Decision

Ruangan menjadi hening. Aku tahu dengan kondisi Lexy sekarang, jadi Bora sebenarnya tak perlu mengingatku lagi. Sepertinya Fae Fire ini suka sekali menjatuhkanku.

"Sebenarnya aku tidak mengerti, kenapa Miss tak langsung membunuhnya," lanjut Fae Fire itu lagi. "Jelas-jelas dia Egleans, monster pembunuh kaum Fae. Jangan mentang-mentang dia dulunya adikmu, kamu jadi mengampuninya."

"Aku tidak mengampuninya." Tenggorokanku jadi tercekat atas ucapanku yang terasa menyakitkan. "Sudah kukatakan berulang kali, Lexy itu berbeda. Kalau dia benar adalah Egleans, dia pasti sudah membunuh banyak Fae sejak dulu."

"Tapi dia sudah membunuh Mella!" Bentak Ketua Ventus. "Dia sudah membunuh salah satu anggotaku! Dia pantas dihukum mati!"

"Dia tidak bermaksud untuk membunuhnya," kata Naomi pelan. Baru kali ini aku melihat gadis itu berbicara dengan lesu. "Dia tidak menyadari perbuatannya. Aku melihatnya waktu itu. Ekspresi wajahnya saat Mella terbunuh."

"Tidak ada alasan," kata Fae Ventus itu lagi. Pria itu tampak sangat marah. "Mari ambil suara. Hukuman apa yang pantas didapatkan oleh dua gadis kembar ini?"

"Hey, maksudmu Alena juga salah?!" Teriak Ketua Aqua. "Dia berjasa bagi kaum kita!"

Semua orang mulai meneriaki satu sama lain. Seperti inilah cara kerja rapat. Banyak pendapat yang berbeda dikeluarkan oleh masing-masing Fae sehingga membuat telingaku sakit. Apalagi mereka tidak mendengarkan satu sama lain.

Aku teringat bagaimana cara Callum membuat mereka semua terdiam. Aku belum pernah mengontrol banyak orang, dan aku takut akan gagal melakukannya. Walau begitu, kurasa aksi itu patut dicoba. Maka, aku mengangkat kepalan tanganku. Mereka tidak menoleh sedikitpun ke arahku.

"Diam," bisikku marah. Tak lama, cahaya mulai muncul dari tanganku. Bukan cahaya pelangi yang biasa diciptakan untuk sekedar hiburan, namun cahaya ungu milik Melody. Cahaya itu meredam suara secara total, sehingga ruangan kembali hening. Tiada satupun Fae yang dapat mengeluarkan suara mereka, meskipun mereka berteriak.

Aku melepaskan cahaya itu dan membiarkan suara mereka kembali terdengar. "Alena..." kata Xiela sambil menatapku terkejut. Ia tersenyum puas dan mengacungkan jempol padaku. Aku hanya mengangkat bahu sebentar.

"Baiklah," aku angkat bicara. "Karena rapat ini diadakan bersama-sama, maka kurasa semua orang disini berhak menyampaikan pendapatnya." Aku menjentikkan jari, lalu kertas dan tinta muncul di hadapan setiap Fae. Aku belum terbiasa menggunakan sihir seperti Callum, namun itu sudah mempengarah seisi ruangan.

Akhirnya selama beberapa detik, setiap Fae menuliskan suara mereka. Aku tetap memasang ekspresi tenang, padahal dalam hati aku takut melihat hasilnya.

Saat semua kertas sudah kukumpulkan, Xiela dan Naomi membantuku untuk menghitung. Jantungku berpacu saat melihat sudah hampir sebagian orang memilih untuk menjatuhkan Lexy hukuman mati. Hanya sisa satu suara untuk menentukan nasib kehidupan Lexy. Sementara untuk nasibku sendiri, banyak yang mengusulkan agar aku tetap menjadi mata-mata.

Akhirnya tiba saatnya bagiku untuk membuka kertas terakhir, yaitu kertas yang kuduga milik Lilies. Aku takut akan melihat hasil yang tidak kuinginkan. Lexy juga korban dan dia tidak berhak dijatuhkan hukuman kejam seperti itu.

"Alena, tidak apa-apa," kata Xiela dalam suara kecil. "Mungkin ini yang terbaik untuk masa depan Fae."

Tidak. Aku menggeleng-geleng. Tidak ada masa depan untukku kalau Lexy sampai meninggalkanku.

Naomi meremas lenganku, kemudian mengambil kertas itu dari tanganku. "Aku saja yang bacakan hasilnya." Maka ia membuka kertas itu, lalu mendesah. Saat ia melihat coretan di atas kertas, matanya langsung terbelalak.

"Ada apa?" Para Fae sudah tidak sabaran mendengarkan hasilnya. "Jangan berlama-lama."

"Hasilnya..." Naomi menggigit bibir bawahnya. Ia lalu menyunggingkan senyum. "Lexy bebas dari hukuman mati."

***

Aku berjalan melewati terowongan gelap, sambil menciptakan cahaya dari tanganku untuk menerangi jalan. Penjara bawah tanah sangat gelap, dan terdengar suara cicitan tikus. Tempat ini juga berbau dan sesak.

Aku melewati jeruji besi yang terpagar di samping kiri-kananku, sambil memfokuskan penglihatan agar tidak tersandung batu kerikil. Suara langkah kakiku terdengar sangat keras dan menggema.

"Alena?" Terdengar suara parau. Aku berhenti pada salah satu ruangan kecil, dan mengintip lewat celah jeruji. Aku bisa melihat siluet seseorang di ujung ruangan, serta tubuh kecil yang sibuk melambaikan ekornya. Anjing kecil itu masih setia menemaninya.

"Lexy."

Gadis itu menguburkan kepalanya diantara kedua lututnya. Ia menengadah, dan hatiku sakit saat melihat wajahnya dengan jelas. Berkat cahaya di telapak tanganku, aku bisa melihat pipinya yang sangat tirus, kemudian tatapan matanya yang kosong. Ia masih berwujud rupa sebagai seorang Fae, lebih tepatnya mayat hidup.

Lexy bahkan harus merangkak. Kedua kakinya makin mengecil, tulang tungkainya bahkan bisa kulihat. Ia meremas besi jeruji yang dingin, dan aku segera meraup pipinya yang kasar.

"Lexy," ujarku pelan. Gadis itu menarik sudut bibirnya yang pecah-pecah. Rambut panjangnya yang kusut dan tidak terawat sama sekali tidak mengurangi kecantikannya. "Aku datang."

Aku mengunjunginya hampir setiap hari, saat aku ada waktu luang. Ini membantuku mengatasi rasa kekosongan di hatiku, saat aku merasa sendirian karena Callum tak kunjung kembali. Namun, di atas itu semua, aku perlu memastikan bahwa ia dirawat dengan baik, meskipun kutahu itu tidak memungkinkan karena masih banyak Fae yang takut dengan dirinya.

Kecuali aku.

Aku ikut duduk di atas tanah yang kotor. Awalnya kami terdiam, saling berbagi kehangatan tubuh. Aku menyandarkan kepalaku padanya, kemudian memejamkan mataku. Bagaimana caranya Lexy dapat melawan rasa kesunyian di bawah sini? Untuk sebulan pula?

Saat kami kembali ke Amarilis waktu itu, aku mendapati Bora yang ternyata selama ini mengambil alih tugas Callum untuk memerintah para Ripper. Kami semua dipaksa untuk menjelaskan semuanya yang telah terjadi, dan tiba-tiba Lexy yang mengatakan sendiri bahwa ia adalah Egleans, dan ia takut akan membahayakan kami.

Aku mengingat dengan jelas diriku yang sampai memberontak saat Lexy diseret ke bawah tanah. Aku berteriak, mengatakan bahwa ini bisa diperbaiki dan Lexy tidak pantas diperlakukan demikian, setelah apa yang sudah dialaminya. Ia tidak berhak dipenjara disini, dan tidak berhak mendapat perlakuan busuk dari para Fae pengikut Bora.

"Bagaimana rapatnya?" Tanyanya dengan lembut. Biasanya aku menghabiskan waktu berkunjungku, hanya untuk mendengarkan suaranya. Namun untuk melakukan itu, tentu saja aku harus ikut berbicara. "Buruk, seperti biasa. Aku masih belum mendapat kesempatan untuk menghajar Fae Fire tua itu."

Lexy tertawa kecil. Aku tersenyum mendengar suara indahnya. "Aku yakin kau bisa menghajarnya dalam tidurmu. Kau kan, seorang Fae God."

Aku menunduk, tidak berani menatapnya. Aku tahu ia tidak bermaksud untuk menyinggung kekuatan baruku, namun rasa bersalah terus saja meruak-ruak dalam diriku. Kalau kami memang benar makhluk penemuan Sang Ratu, kenapa hanya aku yang mendapat kekuatan besar seperti ini, sementara Lexy tidak?

"Aku akan membunuhnya, lalu ditempatkan di penjara, jadi aku bisa menemanimu."

"Jangan lakukan itu, Alena," balasnya sambil tertawa geli. "Kau gila."

"Aku serius." Aku kembali menciptakan cahaya Fire untuk menghangatkan tubuhnya. Lexy memandangi sihirku dengan takjub. Ia mengulurkan tangannya dan menyentuh cahaya itu. Seketika cahaya itu meledak, dan butiran-butiran cahaya kecil tiba-tiba menghujani kami. Aku terkesiap, menengadah dan melihat cahaya mirip kunang-kunang yang menyilaukan mataku. Aku menoleh ke Lexy, ingin menanyakan bagaimana caranya ia melakukan itu. Namun, ia malah kembali ke dalam bayangan dan menjauhiku.

"Lexy..."

"Kurasa kau harus kembali, Alena."

"Kenapa?" Tanyaku dengan sedih. "Aku masih ingin bersamamu."

"Aku bisa menjelma kembali menjadi Egleans, Alena." Kini, tubuh gadis itu bergetar hebat. Ia semakin merapatkan tubuhnya ke dinding. "Kau lihat a...apa yang ba...baru saja kula...kukan?" Ia menatap kedua tangannya sendiri. "Aku tidak tahu aku bisa melakukan itu," lanjutnya lagi dengan suara kecil.

"Kau bisa belajar mengontrol dirimu, sama seperti aku," kataku untuk menenangkannya. "Kau lihat aku bisa mengontrol kekuatanku tadi, kan? Kau pasti juga bisa-"

"Aku gak bisa, Alena!" Teriaknya. Ia lalu menjambak rambutnya, dan menyembunyikan wajahnya. "Kau tahu apa yang harus kuhadapi setiap harinya?! Kadang kala, aku tiba-tiba berubah-"

Lexy terkesiap. Ia kemudian terbatuk-batuk, dan aku melihat muntahan darah di tanah. Aku menggoyangkan jeruji besi, memaksakan diriku untuk mencapainya. "Lexy! Tolong! Siapapun!" Aku terus berteriak, berharap siapa saja dapat mendengarku agar bisa membukakan pintu besi. "Bukakan pintu! Siapa saja!"

Lexy mengeluarkan muntahan darah, tak lama bayangan dirinya mulai berubah. Aku melebarkan mataku, tidak percaya apa yang baru saja kulihat. Sayap kecilnya mulai tumbuh membesar, dan terus membesar sampai mengenai tanah. Gadis itu pingsan di tanah, tidak bergerak sama sekali. Tak lama, aku melihatnya merubah wujud.

Terpopuler

Comments

DeputiG_Rahma

DeputiG_Rahma

jejak like kiriman dari DEBU ORBIT🙈🙈🙈

btw salam kenal ya😁

2020-11-29

0

KOwKen

KOwKen

Hai kk q mmpir nih, like 7 Dan rate bintang 5 mendarat di karyamu..

semangat up ya,

q nyicl bca ni

2020-11-27

0

Caramelatte

Caramelatte

semangat thor!
Salam –Belong to Esme–

2020-11-23

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 75 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!