populer dan cepat akrab ditelinganya seperti : typica, bourbon, geisha, mundo novo, caturra, vila sarchi, pacas, Sidikalang, Catuai, atau Ethiopian heirloom. Kalau memang rasanya istimewa, seharusnya kopi itu dinamakan dengan nama - nama yang istimewa dan populer, bukan nama kampungan seperti itu. Menjijikkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Arum Anggi Astuti
tulisanya rabi thor . aku suka. semoga suka sampai akhir ya. suka jg sama karakter lili yg rapuh harus dilindungi. msh penasaran dave antagonis apa gk ya. kuy lanjut ya thor
2021-02-14
1