episode 5. Rumah ini Neraka

Aku menatap dinding kamar yang mulai kusam. Aroma dapur dari bawah tercium samar, menandakan pagi sudah lama menjelang. Tapi tubuhku rasanya begitu berat untuk bangkit. Luka di hati yang belum sembuh dari kejadian kemarin masih terus berdarah dalam diam.

Teriakan Bu Ratna masih menggema jelas di telingaku. Kata-katanya menusuk seperti sembilu—tentang perempuan tak berguna, menumpang hidup, tak becus menjadi istri. Padahal aku hanya ingin memperbaiki suasana, hanya ingin membuat sarapan untuk keluargaku.

Hari-hariku di rumah ini tak ubahnya seperti hidup dalam penjara. Tapi penjaranya berwarna putih, penuh perabotan mahal, dan dindingnya dipenuhi foto-foto keluarga yang berpura-pura bahagia. Tidak ada rantai yang mengikat kakiku, tapi kata-kata mereka yang tajam jauh lebih menyakitkan dari besi manapun.

Aku akhirnya turun dari kamar. Reza tak ada. Sejak semalam, ia keluar dan belum kembali. Pagi ini Bu Ratna sudah duduk di ruang makan. Tatapannya menyapu seluruh meja.

“Telur asin mana? Biasanya kamu goreng buat Bapakmu!” sentaknya padaku.

Aku menunduk. “Saya kira Ibu tidak ingin saya masak lagi...”

“Loh, kamu sekarang mulai ngatur, ya? Ibu mertuamu, loh! Kamu pikir rumah ini hotel? Mau nyuruh-nyuruh?”

Aku mengangguk pelan, menahan napas. Aku diam. Tapi hatiku... lagi-lagi luka.

Pak Wijaya hanya duduk diam, menatap koran pagi yang tak pernah benar-benar dibacanya. Ia sering begitu—menjadi saksi bisu yang tak pernah memilih berpihak.

Aku ingin menangis, tapi tak bisa. Bahkan air mataku pun rasanya takut untuk keluar. Terlalu sering mengalir, mungkin. Atau mungkin ia pun lelah, seperti aku.

Siangnya, Reza pulang. Tapi bukan pulang sebagai suami yang menentramkan. Ia masuk ke kamar dengan wajah masam, membuka sepatu pun seperti orang terpaksa.

“Dari mana, Mas?” tanyaku pelan.

“Kerja. Kamu pikir uang datang dari langit?”

Aku ingin percaya dia memang bekerja. Tapi aroma parfum dari bajunya, jejak lipstik samar di kerah kemeja putihnya, dan pesan-pesan aneh yang sempat tak sengaja kubaca dari ponselnya... semuanya mengarah ke satu hal.

Tapi aku diam. Bukan karena tidak tahu. Aku hanya tak ingin membuat rumah ini semakin meledak. Aku berpikir, jika aku diam, badai akan reda. Tapi ternyata aku salah. Diamku hanya membuat mereka semakin berani menamparku—bukan dengan tangan, tapi dengan ucapan, perlakuan, dan ketidakpedulian.

“Mas... kamu masih sayang sama aku?” tanyaku akhirnya, memberanikan diri meski suara nyaris tak terdengar.

Reza menoleh sebentar. “Kenapa tanya gitu?”

“Karena aku merasa... sendiri.”

Reza menghela napas panjang. “Kamu terlalu sensitif, Nayla. Ini rumah orang tua. Wajar kalau mereka kadang cerewet. Jangan baper terus, dong.”

Aku ingin menjawab, "Ini bukan sekadar cerewet. Ini menyiksa," tapi aku tahan. Reza terlalu buta untuk melihat luka di mataku.

Malamnya, aku mendengar suara tawa dari ruang tamu. Reza, Rina, dan Bu Ratna tampak bercanda akrab. Aku melewati mereka sambil membawa gelas kosong menuju dapur. Tapi tawa mereka berhenti sejenak saat aku lewat.

"Eh, si menantu pemalas akhirnya keluar juga!" sindir Rina.

"Dia itu cuma jago pura-pura manis di depan orang luar, tapi di rumah... ogah ngapa-ngapain!" timpal Bu Ratna dengan nada tinggi.

Aku kembali memilih diam. Aku tahu, jika aku menanggapi, pertengkaran tak akan bisa dihindari. Dan jika aku melawan, Reza pasti akan memihak ibunya.

Aku hanya ingin ke dapur. Tapi ternyata, di rumah ini... bahkan untuk bernapas saja terasa salah.

Keesokan harinya, aku coba menenangkan diri dengan membersihkan taman kecil di belakang rumah. Menyapu daun, memangkas ranting, dan merapikan pot yang mulai miring.

Tapi Bu Ratna muncul dari pintu belakang dengan tatapan menghakimi.

“Berhenti sok rajin! Kamu cuma pura-pura di depan orang biar dikira istri baik!”

Aku tersentak. Ingin rasanya berteriak: “Bu, saya ini manusia! Saya punya hati!” Tapi bibirku hanya bisa mengatup rapat.

“Aku diam, Bu... tapi aku terluka,” gumamku dalam hati.

Hari demi hari berlalu. Rumah ini semakin sesak dengan luka yang tak terlihat. Setiap malam aku tidur dalam keheningan yang menyiksa. Setiap pagi aku bangun dengan harapan palsu bahwa hari ini akan berbeda.

Tapi rumah ini tak pernah berubah. Ia tetap menjadi neraka yang membakar perlahan. Neraka tanpa api, tapi panasnya menembus jiwa.

Hingga suatu malam, aku terduduk di lantai kamar mandi, menggenggam keran air yang mengalir deras. Aku menangis, tapi tak bersuara. Mungkin karena aku takut terdengar. Atau mungkin... aku sudah tak punya tenaga untuk meminta pertolongan.

Aku sadar, aku butuh pertolongan. Tapi dari siapa? Reza? Ia terlalu jauh untuk mendengar. Ibuku? Aku tak ingin membuatnya sedih. Ia pikir aku bahagia di rumah suamiku.

Maka aku diam. Terus diam. Tapi setiap hari, luka itu makin dalam. Makin sulit disembuhkan.

Sampai akhirnya... malam itu tiba.

Reza pulang lebih malam dari biasanya. Aku menunggunya di ruang tamu, dengan satu keberanian yang kupaksa keluar.

“Mas... aku mau bicara.”

Reza duduk malas. “Cepat, aku capek.”

“Aku minta, bolehkah kita pindah? Tinggal berdua saja, di kontrakan kecil juga tak apa...”

Belum sempat aku melanjutkan, Reza sudah berdiri. “Kamu ini kenapa sih? Ibu cuma cerewet, bukan penyiksa! Kamu pikir aku tega ninggalin mereka yang udah besarin aku?”

“Tapi Mas... aku menderita di sini.”

Reza menatapku tajam. “Kamu aja yang terlalu baper. Kalau kamu gak kuat, ya kamu aja yang pergi! Jangan ngajak-ajak aku!”

Dan malam itu... jawabannya menghancurkan harapanku.

Rumah ini... neraka.

Dan ternyata, suamiku—yang kupikir akan menjadi tempat perlindungan—ternyata adalah salah satu iblis yang membuat neraka ini menyala.

Aku masuk kamar tanpa sepatah kata. Hati ini robek. Tapi aku tahu, dari reruntuhan ini, aku harus bangkit.

Mungkin hari ini aku tak punya keberanian.

Tapi suatu hari nanti...

Aku akan keluar dari neraka ini. Dengan cara yang terhormat. Bukan sebagai korban... tapi sebagai perempuan yang bertahan untuk syurga yang di pilih.

Terpopuler

Comments

sukensri hardiati

sukensri hardiati

kamu itu mengeluh terus nayla....action dong...

2025-10-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!