Bab 4 Tiba di Rumah Kakek Abi

Semilir angin pegunungan membawa aroma tanah basah dan dedaunan liar. Di atas tumpukan karung timun yang dingin, Arya tertidur pulas, sambil memeluk ransel lusuhnya seperti benda paling berharga di dunia.

Tidurnya begitu lelap sepanjang perjalanan panjang, kembali menuju tempat yang sudah hampir lima tahun tak pernah ia injak lagi—Desa Tabebuya, di kaki bukit bumi Manoreh.

Sementara itu, Thoriq yang duduk di belakang bersamanya hanya terkekeh pelan, heran bagaimana Arya bisa tertidur pulas, bahkan saat truk mulai menanjak dan berbelok-belok di jalan pegunungan.

Ia melirik ke arah Arya yang terkapar di atas karung timun seperti jenazah habis ziarah.

“Dasar anak kota, baru juga kena angin desa udah molor kayak bayi,” gumamnya geli.

Ia ambil sebatang timun, putar-putar seperti tongkat sihir, lalu mengarahkannya ke wajah Arya. “Bangunlah, wahai Pangeran Timun dari Negeri Jakarta. Baginda udah nyampe, kerajaannya udah nunggu di ujung ladang!"

Setelah melewati tikungan terakhir yang memperlihatkan hamparan bukit dan pohon-pohon tabebuya yang bermekaran di kejauhan, Juned yang menyupir menginjak rem pelan dan menghentikan truk di tepi jalan menurun.

Tapi Arya sama sekali tidak bangun. Dengan senyum iseng penuh niat, Thoriq mengambil satu buah timun dari karung, mengangkatnya tinggi-tinggi…

Plak!

Sebuah timun mendarat mulus di kepala Arya.

“Ugh!” Arya terlonjak, memeluk ranselnya lebih erat dan membuka mata dengan bingung, sambil celingak-celinguk.

Thoriq tertawa keras. “Selamat datang di Tabebuya, Jam tidur siang udah selesai!”

Arya mengerjap beberapa kali, wajahnya masih kusut, ia menguap beberapa kali. Lalu bangkit perlahan, matanya menyesuaikan cahaya sore yang mulai turun.

“Astaga… desanya kakek sudah banyak berubah…” Arya terpukau melihat sekelilingnya.

Ia menatap ke depan. Di sanalah, terbentang lembah hijau. Mulai ada rumah-rumah modern tersebar di antara ladang, dan bunga-bunga tabebuya bermekaran bagai guguran salju merah muda di sepanjang jalan masuk desa.

“Sampai juga,” gumam Arya, tersenyum lega.

“Ayo cepat turun, lantai kamu mau nginep di atas truk sampai besok pagi,” suru Thoriq, masih terkekeh.

Arya mengangguk, lalu turun dari truk dengan ransel di punggung, Thoriq membantu Arya menurunkan kopernya. Kemudian Arya menatap jalan setapak yang membawanya menuju rumah kakek.

“Terima kasih, Bang Thoriq,” katanya sambil menjabat tangan.

“Betah-betah tinggal di desa ini ya bre,” goda Thoriq sambil nyengir.

Arya tertawa, lalu melambaikan tangan pada Juned dan Maimuna. "Terimakasih sudah bersedia memberikan tumpangan."

Maimuna tersenyum hangat, “Eh, Arya! Besok-besok mainlah ke rumah kami, yang letaknya gak jauh dari sini, dua gang ke selatan, ya!” teriak Maimuna.

Juned ikut melambaikan tangan. “Titip salam buat Pak Abi!”

"Iya bang," Arya mengangguk, lalu melangkah menuju jalan setapak. Truk sayur tua mulai menjauh, mengeluarkan suara berderak di jalanan berbatu.

Tangannya menyentuh ujung kayu tua yang lembap dan berbintik jamur. Ia mendorong perlahan, pintu pagar kayu yang sudah reyot.

 Kreeekkk…

Arya melangkah masuk ke halaman rumah kakeknya, sambil menggerek koper. Ia lihat rumput-rumput tumbuh tinggi, hampir menyelimuti jalan setapak berbatu yang dulunya dipakai kakeknya parkir motor.

Rumah tua berdinding bata merah bergaya Belanda. Jendela kayu tinggi, atap genteng landai yang ditumbuhi lumut, dan teras kecil dengan bangku reyot yang sudah termakan cuaca.

Arya menatapnya dalam diam. Dada kirinya terasa berat. Ia ingat saat dulu, Almarhum Ayahnya sering duduk di bangku itu, memainkan gitar dan menyanyi lagu-lagu lawas. Ibunya menyiapkan teh manis sambil mengeluh soal nyamuk pedesaan. Saat itu ia... masih kecil, masih percaya semua akan bertahan selamanya.

Tapi waktu tak pernah berjanji soal keabadian. Ayahnya meninggal 7 tahun lalu. Sejak saat itu semua keadaan berubah. Arya berdiri tegak di depan pintu kayu tua itu, keringat dingin mengalir di pelipisnya meski udara pegunungan terasa sejuk.

Tok... Tok... Tok...

Tiga kali ia mengetuk, lalu berseru lembut, “Kakek… ini Arya. Udah sampai dari Jakarta.”

Tak ada jawaban.

Ia mengetuk lagi, lebih keras.

Dok... Dok... Dok...

“Kek? Kakek Abii!”

Masih hening. Hanya suara burung dan desir dedaunan yang menjawab.

Akhirnya, dengan setengah gemas, Arya berteriak lantang, “Kakek Abizar Bin Abdulaziz!!”

Baru saja ia hendak mencoba mengintip ke jendela, pintu itu terbuka perlahan dengan suara.

Cekrek...

Seorang gadis muncul di ambang pintu.

Berdiri dihadapannya, seorang gadis muda berambut panjang dikepang ke samping, ia mengenakan celemek putih di atas dress merah jambu. Kulitnya cerah, matanya bening seperti kolam tenang yang bisa membuat siapa pun lupa caranya bernapas.

Cantik. Terlalu cantik untuk ukuran rumah tua seperti ini. Arya terpaku.

“Kamu siapa?” tanyanya, penasaran.

Gadis itu menunduk sedikit sopan, lalu menjawab dengan suara lembut.

“Hai… aku Yaya. Istri kakekmu.”

Hening....🗿🍃

Koper di tangan Arya nyaris terlepas.

“Eh… eh?” Arya mengusap telinganya, seolah sedang memutar ulang kalimat barusan.

“I... istri… kakekku?”

Ia mengulang perlahan. Sangat pelan. Seolah berharap mungkin dia hanya salah dengar. Mungkin gadis itu tadi bilang "Istri masa depanmu" atau "istri tukang jamu".

Tapi tidak.

Gadis itu tetap tersenyum, manis, tanpa rasa bersalah, atau canggung, seolah kabar itu adalah hal paling biasa di dunia. Pernikahan antara gadis muda umur 20 dengan kakek-kakek umur 70! 😱

Wajah Arya memerah. Antara bingung, kaget, dan entah kenapa… hatinya tak bisa terima. Kakeknya—Abizar Bin Abdulaziz—menikahi gadis secantik ini? Dunia sudah gila!

Bahkan Arya yang usianya hampir kepala 3 saja, belum juga menikah! Malah dikhianati.

Arya mengedip pelan. Sekali. Dua kali. Tapi Yaya berdiri di depannya, tersenyum sumringah.

Dan senyum itu cukup untuk membuat dunia Arya resmi goyah.

“Masuklah. Kakekmu lagi main catur sama teman-temannya di warung bibi Hana.”

Arya masih membeku di ambang pintu. “Tunggu… kamu beneran istri kakekku?”

Yaya terkikik. “Iya. Baru seminggu nikah. Katanya... biar ada yang nyuapin vitamin tiap pagi.”

Kedua mata Arya terus mengerjap, pikirannya coba menelan semua kenyataan tak berterima ini. Kakeknya. Abizar. Seorang duda galak berumur tujuh puluh dua tahun. Menikah dengan gadis semuda ini? Cantik, Bohayy pula!

Yaya mencondongkan badan sedikit. “Kamu mau masuk nggak? Udara malam disini dingin loh?”

“Eh… Iya aku mau masuk,” jawab Arya cepat-cepat sambil menyeret kopernya ke dalam rumah.

Yaya memutar tubuhnya, aroma wangi sabun bunga menguar saat helai rambutnya menyapu bahu. Arya mengikuti dari belakang dengan langkah canggung.

Di dalam rumah, suasana hangat menyeruak. Banyak perubahan kecil yang tak ada lima tahun lalu—taplak meja rajut, lukisan bunga-bunga, dan bahkan toples berisi permen warna-warni di rak kayu tua.

Arya menatap sekeliling, lalu mencuri pandang ke arah gadis yang sibuk menyusun piring di dapur kecil. Entah kenapa, dada Arya berdebar lebih cepat daripada saat mendaki gunung.

Satu hal yang pasti: kepulangannya ke Desa Tabebuya tidak akan sesederhana yang ia bayangkan.

.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

#TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA ❤️❤️❤️

Terpopuler

Comments

ꜱᴀʀɪꜰᴀʜ ᴀɪɴɪ

ꜱᴀʀɪꜰᴀʜ ᴀɪɴɪ

Arya kayaknya bawa rindu yang berat banget, sampai-sampai tidur pun nggak terganggu meski jalanan naik turun.

2025-10-10

1

ꜱᴀʀɪꜰᴀʜ ᴀɪɴɪ

ꜱᴀʀɪꜰᴀʜ ᴀɪɴɪ

Tidur di atas timun sambil peluk ransel, Arya kelihatan damai banget kayak nggak ada beban hidup. 😂

2025-10-10

1

Avalee

Avalee

Arya nya kok menyusut sii 😭😭

2025-09-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!