"Cepat serahkan gaji yang kau janjikan!" Lalu, kepala pria itu bergerak sebagai tanda perintah terhadap dua pria berbadan kekar yang tadi berada di sisinya. Kedua pria itu mengangguk dan segera mendekati Nia.
Tanpa permisi maupun basa-basi, salah satu mereka menarik tas kecil Nia. Gadis itu mencoba memberontak, akan tetapi pria yang satu lagi memasung Nia dari belakang.
"Jangaaan! Itu untuk biaya makan kami sehari-hari!" Ia berusaha melepaskan diri dari dekapan pria kekar, itu. Akan tetapi, hasilnya hanya bisa menyisakan rasa sakit pada dirinya sendiri.
Sementara itu, pria yang memeriksa isi tas mengeluarkan beberapa lembar uang sisa gaji yang telah dipotong manajer. Matanya menyipit dengan alis mengerut.
"Mana sisanya?" bentaknya. Ia menghembuskan asap rokok murah yang menusuk hidung, membuat gadis itu terbatuk tetapi tak bisa menghindari kepulan asap itu.
"Huk ... Huk ... Huk." Untuk mengibaskan asap itu pun, kedua tangannya didekap dari belakang. Membuat Nia mau tak mau harus menghirupnya dengan rasa sesak yang luar biasa.
"Huk ... Hanya itu yang aku punya! Huk ... Tolong ... jangan ambil dulu! Huk huk. Bulan depan akan saya bayar dobel sekaligus." Nia merasa sesak dan matanya berkaca-kaca karena perih terkena asap itu.
Tubuhnya masih ditahan oleh pria yang mendekapnya dari belakang, membuatnya tak mampu lagi berbuat banyak selain memohon diantara batuk dan pengap tak bisa berbuat apa-apa.
Pria yang ada di hadapannya justru mengangkat uang itu tinggi-tinggi, belum puas untuk mempermainkannya.
"Bulan depan? Kau pikir berapa persen lagi bunga yang siap kau berikan untuk kami? Uang segini, kau pikir ini cukup untuk buat menutup utang ibumu, hah?" Ia mendekat, wajahnya nyaris sejajar dengan Nia. Matanya liar menatap setiap jengkal wajah Nia.
"Satu bulan? Jangan seenaknya! Kau kuberi waktu hingga minggu depan! Kalau tidak, kau sendiri yang akan kami jual sebagai bayarannya!"
Tas Nia dilempar ke tanah, dan gadis itu didorong membuat tubuhnya terhuyung hampir menumbur tanah. Ia segera berdiri tegak dan menatap pintu yang masih tertutup.
"Ibu ... Ibu ..." Nia langsung membuka pintu dan mencari ibu dan tak lagi memedulikan kawanan Jaron. Di pojok ruangan, tampak wanita paruh baya meringkuk ketakutan.
"Ibu ... Tidak apa apa kan?" Nia membantu sang ibu bangkit dan memeluknya. Dalam pelukan itu, tangisan mereka pecah.
.
.
Pada malam hari, ia memutar akal untuk mendapatkan uang lebih cepat dan lebih banyak. Ia membuka ponsel dengan layar yang sudah retak mencari lowongan part time, sebagai penambah pemasukan dari pekerjaannya sekarang.
"Jika tak cukup satu pekerjaan, aku harus mencari pekerjaan tambahan."
Beberapa kali scroll, akhirnya ia menemukan sebuah lowongan pekerjaan yang menawarkan gaji yang menarik. Bekerja sebagai asisten pribadi seorang pimpinan di sebuah perahaan ternama R.H.Group.
Nia menatap layar ponsel cukup lama. Iklan lowongan itu terlalu menggiurkan untuk diabaikan. Gajinya tiga kali lipat dari pendapatannya sebagai karyawan minimarket seperti saat ini. Bahkan ia akan mendapatkan tunjangan makan dan wajib tinggal di asrama karyawan selama kontrak jika masih single.
"Persyaratan: Laki-laki. Usia maksimal 25 tahun. Pendidikan minimal SMK jurusan kesekretariatan. Siap tinggal di asrama perusahaan."
Nia menghembuskan napas berat.
"Apa mereka pikir perempuan nggak bisa bekerja dengan keras? Padahal, cocok banget dengan jurusanku. Kalau cuma menjadi asisten pribadi, tentu saja aku bisa!" gumamnya antara semangat yang dibalut rasa putus asa.
Ia menggeser layar ke bagian bawah. Di sana tercantum alamat kantor perusahaan.
'Besok kebetulan jatah libur kerja. Kalau aku mencoba peruntungan untuk mendaftar, gimana ya? Kalau rezeki, aku akan menjadi seorang pria. Namun, kalau belum ... Berarti harus mencari pekerjaan yang lain.'
Nia menatap wajahnya di cermin kecil di atas meja. Rambut panjangnya diikat ke belakang. Lalu ia memutar otak dengan cepat. Dulu, ia pernah memotong rambut adik sepupunya dengan cara seperti ini.
'Tak ada salahnya untuk mencobanya, bukan?'
Tangannya bergerak mengambil gunting yang ada di dalam laci.
"Maaf ya, rambut panjangku. Kita harus berkorban agar mendapatkan pekerjaan ini. Bagaimana pun juga, aku sangat membutuhkan uang."
Beberapa helai rambut jatuh ke lantai. Nia menggigit bibir menahan pilu melihat mahkota yang telah ia rawat beberapa tahun terakhir, harus berakhir seperti ini.
'Ini hanya rambut! Lambat laun, mereka akan tumbuh lagi. Kalau tidak, aku jual saja. Setelah uang pembayar hutang terkumpul, aku akan memanjangkanmu lagi.'
Ia terus melanjutkan memotong rambutnya hingga menjadi sangat pendek. Perlahan, ia menatap sosok di depan cermin. Wajah itu, tak lagi terlihat seperti dirinya yang biasa.
Ia mengambil hoodie hitam longgar dari lemari, lalu mencoba mengenakannya sambil menyembunyikan bentuk tubuh. Kemudian, ia membebat dadanya dengan kain panjang agar siluet indah itu, tak lagi mencolok.
Ketika ia selesai berdandan, Nia mengerjap. Sosok yang menatap balik dari cermin adalah "Neo", nama yang pernah ia pakai saat ikut pentas drama sebagai seorang siswa laki-laki.
"Berarti ... mulai esok, aku bukan Nia lagi." Lalu ia berdehem mencoba menitikkan suara di kerongkongan. "Perkenalkan, nama saya Neo." Gadis itu mengeluarkan suara berat, tetapi terasa belum pas.
"Ekhem ... Neo ..." Ia kembali mencoba dan terus latihan.
.
.
Keesokan harinya, sang ibu terbelalak melihat putri cantiknya, tak lagi seperti biasa.
"Kenapa dengan rambutmu?"
Nia menyengir dan menutup kepalanya dengan topi. "Ada pekerjaan yang ingin aku lamar, Bu. Syaratnya harus berambut pendek."
"Duh, harus kah rambut pendek ..." Wajah Ibu mulai terlihat sedih. "Kenapa tak mencari pekerjaan lain saja?"
"Soalnya gajinya gede, Bu. Lumayan banget kalau bisa keterima kerja di sana." Nia mengucapkan dengan semangat, berusaha membuat ibunya tak bersedih lagi.
"Maafkan Ibu, Nak. Karena Ibu, kamu jadi banyak berkorban untuk membayar hutang yang Ibu buat."
Nia memasang senyuman semanis mungkin. "Ibu jangan khawatir. Jika pekerjaan ini bisa Nia dapatkan, kita akan lebih mudah membayarnya. Doakan Nia ya, Bu. Semoga Nia diterima di sana."
Ibu mengangguk dan memeluk putrinya, mendoakan di dalam hati dalam mata terpejam.
Beberapa saat kemudian, Nia telah berdiri tepat di halaman gedung megah R.H. Group dan melangkah ragu memasuki lobi. Matanya menelusuri setiap sudut lobi luas yang dipenuhi para pelamar.
Sebagian besar pelamar memang diisi olen para pria, karena itu sudah jadi persyaratannya. Hiruk pikuk para pelamar membuat Nia yang bukan pria asli pun menjadi tegang. Serasa harapannya pun pupus begitu saja.
Ia masuk pada antrean bersama para pelamar lainnya, sambil merapatkan jaket dan menunduk, berusaha untuk tak terlalu mencolok.
"Sini, kamu nomor 047. Masuk ke ruang wawancara dua puluh menit lagi."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
MomyWa
saking ga pny duit, smpai mikir jual rambut
2025-08-01
3
MomyWa
assiiikkk...bagian ini juga baruuuu..bkin gregetan minta ditonjok si preman
2025-08-01
2
Safira Aurora
ini masih bingung arah cerita. apakah dijual sm preman ini atau gmn ya
2025-08-01
2