Menantu Dari Neraka-Katamu Tapi Aku Bertahan Di Surga Yang Kupilih
Aku masih ingat jelas hari pertama menjejakkan kaki di rumah keluarga suamiku.
Rumah besar itu berdiri megah, dikelilingi taman yang rapi dan halaman yang lapang.
Tapi, entah kenapa sejak pertama kali masuk, hatiku merasa sesak.
Bukan karena besar rumahnya. Tapi karena aura dingin yang menyambut ku.
"Kamu itu terlalu keras kepala, Nayla. Nggak cocok jadi istri dari keluarga besar."
Ucapan itu langsung keluar dari mulut Bu Ratna, ibu mertuaku, bahkan belum seminggu aku menikah.
Aku hanya menunduk, menahan napas, menahan luka. Aku tahu, bukan pujian yang akan kuterima di sini. Tapi aku datang bukan untuk disukai. Aku datang untuk mencintai—suamiku, anakku, dan keluarga ini.
Berbeda dari Bu Ratna, Pak Wijaya, ayah mertuaku, justru memberikan kehangatan yang tak kudapat dari yang lain.
"Nayla itu perempuan kuat. Saya bangga kamu jadi istri anak saya."
Kalimat sederhana, tapi menggetarkan hatiku.
Terucap saat aku baru saja selesai menjemur pakaian dan tanganku gemetar karena kelelahan.
“Terima kasih, Ayah…” ucapku lirih, menahan air mata yang nyaris tumpah.
Tapi aku tahu, rumah ini penuh jebakan.
Dan tak butuh waktu lama untuk badai itu datang.
Hari itu, rumah tiba-tiba gaduh.
Nisa, keponakan suamiku, pulang sambil menangis. Tangannya lebam.
Tanpa menunggu apa pun, Rina, ipar perempuanku, langsung menuduh.
"Nayla! Kamu mukul Nisa, ya?! Gila kamu! Keponakan sendiri dipukul!"
"Apa?!" aku terperangah, tidak percaya dengan tuduhan kejam itu.
Suamiku menatapku tajam, penuh tanda tanya.
“Nayla… serius kamu nggak ngelakuin itu?”
“Aku nggak di rumah siang tadi! Aku antar Rafa ke dokter gigi, kamu bisa cek jadwalnya!”
Aku coba menjelaskan.
Tapi… tidak ada yang mau mendengar.
Fitnah itu menyebar seperti api menyambar bensin.
Dalam semalam, aku dituduh menyakiti keponakan, membentak anak sendiri, bahkan disalahkan karena nilai anakku turun di sekolah.
“Menantu macam apa kamu ini!”
Bu Ratna membentak di depan keluarga besar.
Aku hanya menatap lantai, menahan semua luka. Tapi jauh di dalam, aku tahu… aku tidak bersalah.
Aku ingin pergi.
Tapi wajah Pak Wijaya terus terbayang di benakku.
Beliau satu-satunya yang percaya padaku.
Aku belum boleh menyerah. Bukan sekarang.
Tiga hari setelah kejadian itu, saat aku membersihkan rak di ruang keluarga, tanpa sengaja aku menemukan kamera kecil tersembunyi di balik rak buku.
Aku penasaran.
Aku buka rekamannya.
Dan hatiku hancur.
Rekaman itu memperlihatkan Nisa melompat-lompat di sofa lalu jatuh sendiri. Rina datang, melihat luka itu, tapi tidak panik. Sebaliknya… dia menenangkan anaknya, lalu membisikkan sesuatu ke telinga Nisa sambil mengusap air matanya.
Tanganku bergetar.
Aku simpan bukti itu.
Malamnya, aku tunjukkan pada suamiku dan Pak Wijaya.
"Astaga… jadi Rina sengaja?!"
Suamiku menatap layar itu dengan rahang mengeras.
“Saya nggak percaya ini…”
Pak Wijaya menghela napas panjang.
“Aku nggak butuh kalian percaya hari ini. Tapi satu hari nanti, kebenaran akan bicara sendiri,” ucapku lirih.
“Maafkan aku, Nayla… Aku seharusnya percaya kamu dari awal…”
Suamiku akhirnya menatapku dengan pandangan bersalah.
Aku menghela napas.
“Aku datang bukan untuk disukai. Tapi aku bertahan karena aku mencintai.”
Pak Wijaya menatapku bangga.
“Dan kamu tetap menantu yang paling saya banggakan, Nak.”
Aku tahu badai belum selesai.
Tapi malam ini, aku tahu satu hal:
Fitnah tidak akan selamanya menang.
Aku mungkin menantu dari neraka—katamu.
Tapi aku akan bertahan, karena surga yang kupilih adalah keluargaku sendiri.
📍[Bersambung...]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments