“Kalau kamu nggak tahan, kamu bisa pulang ke rumah orang tuamu, Nayla.”
Kata-kata itu masih terngiang di telingaku, meski Reza sudah pergi meninggalkanku sendiri di kamar.
Lagi.
Dia selalu begitu.
Setiap kali aku ingin bicara serius, curhat tentang luka yang kubawa dari ucapan ibu atau fitnahan Rina, Reza hanya memberi dua pilihan: diam atau pergi.
Aku menghela napas panjang, lalu menunduk menatap cermin kecil di atas meja rias. Mataku sembab, wajahku pucat. Aku tahu aku bukan perempuan sempurna. Tapi apakah aku pantas diperlakukan seperti ini?
Pagi itu, aku tetap bangun lebih awal. Membuat teh hangat untuk Pak Wijaya yang sejak semalam batuk-batuk. Aku juga masak bubur untuknya.
Bu Ratna lewat, lalu memutar bola mata. “Mau sok perhatian sekarang? Nggak usah pura-pura baik deh, semua orang tahu kamu cuma mau ambil hati Bapak.”
Aku terdiam. Rina ikut menimpali dari ruang makan.
“Iya, Bu. Lagian siapa juga yang percaya sama perempuan yang bisa dapetin kak Reza tanpa modal apa-apa? Pasti ada trik liciknya lah. Dasar licik!”
Pak Wijaya yang duduk di ruang tengah hanya menggeleng lemah. “Sudah, jangan begitu terus ke Nayla…”
Tapi seperti biasa, suara beliau tak pernah benar-benar didengar.
Reza muncul beberapa menit kemudian, sudah rapi dengan kemeja kerja.
Aku tersenyum menyambutnya. “Sarapan dulu, Mas? Aku udah siapkan roti dan kopi favoritmu.”
Namun Reza tak menjawab. Bahkan menatapku pun tidak.
“Reza, kamu jangan manja-manjain Nayla terus. Dia itu harus dibentak biar tahu diri!” kata Bu Ratna sambil menyodorkan sepiring nasi goreng buatannya. “Makan yang ini aja. Yang dimasak ibumu lebih bersih.”
Dan Reza…
…tanpa berkata apa pun, langsung duduk dan menyantap nasi goreng Bu Ratna.
Jantungku seperti diremas.
Bukan karena dia lebih memilih makanan ibunya—tapi karena dia membiarkan harga diriku diinjak-injak… lagi.
Siangnya, aku duduk di kamar sendirian. Kubiarkan air mata jatuh di atas buku catatanku. Aku menulis kalimat yang bahkan tak bisa ku ucapkan di depan Reza:
> “Apakah benar aku hanya menumpang di hidupmu, suamiku? Bukankah janji itu dulu kau ucapkan untuk melindungi ku, bukan menyakitiku bersama keluargamu?”
Baru saja aku meletakkan pena, pintu kamar dibuka keras. Rina masuk sambil membawa ponsel.
"Nih, bukti kamu flirting sama cowok di WhatsApp! Jangan sok suci deh, Kak! Pantes aja Kak Reza makin dingin, ternyata kamu ini perempuan murahan!"
Aku tertegun.
"Apa maksud kamu?" tanyaku pelan.
Rina melemparkan ponselnya ke tempat tidur. Chat yang ditampilkan adalah percakapan lama dengan teman lamaku, Ardi, yang menanyakan kabar ibuku yang sakit.
“Ini temanku waktu SMA. Dia tanya kabar ibuku. Ada apa?”
“Alah, alasan! Mau sok akrab biar Kak Reza cemburu, ya?!”
“Cukup, Rina! Kamu sudah keterlaluan!”
Bu Ratna muncul di belakangnya.
“Oh… jadi benar kamu selingkuh di belakang anakku? Dasar perempuan nggak tahu malu! Kamu harus keluar dari rumah ini, Nayla! Sekarang juga!”
Reza pulang malam itu. Wajahnya lelah, tapi ekspresinya dingin saat melihatku.
“Aku capek, Nayla. Capek banget.”
“Aku juga capek, Mas. Tapi kamu nggak pernah dengar aku.”
“Mereka bilang kamu main hati di belakangku,” ucapnya datar.
Aku berdiri pelan, mencoba tetap tenang.
“Dan kamu percaya begitu saja? Bahkan sebelum bertanya langsung padaku?”
Reza menghela napas berat. “Kamu tahu kan, aku di posisi sulit. Ibu, Rina… semua bilang kamu cuma numpang hidup.”
Aku terisak.
“Lalu aku ini istrimu atau musuhmu, Mas?”
Reza menatapku untuk pertama kalinya malam itu. Tapi pandangan itu kosong. Bukan tatapan cinta—melainkan curiga, muak, dan dingin.
“Kadang… aku juga mulai bertanya-tanya… kenapa aku menikahi mu.”
Deg!
Kalimat itu membuat jantungku seperti pecah. Nafasku tercekat. Aku menatapnya lama, mencari sisa-sisa cinta yang dulu pernah ada… tapi tak kutemukan.
“Aku… mencintaimu, Mas. Tapi kalau kamu sudah nggak percaya lagi, aku bisa pergi. Aku lebih baik terluka daripada terus dipermalukan.”
Reza tak berkata apa-apa. Dia hanya menunduk, lalu masuk kamar sebelah.
Malam itu, aku tidur sendirian lagi.
Dan untuk pertama kalinya… aku mulai berpikir serius tentang bercerai.
Besoknya, Pak Wijaya mengajakku duduk di teras.
“Nayla, Bapak tahu… kamu sudah terlalu banyak menahan.”
Aku menangis di depan beliau.
“Pak, kenapa Reza berubah?”
Pak Wijaya menatap langit yang mulai gelap. “Karena dia masih anak, Nayla. Masih takut pada ibunya. Dia bukan laki-laki yang kuat berdiri membela yang benar. Dan kamu… sudah terlalu dewasa untuk terus disakiti.”
Aku memeluk beliau. Dalam hati, aku menangis.
“Kalau kamu ingin pergi, Nayla… Bapak dukung. Tapi kalau kamu ingin bertahan, tetaplah dengan harga diri. Jangan pernah kehilangan jati dirimu.”
Aku mengangguk.
Hari itu… aku mulai menguatkan hati.
Bukan untuk melawan—tapi untuk menyelamatkan diriku sendiri.
Tiga hari kemudian, aku mengepak beberapa baju ke dalam tas kecil. Reza pulang malam itu. Dia terkejut melihatku berdiri di ruang tamu sambil membawa koper.
“Aku akan ke rumah orangtuaku… bukan kabur. Tapi aku butuh waktu untuk berpikir.”
Reza tampak terdiam.
“Kamu yang menyuruhku pulang waktu itu. Sekarang aku benar-benar pulang. Tapi bukan karena kalah… melainkan karena aku butuh damai.”
Reza berjalan mendekat, ragu-ragu.
“Nayla…”
Aku tersenyum, meski mataku berkaca-kaca.
“Kalau kamu ingin memperbaiki semua ini, aku tunggu. Tapi jika kamu tetap memihak pada orang yang menyakitiku… aku ikhlas.”
Aku melangkah keluar. Dan pintu itu ku tutup pelan, bersamaan dengan sebagian luka yang ku relakan pergi.
To be continued...
> 🥀 “Yang paling menyakitkan bukan disakiti orang lain… tapi disakiti orang yang kita cintai, yang seharusnya jadi tempat paling aman di dunia: suami.”
🌸 “Tapi aku tahu… Tuhan sedang menulis kisah indah di balik luka. Dan aku akan terus berjalan—dengan atau tanpa dia.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments