Dewa penyelamat

Apa yang di takutkan Senja nyatanya tidak terjadi. Kelas sepuluh B tetap kondusif, tidak ada lagi desas desus gosip antara dirinya dan Angkasa. Semuanya aman terkendali hingga menunjukkan jam pulang sekolah.

syukurlah ... begitu batinnya.

Kakinya melangkah meninggalkan kelas dengan pasti. Menyusuri sepanjang koridor sekolah sampai ke gerbang sekolah untuk menunggu angkutan umum yang biasa membawanya pulang ke rumah.

Tepat pada koridor terakhir, sebuah tangan menarik pergelangan tangannya. Mengubah haluan jalan yang seharusnya ia lalui. Langkah kakinya di pandu untuk menuju ke arah parkiran sekolah dan berhenti disana. Pegangan pada tangannya di lepas begitu tiba di parkiran. Pandangannya mengarah pada sosok yang tadi menarik tangannya ke tempat ini. Angga.

"Ada apa?" Tanyanya heran. Kenapa Angga membawanya ke parkiran sekolah.

"Emh ... Senja. Ada yang mau gue omongin ke elo," jawab Angga.

" Ngomong aja Ngga."

" Tapi nggak disini tempatnya. Gimana kalau ngomongnya di cafe depan sekolah?" Usulnya pada Senja.

" Emang sepenting apa, sampai kamu harus ngomong di cafe?" Heran Senja.

" Ya, ini penting banget buat gue."

Setelah mengatakan bahwa apa yang akan Angga sampaikan adalah hal penting, maka keduanya menuju ke cafe yang tak jauh dari sekolah mereka dengan naik motor Angga. Hanya perlu menyebrang jalan dan ke arah kanan sekitar setengah kilo dari gerbang sekolah. Sampai.

Cafe itu tidak begitu ramai, hanya tampak beberapa pengunjung yang ada di dalamnya. Keduanya memilih duduk di kursi bawah jendela. Membuat mereka dapat menikmati keindahan taman mini yang di miliki cafe tersebut.

Sengaja mereka tidak memilih tempat duduk di taman itu, karena Angga tau bagaimana Senja. Gadis itu tidak akan merasa nyaman dengan kebersamaan mereka yang terlihat semua orang. Mengingat ini adalah jam pulang sekolah. Banyak para siswa yang melewati cafe tersebut dan tentu saja banyak yang akan melewati cafe itu. Dan ... jika banyak yang melihatnya, maka akan menimbulkan gosip di lingkungan sekolah. Bukankah tidak akan nyaman jika di jadikan bahan gosip?

" Jadi mau ngomong apa?" Tanya Senja setelah memesan minuman dingin kepada pelayan Cafe.

" Mungkin ini bukan pertama kalinya gue ngomong ini ke elo Senja," katanya memulai.

Deg.

Mendengar itu, Senja tau kemana arah pembicaraan yang di bawa oleh Angga. Entah bagaimana lagi Senja akan menyampaikan jawabannya nanti. Yang sama sekali tidak akan berubah meski Angga menyampaikannya puluhan, ratusan atau bahkan ribuan kali. Masih sama.

Sejenak pembicaraan mereka terhenti ketika pelayan mengantarkan dua minuman pesanan mereka.

" Gue sayang sama elo. Gue cinta sama elo Senja," begitu katanya setelah pelayan meninggalkan meja mereka.

Tuh kan? Tepat sasaran. Senja sangat tau apa yang akan di ucapkan oleh Angga. Sejak dulu saat Senja masih duduk di bangku kelas sepuluh, Angga sering menyatakan cinta kepadanya. Dan sekarang? Entah sudah ke berapa kalinya. Senja harus menyiapkan jawaban yang pas tanpa ada yang tersakiti di antara mereka. Ia masih menyimak apa yang akan keluar dari mulut Angga.

" Entah gimana lagi cara gue buat ngeyakinin elo kalau gue serius. Gue gak pernah main main dengan kata kata gue. Jadi, please! Kasih kesempatan buat gue bikin elo bahagia, Senja." Begitu lanjutnya dengan setulus hati.

Sejenak Senja meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Ia bingung untuk menjawabnya dengan kata apa. Ia sudah punya jawabannya tapi masih sulit menemukan kata yang tepat untuk memulai nya ." Maaf ...." Ya, sepertinya hanya kata maaf yang cocok sebagai awalan sebuah jawaban atas tanya yang di ajukan padanya. Lagi, lagi dan lagi ia menghela nafas nya. Pandangan matanya menunduk menatap lantai sebelum melanjutkan kalimatnya. "Jawaban aku masih sama Ngga, aku tidak mau pacaran, aku mau fokus sama belajarku. Aku mau fokus sama cita citaku. Dengan kamu mau menjadi temanku, itu sudah lebih dari cukup buat aku bahagia Ngga ... jadi, tolong! Jangan buang waktu berhargamu untuk sayang sama aku. Karena aku juga tidak bisa menjanjikan apapun ke kamu." Tolaknya halus.

" Please ..." katanya memohon. "Bagaimana setelah lulus sekolah?" Tanyanya kemudian penuh harap.

Hhhhahhhhh

Sejenak Senja menghela nafas panjang. Lagi. Di saat seperti ini yang ada di hadapannya seperti bukan sosok Angga yang Senja kenal. Dia begitu terlihat lemah dan frustasi. Sangat berbeda dengan sosok Angga yang tengah memimpin rapat OSIS di sekolah nya, begitu tegas dan berwibawa.

Byyyuuuurrrr.

Tiba-tiba saja baju Senja basah. Seseorang sengaja menyiram bajunya dengan minuman yang ada di mejanya. Sebuah minuman yang tadi di pesannya. Reflek ia berdiri dari duduknya mengibaskan bajunya agar basah nya tidak sampai ke dalam.

" Jadi cewek nggak tau diri banget sih lo!" Teriaknya penuh dengan amarah." Ngaca dong! Pakai pelet apa sih lo, sampai Angga bertekuk lutut sama lo?" Maki seseorang yang menyiram minuman ke bajunya. Wajahnya memerah dengan nafasnya yang naik turun. Menandakan ia sedang di kuasai oleh amarah." Seharusnya elo bersyukur ... Angga suka sama lo. Seharusnya bukan Angga yang lo tolak tapi Angga yang nolak lo. Elo nggak pantas sama sekali untuk Angga." Bentak Trisia berapi-api.

" Cukup Trisia!" geram Angga. Tangannya menarik kasar tangan Trisia supaya menjauh dari Senja. Ia tidak ingin Trisia menyakiti Senja lebih dari itu. Sudah cukup. Yang dilakukan Trisia begitu keterlauan. Memaki seseorang yang tidak bersalah di hadapan umum hingga menjadi tontonan gratis para pengunjung cafe itu.

Ya, orang yang datang tiba tiba menyiram Senja adalah Trisia, teman seangkatan mereka dan juga sesama anggota OSIS. Entah apa yang menjadi kesalahan Senja, hingga awal pertemuan nya dengan Senja pandangannya selalu menyiratkan permusuhan. Seolah mengatakan 'gue benci elo' melalui sorot mata nya itu.

Sampai sekarangpun Senja belum mengetahui apa kesalahannya. Ya, satu-satu nya hal yang ia tau adalah perasaan Trisia yang bertepuk sebelah tangan kepada Angga. Dan kenyataan yang menamparnya keras bahwa Angga hanya mencintai Senja. Mungkin itulah yang membuat nya selau ingin menguliti Senja kala bertemu pandang dengan gadis mungil itu.

Tubuh Senja hanya mematung. Otak nya masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia hanya berdiri seperti orang linglung dengan keadaan yang basah kuyup. Dan jangan lupakan air minum yang berhasil menembus hingga ke kulit tubuhnya. Dingin.

Setelah Angga berhasil menyingkirkan Trisia dengan susah payah. kini langkahnya kembali memasuki cafe. Menuju tempat duduk dimana tadi ia dan Senja duduk.

Kosong.

Sudah tidak ada siapapun di tempat itu. Mungkin Senja masih di toilet, membersihkan bajunya yang basah akibat ulah Trisia. Angga memutuskan untuk menunggu saja.

Lima menit berlalu. Rasanya semakin tidak nyaman. Angga berdiri, berjalan mengelilingi seisi cafe untuk mencari keberadaan Senja. Ingin mengantarkannya pulang. Sebagai wujud tanggung jawab dan juga permintaan maaf nya. Namun nihil. Tidak ada Senja di cafe itu.

kemana kamu senja ... batinnya cemas.

" Mas, lihat cewek yang duduk di kursi itu nggak?" Tanyanya kepada salah seorang pelayan cafe yang melintas di depannya.

" Oh ... dia sudah pergi mas. Di jemput sama cowok mas. Mungkin pacarnya, soalnya keliatan perhatian banget cowoknya." Jawabnya dan berlalu pergi.

Jawaban pelayan itu menambah kekalutan yang di rasakan Angga. Cowok ? Pacarnya? Perhatian? Benaknya menerka-nerka apa yang terjadi sesaat setelah meninggalkan Senja di cafe itu. Lalu? siapa cowok yang dimaksud pelayan cafe itu? Bukankah Senja belum pernah terlibat kedekatan dengan siapapun?

"Agrrrrhhhh ...." Teriaknya frustasi. "Bego bego bego! Kenapa nggak nolong Senja duluan? Kenapa malah ngurus cewek nggak jelas itu sih!" Rutuknya penuh dengan penyesalan.

******

Sebuah jaket berwarna hitam tersampir pada tubuh Senja. Membalut, menutupi baju seragamnya yang basah kuyup. Ia menolehkan kepala ke sebelah kanannya sembari mendongakkan kepalanya. Di sampingnya, Angkasa tengah menatapnya dengan teduh. Dan detik berikutnya air mata itu sukses mengalir, menganak sungai melalui pipinya yang sedikit chubby itu. Entah kenapa tatapan teduh Angkasa membuatnya merasa aman seolah ia telah menemukan tempat nya untuk bersandar. Tempat untuk mencurah kan segala keluh kesah yang dirasakannya. Nyaman.

Di detik berikutnya, bukan adegan berpelukan yang selanjutnya terjadi layaknya seperti di film-film. Sebuah pelukan yang tercipta jika sang pemeran wanita tengah menangis bersedih, maka sang pemeran pria akan menyediakan dadanya sebagai tempat tokoh wanitanya untuk bersandar. Bukan seperti itu. Mereka belum cukup dekat untuk melakukan adegan se intim itu. Akan terasa lucu jika baru saja kenalan di hari pertama dan sudah memeluk gadis di hadapannya . Oh my god! Angkasa tidak segila itu.

Angkasa hanya tersenyum dan menarik lembut tangan Senja sambil berucap lirih, "biar gue yang antar elo pulang."

Senja hanya mengangguk mengikuti langkah Angkasa kearah motornya yang terparkir rapi di parkiran cafe. Pikirannya kalut, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ia tidak menyangka kebencian Trisia terhadapnya ternyata begitu dalam. Sehingga tidak terpikirkan dalam benaknya tentang keberadaan Angkasa di cafe itu Sebuah kebetulan ataukah kesengajaan. Bukankah keberadaan Angkasa di cafe itu terasa ganjil? Namun yang Senja tau bahwa kehadiran Angkasa sangat tepat di saat ia membutuhkan sebuah uluran tangan untuk membantunya keluar dari situasi yang memalukan ini. Ahhh ... Angkasa datang sebagai dewa penyelamatnya.

Motor yang di kendarai Angkasa berhenti tepat di depan sebuah rumah sederhana bercat hijau muda di pinggiran kota.

" Terima kasih," ucap Senja begitu turun dari motor Angkasa. Ia tersenyum tulus. Melepas jaket Angkasa dan menyerahkannya kepada yang punya.

Ahhh ... lagi-lagi senyuman itu. Bisa gila gue. Batin Angkasa.

" Hai," Senja melambaikan tangannya ke hadapan Angkasa yang hanya terbengong. Tidak merespon ucapannya sama sekali.

" Ah, ah ya ... Sama-sama." Katanya tergagap. Tangannya tak tahan untuk tidak mengacak rambut Senja. Gemas sekali dengan gadis mungil yang ada di hadapannya itu. Ah ya, sekarang Angkasa menyebutnya dengan sebutan gadis mungil. Bukan lagi gadis kerdil seperti di awal pertemuan mereka pagi tadi. Ah ... dalam sekejap saja bahasa Angkasa lebih sopan kepada gadis di hadapannya itu, tanpa gadis itu melakukan apapun. Tentu saja sebutan mungil lebih sopan dari sebutan kerdil bukan?

" Ishh ... apaan sih," protes Senja, menyingkirkan tangan Angkasa yang mengacak rambutnya.

" Ya udah gue balik dulu." Pamit Angkasa, meninggalkan halaman rumah sederhana itu.

******

Happy reading... ditunggu ya jejak para readers sekalian...

Terpopuler

Comments

ʏᴏͯɴͥɴͣaͦ🍿👑🎧⁹²⁵BT

ʏᴏͯɴͥɴͣaͦ🍿👑🎧⁹²⁵BT

ada dewa penyelamat.... aku pengen dehh . dasar haluuuu.....🤣🤣🤣🤣

2020-10-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!