Bab 2 Arya yang Kian Terpuruk

“Lu benar-benar gila, Arya? Lu hampir buat si Damar impoten seumur hidup tau!'

"Rasain," katanya enteng, Arya tertawa santai, menyandarkan punggung ke kursi besi ruang kunjungan penjara. Tangannya memainkan rokok, kepulan asap memenuhi ruang kecil itu, seakan jadi simbol bagaimana kusutnya pikirannya saat ini.

"Hei, jangan ketawa, lu pikir nyawa itu mainan?!" Rendy mendengus, menahan kesal.

“Lu bisa apa, kalau si Damar meninggal, sekarang lu udah di penjara kayak gini, masih masih bisa kerja cari duit?” ucapnya sarkas, bersedekap dengan wajah penuh kecewa.

Arya menggeleng pelan. “Gua udah nganggur tiga bulan ini, Ren. Gua udah resign dari tempat kerja yang lama.”

Mata Rendy langsung membesar. “Anjir... serius lu? Gila lu, sumpah. Itu perusahaan susah banget dimasukin, tau nggak? Bahkan orang yang jago banget di bidang seni design visual aja belum tentu bisa keterima.”

Dia berhenti sejenak, menahan emosi yang mulai memuncak. “Lu tuh... baru lulus langsung dapet tempat di sana. Gila. Banyak orang mimpiin posisi lu. Tapi lu malah cabut cuma gara-gara... diputusin Desy?!”

Arya tertawa hambar. Senyumnya miringnya, “Gua kerja di sana karena Desy yang mau. Gua rela lembur tiap hari, pulang subuh, sampe tipes, bro. Semua itu gua lakuin, biar Desy bangga punya pacar mapan kayak gua.”

Rendy menarik napas, lalu buang pelan. "Dan dia ninggalin lu semudah itu, demi pria kayak Damar yang udah hamilin dia," ucapnya pelan, seperti bergumam.

Arya mendengus, matanya mulai berkaca. "Iya. Katanya dia... gua terlalu sibuk sama kerjaan. Nggak punya waktu lagi buat dia. Dia bilang kesepian, padahal gua kerja banting ginjal buat dia."

“Gua tahu rasanya ditinggal pas lagi sayang-sayangnya,” lanjut Rendy. “Tapi percaya deh, suatu hari nanti… pasti akan ada cewek yang mau berjuang bareng lu.”

Arya mengusap kasar wajahnya, Seakan ingin menghapus semua beban akibat pengkhianatan mantan pacar dan sahabatnya. Hatinya sedang tenggelam, seperti kapal yang karam di lautan duka yang tak bertepi—terasa gelap, dingin, dan nyaris membunuh kewarasannya.

Merasa sebuah harapan sudah tak ada lagi dalam hidupnya. Mana mungkin ada wanita yang mau menerima pria pengangguran seperti dirinya sekarang? Saat ini Arya bukan hanya kehilangan pekerjaan, tapi juga semangat hidupnya.

Usianya baru 27 tahun. Tiga tahun lalu, ia berhasil menyelesaikan kuliah di jurusan Desain Komunikasi Visual—lulus tepat waktu, dengan nilai yang cukup membanggakan. Impiannya tidak muluk-muluk, ia hanya ingin membanggakan orangtua dan bisa hidup layak bersama wanita yang paling ia cintai.

Untungnya, saat ini ia masih punya cukup tabungan untuk bertahan setidaknya setahun ke depan. Dulu, ia sempat diterima di salah satu perusahaan desain ternama asal Jepang, Fukano—nama besar di industri kreatif yang jadi incaran para desainer muda. Gajinya lumayan, cukup untuk ia sIsihkan demi biaya pernikahan dengan Desy. Tapi itu semua… sudah jadi cerita lama.

"Arya, gue udah hubungi bokap gue."

Arya menoleh perlahan, matanya sayu. "Buat apa?"

"Bokap gue pengacara, Ya. Gue minta dia bantuin lo... biar lo bisa bebas dari tuntutan keluarga Damar."

Arya tertawa hambar. "Lo pikir gampang? Mereka udah anggap gue penghancur hidup anak mereka."

"Gue nggak peduli," potong Rendy cepat.

"Yang gue tahu, lo korban. Jadi kali ini jangan tolak bantuan dari gue!" ucap Rendy tegas.

Arya terdiam, dan mengangguk. "Sorry Ren. Gue udah bikin semuanya kacau."

Rendy berdiri lalu menepuk bahu Arya pelan. "Lo sahabat gue. Lo nggak sendirian."

Arya mendongak, tak menyangka kalau Rendy—yang selama ini hubungannya nggak pernah akur dengan sang ayah—sampai mau repot turun tangan membantunya.

“Thanks, Ren,” gumamnya pelan. Hatinya campur aduk—antara terharu, nggak enak, dan masih nggak percaya.

*****

Sudah lima hari sejak Arya keluar dari penjara, dan di lima hari itu pula ia tidak ke mana-mana. Hanya rebahan di kamarnya, berpindah dari kasur ke sofa, dari sofa ke lantai ruang tengah. Jaket ojol masih tergantung di gantungan pintu, tak ia sentuh.

Di luar kamar, suara nyaring langsung menyerbu.

“Ya Tuhan, Arya! Rebahan mulu kerjaan lo! Kagak bosen apa liat langit-langit kamar tiap hari?” teriak Bu Lili, dengan logat Betawi yang makin tajam saat lagi kesal.

Arya tak menjawab. Ia cuma menggeliat malas di atas lantai dingin, memeluk lutut seperti anak bayi dalam perut. Suara ibunya semakin kencang layaknya alarm ponsel yang berdering satu jam sebelum waktunya bangun.

“Lu pikir emak lu ini siapa? Mesin ATM?! Lu udah kagak kerja, kagak ngojek, eh ngendep di rumah doang. Nih perut emak udah mual banget ngeliat kelakuan lu tiap hari!” sambung Bu Lili, tangannya sibuk ngaduk sayur asem di dapur.

Arya terpaksa bangun dan terduduk dengan kaki menyilang, rambut awut-awutan, janggut pun belum di cukur.

“Mak… jangan teriak-teriak begitu, malu sama tetangga, Arya lagi butuh waktu buat...,” ucapnya lesu, tak sanggup melanjutkan kalimatnya.

Tapi sang emak langsung menyambar, matanya membesar, tangan di pinggang.

“Buat apaan? Buat merenung sambil jadi benalu di rumah ini? Lah kagak malu apa, laki-laki muda, nganggur, diem aje kayak batu Malin kundang tepi danau toba!”

Arya mengusap wajahnya kasar, lalu memejamkan mata, hatinya sedang berusaha bersabar.

“Mak... udeh, jangan bawa-bawa Danau Toba segala. Malin Kundang mah di Padang, bukan Jakarta…” kekeh Arya. Wajahnya setengah tersenyum seperti sedang bercanda

Emak Lili melotot seakan bola matanya mau copot. “Emak gak lagi stand up comedy, Arya! Emak udah capek ngurusin anak gede 27 tahun yang kelakuannya kek ABG baru putus cinta!”

Arya cemberut. “Emang Arya lagi putus cinta, Mak!”

“Ya Tuhan, mau sampe kapan lu mikirin istri orang?!” Emak Lili naik pitam, tangannya nyambar sapu yang nangkring di pojokan, Tapi belum sempat ambil, ponsel yang ia selipin di balik BH tiba-tiba bergetar.

Bu Lili melirik layar, lalu mengerutkan kening. “Eh... Bapak!”

Ia buru-buru mengangkat telepon dan menekan speaker. Suara dari seberang terdengar serak, diselingi suara radio tua dan ayam berkokok.

“Lili... Uhuk uhuk uhuk, ini Bapak sakit...”

Wajah Bu Lili langsung berubah panik. "Bapak sakit apa, asam lambung kambuh lagi?!”

Arya sontak berdiri dan mendekati ibunya. “Siapa yang sakit, Mak? Kakek Abi?!”

“Iya, Kakek lo sakit katanya!” sahut Bu Lili cepat, rawut wajahnya tampak cemas.

Dari seberang, terdengar suara batuk dan desahan napas. “Sakit kepala, ngilu-ngilu badan, gak bisa bangun." ucap Kakek Abi di telepon.

Bu Lili langsung gelisah, suara galaknya seketika berubah jadi lembut. “Udah minum obat pak? Biar Arya kesana tengok bapak, ya?”

Kakek menjawab dengan suara lemah di ujung telepon, “Iya... kalau bisa, cepetan suruh Arya ke sini. Bawain juga kopi, yang biasa Bapak suka... itu yang pahit. Di sini gak ada yang jual, rasanya manis semua.”

Bu Lili langsung menoleh ke Arya, matanya tajam. “Tuh denger? Cepetan lu packing baju! Besok subuh lu naik kereta ke Jawa!”

Arya melongo. “Hah? Mak, mendadak amat...”

“Gak usah banyak ‘hah-hah’! Kakek lu manggil, udah syukur masih inget nama lu!”

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

#TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA ❤️❤️❤️

**Jangan lupa meninggalkan jejak kebaikan dengan Like, Subscribe, dan Vote ya...~ biar Author makin semangat menulis cerita ini, bentuk dukungan kalian adalah penyemangat ku...😘😘😘**.

Terpopuler

Comments

ALHAMDULLILAH 4 PACAR

ALHAMDULLILAH 4 PACAR

ga usah banyak ha ha ha. kocak bet

2025-08-20

1

Afriyeni Official

Afriyeni Official

kagak ada tempat naruh yang lain apa Mak /Curse//Hammer//Facepalm/

2025-08-05

0

Septi Utami

Septi Utami

oh jadi Desy selingkuh sama Damar kemungkinan pas masih pacaran sama Arya sampai hamil makanya sekarang nikah sama Damar, sebenarnya ini tanda jika Desy gak baik buat Arya sih..

2025-09-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!