Aku baru selesai berlatih dengan Xiela di lapangan luas di luar istana Amarilis. Hanya bermodalkan sihirku saja, aku sudah dapat mengontrol naga putihku sepenuhnya. Biasanya kalau aku mengendarai naga, aku harus bersusah payah mengontrol mereka. Bahkan untuk sekedar duduk di atas punggung mereka membutuhkan upaya.
"Kau sudah lebih mahir ya?" Tanya Xiela sambil tertawa kecil. Kami sedang berada di dalam kandang besar naga, dan aku bersandar pada perut besar naga putihku. Aku hanya mengangkat bahu dengan bangga. "Mungkin. Semenjak aku menjadi Fae God, segalanya terasa lebih...mudah." Itu benar. Aku memiliki semua kemampuan sihir Fae. Rasanya untuk memiliki kekuatan hebat sebesar itu terdengar mustahil.
"Bagaimana rasanya menjadi Fae God?" Gumam Xiela. Ia sibuk menyisir janggut naga hitamnya dengan lembut. Kelopak mata naga tersebut setengah terpejam, dengan sayu dibelai hingga tertidur. "Memiliki sihir sebesar itu...pasti enak."
"Tidak selamanya enak," kataku sambil tertawa geli. "Aku harus terus mengadakan pertunjukkan. Memamerkan kekuatan baru yang tak pernah ada di dunia Fae sebelumnya."
"Maksudku selain itu," katanya sambil menatapku. "Semua kekuatan sihir Fae bersatu, menciptakan sihir baru seperti pelangi."
"Apa cuma aku yang tidak yakin sihir pelangiku itu sihir baru?" Kataku kepadanya. "Menurutku, itu cuma sihir gabungan. Tidak ada bedanya, Xiela. Sihir pelangi sama dengan sihir lainnya."
"Menurut pengamatanku, kamu belum mendapatkan kegunaan dari sihir pelangimu," katanya tiba-tiba. "Aku sudah memerhatikanmu selama sebulan ini. Kau bilang kau mengeluarkan sihir pelangimu hanya saat orang-orang ingin melihatnya. Kau membuat pelangi di angkasa, kemudian bola-bola cahaya kecil. Selain itu, kau belum pernah menggunakannya dengan benar, kan?"
Menggunakannya dengan benar? "Apa maksudmu? Jadi selama ini, aku menggunakannya dengan salah?" Kataku sambil bangkit berdiri. Hembusan napas dari lubang hidung naga mengenai kedua kakiku.
"Bukan itu maksudku, Alena," katanya sambil mendekatiku. "Maksudku adalah, setiap Fae memiliki bakatnya masing-masing. Kebanyakan sihir kita digunakan untuk menyerang ketika ada bahaya. Sedangkan untuk sihir pelangimu..."
"Oh," aku baru mengerti maksud ucapannya. "Jadi maksudmu, sihir pelangiku sebenarnya tidak ada manfaatnya."
Raut wajah Xiela berubah menjadi sedih. Ia tampak merasa bersalah sudah mengatakan bahwa sihirku tidak berguna. Ia berdeham. "Uhm, mungkin masih ada gunanya. Seperti misalnya-"
"Miss Alena!" Seseorang memanggilku dari pintu masuk kandang naga. Kami menoleh bersamaan dan aku melihat seorang Fae dengan warna rambut mencolok. "Bora?"
Bora sudah berjalan mendekatiku, mengabaikan Xiela sama sekali. "Miss Alena," katanya sambil membungkukkan badan. Aku memutar bola mata. "Bora, tidak perlu memberi hormat kepadaku."
"Tentu harus. Kau adalah Fae God, Sang Pencipta," katanya sambil tersenyum puas. Entah kenapa senyumannya itu membuatku tidak nyaman. Rasanya seperti sihirku itu memuaskannya. "Kau sudah sederajat dengan Fae Royal, bahkan bisa lebih tinggi derajatnya."
Aku menatapnya tak percaya. "Lagi-lagi! Aku tak peduli dengan derajat-"
"Ya ya, pokoknya begitu." Ia sudah melambaikan tangannya, tidak mau mendengarkanku. Aku terheran-heran. Perasaan baru sedetik yang lalu ia memuja-mujaku. Sekarang ia seenaknya memotong pembicaraanku?
"Ada yang harus kusampaikan kepadamu, Alena," katanya seraya melirik Xiela. Gadis yang sedari tadi terdiam langsung mendengus. "Privasi? Oke." Kemudian, Xiela sudah terbang meninggalkanku.
"Apa, Bora? Kalau ini tentang Lexy, aku tidak mau mendengar alasan yang dibuat-buat," kataku sambil menyilangkan tangan.
"Oh, itu bisa ditunda," ia malah melempar senyuman. "Kau tahu, bahwa aku sebenarnya menemuimu untuk memberitakan kabar baik."
Kabar baik? Tak biasanya Fae ini menyebarkan berita baik. Bora mengajakku keluar kandang naga. Setelah aku mengunci pintu besi yang berat, ia mulai menjelaskan kepadaku. "Setelah kupertimbangkan selama beberapa hari ini, kupikir kau bisa menjadi Fae yang berkuasa."
Aku langsung terbelalak. "Apa?!"
"Jangan asal menyimpulkan dulu," katanya sambil mengangkat kedua tangannya agar aku berhenti berbicara. "Maksudku, kau lihat betapa orang-orang menyukai pertunjukkanmu? Kekuatanmu itu ada manfaatnya, Alena."
Kami sekarang terbang rendah menuju gedung istana. "Jadi, kau sudah menguping pembicaraanku dengan Xiela?"
"Ya," katanya tanpa rasa bersalah. "Bayangkan, Alena. Bayangkan kekuasaan yang bisa kau peroleh saat kau mengatur semua Fae dengan sihirmu."
"Buat apa aku mengatur mereka saat sudah ada Raja dan Ratu?"
Bora menggeleng-geleng. "Kau tak mengerti politik."
"Memang tidak. Aku bukan sepertimu."
Bora menyeringai. "Ejekan untukku?"
"Menurutmu?" Aku sengaja menambah kecepatan, meninggalkannya di belakangku. Bora buru-buru menyusulku.
"Dunia Fae sedang berada dalam kekacauan karena Ratu Peri Lebah. Kita butuh seseorang yang mampu mengobati luka di hati masyarakat," katanya untuk membujukku. "Siapa lagi kalau bukan Sang Fae God sendiri?"
***
Aku menemukan Naomi di depan kamar Callum. Gadis itu sedang berbicara bersama Val. Raut wajahnya serius, entah apa yang dibicarakan oleh mereka.
Pupil mata Val membesar saat ia melihatku. Saat aku mendekati mereka, Val langsung memberi hormat kepadaku dan pamit, padahal aku belum sempat menanyakan apa yang terjadi.
"Alena!" Naomi terkejut melihatku. "Kupikir kamu sedang bersama Xiela tadi."
"Memang. Tapi kuputuskan untuk kembali," balasku. Naomi mengangguk. Gerak geriknya tampak tak biasa, dan itu membuatku khawatir.
"Naomi? Apa yang sedang terjadi?" Aku menatap matanya lekat-lekat, namun gadis itu menghindari tatapanku.
"Aku...umm...bukan masalah besar sih," gumamnya, masih tidak mau bertemu dengan pandanganku. "Memangnya ada masalah dengan Lyra?"
Lyra. Nama naga putihku. Aku menggeleng-geleng. "Yang sedang ada masalah disini itu kamu, Naomi."
"Baiklah," ia mendesah. "Kupikir kamu memang berhak untuk mengetahuinya." Ia mengusap wajahnya yang resah. "Besok Callum akan kembali."
"Ca-Callum?!" Aku tak bisa menahan senyuman yang mengembang di wajahku. Perasaan bahagia langsung meluap-luap dari dalam diriku. "Besok dia akan kembali?" Bayangan wajah Callum langsung mengisi pikiranku. Akhirnya ia kembali setelah sebulan berada di luar jangkauanku.
"Ya," kata Naomi sambil mengusap lengannya. Gadis itu tidak terlihat senang sama sekali. Bukan reaksi yang kuharapkan darinya. Bukankah ia juga dekat dengan Callum? Kenapa ekspresinya seperti itu?
"Apa masalahnya?" Aku mulai tak sabaran. "Katakan kepadaku, Naomi."
"Dia...dia kembali hanya untuk sementara." Naomi lagi-lagi mendesah. "Sementara? Kenapa?"
Barulah Naomi menatap langsung mataku. "Dia ingin bertemu denganmu sekali sebelum melanjutkan pekerjaannya."
Hatiku langsung retak. Memangnya sebanyak apa tugasnya? Kupikir sebulan sudah cukup untuk mengurus semua kekacauan. Lagipula sudah ada Fae Ripper yang membantunya.
Dan ada satu lagi yang masih tidak kumengerti. "Jadi itu yang dikatakan Val tadi? Apakah ia membawa pesan dari Callum?"
"Ya," Naomi mengangguk. "Tadi Callum sempat menemuinya sebelum kembali ke area perbatasan Amarilis."
"Aku-" Tidak, tidak. Aku tak ingin berpikiran macam-macam. Biar begitu, Callum adalah pangeran. Ia bebas melakukan apa saja. Mungkin aku tidak begitu penting baginya sehingga ia tidak menemuiku sedetik saja.
"Alena." Sepertinya Naomi tahu apa yang kupikirkan. "Callum sedang sibuk. Kalau ada waktu luang, ia pasti akan menemuimu. Kau hanya harus sabar."
Sabar. Mungkin aku kurang sabar. Ternyata aku tak mampu menunggunya pulang hingga sebulan. Tali kesabaranku sudah putus. "Mungkin kau benar." Aku lalu kembali ke kamar tanpa menoleh ke arahnya lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Caramelatte
eyoo kakak aim kambekk yuhuuuu mangattzzz
2020-11-30
0
JustError
Hai, Thor.
Aku baru selesai baca ampe sini. Capek😧.
Datang balik dan baca juga karyaku, yah.
Terserah mau yang mana.
2020-11-16
1
Dewi Ws
💓💓💓
2020-10-31
1